Anda di halaman 1dari 24

APLIKASI KEPEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNENCE) SEBAGAI TREN

Pendahuluan
Selama ini masyarakat Indonesia lebih mengenal istilah pemerintah dan
pemerintahan (government) daripada istilah kepemerintahan (governance). Namun
seiak dikembangkannya konsep kepemerintahan yang baik, istilah governance ini
menjadi semakin populer, dengan pengertian dan terjemahan yang berbeda-beda. Ada
di antaranya yang menerjemahkan istilah ini dengan kepemerintahan, pemerintan, tata
pemerintahan, dan penyelenggaraan negara. Dalam banyak kesempatan istilah ini
dibiarkan dalam bentuk aslinya karena sulit dicarikan padanannya dan selanjutnya
digunakan istilah kepemerintahan yang baik.
Menurut Gani-Rochman dalam Widodo (2002:18) konsep government menunjuk
pada organisasi pengelolaan berdasarkan kewenangan tertinggi (negara dan
pemerintah). Dalam hal ini pemerintah dipahami sebagai institusi yang mempunyai
kekuasaan dan kewenangan untuk memaksa semua penduduk di wilayahnya, serta
mengontrol pengaruh internasional atas kebijakan domestik dan institusinya.
Pemerintah adalah omnipotent (segala-galanya) di atas wilayah dan rakyatnya.
Berbeda dari konsep governance, yang melibatkan tidak sekedar pemerintah dan
negara, tetapi iuga peran berbagai aktor di luar pemerintah dan negara, yaitu dunia
usaha dan masyarakat sehingga pihakpihak yang terlibat lebih luas. Governance
dipahami sebagai mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang
melibatkan pengaruh sektor pemerintah dan sektor non pemerintah dalam suatu
kegiatan kolektif dan kolaboratif. Dalam kaitan ini, konsep dan gerakan kepemerintahan
yang baik jelas memerlukan reformasi birokrasi dalam rangka mendefinisi peran
pemerintah dalam tata pemerintah yang dilakukan secara kolaboratif antara pemerintah,
lembaga non-pemerintah (masyarakat sipil) dan institusi swasta secara balance dan multi
arah (partisipasi). Hubungan tersebut dapat digambarkan dalam diagram sebagai
berikut.

131
Pemerintah, Swasta/bisnis, dan Masyarakat
Dalam pelaksanaan kepemerintahan yang baik menurut Dwiyanto (2005:81)
sekurang-kurangnya terdapat enam prinsip sebagai acuan:
1. Dalam kolaborasi yang dibangun, negara tetap bermain sebagai figur kunci, namun
tidak mendominasi, yang memiliki kapasitas untuk mengoordinasi (bukan
memobilisasi) aktor-aktor pada institusi-institusi semi dan non~pemerintah, untuk
mencapai tujuan-tujuan publik.
2. kekuasaan yang dimiliki negara harus ditransformasikan dari yang semula dipahami
sebagai kekuasaan atas, menjadi kekuasaan untuk menyelenggarakan kepentingan,
memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan masalah publik.
3. Negara, lembaga non pemerintah/swasta dan masyarakat lokal merupakan aktor-
aktor yang memiliki posisi dan peran yang saling menyeimbangkan.
4. Negara harus mampu mendesain ulang struktur dan kultur organisasinya agar siap
dan mampu menjadi katalisator bagi institusi lainnya untuk menjalin sebuah
kemitraan yang kokoh, otonom, dan dinamis.
5. Negara harus melibatkan semua pilar masyarakat dalam proses kebijakan mulai dari
formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan serta pemberian layanan publik.
6. Negara harus mampu meningkatkan kualitas responsivitas, adaptasi dan akuntabilitas
publik dalam penyelenggaraan kepentingan, pemenuhan kebutuhan, dan
penyelesaian masalah publik.
Sementara itu, menurut UNDP (United Nation Development Program) dalam
Lembaga Administrasi Negara (2004:22-23), kepemerintahan yang baik memiliki
sembilan prinsip sebagai berikut.

132
1. Partisipasi, dalam pengertian setiap warga negara mempunyai suara dalam
pembuatan keputusan yang dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi, berbicara,
dan berpartisipasi secara konstruktif.
2. Taat hukum (rule of law), yaitu kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa
diskriminasi, khususnya dalam rangka perlindungan hak asasi manusia.
3. Transparansi, dalam pengertian keterbukaan dan kebebasan dalam arus informasi
sehingga mudah diterima oleh mereka yang membutuhkan.
4. Responsif, dalam pengertian daya tanggap organisasi terhadap harapan, keinginan,
dan aspirasi serta tuntutan masyarakat.
5. Konsensus, dalam pengertian demokratis yang memberikan pilihan-pilihan terbaik
bagi semua kepentingan yang berbeda-beda demi kepentingan yang lebih luas, baik
dalam kebijakan maupun prosedur-prosedur.
6. Setara dan inklusif, dalam pengertian perlakuan yang sama bagi semua warga negara
tanpa membeda-bedakan status sosial ekonomi, suku, agama, dan sebagainya dalam
memperoleh kesejahteraan.
7. Efektif dan efisien, dalam pengertian segala sesuatu yang dihasilkan sesuai dengan
apa yang digariskan dan dengan input yang minimal, dapat berupa uang, tenaga dan
materi lain yang digunakan untuk menghasilkan atau mencapai output.
8. Akuntabilitas, dalam pengertian bahwa para pembuat keputusan dalam
pemerintahan sektor swasta dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan
lembaga-lembaga stakeholders.
9. Visi strategis (Strategic vision), dengan pengertian para pemimpin dan publik harus
mempunyai perspektif kepemerintahan yang baik dan pengembangan sumber daya
manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk
pembangunan.
BUILD dalam Lembaga Administrasi Negara (2004: 23-24) menyebutkan 10 prinsip
yang mirip dengan UNDP kecuali konsensus dan dengan menambahkan prinsip
profesional dan pengawasan. Prinsip profesional dalam pengertian tingginya landasan
pengetahuan dan moral dalam pelaksanaan tugas dan pelayanan kepada masyarakat.
Sedangkan pengawasan dalam pengertian pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dengan melibatkan swasta dan masyarakat luas.

