Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di Asia Tenggara
dengan jumlah penduduk yang cukup tinggi baik dilihat dari tingkatan umur
maupun jenis kelamin. Permasalahan yang sering timbul di dalam masyarakat
dengan jumlah besar tersebut salah satunya adalah masalah kesehatan.
Masalah kesehatan yang sering muncul di kalangan masyarakat selalu
berkaitan dengan pengaruh iklim, genetik, tingkat kebersihan, pola hidup serta
kebiasaan yang dilakukan sehari hari termasuk dari makanan serta minuman
yang dikonsumsi.
Masalah yang paling menonjol adalah mengenai genetik dan juga pola
kebiasaan sehari hari. Penyakit degeneratif salah satunya adalah diabetes
melitus di Indonesia meningkat sangat tajam. Pola makan di kota kota besar
telah bergeser dari pola makanan tradisional yang mengandung banyak
karbohidrat dan serat dari sayuran, ke pola makanan barat baratan dengan
komposisi makanan yang terlalu banyak protein, lemak, gula garam dan
sedikit serat (Suyono, 2014).
Pergeseran inilah yang menjadikan permasalah utama di Indonesia,
yakni diabetes melitus. Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Diabetes melitus memiliki banyak
tipe, mulai dari tepi 1, tipe 2, tipe gestasional hingga tipe lainnya . Penyakit ini
selain disebabkan pola makan, dapat juga disebabkan oleh karena genetik
yang dimiliki oleh seseorang jika di dalam keluarga tersebut terdapat penderita
diabetes melitus.
Menurut penelitian epidemiologi yang dilaksanakan di Indonesia,
prevalensi diabetes melitus di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6 %,
kecuali di dua tempat yakni Pekajangan (Semarang) 2,3 % dan di Manado 6
%. Di Pekajangan hal ini disebabkan karena banyaknya perkawinan sedarah,
sedangkan di Manado penyebabnya adalah karena banyaknya arus masuk

1
2

manusia ke daerah manado akibat dari kondisi geografi yang berdekatan


dengan Filipina (prevalensi diabetes 3,85 % sampai 12 %) (Waspadji, 1998).
Pada tahun 2001 hingga 2005 penderita diabetes melitus tipe 2 di kota
Depok sebesar 14,7 % demikian juga terjadi di Makassar yang juga mencapai
12,5 %. Selain dari penelitian tersebut maka terdapat lagi hasil penelitian di
lima wilayah DKI Jakarta sebesar 12,1 % dengan penderita yang terdeteksi
sebesar 3,8 % dan penderita yang terdeteksi sebesar 11,2 % (Sugijarto dkk,
1990). Dengan prevalensi yang menggambarkan beberapa daerah di Indonesia
tersebut maka secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa penderita
diabetes di negara ini kian bertambah dengan pesatnya terutama bagi penderita
yang belum terdeteksi.
Penderita yang kian banyak tersebut juga yang menjadikan pengobatan
serta pemberian terapi bagi pasien diabetes mellitus mulai dikembangkan terus
menerus. Pengobatan dari penderita penyakit ini terdapat dalam bentuk
sediaan injeksi (suntik) ataupun dalam sediaan bentukan oral. Antidiabetika
oral dibagi dalam enam kelompok besar, yakni golongan sulfonylurea, kalium
channel blocker, biguanid, glukosidase inhibitor, tiazolidindion, system
incretin (Tjay, 2015). Golongan yang paling dikenal dari keenam kelompok ini
salah satunya adalah golongan biguanid.
Biguanid merupakan golongan obat yang bekerja bukan sebagai
penstimulasi pelepasan insulin dalam tubuh ataupun untuk menurunkan gula
darah, melainkan untuk menekan nafsu makan (efek anoreksan) sehingga
berat badan tidak meningkat maka sangat layak diberikan pada penderita yang
mengalami kegemukan (Tjay, 2015). Biguanid memiliki preparat sediaan yang
terkenal yakni metformin. Metformin memiliki sediaan dagang bernama
Glucophage Glumin yang diminum bersamaan atau sesudah makan
(Priantono, 2014).
Metformin berkhasiat memperbaiki sensitivitas insulin, terutama
menekan nafsu makan, menghambat pembentukan glukosa dalam hati serta
menurunkan kolesterol LDL dan trigliserida. Mekanisme kerja dari metformin
hampir mirip dengan efek serat gizi dengan daya kerja supresi produksi dan
penyerapan glukosa, fluktuasi gula darah menjadi lebih kecil dan nilai rata
3

ratanya menurun. Metformin sangat tidak aman digunakan bagi penderita


diabetes mellitus yang memasuki masa kehamilan, laktasi dan juga pada orang
tua di atas 60 tahun (Tjay, 2015).
Pada makalah ini akan diuraikan secara jelas mengenai farmasi
-farmakologi (sifat kimia dan rumus kimia obat, farmakologi umum,
farmakodinamik, farmakokinetik, toksisitas, penyelidikan penelitian yang
pernah dilakukan) dari obat metformin serta pengaruh metformin terhadap
berat badan anak dan remaja penderita diabetes. Hal tersebut tentu harus
sangat diperhatikan agar dapat dengan tepat digunakan sebagai terapi serta
dapat dijadikan pedoman bagi tenaga medis di dalam pemberian obat ini.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat pada makalah ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh metformin terhadap berat badan anak dan remaja
penderita diabetes ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Menganalisis obat metformin mengenai farmakologi umum,
farmakodinamik, farmakokinetik dan toksisitas.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui penggunaan obat metformin terhadap berat badan anak
dan remaja penderita diabetes.

