Anda di halaman 1dari 24

Asam basa Tubuh

Asam Basa Tubuh


Homeostasis adalah ilmu yang mempelajari semua proses
yang terjadi dalam organisme hidup untuk mempertahankan
lingkungan interna di dalam kondisi agar optimal bagi kehidupan
organisme yang bersangkutan. Faktor Yang Mempengaruhi
Homeostasis salah satunya adalah pH. Untuk mencapai
homeostasis, harus ada keseimbangan antara asupan atau
produksi ion hidrogen dan pembuangan ion hidrogen dari tubuh.
Konsentrasi ion hidrogen dinyatakan dengan satuan pH. Di
dalam tubuh, pH normal dapat bervariasi besarnya. Tergantung
letak dan fungsinya. pH cairan ekstraseluler berkisar antara
7.35 7.45. pH darah arteri adalah 7,45 dan pH darah vena
adalah 7,35, dan pH rata-rata darah 7.4. Keadaan dimana pH
darah kurang dari 7.35 disebut asidosis sedangkan keadaan
dimana pH darah lebih dari 7.45 disebut alkalosis.
apa saja akibat penyimpangannya?
bagaimana cara tubuh menjaga pH tubuh? padahal tubuh
memproduksi banyak sekali asam. Tapi, mengapa pH darah
terjaga?? find the answer

Bila terjadi penyimpangan akan berakibat :

Perubahan eksitabilitas saraf dan otot.


Asidosis terjadi penurunan eksitabilitas saraf karena
penekanan pada SSP. Manifestasinya seperti koma dan
disorientasi. Pada alkalosis terjadi peningkatan berlebihan
eksitabilitas saraf yang dimulai dari sistem saraf perifer lalu
ke SSP. Manifestasinya dapat berupa kedutan otot, spasme
otot, dan kejang.
Mengganggu stabilitas membran sel,
Merubah struktur protein
Mengurangi aktivitas dari enzim.
Mempengaruhi kadar konsentrasi K+ dalam tubuh
Sewaktu melakukan reabsorpsi Na+ dari filtrar, sel tubulus
ginjal mengeluarkan H+ dan K+ sebagai pengganti. Bila pada
suatu kondisi asidosis dimana H+ akan lebih banyak dikeluarkan
sehingga eksresi K+ menjadi lebih rendah daripada biasanya,
maka akan terjadi retensi K+ yang dapat memepengaruhi
kinerja jantung.

Kematian terjadi pada pH darah kurang dari 6.8 atau lebih dari
8.0. Oleh karena hal tersebut keseimbangan pH CES sangat
penting untuk dijaga karena tubuh cenderung memproduksi
asam akibat hasil dari berbagai metabolisme. Asam-asam
tersebut yaitu:
Asam didapat dalam makanan
Asam yang diperoleh dari makanan ini berjumlah kecil. Karena
tidak semuanya dapat terdisosiasi menghasilkan H+
Metabolisme protein asam sulfat & asam fosfat
Metabolisme asam lemak benda keton
Glikolilisis anaerob laktat
Glikolisis aerob CO2
Metabolisme seluler CO2

Secara ringkas, sumber H+ secara terus menerus ditambahkan


ke cairan tubuh dari tiga sumber :
1. Pembentukan asam karbonat.
H2O + CO2 D H2CO3 D H+ + HCO3
CO2 dalam darah meningkat akibat hasil metabolisme di
jaringan yang mendorong reaksi ke sisi asam (menghasilkan H+
dan HCO3-) dalam prosesnya. Penurunan kadar CO2 dalam
darah mendorong reaksi ke sisi CO2 dimana ion hidrogen akan
mengikat HCO3 dan membentuk H2CO3 lalu diubah menjadi
CO2 dan H2O. Karbondioksida dihembuskan saat ion hidrogen
yang dihasilkan ditingkat jaringan digabungkan ke molekul
H2O.
2. Asam Organik yang dihasilkan selama penguraian.
Protein dalam daging banyak mengandung sulfur dan fosfor.
Sewaktu molekul tersebut diuraikan, terbentuk asam sulfat
dan fosfat. Karena keduanya adalah asam yang cukup kuat
sebagian besar terurai dan membebaskan H+ ke dalam cairan
tubuh.

