Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Sebagai dampak positif pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah


Indonesia, pola penyakit di Indonesia pun mengalami pergeseran yang cukup
meyakinkan. Penyakit infeksi dan kekurangan gizi berangsur turun, namun di lain
pihak penyakit menahun yang disebabkan oleh penyakit degeneratif, diantaranya
diabetes meningkat dengan tajam. Perubahan pola penyakit itu diduga ada
hubungannya dengan cara hidup yang berubah. Pola makan di kota-kota telah
bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat dan
serat dari sayuran, ke pola makan kebarat-baratan, dengan komposisi makanan
yang terlalu banyak mengandung protein, lemak, gula, garam dan sedikit
mengandung serat. Disamping itu cara hidup yang sangat sibuk dengan pekerjaan
dari pagi sampai sore bahkan kadang-kadang sampai malam hari menyebabkan
tidak adanya kesempatan untuk berekreasi dan berolahraga. Pola hidup beresiko
seperti inilah yang menyebabkan tingginya kekerapan penyakit jantung koroner,
hipertensi, diabetes, hiperlipidemia1.

Diabetes merupakan penyakit metabolik yang biasanya herediter, dan merupakan


salah satu ancaman utama bagi umat manusia pada abad 21. Berdasarkan suatu
hasil studi epidemiologi terbaru, tanpa memandang gender, ras, usia, Indonesia
telah memasuki epidemi diabetes melitus tipe 2. Di Indonesia diperkirakan masih
banyak (sekitar 50%) penyandang diabetes yang belum terdiagnosis. Jika sudah
terdiagnosis pun, dua pertiganya saja yang menjalani pengobatan (non
farmakologik maupun farmakologik) dan hanya sepertiganya saja yang terkendali
dengan baik2.

Diabetes merupakan penyakit yang akan diderita seumur hidup, jadi bukan hanya
tim medis saja yang memiliki peran penting dalam pengelolaan penyakit ini,
namun pasien dan orang disekelilingnya memiliki peran yang jauh lebih penting.
Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang
memungkinkan akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus


merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus
merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas
dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema
anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana
didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.4

2.2 Klasifikasi

Klasifikasi diabetes melitus (PERKENI, 2015) yaitu :

3
2.3 Epidemiologi

Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari
orang dewasanya.di Negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan
ekonominya menonjol, seperti Singapura, kekerapan diabetes sangat meningkat
dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu. Demikian pula pada beberapa kelompok
etnik di beberapa Negara yang mengalami perubahan gaya hidup yang sangat
berbeda dengan cara hidup sebelumnya karena mereka memang lebih makmur,
kekerapan diabetes bisa mencapai 35% seperti misalnya di beberapa bangsa
Mikronesia dan Polinesia di Pasifik,

Di Indonesia, menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini


dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes berkisar antara 1,4&-1,6%, kecuali
di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa di dekat Semarang, dan di Manado
6%. Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi
DM Tipe 2 sebesar 14, 7%, suatu angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga
di Makassar, prevalensi terakhir tahun 2005 yang mencapai 12,5%. Di Jakarta
tahun 2006, prevalensi DM di lima wilayah di Jakarta sebesar 12,1% dengan DM
yang terdeteksi sebesar 3,8% dan DM yang tidak terdeteksi sebesar 11,2%.

2.4 Patogenesis DM tipe 2

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pancreas
telah dikenal merupakan patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2.
Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat
dari pada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver, dan sel beta, organ lain
seperti : jaringan lemak (meningkatnya hipofisis), gastrointestinal (defisiensi
incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi
glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dala
menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan
organ penting dalam toleransi glukosa ini (ominous octet) penting untuk
dipahami.

DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver
dan sel beta pancreas saja yang berperan sentral dalam pathogenesis penderita DM

4
tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the
ominous octet (gambar 1).

Gambar 1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam pathogenesis hiperglikemia
pada DM tipe 2.

Secara garis besar pathogenesis DM tipe 2 disebabkan oleh delapan hal (ominous
octet) berikut :

1. Kegagalan sel beta pancreas:

Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah/ sangat
berkurang. Obat anti diabetic yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonylurea, meglitinid, GLP-1 dan DPP-4 inhibitor.

2. Liver:

Pada penderita DM tipe 2 terjadi resitensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh
liver (HGP= Hepatic Glucose Production) meningkat. Obat yang bekerja
melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.

3. Otot:

5
Pada penderita DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga
timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yag bekerja di jalur ini
adalah metformin dan tiazodindion.

4. Sel lemak:

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,


menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas
(FFA= Free Fatty Acid) dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang
proses glukoneogenesis dan mencetuskan resistensis insulin di liver dan
otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang
disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja
dijalur ini adalah tiazolidindion.