D. Manfaat Hasil Penelitian


1. Bagi masyarakat
Menambah informasi serta pengetahuan bagi masyarakat terkait dengan
farmasi, farmakologi, penyelidikan penelitian pada anak dan remaja.
2. Bagi institusi lain
Sebagai sarana informasi dan juga bahan masukan ilmiah terkait dengan
farmasi, farmakologi, penyelidikan penelitian pada anak dan remaja
3. Bagi mahasiswa
Menambah wawasan serta pengetahuan yang terkait dengan farmasi,
farmakologi, penyelidikan penelitian pada anak dan remaja
4. Bagi pengembangan ilmu
4

Sebagai bahan referensi pengetahuan khususnya dalam bidang kedokteran


terkait dengan farmasi, farmakologi, penyelidikan penelitian pada anak
dan remaja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sifat Fisiko-Kimia dan Rumus Kimia Obat


Tabel II.1 : Informasi struktur dan sifat obat
Nama Metformin HCl
Nama Kimia N, N-dimethyl biguanide hydrochloride
Massa Molekul 165.6

Rumus Kimia

Metformin HCl merupakan bubuk Kristal putih.


Struktur Fisiko-
Metformin HCl larut dalam air dan 95% etil alcohol
Kimia Metfornin HCl tidak larut dalam eter dan kloroform
Titik Didih 218-220oC
Sumber : (Sante, 2009)

B. Farmasi Umum
Metformin tersedia dalam bentuk sediaan tablet 500 mg dan 850
mg (Sante, 2009) .
Dosis minimum yang efektif untuk metformin adalah 500 mg/hari ,
dengan dosis optimum 2000 mg /hari. Dosis maksimum harian tidak boleh
melebihi 2550 mg/hari. Pengobatan harus dimulai dengan dosis terkecil
dan perlahan dititrasi hingga dosis optimal untuk control glukosa telah
tercapai. Metformin bisa di resepkan dalam bentuk tablet 500 mg ataupun
tablet 850 mg, obat ini tersedia dengan nama dagang Glucophage atau
sebagai tablet extended release Glucophage XR (Gail M, 2013) .
Terapi diawali dengan pemberian 500 mg atau 850 mg b.in.d
m.et.v. Pada anak-anak dosis permulaan diberikan sebesar 500 mg bid
pada pagi dan sore. Efek samping yang paling sering adalah gangguan
5

saluran cerna, jika terjadi efek samping maka dosis permulaan dapat
diturunkan. Gejala-gejalanya akan menghilang dalam waktu 2 minggu dan
dosis obat dapat ditingkatkan kembali hingga target glukosa darah dapat
dicapai (Woo T dan Wynne, 2011) .
Pasien diberitahu atau diminta untuk meminum obat pada waktu
yang sama setiap harinya sesuai yang diresepkan oleh dokter. Karena
titrasi dosis akan berubah setiap minggu atau tiap beberapa minggu,
gunakan kalender atau kartu pengingat. Jika pasien lupa meminum obat
(jam minum terlewat), langsung diminum selagi masih ingat, kecuali
sudah dekat dengan jadwal minum obat berikutnya. Jangan mengkonsumsi
2 kali dosis obat dalam sekali minum (Woo T dan Wynne, 2011) .

C. Farmakologi Umum
Metformin direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk
diabetes tipe 2. Metformin merupakan insulin-sparing agent dan tidak
meningkatkan berat badan atau menyebabkan hipoglikemia, obat ini lebih
unggul dibanding insulin ataupun sulfonylurea dalam mengatasi
hiperglikemia (Katzung, 2009).
The United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS)
melaporkan bahwa terapi metformin menurunkan resiko penyakit
makrovaskular dan mikrovaskular, fakta ini kontras dibandingkan dengan
terapi antidiabetes lain yang hanya memperbaiki morbiditas dari
mikrovaskular (Katzung, 2009) .
Metformin juga diindikasikan untuk digunakan sebagai terapi
kombinasi dengan thiazolidinediones dan insulin secretagogues pada
diabetes tipe 2 yang tidak mengalami perbaikan dengan monoterapi oral.
Metformin juga berguna sebagai terapi pencegahan terhadap diabetes tipe
2, Diabetes Prevention Program menyimpulkan bahwa metformin
memiliki efikasi dalam mencegah onset dari diabetes tipe 2 pada usia
menengah, penderita obesitas, Impaired Glucose Tolerant (IGT) dan
penderita hiperglikemia puasa. Namun metformin tidak mencegah
terjadinya diabetes pada usia tua (Katzung, 2009) .
6

Ada 2 kontraindikasi utama untuk penggunaan metformin, yaitu


disfungsi atau gangguan ginjal dan asidosis metabolik. Pria dengan serum
kreatinin 1.5 atau lebih dan wanita dengan serum kreatinin 1.4 atau lebih,
tidak boleh menggunakan metformin, karena eliminasi obat yang
sepenuhnya bergantung pada fungsi ginjal (Woo T dan Wynne, 2011).
Pasien dengan riwayat asidosi metabolik akut maupun kronik dan
pasien dengan resiko tinggi terjadi asidosis metabolik hipoperfusi
jaringan(contoh: dehidrasi berat, gagal jantung, kerusakan hepar yang
berat) juga tidak boleh menerima obat ini (Woo T dan Wynne, 2011).
Penggunaan metformin juga harus dihentikan sementara( 48 jam
sebelum dan sesudah prosedur) pada pasien yang akan menjalani tes
radiologi yang menggunakan iodin sebagai bahan kontras, karena dapat
menyebabkan gangguan fungsi ginjal dan asidosis laktat. Metformin hanya
bisa diberikan setelah fungsi ginjal telah dievaluasi ulang dan terbukti
normal (Woo T dan Wynne, 2011).
Metformin terdaftar sebagai obat kategori B untuk kehamilan,
namun tidak direkomendasikan pada ibu hamil. Para ahli berpendapat
bahwa hanya insulin yang sebaiknya digunakan untuk mengontrol gula
darah selama kehamilan. Penelitian pada tikus membuktikan bahwa
metformin diekskresikan melalu air susu dalam kadar yang sama dengan
plasma. Penelitian serupa belum dilakukan pada manusia (Woo T dan
Wynne, 2011) .
Pada penelitian yang dilakukan oleh (Andreja, M., 2010) bahwa
pada pasien DM tipe 2 dan ditunjukkan dalam beberapa penelitian,
metformin memiliki potensi tindakan anti atherothrombotik. Pengobatan
dengan metformin meningkatkan fungsi endotel dengan mengurangi
tingkat sirkulasi dari sVCAM-1 dan E-selectin, yang merupakan penanda
aktivasi endotel; mengurangi tingkat sirkulasi plasminogen activator
inhibitor-1; meningkatkan parameter hemostatik lainnya, mengurangi
aktivitas faktor XIII dan mengurangi kadar faktor VII, promotor endogen
kuat koagulasi. Metformin mengurangi sirkulasi tingkat protein reaktif C;
menghambat aktivasi faktor transkripsi nuklir pro-inflamasi, NF kappaB,
7