133
Dalam penjelaaan Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000 tentang Diklat
Jabatan Pegawai Negeri Sipil terdapat 10 prinsip dalam konsep kepemerintahan yang
baik adalah: profesionalitas, akuntabilitas, transparansi dan keterbukaan, pelayanan
prima, demokratis, supremasi hukum, efektif dan efisien, serta diterima masyarakat.
Secara konseptual hubungan antara komponen-komponen dalam kepemerintahan
yang baik itu bersifat mutualistik dan saling mendukung. Misalnya, efektivitas dan
efisiensi sumber daya dalam mencapai tujuannya dalam menyejahterakan bangsa,
menuntut tingkat akuntabilitas yang tinggi dari penyelenggara negara (pemerintah).
Sedangkan untuk dapat tercapainya tingkat akuntabilitas yang tinggi diperlukan adanya
partisipasi publik; tanpa adanya partisipasi publik untuk mengamankan (safeguard)
proses penyelenggaraan negara, sulit diharapkan terwujudnya akuntabilitas dan
penegakan hukum dengan baik. Di lain pihak, partisipasi publik tidak mungkin dapat
berjalan dengan efektif tanpa adanya transparansi yang memberi hak publik untuk
mengakses informasi yang dimiliki oleh pemerintah. Sebaliknya, transparansi sendiri
tidak mungkin tercipta jika pemerintah tidak bertanggung gugat dan tidak ada jaminan
hukum atas hak publik untuk mengakses berbagai informasi tersebut. Jadi, komponen
satu dengan lainnya saling terkait dan sulit untuk dapat berjalan sendiri-sendiri tanpa
adanya dukungan dari komponen lainnya.
Untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik diperlukan reformasi birokrasi yang
mengubah paradigma lama dengan ciri-ciri sentralistik, pendekatan kekuasaan, kurang
transparan, dan lain-lain dengan paradigma baru yang berciri desentralisasi, pendekatan
pelayanan publik, transparansi, dan lain-lain.
Dalam upaya mewujudkan kepemerintahan yang baik, peranan aparatur PNS
sangat strategis, namun pada saat ini kondisinya belum sepenuhnya mampu
mendukung pelaksanaan reformasi birokrasi. Beberapa kendala (Menpan, 2003 :2) yang
menghambat adalah sebagai berikut.
1. Kelembagaan pemerintah belum sepenuhnya berdasarkan prinsip-
prinsip organisasi yang efisien dan rasional proporsional.
2. Sistem manajemen kepegawaian belum mampu mendorong peningkatan
profesionalitas, kompetensi, dan remunerasi yang adil dan beban kerja, sebagaimana
UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

134
3. Sistem dan prosedur kerja di lingkungan aparatur negara belum efisien dan efektif.
4. praktik KKN yang belum sepenuhnya teratasi.
5. Pelayanan publik belum sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat.
6. Terabaikannya nilai-nilai etika dan budaya kerja dalam birokrasi sehingga melemahkan
disiplin kerja, etos kerja, dan produktivitas kerja.

Konsep Profesionalisme dan Aplikasi Pelayanan Publik

Istilah profesionalisme sudah dikenal luas di kalangan masyarakat. Pengertian yang


muncul di masyarakat umum seolah-olah hanya untuk personal tingkat manajer,
padahal sesungguhnya istilah profesional itu berlaku untuk semua aparatur mulai dari
tingkat atas sampai ke tingkat paling bawah.
Untuk memahami pengertian profesionalisme perlu diketahui beberapa pendapat yang
dikemukakan para pakar sebagai berikut.
1. Menurut Almasdi (2000:99) pengertian profesional secara sederhana dapat diartikan
sebagai kemampuan dan keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan menurut
bidang dan tingkatan masing-masing. Oleh karena itu, seseorang atau tenaga
profesional tidak dapat dinilai dari satu segi saja, tetapi harus dari segala segi. Di
samping keahlian dan keterampilannya juga perlu diperhatikan mentalitasnya.
2. Menurut Pamudji (1994: 20-21), profesionalisme adalah: a vocation or occupation
requieing advanced training in some liberal art or science and usually involving mental
rather than manual work, as teaching, engineering, writing, etc. Dari kata dasar
profesionalisme ini kemudian muncul kata jadian professional yang artinya Engage in
special occupation for pay etc. dan profesionalisme yang artinya profesional quality,
status, etc. Selanjutnya, Pamuji mengartikan orang yang profesional memiliki atau
dianggap memiliki keahlian, akan melakukan kegiatan-kegiatan, di antaranya pelayanan
publik dengan mempergunakan keahliannya itu sehingga menghasilkan pelayanan
publik yang lebih baik mutunya, lebih cepat prosesnya, mungkin lebih bervariasi yang
kesemuanya mendatangkan kepuasan masyarakat yang dilayani.

135
3. Sedangkan Poerwopoespito dan Utomo (2000:266), mengatakan bahwa
profesionalisme berarti paham yang menempatkan profesi sebagai titik perhatian utama
dalam hidup seseorang. Orang yang menganut paham yang menempatkan
profesionalisme selalu menunjukkan sikap profesional dalam bekerja dan dalam
keseharian hidupnya.
4. Pendapat lain dikemukakan oleh Pamungkas (1996:206-207) bahwa manusia
profesional dianggap manusia yang berkualitas yang memiliki keahlian serta
kemampuan mengekspresikan keahliannya itu bagi kepuasan orang lain atau masyarakat
dengan memperoleh pujian. Ekspresif keahlian tersebut tampak dalam perilaku dan
analisis keputusan-keputusannya. Dengan demikian, basil kerja profesional selalu
memuaskan orang lain dan mempunyai nilai tambah yang tinggi. Profesionalisme selalu
dikaitkan dengan efisiensi dan keberhasilannya serta meniadi sumber bagi peningkatan
produksi, kemakmutan, dan kesejahteraan baik dari individu pemilik profesi maupun
masyarakat lingkungannya.
Dari beberapa pendapat yang dikutip di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
profesionalisme atau profesionalitas adalah kompetensi seseorang dalam melakukan
pekerjaan menurut bidang dan tingkatan masing-masing yang meliputi keahlian,
keterampilan, dan integritasnya yang tecermin dalam sikap dan perilakunya. Profesional
ialah kondisi seseorang yang benar-benar memiliki keahlian dan keterampilan serta sikap
mental terpuji sehingga perbuatan dan pekerjaannya berada dalam kondisi yang terbaik
dari penilaian semua pihak.
Menpan (2003:7) mempertegas pengertian profesionalisme PNS adalah kemampuan
untuk melakukan pekeriaan lurena dukungan pengetahuan, keterampillan dan sikap
yang sesuai dengan persyaratan dalam suatu jabatan dengan sikap dan perilaku yang
dilandasi oleh nilai-nilai etika dan moral. Dengan demikian, profesional adalah kondisi
seseorang yang terampil, andal, dan sangat bertanggung jawab dalam menjalankan
profesinya sehingga hasil kerjanya bernilai tinggi dan diakui serta diterima masyarakat.
Dari pengertian profesionalisme menurut Affandi (2002:88-89), ada empat ciri yang bisa
ditengarai sebagai petunjuk atau indikator untuk melihat tingkat profesionalitas
seseorang.