3. Asam organik yang dihasilkan dari metabolisme perantara


Sebagai contoh asam lemak dihasilkan dari metabolisme lemak
dan asam laktat dihasilkan oleh otot selama olah raga berat.
Asam-asam ini mengalami disosiasi parsial dan menghasilkan H+
bebas.
Dengan demikian, ion hidrogen bebas yang dihasilkan harus
dikeluarkan dari alrutan sementara dalam tubuh dan pada
akhirnya harus dieliminasi dari tubuh sehingga pH tetap stabil
(7.4). Mekanisme penjagaannya dilakukan dengan :

A. Pengaturan Jangka Pendek


Pengaturan jangka pendek dari pH dilakukan oleh sistem
buffer yang menetralisir kelebihan ion H+, bersifat temporer
dan tidak melakukan eliminasi.

B. Pengaturan Jangka Panjang


Pengaturan jangka panjang dilakukan oleh paru dan ginjal
melalui proses eliminasi. Eliminasi oleh paru memakan waktu
menit sampai beberapa jam, dengan bahan eliminasi berupa
CO2 sedangkan ginjal memakan waktu beberapa jam sampai
beberapa hari, dnegan bahan eliminasi berupa ion hidrogen.
Sistem penyangga kimiawi adalah campuran dua atau lebih
senyawa kimia dalam larutan yang memperkecil perubahan pH
jika terjadi penambahan atau pengurangan basa ke/dari
larutan tersebut. Sistem penyangga terdiri dari sepasang
bahan yang terlibat dalam sutau reaksi reversible (suatu bahan
yang dapat menghasilkan ion hidrogen beas ketika suasana
mulai basa dan bahan lain yang dapat berikatan dengan ion
hidrogen ketika suasana mulai asam).
1. Sistem bufer asam karbonat-bikarbonat (H2CO3:HCO3-)
Sistem bufer asam karbonat bikarbonat merupakan suatu
komponen penting pada pengaturan pH cairan ekstraseluler
yang terlibat dalam reaksi reversible berikut ini:

H2CO3 D H+ + HCO3

Bila suatu asam seperti HCl ditambahkan ke dalam larutan


penyangga, maka HCO3- akan segera mengikat ion-ion hidrogen
hasil disosiasi HCl sehingga akan terbetuk H2CO3 dengan
derajat keasaman yang lebih rendah. Namun, bila terjadi
penambahan suatu basa, maka H2CO3 akan segera
membebaskan H+ untuk memperkecil peningkatan pH. Sistem
penyangga ini sangat efektif karena keduanya diatur ketat
oleh ginjal dan paru. HCO3- diatur oleh ginjal sedangkan
sistem pernafasan mengatur CO2 yang menghasilkan H2CO3.
Dengan demikian akan terbentuk reaksi :

H2O + CO2 D H2CO3 D H+ + HCO3

Penambahan asam akan mendorong reaksi ke sisi kiri sedangkan


penurunan konsentrasi H+ atau basa mendorong reaksi ke sisi
kanan. Karbon dioksida dan H2O yang terdisosiasi dalam
plasma akan memebntuk H2CO3 yang menghasilkan tambahan
ion hidrogen untuk mengganti defisit.

Sistem penyangga ini tidak dapat menyangga perubahan pH


yang disebabkan oleh fluktuasi H2CO3. Sistem penyangga
tidak dapat menyangga tubuhnya sendiri. Sebagai contoh,
apabila terjadi retensi CO2 berkaitan dengan masalah
pernafasan maka akan mendorong reaksi ke kanan sehingga
terjadi peningkatan konsentrasi H+. Peningkatan akibat hal
tersebut menyebabkan ion hidrogen tidak mampu mendorong
reaksi ke sisi kanan. Demikian juga, bila terjadi penurunan
konsentrasi ion hidrogen akibat defisit CO2, maka sistem
panyangga tidka akan mampu mengkompensasi penurunan ion
hidrogen. Karena masalah sebenarnya adalah kekurangan CO2
pembentuk H2CO3. Keterbatasan lain yang dimiliki sistem
buffer ini adalah kemampuan penyelenggaraan buffer
bergantung pada ketersediaan dari HCO3-. Oleh karena itu,
ginjal mengaturnya secara ketat. Pengaturan ini akan dibahas
di bagian pengaturan asam-basa oleh Ginjal.

2. Sistem Buffer Fosfat.


Sistem penyangga fosfat berperan penting sebagai penyangga
sistem kemih dan juga menjaga CIS. Sistem buffer ini terdiri
dari garam fosfat asam (NaH2PO4) yang dapat memberikan
sebuah H+ bebas jika [H+] turun (suasana basa) dan sebuah
garam fosfat basa (Na2HPO4) yang dapat menerima sebuah
H+ bebas bila [H+] meningkat (suasana asam). Pada dasarnya,
pasangan penyangga ini dapat secara berganti-ganti menukar
sebuah ion hidrogen untuk sebuah Na+ sesuai tuntutan [H+].
Pasangan fosfat ini konsentrasinya relatif kecil pada CES
sehingga kurang penting sebagai penyangga CES. Manusia
mengkonsumsi lebih banyak fosfat daripada yang dibutuhkan,
kelebihan fosfat yang difiltrasi ginjal tidak direabsorpsi
kembali. Fosfat dieksresikan untuk menyangga urin yang
sedang dibentuk dnegan manrik H+ yang disekresikan ke dalam
cairan tubulus dari larutan.