fungsi sekunder berupa peningkatan aktivitas enzim AMP-kinase


(AMPK), yang juga sebagai mekanisme sel sebagai efek anti inflamasi
dari metformin. Metformin juga menurunkan stres oksidatif, menghambat
peroksidasi lipid dari LDL dan HDL, dan produksi superoksida radikal
bebas (O2) di trombosit. Metformin dapat mengurangi produksi produk
akhir glikasi lanjut (AGE) secara tidak langsung, dengan cara reduksi
hiperglikemia, dan langsung oleh mekanisme independen insulin. Studi
eksperimental menunjukkan bahwa metformin dapat menghambat
pengikatan monosit ke sel vaskular, dan diferensiasi monosit menjadi
makrofag.
Sebuah analisis studi yang membandingkan metformin dengan
plasebo atau tanpa pengobatan pada wanita dengan PCOS menunjukkan
bahwa metformin secara signifikan mengurangi glukosa darah puasa,
tekanan darah sistolik dan diastolik, kolesterol LDL dan insulin puasa,
meskipun kolesterol total, HDL kolesterol atau trigliserida tidak berubah
secara signifikan. Uji coba yang membandingkan metformin dengan pil
kontrasepsi oral menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam insulin
puasa dan trigliserida pada penggunaan metformin, tetapi tidak ada
peningkatan secara signifikan pada glukosa puasa. Selain itu, kedua
analisis menunjukkan bahwa metformin secara signifikan mengurangi
serum testosteron, androstenedion dan sulfat dehydroepiandrostenedione
(Andreja, M., 2010).
Studi eksperimental menunjukkan peran enzim AMPK antara
mekanisme molekuler bertanggung jawab penting atas tindakan metabolik
yang menguntungkan metformin. Metformin menginduksi tumor supresor
LKB1, yang merupakan regulator AMPK, mendukung potensi efek anti
neoplastik dari metformin (Andreja, M., 2010). Mengaktifkan AMPK,
metformin negatif mengatur mTORC1 (target mamalia dari rapamycin),
yang berhubungan dengan sejumlah patologi manusia. Dalam studi vitro
pada sel kanker payudara manusia menunjukkan bahwa metformin
menghambat proliferasi sel, pembentukan koloni berkurang, dan
menyebabkan sebagian siklus sel tahanan. Metformin juga inhibitor
8

ampuh proliferasi sel di baris kanker endometrium. Kombinasi metformin


dan 2-deoxyglucose menginduksi apoptosis p53-dependent pada sel
kanker prostat. Dua studi observasional besar melaporkan insiden
penurunan penyakit neoplastik pada pasien 2 DM tipe diobati dengan
metformin, dibandingkan dengan sulfonylurea dan insulin. UKPDS
mengungkapkan bahwa pengobatan metformin mengurangi risiko
kematian akibat kanker sebesar 29% dibandingkan dengan diet. Penelitian
lain juga mengamati tingkat kematian kanker secara signifikan lebih
rendah pada pasien yang diobati dengan metformin dibandingkan pasien
yang tidak menerima metformin (Andreja, M., 2010).

D. Farmakodinamik
Mekanisme kerja metformin masih sulit dideskripsikan, namun
efek utamanya adalah untuk mengurangi produksi glukosa hepar melalui
aktivasi enzim AMP-activated protein kinase (AMPK). Mekanisme kerja
minor yang mungkin terjadi adalah stimulasi langsung glikolisis di
jaringan tubuh, dengan peningkatan pembuangan glukosa dari dalam
darah, penurunan gluconeogenesis hati dan ginjal, dan penurunan absorpsi
glukosa dari saluran pencernaan dengan peningkatan konversi glukosa
menjadi laktat oleh enterosit; dan 4). Penurunan level glucagon plasma
(Katzung, 2009) .
Kerja metformin dalam menurunkan kada glukosa darah tidak
bergantung pada fungsi dari sel beta pancreas. Pasien dengan diabetes tipe
2 memiliki gula darah puasa yang sama rendah dengan 2 jam post prandial
setelah pemberian metformin. Obat ini disebut euglycemic agent karena
dapat menurunkan hiperglikemia namun jarang menimbulkan
hipoglikemia (Katzung, 2009) .
Besarnya penurunan dari konsentrasi glukosa darah puasa pada
terapi dengan metformin berbanding lurus dengan kadar glukosa darah
puasa saat mengalami hiperglikemia. Pasien dengan kadar glukosa darah
yang tinggi akan mengalami penurunan yang lebih signifikan dibanding
pasien yang kadar glukosa darah nya rendah (Woo T dan Wynne, 2011) .
9

Metformin memiliki efek moderat terhadap lipid. Pada suatu


penelitian klinis, metformin dapat menurunkan Mean fasting serum
tryglycerides sebesar 16%, Total cholesterol sebesar 5%, Low Density
Lipid(LDL) sebesar 8%, dan meningkatkan High Density Lipid(HDL)
sebesar 2%. Hal yang sama juga terjadi ketika Metformin dikombinasikan
dengan Sulfonylurea dan obat antidiabetes lain, namun besarnya
perubahan lebih kecil pada terapi kombinasi (Woo T dan Wynne, 2011) .
Perbandingan jika pasien diterapi dengan Sulfonyulrea, pasien
yang mengkonsumsi metformin tidak mengalami peningkatan berat badan,
dan justru terjadi penurunan berat badan. Dikarenakan salah satu faktor
utama penyebab diabetes tipe 2 adalah obesitas, efek penurunan berat
badan dari obat ini menguntungkan dalam terapi. Metformin juga
menginhibisi agregasi platelet dan menurunkan kekentalan darah (Woo T
dan Wynne, 2011) .

