Anda di halaman 1dari 4

Pandanganku masih terpaku.

Seperti biasa, semut merah berusaha merambat jempol


kakiku yang dibalut sarung kaki. Sendiri, dingin di sini selalu memahami, ilalang kian bosan
menyambut kehadiranku, batu bertulis tanggal tanda kehidupan tidak lagi menjamu
bahkan berpaling dan tanah tidak lagi menyambutku di musim ini. Paling tidak sebelumnya
mereka berbondong menyambutku terlepas dari kawan-kawanku yang tak acuh

.
- -

... .

Dia selalu sendiri, melamun dan menyendiri dalam sepi. Hanya batu-batu bertulis nama
dan tanggal kehidupan yang menemaninya. Seakan-akan apa yang ada di dalamnya hidup.
Dia aneh iya tapi aku terpaku tetap selalu memperhatikannya.

.. .. .. .. .

Entah semut mana yang meradarkan kesendirianku, berkawan dengan batu-batu pucat ini,
karena hidupku tiba-tiba terhenyak oleh kalimat sedang apa kau di sini ? ya, kalimat gadis
manis yang sudi, melihatku aneh, atau iba ? Aku tak mengerti apa yang dipikirkannya.
Kemudian aku menjawab, karena harus senang atau terkejut, aku tak tahu. Ya Tuhan,
sungguh itu bukan jawaban dan berhenti sebatas tenggorokan.

." "

" .

" .

.
Sedang menyendiri dari keramaian, sebuah kalimat yang sudah kuduga setelah jeda yang
membuatku berpikir dia enggan menjawab. Kata demi kata menari dalam suasana kala itu.
Dihiasi tawa dan senyum, dia tak seperti yang mereka pikirkan.

" "

. .

Dia wanita yang luar biasa. Baik hati dan pendiam. Dia menceritakan segalanya dan
bagaimana alunan di setiap pengalamannya. Dia lucu dan menyenangkan.

. . .

Dia lelaki hebat. Aku tahu dia bukan seorang pengecut yang tak berani menghadapi
kenyataan karena saling menyendiri, saling mengisi dalam sepi. Dia berbakat. Dia sangat
pandai.

. .

Bagaimanapun juga, percakapan ringan beberapa hari lalu berhasil membuatku terkoyak.
Terkadang tersenyum-senyum sendiri bersamaan dengan tubuhku yang menggigil hebat.


Apa yang harus aku perbuat?, pertanyaan itu menyanding sejak beberapa saat. Tidak ada
sisa makan karena tidak ada makanan yang dapat dicerna. Lidahku kelu, demam menguras
habis tenagaku. Lunglai dan lesu membuat tubuh ini bukan lagi apa bahkan tak berguna.
Otak tak dapat lagi memberi maknanya seperti biasa. Mengabaikan kertas dan pena di
hadapanku, apalagi kemesraanku dengan batu-batu pucat yang telah menjadi kawan
hidupku. Senyumku tidak lagi tersisa, selain sirat bayang yang bolak-balik mengelilingi
dunia rencanaku. Meski aku tahu, akan berjalan rancu, namun kutegaskan diri untuk
melakukan sesuatu. Ya sesuatu.

. .

. .

....

Aku belum membukanya. Sebuah lipatan rapi berdiri di meja belajar. Mengapa aku ragu ?
apa yang aku takutkan. Jemariku menari, membuka setiap lipatan rapi itu. Gemuruh badai
menderu kalbu saat benar aku membaca

. . .

Salahkan yang aku lakukan? Kertas pudar yang aku berikan ?. bagaimana nasibnya ?
apakah berbalik meracuninya. Tiga hari aku terbaring, membuatku kehilangan senyum
manis dan tawanya setelah itu!

. .

Hanya terdiam, terpaku, aku tak tahu ini apa. Aku tak merasa tubuhku sakit tapi jiwa ini
gemetar . jasmani ini tak mampu merayu rohaniku untuk bergerak. Tubuhku menggigil.
Hanya itu yang bisa aku lakukan. Aku dan dia harus bertemu
. .

. .

Bertemu? Pisau tak diasah seakan mengiris tubuhku. Aku harus berbuat apa? Aku tidak
ingin lemah di hadapannya. Aku harus menemuinya apapun yang terjadi.

. .

Terdiam ya kita hanya terdiam. Tak ada sepatah kata selain sepatu dan gelang yang saling
beradu melodi.

... .

..

.. suara kita bersautan. Menyisakan gema yang tak berarti namun mencairkan hati.
Kami tertawa lepas. Seakan tak terjadi apa-apa. Itu yang aku rindukan. Aku harus
mengatakan

. . .

. ...

Semburat rona merah mewarnai pipiku. Senyum indah mendarat dalam pandanganku. Aku
pun tersenyum sembari membalas perkataannya

Anda mungkin juga menyukai