136
1. Penguasaan ilmu pengetahuan seseorang di bidang tertentu dan ketekunan
mengikuti perkembangan ilmu yang dikuasai.
2. Kemampuan seseorang dalam menerapkan ilmu yang dikuasai, khususnya yang
berguna bagi kepentingan sesama.
3. Ketaatan dalam melaksanakan dan menjunjung tinggi etika keilmuan, serta
kemampuannya untuk memahami dan menghormati nilai-nilai sosial yang berlaku di
lingkungannya.
4. Besarnya rasa tanggung jawab terhadap Tuhan, bangsa dan negara, masyarakat,
keluarga, serta diri sendiri atas segala tindakan lanjut dan perilaku dalam megemban
tugas berkaitan dengan penugasan dan penerapan bidang ilmu yang dimiliki.
Maister (1998: 21-22) mengatakan bahwa ciri-ciri profesionalisme sejati meliputi ciri-ciri
yang berikut.
1. Bangga pada pekerjaan mereka dan menunjukkan komitmen pribadi pada kualitas.
2. Berusaha meraih tanggung jawab.
3. Mengantisipasi dan tidak menunggu perintah, mereka menunjukkan inisiatif.
4. Mengerjakan apa yang perlu dikerjakan untuk merampungkan tugas.
5. Melibatkan diri secara aktif dan tidak sekadar bertahan pada peran yang telah
ditetapkan untuk mereka. 6. Selalu mencari cara untuk membuat berbagai hal menjadi
lebih mudah bagi orang yang mereka layani.
7. Ingin belajar sebanyak mungkin mengenai bisnis orang-orang yang mereka layani.
8. Benar-benar mendengarkan kebutuhan orang-orang yang layani.
9. Belajar memahami dan berpikir seperti orang-orang yang mereka layani sehingga bisa
mewakili mereka ketika orang-orang itu tidak ada di tempat.
10. Tidak bekerja sendiri melainkan pemain tim.
11. Bisa dipercaya memegang rahasia.
12. Jujur, bisa dipercaya, dan setia.
13. Terbuka pada kritik-kritik yang membangun mengenai cara meningkatkan diri.

137
1. Menguasai Pengetahuan di Bidangnya
Menurut Menpan (2003:7) aparatur selaku penyelenggara tugas umum pemerintahan
dan pembangunan merupakan kunci yang sangat strategis dalam mewujudkan cita-cita
dan tujuan pemerintahan dan negara. Profesionalisme PNS pada intinya adalah
kemampuan untuk melakukan pekerjaan karena dukungan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap yang sesuai dengan persyaratan dalam suatu jabatan dengan sikap dan
perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai etika dan moral. Konsep profesionalisme PNS saat
ini menuntut adanya kemampuan melaksanakan tugas dan fungsinya secara efisien dan
efektif. Misalnya seorang kepala sub-bagian dia adalah seorang birokrat sesuai
kedudukan, kewenangan, tugas, dan fungsinya harus memiliki kemampuan teknis dan
manajerial yang dibutuhkan dalam jabatan/pekerjaan pada organisasi masing-masing.
Agar seorang kepala sub-bagian mampu memberikan kinerja yang optimal perlu
melakukan langkah-langkah persiapan sebagai berikut.
1. Memahami dan menghayati rincian tugas dan fungsinya secara teknis. Dalam kaitan
ini seorang kepala sub-bagian kepegawaian harus memahami rincian tugasnya di bidang
kepegawaian.
2. Menguasai kompetensi tugas jabatan/manajerial sebagai pejabat eselon IV dan
implementasinya dalam jabatan kepala sub-bagian.
Misalnya, seorang kepala sub-bagian humas harus menguasai seluk beluk kehumasan,
termasuk manajemen kehumasan.
3. Mempelaiari dan menguasai berbagai peraturan dan ketentuan yang tetkait dengan
bidang tugasnya. Misalnya, seorang kepala sub-bagian pengadaan barang harus
memahami semua peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku dalam
pengadaan barang.
4. Berusaha menekuni pengetahuan dalam bidang tugasnya dan selalu meningkatkan
pengetahuannya agar dapat mengikuti perkembangan yang terjadi dalam bidang
tugasnya. Dalam kaitan ini seorang, kepala sub-bagian kepegawaian, baik keilmuan
maupun perkembangan yang terjadi.
5. Peka dan responsif dalam menghadapi dinamika perubahan yang terjadi, misalnya jika
terdapat pemberitaan yang menyangkut bidang tugasnya, harus merespons dengan
memberikan telaahan bagi atasannya atau langsung menyelesaikan jika sepenuhnya
dalam kewenangannya.

138
2. Mempunyai Komitmen pada Kualitas Kinerja
a. Melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab. Tanggung jawab pada
pekerjaan merupakan kecenderungan sikap untuk berani mengambil risiko atas
pekerjaan yang telah dilakukannya. Seorang kepala sub-bagian yang memberikan
penilaian DP3 secara objektif, harus bertanggung jawab atas penilaiannya tersebut.
b. Melaksanakan tugas secara efektif sesuai perencanaan dan prosedur yang telah
ditetapkan, dengan pengertian dapat melaksanakan tugasnya secara berdaya guna dan
berhasil guna. Pada dasarnya, seorang kepala sub-bagian harus membuat perencanaan
dan mampu melaksanakan perencanaan yang telah ditetapkan secara efektif.
c. Mempunyai kesanggupan dalam bekerja sebagai rasa keterikatan dalam dirinya
terhadap tugas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sehingga dapat
melaksanakan tugas dengan baik, bukan karena keterpaksaan.
d. Selalu berusaha meningkatkan mutu kinerja secara serius untuk melaksanakan
pekerjaan dengan sebaik-baiknya agar diperoleh hasil kerja yang optimal. Dalam kaitan
ini seorang kepala sub-bagian harus senantiasa melakukan evaluasi atas kinerjanya dan
terus melakukan upaya peningkatan secara optimal.
e. Melaksanakan tugas secara efisien pada target waktu yang ditentukan dan biaya yang
murah. Misalnya, seorang kepala sub-bagian yang menyiapkan suatu konsep laporan
yang diberi batas waktu satu minggu, seharusnya berusaha menyelesaikannya dalam
jangka waktu kurang dari satu minggu.
f. Berusaha membuat langkah-langkah inovatif dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya sesuai tuntutan perubahan yang terjadi. Misalnya, jika pekerjaan secara
manual tidak memadai, maka untuk mempercepatnya perlu mengkaji pemanfaatan
teknologi.
3. Melaksanakan Tugas dengan Penuh Pengabdian dan Keikhlasan
Pengabdian dan keikhlasan merupakan dedikasi seorang PNS atas segala sesuatu yang
menjadi tanggung jawabnya dalam rangka menyambut/melayani masyarakat atau orang
lain. Untuk dapat mengetahui dedikasi PNS dapat ditelusuri ciri-ciri sikap dan
perilakunya, sebagai berikut.