E. Farmakokinetik
Pola ADME
ABSORPSI DAN DISTRIBUSI
50-60% Metformin diabsorpsi setelah administrasi oral dalam
kondisi puasa. Makanan menurunkan jumlah dan sedikit memperlambat
absorpsi, Konsentrasi maksimum dalam serum atau disebut C max
mengalami penurunan sebesar 40% dan Area Under the Curve(AUC)
mengalami penurunan sebesar 25% (Woo T dan Wynne, 2011) .
Absorpsi tidak berbanding lurus dengan dosis, semakin tinggi
dosis yang diberikan, semakin rendah persentase obat yang diabsorpsi.
Peningkatan dosis tidak mengakibatkan peningkatan jumlah obat di
dalam tubuh (Woo T dan Wynne, 2011) .
Metformin terikat dengan protein plasma. Waktu paruh pada
plasma adalah 6.2 jam sedangkan waktu paruh dalam darah adalah 17.6
jam (Woo T dan Wynne, 2011) .
METABOLISME DAN EKSKRESI
Metformin tidak mengalami metabolism hepatic dan dieksresikan
seperti bentuk asal melalui urin. Tak ada eksresi melalui kantong empedu.
10

Klirens ginjal 3.5 kali lebih besar dari Creatinine Clearance Rate(CCr)
mengindikasikan bahwa rute eliminasi obat ini melalui sekresi tubular
ginjal (Woo T dan Wynne, 2011) .
Interaksi Obat
Obat kationik yang diekskresikan melalui ginjal ( misal : digoxin,
morfin, procainamide, trimethoprim, dan vancomycin) akan berkompetisi
dengan metformin untuk jalur eliminasinya. Perubahan dosis mungkin
diperlukan jika pasien juga menggunakan obat lain yang akan berinteraksi
dengan metformin (Woo T dan Wynne, 2011) .
Cimetidine meningkatkan kadar puncak metformin dalam plasma
sebesar 60%, ditambah dengan peningkatan sebesar 40% pada AUC.
Furosemide meningkatkan masing-masing sebesar 15% tanpa ada
perubahan signifikan dalam klirens ginjal (Woo T dan Wynne, 2011) .
Kedua obat tersebut dapat meningkatkan efek dari metformin,
karena interaksi ini pengaturan dosis mungkin diperlukan. Nifedipine
meningkatkan absorpsi dan mungkin meningkatkan efek metformin, dan
secara bersamaan meningkatkan eksresi nya melalui urin sehingga efek
total obat bisa lebih kecil dari yang diinginkan (Woo T dan Wynne, 2011) .

F. Toksisitas
Hampir 20% pasien yang menggunakan metformin mengalami
mual, muntah, serta diare tetapi dengan menurunkan dosis keluhan-
keluhan tersebut segera hilang. Pada beberapa pasien yang mutlak
bergantung pada insulin eksogen, kadang-kadang metformin menimbulkan
ketosis yang tidak disertai dengan hiperglikemia. Hal ini harus dibedakan
dengan ketosis karena defisiensi insulin (Farmakologi dan terapi, 2007) .
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau system
kardiovaskuler, pemberian metformin dapat menimbulkan peningkatan
kadar asam laktat dalam darah, sehingga hal ini dapat mengganggu
keseimbangan elektrolit dalam cairan tubuh. Oleh karena itu pasien di atas
60 tahun sebaiknya jangan diberi metformin sebagai terapi permulaan
(Tjay, 2015) .
Keracunan akibat obat metformin ini sangat tergantung pada jenis
dan jumlah obat yang dikonsumsi. Keracunan juga bisa terjadi akibat
11

terjadinya interaksi obat antidiabetes dengan obat lain karena penggunaan


secara bersamaan atau dalam waktu yang berdekatan atau karena adanya
gangguan fungsi tubuh yang berperan dalam proses pembuangan obat ke
luar tubuh setelah obat tersebut bekerja seperti gangguan fungsi hati atau
ginjal. Beberapa contoh keracunan yang telah dilaporkan adalah sebagai
berikut (Mahmoud, 2013):
Konsumsi chlorpropamide (250 mg), glipizide (5 mg), atau glyburide
(2.5 mg) pada anak berusia 1 4 tahun dapat menyebabkan kondisi
hipoglikemia. Dua tablet acetohexamide 500-mg dapat menyebabkan
koma pada orang dewasa. Konsumsi 5 mg glyburide pada orang tua
berusia 79 tahun yang tidak mengidap diabetes dapat menyebabkan
koma hipoglikemia.
Interaksi obat golongan sulfonil urea dengan obat-obat berikut;
propranolol, salisilat, clofibrat, profenecid, asam valproat, dikumarol,
alcohol dapat meningkatkan efek keracunan 4 mg repaglinide dapat
menyebabkan kondisi hipoglikemia pada orang berusia 18 tahun yang
tidak menderita diabetes.
Asidosis laktat dapat terjadi setelah 9 jam pemakaian 25 gram
metformin oleh seorang pasien berusia 83 tahun dan asidosis laktat
yang fatal serta kolaps kardiovaskuler terjadi 4 jam setelah penggunaan
35 gram oleh pasien berusia 35 tahun. Metformin yang beredar
dipasaran farmasi adalah dengan dosis 500 mg atau 0,5 gram.
Koma hipoglikemia berat dan kerusakan saraf permanent terjadi setelah
injeksi 800 3200 unit insulin. Insulin yang terkonsumsi secara oral
atau lewat mulut tidak bersifat racun karena tidak bisa diserap oleh
tubuh.
Tampilan klinis akibat keracunan obat antidiabetes ini adalah sebagai
berikut:
Hipoglikemia, kejadiannya bisa saja tertunda tergantung kepada jenis
obat yang digunakan dan rute atau dengan cara apa obat digunakan
(oral, intra vena atau subkutan). Tanda-tanda terjadinya hipoglikemia
atau penurunan kadar gula darah sampai level yang rendah adalah
12

gemetar, bingung, koma, kejang-kejang, takikardia (debaran jantung


yang cepat), dan diaforesis (berkeringat secara berlebihan).
Asidosis laktat akibat keracunan metformin dan phenformin dapat
dimulai dengan tanda-tanda yang tidak spesifik seperti lemas, muntah,
nyeri otot, dan tekanan pada pernapasan. Tingkat kematian akibat
asidosis laktat yang berat dilaporkan mencapai 50%.
Sehubungan dengan seriusnya peristiwa keracunan yang disebabkan
oleh obat antidiabetes ini, maka tentunya kita harus berhati-hati di dalam
mengkonsumsi atau menyimpan obat tersebut. Gunakanlah obat sesuai dengan
dosis yang dianjurkan karena pemakaian dengan dosis berlebihan dapat
menyebabkan keracunan. Simpanlah obat pada tempat yang aman dan jauh dari
jangkauan anak-anak. Konsumsi obat oleh orang yang tidak memerlukan/
bukan penderita diabetes tentu saja akan menyebabkan keracunan (Aryana,
2010) .