5. Usus:

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar disbanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin
ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan
GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga
gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe 2 didapatkan
defisiensi GLP-1 dan resistensi terhadap GIP. Disamping hal tersebut
incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya
bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja dalam menghambat
kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.

Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat


melalui kinerja ensim alfa-glukokinase yang memecah polisakarida
menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat
meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk
menghambat kinerja alfa-glukokinase adalah akarbosa.

6. Sel alpha pancreas:

6
Sel- pancreas merupakan organ ke 6 yang berperan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel berfungsi dalam sintesis glucagon
yang dalam keadaan puasa kadarnya didalam plasma penderita meningkat.
Peningkatan ini menyababkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara
signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat
sekresi glucagon atau menghambat reseptor glucagon meliputi GLP-1
agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin.

7. Ginjal

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM


tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 g glukosa sehari. Sembilan puluh
persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran
SGLT-2 (sodium glucose cotransporter) pada bagian convulated tubulus
proksmial. Sedangkan 10% sisanya akan di absorpsi melalui peran SGLT-1
pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa
dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2.
Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan
kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat
urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SLGT-2 inhibitor.

8. Otak:

Insulin merupakan penekan nafsu makn yang kuat. Pada individu yang
obes baik yang DM maupun non DM, didapatkan hiperinsullinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan
ini asupan makanan justru meningkat mengacu akibat adanya resistensi
insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

2.5 Faktor Resiko

Setiap orang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes
selayaknya waspada akan kemungkinan dirinya mengidap diabetes. Para petugas
kesehatan, dokter, apoteker dan petugas kesehatan lainnya pun sepatutnya

7
memberi perhatian kepada orang-orang seperti ini, dan menyarankan untuk
melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui kadar glukosa darahnya agar
tidak terlambat memberikan bantuan penanganan. Karena makin cepat kondisi
diabetes melitus diketahui dan ditangani, makin mudah untuk mengendalikan
kadar glukosa darah dan mencegah komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi.

Beberapa faktor risiko untuk diabetes melitus, terutama untuk DM Tipe 2, dapat
dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2. Faktor-faktor resiko Diabetes Melitus Tipe 2

2.6 Diagnosis

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.


Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Pemantauan hasil

8
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glucometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan


adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

Keluhan klasik DM : polyuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat


badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

Keluhan lain : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita

Kriteria diagnosis DM :

1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi


tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.
2. Pemeriksaan glukosa plasma 200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban 75 gram
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl dengan keluhan klasik
4. Pemeriksaan HbA1c 6,5% dengan menggunakan metode High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM maka


dapat digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau gula darah puasa terganggu (GDPT).

- TGT: TTGO 140-199 mg/dL dan GDP <100 mg/dl


- GDPT: GDP antara 100-125 mg/dL dan TTGO <140mg/dl
- Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
- HbA1c di antara 5,7-6,4%

2.6 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup


diabetis. Tujuan penatalaksanaan diantaranya:

1. Jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda DM, memperbaiki kualitas


hidup, mencgah komplikasi akut

9
2. Jangka panjang: tercegahnya dan terhambatnya progesivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati.

3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa


darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalui pengelolaan
pasien secara komperhensif.7

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa


darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid melalui pengelolaan pasien
secara komperhensif.

Langkah dalam penatalaksanaan DM antara lain :

1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama melipiuti:

a. Riwayat Penyakit:

b. Pemeriksaan Fisik

c. Evaluasi Laboratoris/Penunjang lain

d. Penapisan Komplikasi

Prinsip penatalaksanaan DM antara lain:

1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan prilaku
telah terbentuk secara mapan. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri
membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim
kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk
mencapai perubahan perilaku dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan
upaya peningkatan motivasi. Diantaranya pemahaman tentang perjalanan
penyakit DM, makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM,
penyulit DM dan resikonya, intervensi farmakologis dan non-
farmakologis, serta pentingnya latihan jasmani yang teratur.

2. Terapi Gizi Medis

10
Terapi gizi medis merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh
dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan
pasien itu sendiri). Setiap diabetisi sebaiknya mendapatkan TGM sesuai
dengan kebutuhannya guna mencapai target terapi. Pada diabetisi perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis
dan jumlah makanan, terutama mereka yang menggunakan obat penurun
glukosa darah atau insulin. Pada konsensus PERKENI, telah ditetapkan
bahwa standar yang dianjurkan adalah santapan dengan komposisi yang
seimbang berupa karbohidrat (45-65%), lemak (20-25%), protein (10-
20%), diet cukup serat, serta pembatasan garam. Faktor-faktor yang
menentukan kebutuhan kalori antara lain jenis kelamin, usia, aktifitas
fisik/ pekerjaan, dan berat badan.

3. Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur 3-5 kali
seminggu selama kurang lebih 30-45 menit merupakan salah satu pilar
dalam pengelolaan DM tipe 2. Latihan jasmani selain menjaga kebugaran
juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti berjalan
santai, jogging, bersepeda dan berenang.

4. Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan bila sasaran glukosa darah belum


tercapai dengan TGM dan latihan jasmani.

A. Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi


5 golongan :

a. Pemicu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

11
Sulfonilurea

Obat ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh


sel beta pancreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan
peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada
pasien dengan resiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal
hati dan ginjal).

Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan


sulfonylurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin
fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derival
fenilalanin). Obat ini di absorbsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan di ekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemia post prandia. Efek samping yang mungkin
terjadi adalah hipoglikemia

b. Peninggkat Sensitivitas Terhadap Insulin

Metformin

Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa


hati (glukoneogenesis) dan memperbaiki ambilan glukosa di
jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada
sebagian kasus DMT2. Dosis metformin diturunkan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30-60ml/menit/1,73 m 2).
Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan seperti:
GFR<30mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta
pasien-pasien dengan kecendrungan hipoksemia (misalnya
penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal jantung
(NYHA FC III-IV). Efek samping yang mungkin berupa gangguan
saluran pencernaan seperti halnya dispepsia.

12
Tiazolidindion (TZD)

Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator


Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti
yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal
hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala.
Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.

c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:

Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus


halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada
keadaan : GFR30ml/min/1,73 m2 , gangguan faal hati yang berat,
irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi
berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering
menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya
diberikan pada dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah
Acarbose.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-
IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi
yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan
sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar
glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah
Sitagliptin dan Linagliptin.

e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-trasporter 2)

13
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli
distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa
SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain : Canagliflozin,
Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja
mendapat approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei
2015.

Tabel 3. Profit obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia

B. Obat Antihiperglikemia Suntik

Contoh golongan ini adalah insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi


insulin dan agonis GLP-1

a. Insulin

Indikasi pemberian insulin pada keadaan:

- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic


- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemi berat disertai ketosis
- Krisis hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
- Kehamilan dengan DM Gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontra indikasi atau alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi jenis yaitu:

Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

Insulin kerja pendek (short acting insulin)

Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

Insulin kerja panjang (long acting insulin)

Insulin kerja ultra panjang (ultra long acting insulin)

14
Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan
kerja cepat dengan menengah (Premixed insulin)

Efek samping terapi insulin antara lain hipoglikemi, reaksi imun


terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin.

b. Agonis GLP-1/ Incretin Mimetic

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan


pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja
pada sel-beta sehingga terjadi peningkatan pelepasan insulin,
mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat pelepasan
glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek penurunan berat badan
agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan
pada pasien DM dengan obesitas. Pada percobaan binatang, obat ini
terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang
timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
Obat yang termasuk golongan ini adalah : Liraglutide, Exenatide,
Albiglutide, dan Lixisenatide.

Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (Liraglutide) telah beredar di


Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam ml. Dosis
awal 0.6 mg perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg setelah satu
minggu untuk mendapatkan efek glikemik yang diharapkan. Dosis bisa
dinaikkan sampai dengan 1.8 mg. Dosis harian lebih dari 1.8 mg tidak
direkomendasikan. Masa kerja Liraglutide selama 24 jam dan
diberikan sekali sehari secara subkutan.

C. Terapi Kombinasi

Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama


dalam pelaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan
dengan pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak
dini. Pemberian obat anti hiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai
dengan dosis yang rendah, untuk kemudian dinaikan secara bertahap sesuai
dengan respons kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat anti

15
hiperglikemia oral baik secara terpisah ataupun fixed dose combination,
harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang
berbeda. Pada keaadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah yang
belum dicapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan
kombinasi dua obat antihipereglikemia dengan insulin. Pada pasien yang
disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak dapat dipakai, terapi
dengan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral.

Kombinasi obat anti hiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan


pemberian insulin basal (Insulin jangka panjang). Insulin basal harus
diberikan jam 10 malam menjelang tidur. Pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis
insulin yang cukup kecil. Dosis awalinsulin basal kombinasi adalah 6-10
unit. Kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah
puasakeesokan harinya. Dosis insulin dinaikan secara perlahan ( pada
umumnya 2 unit) apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai
target. Pada keadaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih
tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, dan pemberian obat
antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-hati.