3. Sistem Buffer Protein


Sistem penyangga protein jumlahnya paling banyak di cairan
tubuh, mencakup protein intrasel dan protein plasma. Protein
tersusun oleh asam amino yang bersifat amfoter, yaitu asam
amino akan membentuk kation pada suasana asam dan
membentuk anion pada suasana basa.
Yang termasuk sistem bufer protein adalah :
bufer asam amino,
bufer hemoglobin
bufer plasma protein
Buffer asam amino

Bila terjadi peningkatan pH atau suasana basa, gugus -- COOH


dari asam amino akan terdisosiasi menjadi asam lemah. Dalam
hal ini asam amino bertindak sebagai donor H+ . Sedangkan bila
terjadi penurunan pH atau suasana asam, gugus -- NH2 dari
asam amino akan bertindak sebagai basa lemah. Dalam hal ini
asam amino bertindak sebagai akseptor H+ menjadi NH3+ (ion
amino).
Buffer Hemoglobin
Sistem penyangga hemoglobin merupakan penyangga utama
terhadap perubahan asam karbonat. Bufer hemoglobin
merupakan bufer intraselular yang bekerja di dalam sel darah
merah. Hemoglobin menyangga H+ yang dibentuk dari CO2
hasil metabolik yang singgah dalam perjalanan anatara jaringan
dan paru. CO2 secara terus menerus berdifusi ke dalam darah
dari sel jaringan tempat gas tersebut dihasilkan. Sebagian
besar CO2 ini membantuk H2CO3 yang akan terurai menjadi
H+ dan HCO3-. Secara bersamaan, sebagian oksihemoglobin
(HbO2) mengeluarkan O2 yang kemudian berdifusi kedalam
sel. Hb tereduksi memiliki afinitas yang lebih besar terhadap
H+. Dengan demikian, sebagian besar H+ yang dihasilkan oleh
CO2 akan terikat ke Hb.

H+ + Hb = HHb

Di paru reaksinya berbalik. Sewaktu Hb menyerap O2 yang


berdifusi dari alveolus ke dalam sel darah merah, afinitas Hb
untuk H+ menurun sehingga H+ dilepaskan. Ion hidrogen
tersebut kemudian berikatan dengan HCO3- membentuk
H2CO3 yang kemudia menghasilkan CO2 untuk dikeluarkan
melalui paru.

Buffer Protein Plasma


Bila pH ECF menurun (asam) , sel akan memompa H+ keluar ECF
ke ICF dan akan di bufer oleh protein ICF. Bila pH ECF
meningkat (basa), H+ akan dipompa dari ICF ke ECF.
Perpindahan ion hidrogen tersebut akan digantikan oleh K+ .

Sistem Pernafasan

Sistem pernafasan berperan penting dalam keseimbangan


asam-basa karena kemampuannya mengubah ventilasi paru dan
dnegan demikian mengubah kecepatan eksresi CO2 penghasil
H+. Jika konsentrasi ion hidrogen arteri meningkat pusat
pernafasan dibatang otak seacra refleks akan terangsang
untuk meingkatkan ventilasi paru (kecepatan dan kedalaman
meningkat) sehingga lebih banyak CO2 yang dihembuskan ke
luar. Sebaliknya, apabila konsentrasi hidrogen menurun, makan
ventilasi paru akan berkurang. Akibatnya bernafas akan lebih
dangkal dan lambat. Selanjutnya, CO2 hasil metabolisme akan
berdifusi ke dalam darah lebih cepat dari pada pengeluaran
gas tersebut dari darah oleh paru, sehingga terjadi
penimbunan lebih banyak CO2 dalam darah. Paru sangat
penting dalam mempertahankan konsentrasi ion hidrogen dalam
plasma. Setiap hari paru mengeluarkan dari cairan tubuh H+
yang berasal dari asam karbonat dalam jumlah seratus kali
lipat lebih banyak dibandingkan dengan jumlah H+ yang
dikeluarkan oleh ginjal dari sumber-sumber asam non-
karbonat. Pengaturan oleh sistem pernafasan bekerja dengan
kecepatan sedang dan hanya aktif berperan jika sistem
penyangga kimiawi saja tidak mampu meminimalkan perubahan
konsentrasi ion hidrogen. Sistem ini berfungsi sebagai lini
pertahanan kedua terhadap perubahan [H+]. Namun, tentu
saja, jika perubahan [H+] terjadi akibat fluktuasi [CO2] yang
timbul akibat gangguan pernafasan mekanisme pernafasan
sama sekali tidak mampu mengkompensasi asidosis dengan
pengeluaran CO2.