BAB III

PENELITIAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG LAIN

A. Penelitian yang dilakukan Oleh Freemark dan Bursey 2001

Menurut Freemark dan Bursey 2001 terkait dengan pengaruh


metformin terhadap berat badan dan kadar glukosa pada pasien remaja
yang menderita obesitas dengan hiperinsulinemia dan diabetes tipe 2. Studi
menggunakan populasi sejumlah 29 remaja berusia 12 sampai 19 tahun
dengan BMI melebihi 30 kg/m2 dengan kriteria : 1) Konsentrasi insulin
puasa melebihi 15 U/mL dan 2) riwayat diabetes melitus tipe 2.
Penelitian menggunakan metformin (500 mg 2 kali sehari) dan plasebo
sebagai pembanding. Adapun hasilnya adalah metformin dapat
13

menurunkan BMI sekitar 0.12 (-1.3% dari ambang batas) dan dapat
menurunkan serum leptin pada wanita 5.5%. Metformin juga dapat
menyebabkan penurunan progresif pada kadar glukosa darah puasa (84.9
menjadi 75.1 mg%) dan menurunkan kadar insulin puasa (dari 31.3
menjadi 19.3 U/mL). Untuk penggunaan plasebo terjadi peningkatan gula
darah puasa dari 77.2 menjadi 82.3 mg% dan kadar insulin tidak berubah
sehingga terapi metformin dengan resistensi insulin pada remaja tidak
efektif.

B. Penelitian yang dilakukan Oleh Suwandi (2010)


Metformin merupakan obat hipoglikemik oral golongan biguanid.
Mekanisme kerja metformin yang tepat tidak jelas, walaupun demikian
metformin dapat memperbaiki sensitifitas hepatik dan periferal terhadap
insulin tanpa menstimulasi sekresi insulin, serta menurunkan absorpsi
glukosa dari saluran lambung-usus.
Indikasi:
1. Pengobatan penderita diabetes yang baru terdiagnosa setelah dewasa,
dengan atau tanpa kelebihan berat badan dan bila diet tidak berhasil.
2. Sebagai kombinasi terapi pada penderita yang tidak responsif terhadap
terapi tunggal sulfonilurea baik primer maupun sekunder.
3. Sebagai obat pembantu untuk mengurangi dosis insulin apabila
dibutuhkan.
4. Sebagai obat untuk obesitas.
Pengaruh yang berarti penggunaan metformin pada berat badan,
atau kecenderungan penurunan berat badan, telah nampak pada populasi
obesitas non diabetic yang tidak dipilih berdasar dysglycaemia. Namun,
meta-analisis evaluasi terkontrol pada metformin menyimpulkan bahwa
besaran pengaruh pada berat badan tidak mendukung penggunaannya
hanya bagi kontrol berat badan.
Berat badan merupakan ukuran antropometri yang mudah terlihat
perubahannya dalam waktu singkat karena perubahan konsumsi makanan
dan kesehatan. Berat badan ideal dapat dinilai dengan berbagai cara, salah
14

satu yang umum dan mudah dilakukan pada orang dewasa adalah
pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT).
Hasil penelitian Suwandani ini menunjukkan bahwa pemakaian
metformin saja tidak memberikan hasil bermakna bagi penurunan berat
badan, meskipun penggunaan metformin untuk menurunkan berat badan
dimungkinkan. Metformin termasuk kelompok obat-obatan anti obesitas
terutama untuk obesitas dengan tipe 2 diabetes, PCOS (polycystic Ovary
Syndrome) dan obesitas dengan gangguan toleransi glucosa. Efek
penurunan berat badan tidak mendukung penggunaannya hanya bagi
kontrol berat badan. Namun jelas dengan penambahan metformin pada
obat anti diabetes dapat membantu penurunan berat badan, hal ini terjadi
sebagai pengaruh dari efek weight-neutral/ weight sparing metformin.
Penggunaan metformin dengan diet rendah kalori memberikan hasil
sinergi, sehingga dapat menurunkan berat badan secara bermakna.
Metformin mengaktifkan AMPK (AMP-activated protein kinase) dalam
hepatosit, sehingga aktivitas Acetyl Co-A Carboxylase (ACC) menurun,
oksidasi asam lemak meningkat dan ekspresi emzym lipogenic ditekan.
C. Penelitian yang Dilakukan Oleh Yanovski et al (2011)
Jenis penelitian Randomized Double-Blind Placebo-controlled
Trial yang subjeknya adalah 100 anak berusia 6-12 tahun yang menderita
obesitas berat dan resistensi insulin (Rata-rata BMI 34,6 6.6 kg/m 2).
Pemberian 1000 mg Metformin pada 53 sampel dan placebo pada 47
sampel 2 kali sehari selama 6 bulan, lalu dilanjutkan dengan pengobatan
open label metformin selama 6 bulan.