2.7 Kriteria Pengendalian DM


Kriteria pengendalian didasarkan pada hasil pemeriksaan kadar glukosa,
kadar HbA1C dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik adalah apabila
kadar glukosa darah, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar yang diharapkan,
serta status gizi maupun tekanan darah sesuai target yang ditentukan.

16
Gambar 2. Kriteria pengendalian DM7

Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian


DM yang merupakan target terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa
darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai
kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah.5

2.8 Penyulit Diabetes Melitus

Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun.

a. Penyulit akut

1. Ketoasidosis diabetik

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi


metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan
ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau
relatif. Akibat diuresis osmotik biasanya mengalami dehidrasi berat
bahkan sampai syok. KAD memiliki beberapa faktor pencetus seperti
infeksi, infark myokard akut, pankreatitis akut, pemakaian obat
steroid, dan menghentikan atau mengurangi dosis insulin.4,5

Pada KAD selain defisiensi insulin absolut atau relatif juga terdapat
peningkatan hormon kontraregulator (glukagon, kortisol,
katekolamin, dan hormon pertumbuhan) yang menyebabkan

17
peningkatan produksi glukosa hati sehingga pasien jatuh dalam
keadaan hiperglikemia. Walaupun kadar glukosa dalam darah tinggi,
namun glukosa tersebut tidak dapat digunakan oleh sel untuk proses
oksidasi sehingga terjadi peningkatan lipolisis. Produk akhir dari
lipolisis adalah benda keton seperti asam asetoasetat, aseton, -
hydroxybutirate. Benda keton inilah yang bertanggung jawab
terhadap timbulnya ketosis. 4,5

Gejala klinis pasien KAD seperti pernafasan yang cepat dan dalam
(Kussmaul), dehidrasi dan kadang-kadang disertai syok. Pasien KAD
biasanya juga datang ke rumah sakit dengan keluhan muntah, nyeri
perut akibat gastroparesis atau dilatasi lambung. Diagnosi KAD
ditegakkan berdasarkan temuan adanya kadar glukosa darah > 250
gr/dL, pH darah < 7.35, ion bikarbonat (HCO3-) rendah, anion gap
yang tinggi, dan didapatkan keton serum maupun keton dalam urine
positif. 4,5

2. Hiperglikemik Hiperosmolar non ketotik

Koma Hiperglikemia ini dicirikan dengan hiperglikemi,


hiperosmolar, dan dehidrasi tanpa disertai keadaan ketotik. Sering
terjadi pada umur tua atau paruh baya yang menderita DM tipe 2
yang ringan atau tak terdiagnosis. Koma dapat terjadi jika
osmolaritas melebihi 330 mOsm/kg. Insufisiensi ginjal atau
gangguan vaskular dapat menjadi penyebab terjadinya hiperglikemia
hiperosmolar non ketotik ini. Di samping itu beberapa obat seperti
diuretik dan fenitoin juga dapat menjadi penyebab.4

Defisiensi insulin menyebabkan penurunan penggunaan glukosa oleh


otot, lemak, dan hati. Di saat yang bersamaan terjadi peningkatan
glukoneogenesis di hati serta glikolisis di otot dan lemak yang
menyebabkan hiperglikemia yang berat. Keadaan hiperglikemik
tersebut memicu glukosuri dan diuresis osmotik. Ketosis tidak terjadi
karena masih terdapatnya insulin dalam jumlah yang cukup untuk

18
mencegah lipolisis namun tidak adekuat untuk menghambat
hiperglikemi. Pada pasien tersebut dehidrasi akan terjadi bila cairan
masuk tidak bisa mengimbangi banyaknya cairan yang keluar. Pada
dehidrasi yang berat, aliran perfusi darah ke ginjal akan berkurang
yang kemudian menyebabkan bertambah beratnya kerusakan ginjal
yang sebelumnya terjadi. Akibatnya ekskresi glukosa melalui urin
menurun, sehingga kadar glukosa dalam darah akan meningkat. Hal
ini menyebabkan osmolaritas kapiler juga meningkat. Bila nilai
osmolaritas melebihi 330 mOsm/kg, air akan ditarik keluar dari
jaringan otak sehingga dapat memicu terjadinya koma. Gejala
poliuri, polidipsi, dan badan lemah dapat terjadi beberapa hari
sebelum keadaan hiperglikemik, hiperosmolar non ketotik. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda dehidrasi (tekanan darah
turun, nadi meningkat, turgor kulit berkurang, mukosa kering,dll).
Dan juga tampak tanda-tanda kelainan neurologis seperti gelisah,
kejang, sampai koma. 4

3. Hipoglikemia

Berbagai faktor yang merupakan predisposisi hipoglikemia adalah :

a. Kadar insulin yang berlebih

- Dosis berlebihan baik oleh pasien maupun tenaga kesehatan

- Peningkatan bioavailabilitas insulin

b. Peningkatan sensitivitas insulin

- Penurunan berat badan

- Post partum

- Gangguan menstruasi

c. Asupan karbohidrat yang tidak adekuat

- Porsi makan kurang atau telat makan

- Muntah dan diare

19
d. Pemakaian obat yang meningkatkan kerja obat hipoglikemik
oral atau insulin (salisilat, sulfonamide meningkatkan kerja
sulfonilurea).