Ginjal

Merupakan lini pertahanan ketiga. Namun, ginjal merupakaan


mekanisme pengatur asam-basa paling kuat; ginjal tidak saja
mengubah-ubah pengeluaran [H+] tapi juga menahan atau
mengeliminasi HCO3- bergantung pada kondisi tubuh. Ginjal
mampu memulihkan pH ke arah normal secara lebih efektif
daripada paru, yang hanya dapat menyesuaikan jumlah CO2
pembentuk [H+] di tubuh. Ginjal mengontrol pH cairan tubuh
dengan menyesuaikan tiga faktor :
1. Eksresi ion hidrogen
2. Eksresi HCO3-
3. Sekresi Amonia
Eksresi Ion Hidrogen
Ion hidrogen yang terbentuk akibat aktivitas metabolik tidak
boleh dibiarkan menumpuk. Ion hidrogen harus dieliminasi dari
tubuh. Paru hanya mampu mengeluarkan asam karbonat melalui
eliminas CO2. Tugas untuk mengeliminasi H+ yang berasal dari
asam sulfat, fosfat, laktat, dan asam lain terletak pada ginjal.
Ginjal mengeluarkan asam yang dihasilkan dari sumber-sumber
asam non karbonat secara terus menerus.Karena ginjal dalam
keadaan normal mensekresika H+, urin biasanya asam dengan
pH rata-rata 6.0. Namun, organ tersebut dapat mengubah-
ubah kecepatan sekresi H+nya untuk mengkompensasi
perubahan ion hidrogen yang timbul dari kelainan konsentrasi
asam karbonat. Apabila [H+] plasma yang melewati kapiler
peritubulus meningkat di atas normal, sel-sel tubulus akan
berespon dengan mensekresikan H+ dalam jumlah yang lebih
daripada normal dari plasma ke dalam cairan tubulus untuk
dieksresikan di urin.

Proses sekresi H+ berawal di sel-sel tubulus dengan CO2 yang


datang dari tiga sumber yaitu CO2 yang berdifusi ke dalam sel
tubulus baik dari plasma ataupun cairan tubulus atau CO2 yang
diproduksi secara metabolis di dalam sel tubulus. CO2
tersebut kemudian akan berikatan dengan H2O menjadi
H2CO3 yang kemudian akan terurai menjadi H+ dan HCO3-.
Suatu pembawa yang bergantung energi di membran luminal
kemudian mengangkut H+ ke luar sel ke dalam lumen tubulus. Di
bagian nefron, pembawa ini mengangkut Na+ yang berasal dari
filtrat glomerulus ke arah yang berlawanan sehingga sekresi
H+ dan reabsorpsi Na+ secara parsial berkaitan.
Apabila [CO2] plasma meningkat kecepatan sekresi H+ juga
akan meningkat, begitupun sebaliknya.

Eksresi Bikarbonat
Ginjal mengatur keberadaan ion bikarbonat melalui dua
mekanisme :
1. Reabsorpsi kembali HCO3- yang difiltrasi ke dalam plasma di
tubulus proksimalis
2. Penambahan HCO3- baru ke plasma pada tubulus distalis
untuk menggantikan HCO3- yg dipakai oleh asam yang tdk
menguap (HCL, H3PO4, H2SO4 dan as. organik) dlm drh hasil
proses metabolisme.
Bikarbonat dengan bebas difiltrasi, tetapi karena membran
luminal tidak permeable terhadap HCO3- yang difiltrasi
tersebut, zat ini tidak dapt berdifui ke dalam sel tersebut.
Dengan demikian, reabsorpsi dilakukan secara tidak langsung.
Ion hidrogen berikatan dengan bikarbonat membentuk H2CO3
dibawah penagruh karbonat anhidrase, terurai menjadi CO2
dan H2O. CO2 kemudian dengan mudah menembus membran
tubulus. Selanjutnya CO2 tersebut kembali berikatan dengan
H2O membentuk H2CO3 yang terurai menjadi H+ dan HCO3-.
Selanjutnya, HCO3- yang terbentuk dapat berdifusi pasif ke
luar sel dan kedalam plasma kapiler-peritubulus.