Sebanyak 85 persen partisipan berhasil menyelesaikan 6 bulan fase


penelitian acak. Anak-anak yang diresepkan metformin mengalami
penurunan secara signifikan pada BMI(perbedaan ~1.09 kg/m2 , CI ~ 1.87
sampai 0.31, P = 0.006), berat badan (perbedaan ~ 3.38 kg, CI ~ 5.2
sampai 1.57, P < 0.001), BMI Z score( perbedaan antara metformin dengan
grup placebo ~ 0.07 , CI ~ 0.12 sampai 0.01, P = 0.02) , dan massa lemak
(perbedaan ~ 1.4 kg , CI ~ 2.74 sampai 0.06 , P = 0.04).
15

Glukosa darah puasa mengalami perbaikan pada anak-anak yang


diobati dengan metformin dibanding kelompok placebo. Gejala
gastrointestinal secara signifikan lebih sering terjadi pada anak anak yang
diberi metformin, yang membatasi dosis maksimal pada 17%. Selama 6
bulan fase open label, anak-anak yang sebelumnya menggunakan plasebo
mengalami penuruan pada skor BMI Z sedangkan pada kelompok
sebelumnya yang sudah menggunakan metformin tidak ada perubahan
signifikan pada skor BMI Z.

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang telah


dilakukan oleh yanosvski et al yaitu, metformin memiliki efek-efek
sederhana tapi menguntungkan pada berat badan, komposisi tubuh, dan
homeostasis glukosa pada anak resisten insulin obesitas berpartisipasi
dalam intensitas rendah program penurunan berat badan.

D. Penelitian yang Dilakukan Oleh Schehler dan Schneider (2013)

Sebanyak 199 pasien dilibatkan dalam penelitian ini (179


perempuan, 20 laki-laki).Usia rata-rata pasien adalah 39,2 tahun, BMI
rata-rata adalah 35.3kg / m2 6.0.Sebanyak 154 pasien (138 wanita, 16
pria) yang termasuk dalam kelompok metformin dan 45 pasien (41
perempuan, 4 laki-laki) yang termasuk dalam kelompok kontrol.

Dosis rata-rata metformin yang digunakan adalah 2230mg setiap


hari pada kelompok dengan penggunaan metformin 24 (15%) dari pasien
di bawah metformin mengeluhkan efek samping gastrointestinal seperti
diare, kembung dan nyeri perut. Pada pasien ini kami meningkatkan dosis
kurang rapidely, sehingga mereka mencapai dosis final nanti tapi semua
dalam 2 bulan. Didapatkan penurunan berat badan dari 10% atau lebih dan
penurunan berat badan minimal 5% di 47,4% dari 154 pasien dengan
penggunaan metformin.
16

Dalam penelitian Schehler dan Schneider, ditemukan penurunan


berat badan rata-rata 5.8kg di bawah pengobatan dengan metformin
selama 6 bulan di sebagian besar pada pasien dengan resisten
insulin,kelebihan berat badan dan obesitas.

Secara keseluruhan, data yang dibahas menunjukkan bahwa khasiat


metformin untuk mengurangi berat badan tergantung pada tingkat
resistensi insulin.Telah terbukti bahwa reseptor insulin mengikat, aktivitas
tyrosine kinase dari reseptor insulin dan transportasi glukosa diubah
dengan cara yang sama pada pasien diabetes tipe 2 dan individu obesitas
tanpa diabetes, yang mendukung kemanjuran metformin dalam kedua
kondisi. Ada bukti kuat bahwa resistensi insulin merupakan penyumbang
utama untuk obesitas abdominal.Namun, hal itu belum dijelaskan jika
resistensi insulin dapat menyebabkan obesitas.

Metformin tidak hanya meningkatkan glukosa darah kontrol oleh


pembuangan glukosa di otot rangka, tetapi juga menurunkan pengeluaran
glukosa hepatik, menghambat glukoneogenesis dan menurunkan
penyerapan glukosa dari saluran gastrointestinal.Mekanisme ini membuat
minimnya glukosauntuk penyimpanan energi dalam jaringan adiposa.
Khususnya penurunan berat badan yang disebabkan oleh diet kalori
dengan metformin mengurangi lemak tetapi tidak massa tubuh tanpa
lemak.

Dalam penelitian ini jumlah penurunan berat badan berkorelasi


dengan berat badan.Pasien dengan obesitas berat memiliki kapasitas yang
lebih besar untuk menurunkan berat badan dibandingkan pasien dengan
obesitasrelative ringan.Pasien obesitas yang parah kehilangan rata-rata
berat badan lebih dibandingkan dengan pasien dengan obesitas lebih
ringan. Namun tidak ada perbedaan yang signifikan dalam persentase
penurunan berat badan Kekuatan penelitian ini adalah bahwa hal ini
menunjukkan efek metformin dalam situasi kehidupan nyata, dan tidak
17

dalam situasi percobaan klinis itu, termasuk efek kepatuhan dan interaksi
potensial. Selain itu, kita hati-hati menilai hubungan resistensi insulin
dengan penurunan berat badan.

Secara bersama-sama, data kami menunjukkan bahwa penggunaan


metformin untuk pasien obesitas dalam dosis yang cukup tinggi itu adalah
obat yang bermanfaat dan efektif untuk mengurangi berat
badan.Efektivitas metformin sebagai zat pereduksi tidak dibatasi untuk
pasien dengan resisten insulin meskipun diharapkan dapat menurunkan
berat badan dengan jumlah yang lebih besar, jika pasien menunjukkan
tanda-tanda biokimia dari resistensi insulin sebelum pengobatan
metformin.

BAB IV
PEMBAHASAN

Diabetes melitus adalah suatu jenis penyakit yang disebabkan


menurunnya hormon insulin yang diproduksi oleh kelejar pankreas. Penurunan
hormon ini mengakibatkan seluruh gula (glukosa) yang dikonsumsi tubuh tidak
dapat diproses secara sempurna, sehingga kadar glukosa di dalam tubuh
meningkat. Gula yang meliputi polisakarida, oligosakarida, disakarida, dan
monosakarida merupakan sumber tenaga yang menunjang keseluruhan
aktivitas manusia. Seluruh gula ini akan diproses menjadi tenaga oleh hormon
insulin tersebut. Karenanya, penderita diabetes melitus biasanya akan
mengalami lesu, kurang tenaga, selalu merasa haus, sering buang air kecil, dan
pengelihatan menjadi kabur. Gejala lain akibat adanya kadar glukosa yang
terlalu tinggi akan terjadi ateroma sebagai penyebab awal penyakit jantung
koroner (Utami dan Lentera., 2003), hiperglikemia serta gangguan
18

metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang dihubungkan dengan


kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja sekresi insulin (Fatimah,
Restyana., 2015).