139
a. Merasa bangga dengan tugas dan fungsinya. Kebanggaan pada pekerjaan
merupakan perasaan yang ada pada dirinya yang dapat menciptakan kepuasan apabila
dapat melakukan pekerjaan yang baik. Seorang kepala sub-bagian pelaporan harus
bangga dengan pelaksanaan tugasnya di bidang pelaporan. Hal itu dapat dicapai apabila
mampu menyusun dan menyajikan pelaporan yang baik.
b. Bersikap jujur dalam melaksanakan tugas. kejujuran merupakan sikap yang harus
dimiliki oleh seorang PNS untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang dibebankan
kepadanya. Seorang kepala sub-bagian mutasi kepegawaian harus menyelesaikan SK
mutasi seseorang tanpa memperlambat penerbitannya karena mengharapkan sesuatu
dari pegawai yang bersangkutan.
c. Mengutamakan pada kepentingan umum sebagai kecenderungan sikap dan
keinginan yang kuat untuk selalu mendahulukan kepentingan orang lain daripada
kepentingan diri sendiri/golongan. Misalnya, untuk mengumumkan penerimaan
pegawai, pengumumannya tidak perlu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, melainkan
secara terbuka dan dalam jangka waktu yang memadai sehingga masyarakat mudah
dan berkesempatan untuk mengetahuinya.
d. Melayani publik dengan semangat pengabdian dan keikhlasan dengan niat ibadah
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keikhlasan merupakan kecenderungan untuk
melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya secara tulus.
e. Senantiasa mempunyai keinginan untuk membantu yang mencerminkan kejujuran
dan keikhlasan dalam bekerja untuk membantu masyarakat. Misalnya, jika seorang
anggota masyarakat meminta informasi tentang keberadaan atasannya, seorang kepala
sub bagian dapat memberikan penjelasan yang sebenarnya dan berusaha membantu
memberikan informasi yang diperlukannya.

Prinsip-Prinsip Akuntabilitas dalam Birokrasi


Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
mewajibkan setiap instansi pemerintah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
negara untuk mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya serta
kewenangan pengelolaan sumber daya, pelaksanaan kebijakan dan program dengan

140
menyusun laporan akuntabilitas melalui proses penyusunan rencana strategis. rencana
kinerja, dan pengukuran kinerja. Karena itu, setiap perlu memahami pengertian dan
prinsip-prinsip dalam mewujudkan akuntabilitas kinerja.
1. Prinsip-Prinsip Akuntabilitas
Banyak ahli memberikan ulasan masalah akuntabilitas, sebagai berikut.
a. Menurut The Oxford Advanced Learner's Dictionary, akuntabilitas adalah required or
expected to give an explanation for one's action. Dalam pengertian ini dikehendaki
adanya kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala tindak tanduk dan kegiatan
di bidang administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi.
b. Menurut Gartney (1987) dalam Lembaga Administrasi Negara (2004:35),
akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban tentang pertanyaan yang berhubungan
dengan apa, siapa, kepada siapa, mrlik siapa, yang mana, dan bagaimana. Dalam
pengertian ini adalah jawaban-jawaban untuk pertanyaan: apa yang harus
dipertanggungjawabkan, siapa yang bertanggung jawab atas suatu kegiatan, kepada
siapa penanggungjawaban diberikan dan mengapa pertanggung jawaban harus
diberikan, dan lain-lain.
c. Menurut Deklarasi Tokyo (1985) dalam Lembaga Administrasi Negara RI (2004: 36-
37) akuntabilitas didefinisikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau
penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang
bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut
pertanggungjawaban fiskal, manajerial, dan program. Dalam pengertian yang lebih luas,
akuntabilitas pelayanan publik berarti pertanggungjawaban pegawai pemerintah kepada
publik yang menjadi konsumen pelayanannya.
d. Dalam Keputusan Menteri Agama No. 21 Tahun 2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Satuan Organisasi/Kerja di Lingkungan
Departemen Agama. akuntabilitas diartikan sebagai kewajiban untuk menyampaikan
pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan
seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki
hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.

141
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas merupakan
perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk
mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan
pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka mencapai tujuan
yang telah ditentukan melalui media pertanggungjawaban secara periodik.
Untuk mewujudkan akuntabilitas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, pada diri
seseorang terdapat tuntutan yaitu tuntutan internal atau spiritual yang tumbuh dari
dalam dirinya untuk mempertanggungjawabkan semua perilaku dan pekerjaannya
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tuntutan yang berasal dari lingkungan tugas dan
fungsinya. Rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya
merupakan dorongan yang kuat dan berdampak pada tanggung jawabnya dalam
mewujudkan akuntabilitas seseorang, tetapi tidak mudah untuk mengukurnya dalam
pelaksanaan tugasnya. Sebaliknya, tanggung jawab kepada lingkungan terutama
lingkungan internal dan eksternal organisasi lebih mudah mengukurnya karena norma
dan standar yang digunakan jelas sudah ada dalam mekanisme dari sistem dan prosedur
kerja.
Dalam menilai akuntabilitas seseorang para pakar berbeda-beda dalam meninjau aspek-
aspek yang perlu dipertanggungjawabkan.
Menurut Yango dalam Lembaga Administrasi Negara (2004:4142), akuntabilitas dapat
dirinci sebagai berikut.
a. Akuntabilitas tradisional/reguler, yang menitikberatkan pada kepatuhan terhadap
peraturan-peraturan terkait bidang fiskal dan administrasi publik guna mengukur
efisiensi dan kualitas pelayanan.
b. Akuntabilitas manajerial, yang menitikberatkan pada aspek manajerial yang
menyangkut efisiensi dalam menggunakan anggaran, harta kekayaan, sumber daya
manusia, dan sumber daya lainnya.
c. Akuntabilitas program, yang menitikberatkan pada pencapaian pelaksanaan program
yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan dan ruang lingkup tugasnya.
d. Akuntabilitas proses, yang menitikberatkan pada tingkat pencapaian kesejahteraan
sosial dari setiap pelaksanaan kebijakan yang dipengaruhi faktor etika dan moral dalam
proses pelaksanaannya.
Paul dalam LAN (2004;42) membagi akuntabilitas dalam tiga aspek sebagai berikut.