Gejala pasien dengan hipoglikemia terdiri dari gejala autonomik


seperti berkeringat, jantung berdebar, tremor, lapar ; gejala
neuroglikopenik seperti bingung, mengantuk, sulit berbicara,
inkoordinasi, perilaku yang berbeda, gangguan visual, parestesi ;
serta malaise. Terapi hipoglikemia pada diabetes berupa glukosa oral
ataupun glukosa intravena. Pada pemberian glukosa intravena,
pemberiannya harus lebih hati-hati karena bersifat toksik terhadap
jaringan bila glukosa yang diberikan berkonsentrasi tinggi( 50 %
atau lebih). Di samping pemberian glukosa dapat juga diberikan
glukagon intramuskular.

b. Penyulit menahun

1. Makroangiopati :

a. Pembuluh darah jantung

b. Pembuluh darah tepi

Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes.


Biasanya terjadi dengan gejala tipikal intermittent claudicatio,
meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki
merupakan kelainan yang pertama muncul.

c. Pembuluh darah otak

2. Mikroangiopati:

a. Retinopati diabetic

Retinopati diabetik adalah komplikasi vaskular yang berkorelasi


kuat dengan durasi diabetes, hiperglikemia kronis, adanya nefropati
dan hipertensi. Untuk mengurangi progresivitas dari retinopati
maka kontrol terhadap gula darah dan tekanan darah harus

20
dioptimalkan. Pasien dengan diabetes tipe II haruslah mendapatkan
pemeriksaan mata segera setelah diagnosis diabetes ditegakkan.
Adanya retinopati bukanlah kontraindikasi untuk memberikan
aspirin sebagai terapi kardioprotektif, karena pemberiannya tidak
meningkatkan risiko perdarahan retina. Terapi aspirin tidak
mencegah timbulnya retinopati.5 Pembedahan fotokoagulasi
dengan laser memiliki keuntungan dengan menurunkan risiko
kehilangan penglihatan, tetapi tidak memberikan keuntungan
dalam hal mengembalikan tajam penglihatan.4

d. Nefropati diabetik

Nefropati diabetik dapat terjadi pada 20-40 % pasien dengan


diabetes. Mikroalbuminuria persisten (30 299 mg/24 jam) dapat
mengindikasikan stadium awal suatu nefropati pada pasien
diabetes. Untuk mengurangi risiko terhadap nefropati diabetik,
kontrol terhadap glukosa darah dan tekanan darah haruslah
optimal. Penggunaan ACE Inhibitor dan ARB dapat mengurangi
kehilangan fungsi ginjal melalui efeknya dalam menurunkan
tekanan darah sistolik. Pada pasien diabetes tipe II, hipertensi dan
mikroalbuminuria, penggunaan ACE Inhibitor dan ARB dapat
menghambat progresivitas menjadi makroalbuminuria. Sedangkan
ARB terbukti dapat menghambat progresivitas pada diabetes tipe II
dengan hipertensi, makroalbuminuria, dan insufisiensi renal
(creatinin serum > 1,5 mg/dl). Kombinasi obat-obatan yang dapat
memblok sistem Renin-angiotensin-aldosteron (ACE inhibitor,
ARB, antagonis mineralocorticoid) dapat lebih menurunkan level
albuminuria. Restriksi protein juga sangat bermanfaat pada pasien
penyakit ginjal kronis, dimana restriksi 0,8-1,0 gr/kgBB/hari pada
stadium awal dan 0,8/kgBB/hari pada stadium akhir dapat
memperbaiki fungsi ginjal.4

e. Neuropati

21
Pada neuropati perifer terjadi hilangnya sensasi distal dan
merupakan faktor resiko terjadinya ulkus kaki. Gejala yang sering
dirasakan ialah kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, tersa lebih
sakit pada malam hari.4