Dalam keadaan normal, ion hidrogen yang disekresikan sedikit


lebih banyak dibandingkan dnegan ion bikarbonat yang
difiltrasi. Dengan demikian, semua HCO3- yang difiltrasi
direabsorpsi karena ketersediaan H+ di cairan tubulus untuk
berikatan dengannya dan membentuk CO2 yang mudah
direabsorpsi. Kelebihan sedikit ion hidrogen akan dieksresikan
oleh urin. Pada saat semua HCO3- yang difiltrasi telah
direabsorpsi dan terbentuk sekresi H+ tambahan sebagai hasil
dari disosiasi H2CO3 yang terbentuk. Sekresi Ion hidrogen
tambahan tersebut akan berikatan dengan penyangga urin,
terutama fosfat basa (HPO4-2) dan kemudian dieksresikan.

Pada saat asidosis, akan lebih banyak ion hidrogen yang


disekresikan dibandingkan normal, dan pada saat yang sama
lebih sedikit HCO3- yang difiltrasi karena ion tersebut
dibutuhkan untuk menyangga kelebihan H+. Peningkatan
ketidaksamaan antara HCO3- yang difiltrasi dan H+ yang
disekresi menyebabkan pH urin menjadi lebih asam. Pada
situasi alkalosis, kecepatan sekresi ion hidrogen akan
berkurang dan kecepatan filtrasi HCO3- akan meningkat
dibandingkan normal. Oleh karena itu, tidak semua HCO3- yang
difiltrasi akan direabsorpsi karena ion bikarbonat lebih banyak
dibanding ion hidrogen. Kelebihan HCO3- akan dibuang lewat
urin, dan membuat urin menjadi lebih basa.

Sekresi Amonia
Penyangga urin yang penting meliputi penyangga fosfat yang
difiltrasi dan amonia yang disekresi. Dalam keadaan normal, H+
yang disekresikan pertama-tama disangga oleh sistem
penyangga fosfat, yang berada di cairan tubulus karena
kelebihan ingesti fosfat telah difiltrasu tetapi tidak
direabsorpsi. Jika sekresi H+ meningkat kapasitas fosfat urin
untuk menyangga akan terlampaui, tetapi ginjal tidak berespon
dengan mensekresikan lebih banyak fosfat basa. Setelah
semua ion fosfat basa yang disekresikan menghisap H+,
keasaman cairan tubulus dengan cepat meningkat. Jika
terdapat asidosis, sel-sel tubulus mensekresikan NH3 ke
dalam cairan tubulus setelah penyangga fosfat urin menjadi
jenuh. Keberadaan NH3 ini memungkinkan ginjal terus
mensekresikan tambahan ion H+ karena NH3 akan berikatan
dengan H+ bebas dicairan tubulus untuk membentuk ion
amonium (NH4+)

NH4+NH3 + H+

Membran tubulus tidak permeable untuk ion amonium sulfat


sehingga ion tersebut akan dikeluarkan bersama urin. Sekresi
NH3+ selama asidosis berfungsi untuk menyangga kelebihan H+
di cairan tubulus, sehingga dapat disekresikan H+ dalam jumlah
besar ke dalam urin sebelum pH turun ke nilai batas 4.5
Apabila tidak terdapat sekresi NH3+, tingkat sekresi H+ akan
dibatasi sesuai dengan kapasitas penyangga fosfat yang
kebetulan ada karena kelebihan dalam makanan. NH3+ sengaja
disintesis dari asam amino glutamin di dalam sel-sel tubulus,
kemudian berdifusi mengikuti penurunan gradien konsentrasi
ke dalam cairan tubulus.
Ketidaseimbangan asam-basa dapat terjadi akibat disfungsi
pernafasan atau gangguan metabolik, perubahan pH karena
gangguan pernafasan akan berkaitan dnegan [CO2]. Sedangkan
gangguan pH yang disebabkan oleh gangguan metabolisme akan
berkaitan dengan kelainan HCO3- akibat partisipasi Hco3-
dalam menyangga kelainan jumlah H+ yang berasal dari asam-
asam non karbonat. Didapatkan empat kondisi, yaitu :
1. Asidosis metabolik
2. Asidosis respiratorik
3. Alkalosis metabolik
4. Alkalosis respiratorik

Asidosis dan alkalosis bukan merupakan suatu penyakit tetapi


lebih merupakan suatu akibat dari sejumlah penyakit.
Terjadinya asidosis dan alkalosis merupakan petunjuk penting
dari adanya masalah metabolisme yang serius. Asidosis dan
alkalosis dikelompokkan menjadi metabolik atau respiratorik,
tergantung kepada penyebab utamanya. Asidosis metabolik dan
alkalosis metabolik disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam
pembentukan dan pembuangan asam atau basa oleh ginjal.
Asidosis respiratorik atau alkalosis respiratorik terutama
disebabkan oleh penyakit paru-paru atau kelainan pernafasan.

Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik adalah keasaman darah yang berlebihan,
yang ditandai dengan rendahnya kadar bikarbonat dalam darah.
Bila peningkatan keasaman melampaui sistem penyangga pH,
darah akan benar-benar menjadi asam.
Seiring dengan menurunnya pH darah, pernafasan menjadi
lebih dalam dan lebih cepat sebagai usaha tubuh untuk
menurunkan kelebihan asam dalam darah dengan cara
menurunkan jumlah karbon dioksida. Pada akhirnya, ginjal juga
berusaha mengkompensasi keadaan tersebut dengan cara
mengeluarkan lebih banyak asam dalam air kemih. Tetapi kedua
mekanisme tersebut bisa terlampaui jika tubuh terus menerus
menghasilkan terlalu banyak asam, sehingga terjadi asidosis
berat dan berakhir dengan keadaan koma.
Penyebab
Penyebab asidosis metabolik antara lain :
1. Diare berat yang menyebabkan kehilangan HCO3- dari
tubuh.
2. Diabetes Melitus dimana kelainan metabolisme lemak terjadi
akibat ketidakmampuan sel manggunakan glukosa karena tidak
terdapat insulin akan menyebabkan pembentukan berlebihan
asam-asam keto.
3. Olehraga berlebihan, dimana terjadi kelebihan produksi
asam laktat
4. Asidosis uremik, pada gagal ginjal berat, ginjal tidak mampu
mengeksresika H+ sehingga terjadi penimbunan, ginjal juga
tidak mampu menghemat HCO3- dalam jumlah yang adekuat
untuk digunakan sebagai penyangga beban asam normal.
Gejala
Asidosis metabolik ringan bisa tidak menimbulkan gejala,
namun biasanya penderita merasakan mual, muntah dan
kelelahan. Pernafasan menjadi lebih dalam atau sedikit lebih
cepat, namun kebanyakan penderita tidak memperhatikan hal
ini. Sejalan dengan memburuknya asidosis, penderita mulai
merasakan kelelahan yang luar biasa, rasa mengantuk, semakin
mual dan mengalami kebingungan. Bila asidosis semakin
memburuk, tekanan darah dapat turun, menyebabkan syok,
koma dan kematian.

Diagnosa
Diagnosis asidosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil
pengukuran pH darah yang diambil dari darah arteri (arteri
radialis di pergelangan tangan). Darah arteri digunakan sebagai
contoh karena darah vena tidak akurat untuk mengukur pH
darah. Untuk mengetahui penyebabnya, dilakukan pengukuran
kadar karbon dioksida dan bikarbonat dalam darah. Mungkin
diperlukan pemeriksaan tambahan untuk membantu
menentukan penyebabnya.
Misalnya kadar gula darah yang tinggi dan adanya keton dalam
urin biasanya menunjukkan suatu diabetes yang tak terkendali.
Adanya bahan toksik dalam darah menunjukkan bahwa asidosis
metabolik yang terjadi disebabkan oleh keracunan atau
overdosis. Kadang-kadang dilakukan pemeriksaan air kemih
secara mikroskopis dan pengukuran pH air kemih.

Pengobatan
Pengobatan asidosis metabolik tergantung kepada
penyebabnya. Sebagai contoh, diabetes dikendalikan dengan
insulin atau keracunan diatasi dengan membuang bahan racun
tersebut dari dalam darah. Kadang-kadang perlu dilakukan
dialisa untuk mengobati overdosis atau keracunan yang berat.
Asidosis metabolik juga bisa diobati secara langsung. Bila
terjadi asidosis ringan, yang diperlukan hanya cairan intravena
dan pengobatan terhadap penyebabnya. Bila terjadi asidosis
berat, diberikan bikarbonat mungkin secara intravena.

Asidosis Respiratorik
Asidosis respiratorik adalah keasaman darah yang berlebihan
karena penumpukan karbondioksida dalam darah sebagai akibat
dari fungsi paru-paru yang buruk atau pernafasan yang lambat.
Berikut adalah klasifilaksinya :
1. Asidosis Respiratori Akut.
Terjadi jika komponen ginjal belum berjalan dan HCO3- masih
dalam keadaan normal. Seperti pada edema pulmonal akut,
aspirasi benda asing, atelektasis, pneumutorak, syndrome tidur
apnea, pemberian oksigen pada pasien hiperkapnea kronis
(kelebihan CO2 dalam darah).