142
a. Akuntabilitas demokratis, yang menekankan akuntabilitas menurut instansi yang
memberikan kewenangan dan tanggung jawab.
b. Akuntabilitas profesional, yang menitikberatkan pada norma dan standar profesi
masing-masing dengan memberikan kebebasan dalam menentukan public interest
untuk kepentingan masyarakat.
c. Akuntabilitas hukum, yang menitikberatkan penilaian kepatuhan pada peraturan
perundang-undangan dalam menyediakan public goods dan public services.
Ada pula yang meninjau dari aspek lain (LAN, 2004:43) sebagai berikut.
a. Akuntabilitas keuangan, yang menitikberatkan pertanggungjawaban pada integritas
keuangan dengan sasaran laporan keuangan yang disajikan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Akuntabilitas manfaat, yang menitikberatkan pertanggungjawaban pada efektivitas
biaya dan manfaatnya.
c. Akuntabilitas prosedural, yang menitikberatkan pertanggungjawaban pada prosedur-
prosedur yang digunakan dalam menetapkan suatu kebijakan, baik aspek etika dan
moral, kepastian hukum, maupun keputusan politik.
2. Membuat Perencanaan dalam Melaksanakan Tugas
Perencanaan merupakan salah satu instrumen penting dalam sistem akuntabilitas
kinerja instansi pemerintah, baik perencanaan strategis, perencanaan kinerja, maupun
perencanaan operasional. Karena itu seorang kepala sub-bagian harus mampu
membuat perencanaan sesuai bidang tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
disebutkan bahwa perencanaan strategis merupakan suatu proses yang berorientasi
pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu 1 sampai 5 tahun dengan
memperhitungkan potensi, peluang, dan kendala yang ada atau yang mungkin timbul.
Karena itu suatu perencanaan strategis mengandung visi, misi, tujuan, sasaran, cara
pencapai tujuan, dan sasaran yang meliputi kebijakan, program, dan kegiatan yang
realistis dengan mengantisipasi perkembangan masa depan.
Setiap instansi pemerintah diharapkan dapat mengembangkan langkah-langkah
strategis untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat

143
sehingga terwujud suatu pelayanan yang prima. Dengan demikian, perencanaan
strategis merupakan langkah awal yang perlu dilakukan agar mampu menjawab
tuntutan lingkungan strategis baik lokal, nasronal, maupun global.
Di samping perencanaan strategis, seorang kepala sub-bagian perlu membuat
perencanaan kinerja yang merupakan analisis dan keputusan untuk menetapkan tingkat
kinerja sub-bagiannya di masa yang akan datang. Dalam perencanaan kinerja atau
indikator kinerja dalam rangka mencapai sasaran atau target yang telah ditetapkan.
Dalam implementasi sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, perencanaan
kinerja memegang peranan yang sangat penting dan merupakan prasyarat untuk dapat
mengukur dan meningkatkan kinerja organisasi.
Adapun perencanaan operasional merupakan langkah nyata dari bulan ke bulan
atau minggu ke minggu, yang menggambarkan target-target bulanan dan mingguan
yang harus dicapai. Perencanaan operasional biasa disebut dengan rencana kerja yang
berisi kegiatan-kegiatan dan rincian langkah-langkah kegiatan secara jelas dan nyata
yang dapat dilakukan dan dijadwalkan secara teratur. Rencana kerja dari seorang kepala
sub-bagian dapat digunakan sebagai dasar penyusunan anggaran setiap kegiatan yang
dibutuhkan untuk mencapai sasaran-sasaran tertentu.

3. Melaksanakan Tugas secara Transparan atas Dasar Perencanaan


Praktik good governance mensyaratkan adanya transparansi dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan. Governance dinilai baik atau buruk
antara lain ditentukan oleh tingkat transparansi dalam pelaksanaan pemerintahan.
Dalam kaitan ini perencanaan merupakan instrumen yang sangat penting bagi
masyarakat dalam memahami, memantau, dan menilai kebijaksanaan dan kinerja
pemerintah.
Transparansi erat kaitannya dengan akuntabilitas publik, artinya seberapa jauh
masyarakat dapat menilai tindakan pemerintah, sangat tergantung pada tingkat
transparasinya. Masyarakat dapat menilai tindakan pemerintah akuntabel atau tidak,
tergantung pada kemudahan bagi masyarakat untuk memahami apa yang dilakukan
pemerintah, mengapa dilakukan, dan seberapa jauh tindakan pemerintah itu sesuai
dengan nilai-nilai yang ada. Jika masyarakat merasa tidak memperoleh

144
kemudahan untuk memahaminya, akan sulit untuk menilai akuntabilitas dari tindakan
pemerintah.
Dalam kaitan ini transparansi yang diterapkan oleh seorang kepala sub-bagian
kepegawaian dalam penerimaan pegawai mempunyai implikasi yang sangat besar untuk
mewujudkan berbagai indikator kepemerintahan yang lain, seperti partisipatif dan
pelayanan prima. Artinya, pelayanan prima dapat terwujud jika dalam pelaksanaannya
mampu mewujudkan transparansi dan masyarakat akan bersedia melibatkan diri dalam
berbagai kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik jika aturan mainnya terbuka dan
mudah diketahui masyarakat, termasuk hak dan kewajiban yang terkait dengan
keterlibatannya.

4. Melakukan Evaluasi atas Pelaksanaan Kegiatan


Paradigma lama menilai suatu keberhasilan instansi terutama dari tingkat
penyerapan anggaran dan bukan atas pencapaian tujuan yang pada akhirnya dapat
memuaskan masyarakat. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang sangat jauh antara
perencanaan instansi dengan pengukuran kinerja berdasarkan perencanaan (LAN,
2004:197).
Karena itu, perencanaan yang dibuat oleh seorang kepala subbagian perlu disertai
dengan pengukuran dan evaluasi kinerja yang dapat memberikan informasi apakah
program yang dilaksanakan efektif dan efisien sesuai dengan yang direncanakan.
Untuk menerapkan prinsip tersebut telah ada pedoman yang dapat menjadi
pegangan seorang kepala sub-bagian. Sepeti di lingkungan Kementerian Agama. Dalam
buku Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun
2003 disebutkan bahwa pengukuran dan evaluasi kinerja digunakan untuk menilai atas
keberhasilan/kegagalan pelaksanaan kegiatan/program sesuai dengan sasaran dan
tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan misi dan visi instansi
pemerintah. Pengukuran tersebut meliputi input, proses, Output, manfaat, dan dampak
dari program yang telah dilaksanakan bagi masyarakat (LAN, 2.004: 198). Menurut LAN
(2004:66), yang juga diterapkan dalam buku Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Laporan
Akuntabilitas Kinerja Satuan Organisasi/Kerja di Lingkungan Kementrian Agama Tahun
2007, untuk memperkaya analisis perlu dijelaskan pembandingan-pembandingan antara
:
a. kinerja nyata dengan kinerja yang direncanakan;
b. kinerja nyata dengan kinerja tahun sebelumnya;

145
c. kinerja nyata dengan kinerja instansi lain yang unggul di bidangnya;
d. kinerja nyata dengan kinerja di negara lain atau dengan standar internasional.