Pada dasarnya, diabetes melitus merupakan penyakit kelainan


metabolik yang disebabkan karena kurangnya hormon insulin dimana hormon
insulin yang dihasilkan oleh sekelompok sel beta pankreas dan sangat berperan
dalam metabolisme glukosa bagi sel tubuh (Utami dan Lentera., 2003).
Menurut Mkele (2013), diabetes melitus ini adalah suatu penyakit progresif
yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang meningkat sebagai akibat
resistensi insulin dan kegagalan sel beta pankreas. Kadar glukosa darah yang
tinggi dapat mempengaruhi pembuluh darah kecil (microvaskuler) dan
pembuluh darah besar (macrovaskuler), serta dapat juga mengakibatkan
komplikasi seperti retinopati, nefropati, neuropati, dan penyakit kardiovaskular.

Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala


akut diabetes melitus yaitu : Poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak
minum), poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan
bertambah namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4
minggu), dan mudah lelah. Sedangkan gejala kronik diabetes melitus yaitu :
Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di
kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah
goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa
terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin
dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg (Fatimah, 2015).
Empat puluh delapan persen (48%) dari pasien diatas usia 30 tahun tidak
menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dimana mayoritas asimtomatik
(Bebakar et al., 2009).
Diabetes melitus memiliki keluhan dan gejala yang khas ditambah
hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl dan glukosa darah puasa
>126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis
DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam
19

setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2


kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan
pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti
ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat. Ada perbedaan antara uji
diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik dilakukan pada
mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya
resiko DM (usia > 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga
DM, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL
35 mg/dl, atau trigliserida 250 mg/dl). Uji diagnostik dilakukan pada mereka
yang positif uji penyaring. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui
pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa,
kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar
(Fatimah, 2015).
Pada diabetes tahap awal sering dapat dikontrol oleh diet yang cocok
dan olahraga, pengobatan seringkali diperlukan untuk mencegah kenaikan
berat badan dan komplikasi kardiovaskular (Dronsfield dan Ellis, 2011).
Metformin dianggap obat pilihan pertama untuk tipe diabetes melitus, terutama
pada pasien dengan kelebihan berat badan. Hal ini dirasakan pada efektivitas
dalam mencapai kontrol glikemik, efek menguntungkan pada berat badan,
risiko rendah menyebabkan hipoglikemia dan biayanya yang masih terjangkau.
Lebih penting lagi, metformin juga telah secara konsisten terbukti memiliki
efek menguntungkan pada faktor risiko kardiovaskular (Mkele, 2013).

Menurut Rotella, Matteo, dan Edoardo (2006), metformin adalah obat


yang banyak digunakan dalam terapi pasien yang terkena diabetes melitus.
Pengobatan jangka panjang dengan obat ini pada monoterapi, dapat
meningkatkan kontrol glikemik dan mengurangi mortalitas kardiovaskular
pada kelebihan berat badan pasien diabetes tipe 2. Bukti eksperimental
diproduksi selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa metformin mungkin
20

berguna dalam beberapa kondisi klinis yang berbeda dari diabetes mellitus.
Dalam penelitian Rotella dan kawan-kawannya, mereka telah memeriksa data
yang tersedia tentang kemungkinan penggunaan metformin sebagai agen terapi
efektif dalam kondisi patologis yang berbeda dari diabetes melitus tipe 2. Atas
dasar penyelidikan yang mereka lakukan, penggunaan metformin dapat
disarankan pada pasien dengan kelebihan berat badan yang dipengaruhi oleh
gangguan toleransi glukosa dan/atau hiperglikemia puasa, dan juga yang
terkena sindrom ovarium polikistik.

Metformin merupakan obat antidiabetik oral golongan Biguanid yang


mana obat ini tidak menstimulasi pelepasan insulin dan tidak menurunkan gula
darah pada orang sehat. Zat ini juga menekan nafsu makan (efek anoreksan)
hingga berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita
yang kegemukan. Mekanisme kerjanya hingga kini belum diketahui dengan
jelas. Disamping menghambat produksi glukosa di hati, juga menurunkan
kepekaan perifer bagi insulin. Produksi insulin tidak distimulasi sehingga tidak
mengakibatkan hipoglikemia. Telah dibuktikan bahwa metformin mengurangi
terjadinya komplikasi makrovaskuler melalui perbaikan profil lipid darah,
penurunan LDL dan trigliserida, juga fibrinolisis diperbaiki sedangkan berat
badan tidak begitu meningkat. Efek samping yang ditimbukan, yaitu pada awal
terapi agak sering (20%) terjadi dan berup gangguan alat pencernaan, antara
lain mual, muntah, diare, dan anorexia, terutama pada dosis di atas 1,5 g/hari.
Jarang sekali terjadi asidosis asam laktat yang mengancam jiwa, terutama
lansia. Oleh karena itu pasien diatas 60 tahun sebaiknya jangan diberikan
metformin sebagai terapi permulaan. Rasa logam di mulut adakalanya dialami,
risiko hipoglikemia sangat kecil. Untuk pasien yang sedang hamil dan
menyusui sebaiknya diberikan insulin parenteral dengan dosis 3 dd 500 mg
atau 2 dd 850 mg d.c. bila perlu berangsung-angsung dinaikkan dalam waktu 2
minggu sampai maksimal 3 dd 1 g. (Tjay dan Rahardja, 2015).

Anak obesitas merupakan masalah kesehatan masyarakat yang


penting dengan meningkatnya prevalensi. Hampir 1 dari 3 anak dianggap
21

kelebihan berat badan (BMI 85 persentil untuk usia). Insiden diabetes


mellitus tipe 2 di kalangan remaja kelebihan berat badan telah meningkat
secara dramatis dalam 20 tahun terakhir. Anak-anak obesitas lebih mungkin
untuk menjadi orang dewasa gemuk, mengembangkan diabetes mellitus tipe 2,
dan memiliki faktor risiko penyakit kardiovaskular seperti tekanan darah tinggi
dan lipid serum. Sementara diet dan olahraga adalah lini pertama metode
penurunan berat badan yang digunakan, beberapa pasien mencapai
keberhasilan (McDonagh, et al (2014).