2. Asidosis Respiratorik Kronis.


Jika kompensasi ginjal telah berjalan dan HCO3- telah
meningkat. Terjadi pada penyakit pulmonari seperti emfisema
kronis dan bronchitis, apnea tidur obstruktif.

Etiologi asidosis respiratori

1. Hambatan Pada Pusat Pernafasan Di Medula Oblongata.


a. Obat-obatan : kelebihan dosis opiate, sedative, anestetik
(akut).
b. Terapi oksigen pada hiperkapnea kronik.
c. Henti jantung (akut).
d. Apnea saat tidur.

2. Gangguan Otot-Otot Pernafasan Dan Dinding Dada.


a. Penyakit neuromuscular : Miastenia gravis, poliomyelitis,
sclerosis lateral amiotropik.
b. Deformitas rongga dada : Kifoskoliosis.
c. Obesitas yang berlebihan.
d. Cedera dinding dada seperti patah tulag-tulang iga.

3. Gangguan Pertukaran Gas.


a. PPOM (emfisema dan bronchitis).
b. Tahap akhir penyakit paru intrinsic yang difus.
c. Pneumonia atau asma yang berat.
d. Edema paru akut.
e. Pneumotorak.

4. Obstruksi Saluran Nafas Atas Yang Akut.


a. Aspirasi benda asing atau muntah.
b. Laringospasme atau edema laring, bronkopasme berat.

5. Hipofentilasi dihubungkan dengan eenurunan fungsi pusat


pernafasan seperti trauma kepala, sedasi berlebihan,
anesthesia umum, alkalosis metabolic.

Gejala pertama berupa sakit kepala dan rasa mengantuk. Jika


keadaannya memburuk, rasa mengantuk akan berlanjut menjadi
stupor (penurunan kesadaran) dan koma.Stupor dan koma
dapat terjadi dalam beberapa saat jika pernafasan terhenti
atau jika pernafasan sangat terganggu; atau setelah berjam-
jam jika pernafasan tidak terlalu terganggu.Ginjal berusaha
untuk mengkompensasi asidosis dengan menahan bikarbonat,
namun proses ini memerlukan waktu beberapa jam bahkan
beberapa hari.

Penatalaksanaan
1. Pengobatan Diarahkan Untuk Memperbaiki Ventilasi Efektif
Secepatnya Dengan :
a. Pengubahan posisi dengan kepala tempat tidur keatas atau
posisi pasien dalam posisi semi fowler (memfasilitasi ekspansi
dinding dada).
b. Latih untuk nafas dalam dengan ekspirasi memanjang
(meningkatkan ekshalosi CO2).
c. Membantu dalam ekspektorasi mucus diikuti dengan
penghisapan jika diperlukan (memperbaiki fentilasi perfusi).
2. Pemberian preparat farmakologi yang digunakan sesuai
indikasi. Contohnya : bronkodilator membantu menurunkan
spasme bronchial, dan antibiotic yang digunakan untuk infeksi
pernafasan.
3. Tindakan hygiene pulmonary dilakukan, ketika diperlukan,
untuk membersihkan saluran pernafasan dari mucus dan
drainase purulen.
4. Hidrasi yang adekuat (2-3e/hari) diindikasikan untuk
menjaga membrane mukosa tetap lembab dan karenanya
memfasilitasi pembuangan sekresi.
5. Kadar O2 yang tinggi (750%) aman diberikan pada pasien
selama 1-2 hari bilamana tidak ada riwayat hiperkapnea kronik.

6. Ventilasi mekanik, mungkin diperlukan jika terjadi krisis


untuk memperbaiki ventilasi pulmonary.
7. Pemantauan gas darah arteri secara ketat selama perawatan
untuk mendeteksi tanda-tanda kenaikan PaCO2 dan
kemunduran ventilasi alveolar.