5. Membuat Laporan Pertanggungjawaban atas Kegiatan yang Telah Dilaksanakan


Setiap instansi pemerintah dibentuk untuk mengemban suatu tugas dan tanggung
jawab tertentu dengan kewenangan atau mandat untuk melaksanakan tugas tersebut
dengan kewajiban memberikan akuntabilitas kinerja yang baik, tertib, dan teratur
merupakan tuntutan dalam manajemen publik modern dan sebagai perwujudan dari
kepemerintahan yang baik.
Dalam kaitan ini instansi pemerintah dituntut untuk menyiapkan, menyusun, dan
menyampaikan laporan yang berisi informasi kinerja secara tertulis dan periodik sebagai
perwujudan normatif pertanggungjawaban instansi yang bersangkutan. LAN (2004:68)
dalam hal ini memberikan pedoman dalam menyajikan laporan akuntabilitas sebagai
berikut.
a. Prinsip pertanggungjawaban, dalam laporan harus jelas hal-hal yang tidak harus
dipertanggungjawabkan.
b. Prinsip pengecualian, yang dilaporkan adalah hal-hal penting bagi pengambilan
keputusan dan pertanggungjawaban instansi yang bersangkutan seperti keberhasilan
dan kegagalan serta perbedaan realisasi dan target.
c. Prinsip perbandingan, yang memberikan gambaran keadaan nyata dibandingkan
dengan periode yang lalu atau dengan instansi lain. d. Prinsip akuntabilitas, yang
melaporkan hal-hal yang dominan yang membuat sukses atau gagalnya pelaksanaan
dari rencana; e. Prinsip manfaat, dengan pengertian manfaat yang diperoleh dari
pelaksanaan lebih besar nilainya dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan.
Ciri-ciri laporan yang baik menurut LAN (2004:68) adalah relevan, tepat waktu,
dapat dipercaya, lengkap, netral, padat, dan terstandardisasi.
Informasi yang berkualitas dari laporan yang disampaikan merupakan salah satu
sumber penting bagi para pengambil keputusan dalam menetapkan langkah-langkah
yang diperlukan untuk perbaikan-perbaikan di masa mendatang. informasi yang
berkualitas juga dapat mengubah

146
opini penggunanya mengenai subjek tertentu yang berkaitan dengan
kepentingannya.
Untuk menyusun laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan bagi
kepala sub-bagian dari Kementerian Agama misalnya, maka supaya hasilnya baik dan
benar, harus mengacu pada pedoman akuntabilitas kinerja dari Kantor Kementerian
Agama, yaitu Peraturan Menteri Agama RI No. 21 Tahun 2006 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Satuan Organisasi/Kerja di
Lingkungan Kementerian Agama. Demikian juga halnya dengan kementerian yang lain.

Pelayanan Prima dalam Administrasi Publik


Tugas pemerintah pada hakikatnya adalah melayani masyarakat serta menciptakan
kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan
dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama. Kareana itu sesungguhnya pelayanan
publik merupakan wujud dari fungsi aparatur sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Pelayanan publik dengan demikian dapat diartikan sebagai pemberian pelayanan
kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan atau keperluannya menurut peraturan
dan tata cara yang telah ditetapkan.
Pelayanan publik merupakan salah satu titik strategis dalam membangun praktik
kepemerintahan yang baik dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, selama ini praktik pelayanan publik yang buruk sangat dirasakan oleh
masyarakat luas. Jadi apabila terjadi perubahan yang signifikan pada aspek pelayanan
publik masyarakat akan membangkitkan dukungan masyarakat luas dalam membangun
kepemerintahan yang baik.
Kedua, dalam pelayanan publik berbagai aspek kepemerintahan yang baik dapat
diartikulasikan secara lebih mudah. Misalnya, dalam aspek kelembagaan, bahwa dalam
praktik governance dapat dibedakan dengan mudah dari praktik government, karena
dalam praktik governance melibatkan aktor-aktor di luar pemerintah yaitu unsur swasta
dan masyarakat sipil. Di samping itu, dalam mewujudkan nilai-nilai yang mencirikan
praktik kepemerintahan yang baik seperti efektif dan efisien, non diskriminatif dan
berkeadilan, serta memiliki akuntabilitas tinggi dapat dengan mudah dikembangkan
parameternya dalam pelayanan publik.

147
Ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur governance, karena
baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat sipil sama-sama memiliki
kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam pelayanan publik.
Menurut Lenvine (1990:188), produk dari pelayanan publik di dalam negara
demokrasi paling tidak harus memenuhi tiga indikator, sebagai berikut.
a. Responsiveness atau responsivitas, yaitu daya tanggap penyedia pelayanan terhadap
harapan, keinginan, aspirasi, maupun tuntutan pengguna layanan.
b. Responsibility atau responsibilitas yang menunjukkan seberapa jauh proses pemberian
pelayanan publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip atau ketentuan
administrasi dan organisasi yang benar dan telah ditetapkan.
c. Accountability atau akuntabilitas yang menunjukkan seberapa besar proses
penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan kepentingan stakeholders dan
norma-norma yang berkembang dalam masyarakat.
Senada dengan Lenvine, Lovelock (1992) dalam Joko Widodo (2001 :272)
mengemukakan lima prinsip agar kualitas pelayanan dapat dicapai.
a. Tangible, dengan pengertian dapat terjangkau secara fisik, personel, dan peralatan.
b. Reliable, dengan pengertian andal dalam memberikan pelayanan yang dijanjikan
dengan tepat dan konsisten.
c. Responsiveness, dalam pengertian daya tanggap dan rasa tanggung jawab terhadap
mutu pelayanan.
d. Assurance, dengan pengertian ada jaminan dari segi pengetahuan, perilaku, dan
kemampuan.
e. Empathy, dengan pengertian perhatian pada masyarakat yang dilayanin.
Menurut Effendi (1986:213) dengan melihat kondisi masyarakat yang dinamis
seperti sekarang ini yang menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka birokrasi publik harus
mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan ciri-ciri sebagai berikut.