2.9 Pencegahan

Mengingat jumlah pasien yang akan membengkak dan besarnya biaya perawatan
pasien diaabetes yang terutama disebabkan oleh karena komplikasinya, maka
upaya yang paling baik dilakukan adalah pencegahan. Menurut WHO tahun 1994,
upaya pencegahan ada 3 jenis yaitu6:

a. Pencegahan Primer : semua aktivitas yang ditujukan untuk mencegah


timbulnya hiperglikemi pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes
atau pada populasi umum.
b. Pencegahan Sekunder: menemukan pengidap DM sedini mungkin,
misalnya dengan tes penyaringan terutama pada populasi berisiko tinggi.
Dengan demikian pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis
dapat terjaring, sehingga dapat dilakukan upaya untuk mencegah
komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversibel.
c. Pencegahan Tersier: semua upaya untuk mencegah komplikasi atau
kecacatan akibat komplikasi itu. Usaha ini meliputi7:
Mencegah timbulnya komplikasi
Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak terjadi
kegagalan organ
Mencegah kecacatan tubuh

BAB III
LAPORAN KASUS

22
3.1 Identitas pasien
Nama : IKS
Umur : 64 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Suku : Bali
Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
Pendidikan : Tamat SMP
Status perkawinan : Sudah menikah
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Jl.Pulau Batanta gg I no 3A, Denpasar Bali

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Kontrol obat habis
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien saat ini tidak memiliki keluhan yang mengganggu aktivitasnya.
Pasien rutih mengonsumsi obat dan memeriksakan gula darahnya. Pasien
kadang mengeluhkan nyeri pada tengkuknya tetapi hilang dengan
beristirahat. Keluahan lemas dan kesemutan disangkal oleh pasien. Pasien
juga tidak pernah mengalami luka yang lama sembuh.
Riwayat Penyakit Dahulu
Penderita sudah didiagnosis menderita diabetes mellitus sejak tahun 2011.
Saat itu pasien kehilangan kesadaran saat ada acara di Karangasem
dikatakan saat itu pasien langsung dilarikan ke RS Prima Medika dan
diketahui GDS pasien 500 dengan tekanan darah saat itu 190/110 MmHg.
Pasien sempat di rawat inap di RS Prima Medika selama 7 hari. Pasien
pertama kali mendapat insulin saat rawat inap tersebut dan diteruskan
sampai sekarang.
Pasien sempat dirawat inap pada tahun 2014 di RSUP Sanglah dengan
diagnosis CAP pada tahun 2014. Saat itu pasien masih rutin mendapat

23
pengobatan Diabetes Melitusnya yaitu dengan Levemir 1x12 unit dan
Novorapid 3x12 unit.
Pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak tahun 2011, bersamaan dengan
Diabetes Melitusnya. Sebelumnya pasien jarang memeriksakan dirinya ke
dokter, karena tidak pernah ada keluhan pada mengganggu aktivitas pasien.
Pasien juga mengonsumsi obat untuk penyakit hipertensinya yaitu
Irbesartan 1x300mg. Riwayat penyakit jantung dan penyakit ginjal
disangkal oleh pasien.

Riwayat Keluarga
Di keluarga pasien dikatakan terdapat terdapat keluarga pasien yang
menderita penyakit kencing manis yaitu ayah dan kakak kandung pasien
meninggal karena penyakit kencing manis. Riwayat tekanan darah tinggi
dikatakan ada di keluarga pasien yaitu ibu pasien. Riwayat penyakit jantung
dikatakan tidak ada.

Riwayat sosial
Pasien saat ini pasien tidak bekerja, pasien dulu bekerja sebagai sopir dan
sekuriti dari klub malam. Keseharian pasien menghabiskan waktunya di
rumah, mengurus cucu sesekali pulang kampung ke Karangasem. Pasien
memiliki riwayat merokok sejak berusia 20 tahun namun sudah berhenti
semenjak terdiagnosis DM. Pasien juga sudah berhenti minum kopi sejak
tahun 2011. Pasien cukup aktif bersosialisasi dengan tetangga disekitar
rumah pasien.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present
Keadaan umum : Kesan sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis ( E4V5M6)
Tekanan darah : 160/100 mmHg
Nadi : 72 x/mnt
Respirasi : 18 x/mnt

24
Suhu aksila : 36,8 C
Tinggi badan : 172 cm
Berat badan : 81 kg
BMI : 28 kg/m2

Status General
Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, oedema palpebra -/-, refleks pupil (+/+) isokor
THT : Telinga : bentuk normal, tidak ada tanda-tanda radang, ataupun
bekas luka
Hidung : bentuk normal, sekret (-)
Tenggorokan : Tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)

Leher : JVP: PR+ 0 cmH2O


Kelenjar tiroid dan getah bening : tidak ada pembesaran
Thoraks :
- Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba pada MCL kiri ICS V
Perkusi : Batas kanan : PSL kanan ICS V
Batas kiri : MCL kiri
Batas atas : ICS II kiri
Auskultasi : S1 S2 tunggal regular, murmur (-)
- Pulmo
Inspeksi : Gerakan nafas simetris (statis dan dinamis).
Palpasi : VF N/N
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : Ves +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-

Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : BU (+) N

25
Perkusi : Timpani (+), Shifting dullnes (-)
Palpasi : Nyeri tekan regio flank (-/-), balotement (-/-), hepar tidak
teraba, lien tidak
teraba.
Ekstremitas : Akral hangat +/+, edema -/-
+/+ -/-

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Kimia Darah (05/10/2015)


Parameter Nilai Remarks Nilai Normal
BSN 125 mg/dL Tinggi 80-100
Glukosa 2 jam PP 145 mg/dL Tinggi 70.00-140.00

Pemeriksaan HbA1C (05/10/2015)


Parameter Nilai Nilai Normal Remarks
HbA1C 8,3 % < 6,5 Tinggi

Lipid Profile
Parameter Nilai Satuan Nilai Normal Remarks
Cholesterol 279 mg/dl < 200 Tinggi
HDL Direk 36,00 mg/dl 40,00 65,00 rendah
LDL kolesterol 130,00 mg/dl < 100 Tinggi
direk
Triglyserida 153,00 mg/dl < 150 Tinggi

3.5 Diagnosis
Diabetes Melitus Tipe 2
Hipertensi grade II

3.6 Penatalaksanaan
- Diet DM 2300 kkal
- Levemir 0-0-0-16 iu
- Novorapid 3 x 16 iu
- Simvastatin1x20mg
- Ibesartan 1x300mg

26
- KIE mengenai gaya hidup, pola makan, latihan jasmani
M/x :
- Gula Darah Sewaktu dan 2 jam PP

- Hb A1C ( Setiap 3 bulan)

- Lipid Profile

27
BAB IV
PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN

4.1 ALUR KUNJUNGAN LAPANGAN


Kunjungan dilakukan pada tanggal 7 November 2015 langsung ke tempat
tinggal pasien yang berada di Jalan Pulau Batanta Gg 1 No 3A Denpasar.
Kami mendapat sambutan yang sangat baik dari keluarga pasien. Kami
mengawali berbincang dengan pasien dan istri pasien selanjutnya kami
meminta ijin untuk melihat lingkungan rumah pasien.

Keluarga pasien mengatakan bahwa kondisi pasien relatif baik selama di


rumah. Pasien tidak pernah mengeluhkan sakitnya. Pasien juga tidak
mengalami keluhan apa apa selama satu minggu terakhir setelah kontrol.
Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik. Istri pasien
mengaku pasien sering berolahraga ringan seperti jalan santai di sekitar
lingkungan rumah pasien. Selain itu pasien menghabiskan waktu di rumah
dengan mengurus cucu atau mengantar jemput cucunya di sekolah yang
berjarak dekat dengan rumah pasien. Pasien dikatakan mengatur pola
makan dengan baik dan mengonsumsi obat secara rutin. Pasien terakhir
kontrol satu minggu yang lalu, bulan ini pasien memiliki kegiatan yang
cukup padat di kampung halamannya di Karangasem sehingga terlambat
untuk kontrol.

Saat kunjungan dilakukan pasien dalam kondisi baik, pasien sedang


bersantai sore bersama istri serta cucunya. Pasien saat ini tinggal di rumah
bersama istri, anak laki laki, menantu dan kedua orang cucunya yang
masih bersekolah di bangku SD. Kemarin pasien mengaku sempat pergi ke
Karangasem untuk mengikuti upacara adat.

Pasien rutin menyuntikkan insulin terjadwal 3 kali sehari dan sebelum


tidur. Pasien mengaku memiliki pola makan yang terbilang teratur. Pasien
biasa makan 2 atau 3 kali sehari dengan cemilan disela sela makan
siangnya. Pasien mengaku masih kesusahan untuk mengatur dietnya
karena susah mengubah kebiasaannya sejak dulu. Untuk menu lauk dan

28
nasi disediakan oleh istri, pasien sangat jarang makan di luar rumah. Saat
ini pasien sudah berhenti mengonsumsi kopi. Jika pasien mengonsumsi teh
atau kopi biasanya menggunakan gula Tropicana Slim. Pasien juga rutin
berolahraga ringan di halaman rumah pasien. Kebiasaan tidur pasien juga
teratur tidak pernah diatas jam 22.00. Pasien dapat tidur dengan nyenyak
pada malam harinya.

Pasien mengaku selalu memakai sandal saat berjalan keluar rumah. Pasien
mengaku tidak pernah luka yang memerlukan waktu lama sembuh.