Alkalosis Metabolik
Alkalosis Metabolik adalah suatu keadaan dimana darah dalam
keadaan basa karena tingginya kadar bikarbonat. Alkalosis
metabolik terjadi jika tubuh kehilangan terlalu banyak asam.S
ebagai contoh adalah kehilangan sejumlah asam lambung selama
periode muntah yang berkepanjangan atau bila asam lambung
disedot dengan selang lambung (seperti yang kadang-kadang
dilakukan di rumah sakit, terutama setelah pembedahan
perut). Pada kasus yang jarang, alkalosis metabolik terjadi
pada seseorang yang mengkonsumsi terlalu banyak basa dari
bahan-bahan seperti soda bikarbonat. Selain itu, alkalosis
metabolik dapat terjadi bila kehilangan natrium atau kalium
dalam jumlah yang banyak mempengaruhi kemampuan ginjal
dalam mengendalikan keseimbangan asam basa darah.

Penyebab utama akalosis metabolik:


# Penggunaan diuretik (tiazid, furosemid, asam etakrinat)
# Kehilangan asam karena muntah atau pengosongan lambung
# Kelenjar adrenal yang terlalu aktif (sindroma Cushing atau
akibat penggunaan kortikosteroid).

Alkalosis metabolik dapat menyebabkan iritabilitas (mudah


tersinggung), otot berkedut dan kejang otot; atau tanpa gejala
sama sekali. Bila terjadi alkalosis yang berat, dapat terjadi
kontraksi (pengerutan) dan spasme (kejang) otot yang
berkepanjangan (tetani). Diagnosa dilakukan pemeriksaan
darah arteri untuk menunjukkan darah dalam keadaan basa.
Pengobatan biasanya alkalosis metabolik diatasi dengan
pemberian cairan dan elektrolit (natrium dan kalium). Pada
kasus yang berat, diberikan amonium klorida secara intravena.

Alkalosis Respiratorik
Alkalosis Respiratorik adalah suatu keadaan dimana darah
menjadi basa karena pernafasan yang cepat dan dalam
menyebabkan kadar karbondioksida dalam darah menjadi
rendah. Penyebabnya antara lain pernafasan yang cepat dan
dalam yang disebut hiperventilasi, yang menyebabkan terlalu
banyaknya jumlah karbondioksida yang dikeluarkan dari aliran
darah. Penyebab hiperventilasi yang paling sering ditemukan
adalah kecemasan. Penyebab lain dari alkalosis respiratorik
adalah:
- rasa nyeri
- sirosis hati
- kadar oksigen darah yang rendah
- demam
- overdosis aspirin.

Alkalosis respiratorik dapat membuat penderita merasa cemas


dan dapat menyebabkan rasa gatal disekitar bibir dan wajah.
Jika keadaannya makin memburuk, bisa terjadi kejang otot dan
penurunan kesadaran. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil
pengukuran kadar karbondioksida dalam darah arteri. pH
darah juga sering meningkat. Biasanya satu-satunya
pengobatan yang dibutuhkan adalah memperlambat pernafasan.
Jika penyebabnya adalah kecemasan, memperlambat
pernafasan bisa meredakan penyakit ini.Jika penyebabnya
adalah rasa nyeri, diberikan obat pereda nyeri.
Menghembuskan nafas dalam kantung kertas (bukan kantung
plastik) bisa membantu meningkatkan kadar karbondioksida
setelah penderita menghirup kembali karbondioksida yang
dihembuskannya.Pilihan lainnya adalah mengajarkan penderita
untuk menahan nafasnya selama mungkin, kemudian menarik
nafas dangkal dan menahan kembali nafasnya selama mungkin.
Hal ini dilakukan berulang dalam satu rangkaian sebanyak 6-10
kali.Jika kadar karbondioksida meningkat, gejala hiperventilasi
akan membaik, sehingga mengurangi kecemasan penderita dan
menghentikan serangan alkalosis respiratorik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood, Lauralee. Human Physiology. 6thed. USA: The


Thomson Corporation. 2007.
2. Guyton A.C. Physiology of The Human Body. 5th ed.
Philadelphia: W.B. Saunders Company. 1979.
3. Mark DB, Mark AD, Smith CM. Basic MedicalBiochemistry:
A Clinical Approach. Williams & Wilkins. 1996.
4. Yaseen S. Metabolic Alkalosis. 18 Agustus. 2009. Diunduh
dari http://emedicine.medscape.com/article/243160-
overview. Pada tanggal 17 Maret 20:37.
5. Quinn A. Metabolic Acidosis. 13 November 2009. Diunduh
dari http://emedicine.medscape.com/article/768268-
overview. Pada tanggal 17 Maret 20:39.
6. Minaoui WE. Respiratory Acidosis. 2 April 2009. Diunduh
dari http://emedicine.medscape.com/article/301574-
overview. Pada tanggal 17 Maret 20:41
7. Drwiega AL. Respiratory Alkalosis. 12 Februari 2009.
Diunduh dari

Anda mungkin juga menyukai