148
a. Profesional, pelayanan publik dengan ciri adanya akuntabilitas dan responsibilitas.
b. Efektif dan efisien dengan pengertian lebih mengutamakan pencapaian tujuan dan
sasaran, sedangkan efisien menghindari adanya pengulangan pemenuhan
persyaratan.
c. Sederhana, dengan pengertian tata cara pelayanan yang mudah dipahami, dapat
dilaksanakan dengan cepat, dan tidak berbelit-belit.
d. Transparan dan terbuka, dengan pengertian adanya kejelasan dan kepastian
mengenai:
1) prosedur/tata cara pelayanan;
2) persyaratan pelayanan baik teknis maupun administratif;
3) unit kerja dan pejabat yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan;
4) rincian biaya/tarif pelayanan dan cara pembayarannya;
5) jadwal waktu penyelesaian pelayanan;
6) diinformasikan secara terbuka agar diketahui dan dipahami oleh masyarakat,
baik diminta maupun tidak.
e. Tepat waktu, dengan pengertian pelayanan dapat diselesaikan dalam kurun waktu
yang telah ditetapkan.
f. Responsif, dengan pengertian cepat tanggap dan menanggapi berbagai masalah,
kebutuhan, dan aspirasi masyarakat.

g. Adaptif, dengan pengertian mudah menyesuaikan dengan apa yang menjadi


tuntutan, keinginan, dan aspirasi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan
dan perkembangan.
Menurut Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik, dalam menyelenggarakan pelayanan publik, perlu
diperhatikan prinsip-prinsip yang berikut.
a. Kesederhanaan, dengan pengertian prosedur pelayanan tidak berbelit-belit, mudah
dipahami dan mudah dilaksanakan.
b. Kejelasan tentang: persyaratan teknis dan administratif, unit/ pejabat yang
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan, dan rincian biaya pelayanan
dan tata cara pembayarannya.
c. Kepastian waktu: kejelasan tentang jangka waktu dalam penyelesaian pelayanan
publik.
d. Akurasi, dengan pengertian produk pelayanan diterima dengan benar, tepat, dan sah.

149
e. Keamanan, dengan pengertian proses dan produk pelayanan mem berikan rasa aman
dan kepastian hukum.
f. Tanggung jawab, dengan pengertian pimpinan atau pejabat yang ditunjuk
bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan dan penyelesaian masalah-masalah
yang timbul dalam pelaksanaan pelayanan.
g. Kelengkapan sarana dan prasarana, dengan pengertian tersedianya sarana dan
prasarana yang memadai dalam pelayanan publik.
h. Kemudahan akses, dengan pengertian tempat dan lokasi serta sarana pelayanan
mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan telekomunikasi dan
informatika.
i. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan dengan pengertian pemberi pelayanan
bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan
ikhlas.
j. Kenyamanan, dengan pengertian kondisi lingkungan pelayanan yang tertib, teratur,
bersih, indah, dan dilengkapi dengan fasilitas pendukung yang diperlukan.
Dengan berbagai penjelasan tersebut pada dasarnya semua unsur nilai kepemerintahan
yang baik dapat diimplementasikan dalam pelayanan publik. Untuk mengembangkan
pelayanan publik yang mencirikan praktik kepemerintahan yang baik teradapat
banyak aspek yang perlu dibenahi dalam birokrasi publik, sehingga pelayanan publik
yang prima dapat diwujudkan, terutama perubahan mindset yang selama ini
melatarbelakangi pelayanan publik yang buruk. Tanpa adanya perubahan mindset,
sulit untuk mengharapkan terwujudnya pelayanan publik yang berkualitas dan
memuaskan masyarakat yang dalam praktik kepemerintahan yang baik disebut
pelayanan prima.
1. Menerapkan Prinsip-Prinsip Keterbukaan dan Transparansi
Untuk menjamin transparansi dan keterbukaan, birokrasi harus mempermudah akses
informasi bagi masyarakat, dengan pengertian ada kejelasan bagi masyarakat
mengenai berbagai hal yang terkait dengan pelayanan publik, sebagai berikut.
a. Jenis-jenis pelayanan publik yang diselenggarakan.
b. Prosedur/tata cara pelayanan.
c. Persyaratan pelayanan baik teknis maupun administratif.
d. Unit kerja dan pejabat yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan.

150
e. Rincian biaya/tarif pelayanan dan cara pembayarannya.
f. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
g. Kemungkinan partisipasi masyarakat dan swasta.

2. Responsif dalam Memberikan Pelayanan Publik


Pemerintah yang demokratis lahir untuk melayani warganya. Karena itu tugas
pemerintah adalah mencari cara untuk menyenangkan warganya, seperti yang berlaku
di dunia bisnis yang berusaha menari minat pelanggan.
Tujuan utama pelayanan publik adalah memenuhi kebutuhan masyarakat
pengguna agar dapat memperoleh pelayanan yang diinginkan dan memuaskan. Karena
itu penyedia layanan harus mampu mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan
masyarakat pengguna.
Untuk mewujudkan pelayanan yang responsif, antara lain dapat dilakukan
beberapa upaya sebagai berikut (Dwiyanto (2005 : 15 2-15 6)).
a. Menggunakan strategi KYC (Know Your Customers)
Strategi ini breprinsip mendekatkan diri dengan pelanggan untuk mengidentifikasi
diri dengan pelanggan untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat dan selanjutnya
menyusun prioritas kebutuhan dan membangunnya ke dalam berbagai program
pelayanan. Responsitas mengukur daya tanggap organisasi terhadap keinginan,
harapan, dan aspirasi serta tuntutan masyarakat pengguna layanan.
Untuk mengetahui keinginan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat atau
pelanggan, birokrasi pelayanan publik harus mendekatkan diri dengan masyarakat
pengguna. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengetahui keinginan dan
kebutuhan para pengguna adalah survei, wawancara, dan observasi.
b. Menerapkan model Citizens Charter
Citizen's Charter merupakan standar pelayanan yang ditetapkan berdasarkan
masukan pelanggan yang disepakati birokrasi untuk melaksanakannya dalam menjamin
mutu pelayanan publik.
Pada dasarnya, model Citizen's Charter menempatkan pengguna layanan sebagai
pusat perhatian. Ini berarti kebutuhan dan kepentingan pengguna layanan harus
menjadi pertimbangan utama dalam proses pelayanan.
Dalam Citizens Charter dapat dicantumkan hak dan kewajiban baik bagi
pengguna layanan maupun kewajiban birokrasi seperti: durasi