Pada penelitian sebelumnya telah disetujui oleh Food and Drug


Administration Amerika Serikat untuk mengobati obesitas pada anak-anak usia
12 sampai 16 tahun, dimana pada obesitas berat, operasi bariatrik dapat
mengakibatkan penurunan berat badan dari 32 sampai 45 kg, namun
penggunaannya terbatas pada orang dewasa, kecuali dalam keadaan ekstrim
(McDonagh, et al (2014).

Metformin telah terbukti menurunkan berat badan, hiperinsulinemia,


dan hiperglikemia pada orang dewasa dengan diabetes mellitus tipe 2 dan juga
menurunkan progresivitas dari Impaired Glucose Tolerance. Suatu hasil
penelitian meta analisis mendukung bahwa metformin menunjukkan efek
positif untuk menurunkan berat badan pada anak-anak dan remaja obesitas
yang mengalami hiperinsulinemia. Pengobatan selama 6 bulan ampuh
mengurangi BMI sebesar 1.42 kg/m2. Namun metformin tidak terlalu efektif
dalam menurunkan BMI pada orang dewasa, ketika dibandingkan dengan obat-
obatan yang khusus untuk hipertensi, metformin memiliki efek moderat (Park
& Kinra, 2009).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh McDonagh, et al (2014)


mengatakan bahwan metformin disetujui oleh Food and Drug Administration
untuk mengobati diabetes mellitus tipe 2 pada orang dewasa dan anak-anak
yang lebih tua dari 10 tahun, telah digunakan off label dalam beberapa tahun
terakhir untuk mengobati obesitas. Efek samping yang paling serius yang
22

berhubungan dengan metformin adalah asidosis laktat, dengan penyakit ginjal,


gagal jantung, dan alkoholisme sebagai faktor risiko yang diketahui. Kasus
pada anak-anak yang tidak ditemukan dalam literatur.

Mengevaluasi pengobatan untuk obesitas pada anak-anak adalah


kompleks dan harus mempertimbangkan dampak dari pertumbuhan normal dan
efek dari perbedaan pubertas, usia, dan jenis kelamin. Analis dari penelitian
menurut McDonagh, et al (2014) menunjukkan bahwa efek menguntungkan
dari metformin mungkin lebih kecil pada mereka yang BMI nya di bawah 35,
dalam studi dengan lebih banyak anak perempuan atau usia rata-rata lebih
tinggi (remaja), pada mereka dari etnis Hispanik, pada mereka dengan
acanthosis nigricans, dan di mereka yang telah mencoba dan gagal diet dan
olahraga program di masa lalu. Metformin dapat ditoleransi dengan baik pada
sebagian besar subjek dan tidak terdapat efek samping bermakna.
Sementara hasil peneliti menunjukkan bahwa beberapa anak-anak
obesitas dan remaja dapat mengambil manfaat dari pengobatan jangka pendek
dengan metformin dikombinasikan dengan intervensi gaya hidup, manfaat ini
sangat sederhana, tidak dapat mengurangi berat badan lebih dari 5% BMI.
Juga, tidak jelas bahwa ada manfaat dari jangka panjang pengobatan. Meskipun
temuan ini didasarkan pada statistik yang signifikan, dengan bukti yang cukup
kuat, manfaat klinis seperti pengurangan kecil di BMI tentu dipertanyakan
manfaatnya. Analisis subkelompok menunjukkan bahwa mungkin ada anak
yang mendapatkan manfaat lebih, misalnya, orang-orang dengan BMI lebih
besar dari 35, usia 12 tahun atau lebih muda, dan yang belum gagal intervensi
gaya hidup sebelumnya. Bukti saat ini belum cukup untuk memperhitungkan
faktor lain (misalnya, pubertas). Untuk menentukan apakah ada pasien spesifik
yang mempunyai keuntungan klinis tidak hanya keuntungan statis dari
pengobatan metformin. Percobaan skala besar diperlukan untuk dapat
memantau faktor-faktor lain seperti pubertas (McDonagh, et al., 2014).
23

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari makalah ilmiah yang berjudul Pengaruh


Metformin Terhadap Berat Badan Anak Dan Remaja Penderita Diabetes ini
adalah :

1. Hasil penelitian meta analisis mendukung bahwa metformin menunjukkan


efek positif untuk menurunkan berat badan pada anak-anak dan remaja
obesitas yang mengalami hiperinsulinemia. Pengobatan selama 6 bulan
ampuh mengurangi BMI sebesar 1.42 kg/m2
2. Sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh orang lain
menguatkan juga bahwa metformin dapat digunakan untuk terapi
menurunkan berat badan pada anak dan remaja, namun tidak dengan
penderita yang disertai dengan resistensi insulin.

B. Saran
Adapun saran dari makalah ilmiah yang berjudul Pengaruh Metformin
Terhadap Berat Badan Anak Dan Remaja Penderita Diabetes ini adalah :
1. Praktisi kesehatan dimana dokter dan mahasiswa kedokteran termasuk
didalamnya disarankan agar tetap memberikan terapi Metformin yang
24

tepat dan terbaik kepada pasien serta perlu di perhatikan pemberian kepada
ibu hamil, ibu menyusui dan pada anak.
2. Sebaiknya disarankan bagi peneliti serta farmasi untuk selalu memantau
perkembangan terkini mengenai obat Metformin ini melalui penelitian,
serta penelusuran lebih lanjut.
3. Sebaiknya dalam penggunaan obat apapun hendaklah sesuai dengan
petunjuk penggunaan, pada saat yang tepat dan dalam jangka waktu terapi
sesuai dengan yang telah dianjurkan.
4. Pada pembuatan makalah selanjutnya dapat lebih didalami lagi terkait
dengan penggunaan Metformin saat berpuasa serta penggunaan Metformin

Anda mungkin juga menyukai