151
penyelesaian layanan, biaya layanan, penyampaian keluhan pengguna layanan, dan
waktu penyelesaian.
3. Memberikan Pelayanan Publik secara Efisien
Disamping produk (output) pelayanan berkualitas dan sesuai dengan apa yang
dibutuhkan masyarakat, pelayanan diharapkan dapat dilaksanakan secara efisien, dalam
pengertian perbandingan yang terbaik antara input dan output. Ini berarti, apabila suatu
output dapat dicapai dengan input yang minimal, maka tingkat efisiensi semakin baik.
Input dalam pelayanan publik dapat berupa uang, tenaga, waktu, dan materi lain yang
digunakan untuk menghasilkan atau mencapai suatu output.
Sebagai implementasi pelayanan yang efisien bagi masyarakat menurut Suharsono
dalam Dwiyanto (2005: 151) adalah harga pelayanan terjangkau oleh kemampuan
ekonomi masyarakat dan masyarakat dapat memperoleh pelayanan dalam waktu yang
relatif singkat serta tidak banyak membutuhkan tenaga. Untuk memperbaiki aspek
efisiensi dalam pelayanan publik terdapat tiga strategi yang dapat dilakukan yaitu:
deregulasi, pengurangan biaya, dan penerapan teknologi dalam proses pelayanan.
Beberapa langkah deregulasi antara lain dapat dilakukan oleh kepala sub-bagian dengan
cara sebagai berikut.
a. Penyederhanaan formulir untuk semua jenis pelayanan dengan membatasi pada hal-
hal yang benar-benar diperlukan dalam pelayanan.
b. Mengumumkan secara terbuka semua persyaratan dan semua prosedur pelayanan,
misalnya dalam proses penerimaan pegawai baru; agar masyarakat dapat dengan
mudah mengetahui semua informasi yang dibutuhkan dalam pendaftaran, perlu
diumumkan secara terbuka dalam jangka waktu yang memadai.
c. Mengoptimalkan penggunaan teknologi internet, misalnya dalam rangka pelaksanaan
tender pengadaan barang, sehingga para pengusaha yang berminat mengikuti tender
dapat melakukan download untuk memperoleh berbagai formulir yang diperlukan.
d. Mengirimkan hasil dari produk pelayanan publik ke alamat pengguna pelayanan,
misalnya dalam menyampaikan hasil seleksi penerimaan pegawai baru tidak perlu
peserta seleksi datang mengambil hasil seleksi bagi yang bersangkutan. Jadi
masyarakat yang memerlukan

152
suatu pelayanan cukup satu kali datang guna mendaftar dan menyerahkan
persyaratan. Bahkan kalau perlu warga pengguna pelayanan sama sekali tidak perlu
datang sekiranya komunikasi dapat dilakukan melalui telepon atau teknik-teknik
komunikasi yang lebih canggih.
Upaya-upaya yang dilakukan melalui deregulasi secara tidak langsung dapat
mengurangi biaya yang perlu dikeluarkan pengguna pelayanan. Apalagi biaya-biaya
yang perlu dikeluarkan pengguna pelayanan dapat diatasi melalui anggaran pemerintah.
Sedangkan strategi ketiga melalui pemanfaatan teknologi komputer dalam proses
administrasi dan manajemen untuk mengoptimalkan media komunikasi baik dalam
penyediaan pelayanan, proses, produk, dan pengawasannya.
4. Menerapkan Prinsip-Prinsip Kemitraan secara Adil
Perubahan paradigma dari government ke governance pada hakikatnya
mengisyaratkan perlunya pemerintah melibatkan berbagai stakeholders di luar
pemerintah dalam proses pembuatan berbagai kebijakan yang menyangkut kepentingan
publik.
UNDP dalam hal ini menyebut bahwa tata pemerintahan yang baik adalah suatu
kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah,
masyarakat sipil, dan swasta. Dengan demikian, sebagai perwujudan demokratisasi
dalam kepemerintahan yang baik adalah perlunya melibatkan masyarakat dan sektor
swasta dalam melaksanakan tata pemerintahan. Partisipasi publik di sini tidak hanya
terbatas pada keterlibatan masyarakat dalam pemilihan umum, tetapi juga pada
berbagai aktivitas lainnya yang berimplikasi terhadap kepentingan masyarakat banyak,
misalnya dalam pembuatan film tentang perjalanan haji, mungkin lebih baik diserahkan
kepada sektor swasta, dengan asumsi pihak swasta dapat melaksanakannya lebih efisien
karena sudah terbiasa dalam pembuatan film, sedangkan campur tangan pemerintah
tidak diperlukan lagi atau dibatasi hanya pada tingkat yang paling minimal.
Apabila proses pembuatan kebijakan publik dilakukan secara demokratis dengan
memberikan kesempatan keikutsertaan masyarakat, akan diperoleh keuntungan-
keuntungan baik bagi masyarakat maupun bagi pemerintah sebagai berikut.

153
a. Adanya peningkatan kualitas kebijakan publik yang dihasilkan oleh Departemen
Agama dan pemerintah pada umumnya.
b. Peningkatan kualitas kebijakan publik seperti deregulasi, pada gilirannya akan sangat
menguntungkan bagi masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan tersebut.
c. Pemerintah akan menjadi lebih kuat karena ada peningkatan kapasitas kelembagaan
dalam pembuatan kebijakan, yang berimplikasi pada peningkatan dukungan publik
kepada pemerintah.
5. Memberikan Pelayanan dengan Semangat Pengabdian dan Keikhlasan
Untuk membangun kualitas pelayanan yang prima perlu dikembangkan budaya
kerja aparatur menuju aparatur yang profesional, melalui penerapan nilai-nilai budaya
kerja, pembentukan jati diri, dan pelatihan mind-setting and values. Dengan demikian,
diharapkan dapat dicapai perubahan sikap dan perilaku serta motivasi kerja untuk
menciptakan iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi.
Bentuk implementasi dalam mewujudkan budaya kerja pelayanan prima antara lain
berupa pengembangan sikap dan perilaku keteladanan serta penerapan nilai-nilai
konsistensi dan tanggung jawab tethadap kebijakan/ peraturan, pencegahan terjadinya
perilaku KKN, pemberian penghargaan bagi yang berprestasi dan sanksi yang tegas bagi
mereka yang melakukan pelanggaran. Beberapa sikap dan kepribadian dan budaya kerja
yang perlu terus ditumbuhkembangkan oleh kepala sub-bagian adalah sebagai berikut.
a. Kejujuran dalam melaksanakan tugas. Kejujuran merupakan sikap yang harus dimiliki
oleh seorang PNS untuk tidak menyalagunakan wewenang yang dibebankan
kepadanya.
b. Pengarusutamaan kepentingan umum dan keinginan yang kuat untuk selalu
mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri/golongan.
c. Melayani publik dengan semangat pengabdian dan keikhlasan dengan niat ibadah
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keikhlasan merupakan kecenderungan untuk
melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya secara tulus.
d, Senantiasa mempunyai keinginan untuk membantu, yang mencerminkan kejujuran
dan keikhlasan dalam bekerja untuk membantu masyarakat. Misalnya suatu tugas
rutin yang harus diselesaikan pada waktunya seperti penyusunan laporan, tidak boleh
dikalahkan oleh suatu tugas tambahan dari kegiatan insidental yang dibiayai
tersendiri.

154

Anda mungkin juga menyukai