4.2 Daftar Permasalahan

Adapun sejumlah permasalahan yang masih menjadi kendala penderita


dalam hal menghadapi penyakitnya antara lain:

1. Pasien belum dapat mengontrol pola makannya dengan baik, pasien sudah
membatasi konsumsi gula dengan menggunakan Gula Tropicana Slim
tetapi masih tidak dapat mengontrol diri untuk makan cemilan seperti
pisang goreng keju dan makanan manis lainya.

2. Pasien belum memahami tentang faktor keturunan sebagai salah satu


faktor resiko dari Diabetes Mellitus.

3. Pasien kadang kadang masih sering mengingat kejadian tahun 2011 saat
pasien pertama kali mengalami penurunan kesadaran. Sekitar satu tahun
lamanya pasien sempat mengalami trauma dan masalah psikologis. Saat
itu pasien hampir setiap hari mengunjungi orang pintar atau balian. Hal itu
malah membuat pasien kelelahan dan kondisinya semakin menurun. Biaya
yg dikeluarkan saat itu juga sangat banyak. Pasien juga sempat mengalami
trauma tidak berani berada di rumah sendiri. Saat ini pasien hanya rutin
melakukan persembahyangan ke pura pura besar saja saat ada odalan.

4.3 Daftar Analisis Kebutuhan Pasien

29
1. Kebutuhan fisik-biomedis
a. Kecukupan Gizi
Makanan untuk pasien dan keluarga disiapkan oleh istri pasien,
keluarga pasien sangat mendukung untuk menjaga komposisi makanan
pasien. Makanan yang disiapkan oleh istri pasien adalah nasi satu piring
tiga kali sehari dengan lauk-pauk seperti tempe, tahu, ikan laut, daging
ayam, sapi, telor, dan sayuran. Pasien selalu makan makanan yang
disediakan istri,dan hanya makan diluar saat ada acara atau odalan di
kampungnya. Biasanya pasien makan 2-3 kali sehari. Jadi nutrisi harian
pasien sudah mencukupi kebutuhan nutrisi yang seharusnya, dan pasien
memerlukan pengaturan diet dengan tetap mengurangi asupan makanan
yang banyak mengandung kolesterold dan lemak jenuh.

Perhitungan kebutuhan kalori pada pasien :


Berat badan ideal = 90% x (172cm-100) x 1 kg = 90% x 72 = 64,8
kg
Status gizi = (BB aktual : BB ideal) x 100% = (81:64,8) x 100% =
125% (berat badan lebih)
Jumlah kebutuhan kalori per hari =
Kebutuhan kalori basal = BB ideal x 30 kalori (laki-laki) =
64,8 x 30 = 1944 kalori
Koreksi umur > 40 tahun = -5% = - 97,2 kalori
Kebutuhan aktivitas (ringan) = +20% = +388 kalori
Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk penderita 1944 97,2 + 388 =
2234,8 kalori dibulatkan menjadi 2300 kalori.

Distribusi makanan :
Karbohidrat 60% = 60% x 2300 kalori = 1380 kalori dari
karbohidrat setara dengan 345 gram karbohidrat (1380 kalori : 4
kalori/gram karbohidrat).
Protein 20% = 20% x 2300 kalori = 460 kalori dari protein setara
dengan 115 gram protein (460 kalori : 4 kalori/gram protein).
Lemak 20% = 20% x 2300 kalori = 460 kalori dari lemak setara
dengan 51,1 gram lemak (460 kalori : 9 kalori/gram lemak).

30
Contoh Makanan Sesuai Kebutuhan
Waktu Jumlah Jenis Jenis
Makan Pagi 20% dari total Karbohidrat: 252 kal - Nasi putih (1 gelas)
asupan harian Lemak: 84 kal - Susu sapi (1 gelas)
(460 kalori) Protein: 84 kal - Telor ayam negri (3/4 butir)
Selingan Pagi 10% dari total - Pepaya 2 potong sedang
asupan harian - Kopi+2 sendok gula
(230 kalori) - Roti tawar 1 iris
Makan Siang 30% dari total Karbohidrat: 378 kal - Nasi putih (2 gelas)
asupan harian Lemak: 126 kal - Pepes ayam (1 potong)
(690 kalori) Protein: 126 kal - Telur ayam negri (1 butir)
- Sup/ sayur (1 mangkuk)
Selingan Siang 15% dari total - - Singkong 1 potong sedang
asupan harian - Bubur kacang ijo 2 sdm
(345 kalori)
Makan malam 25% dari total Karbohidrat: 315 kal - Nasi putih (1 gelas)
asupan harian Lemak: 105 kal - Daging ayam (1 potong sedang)
(575 kalori) Protein: 105 kal - Tahu (1/2 potong sedang)
- Cah kangkung/ sayur (1 mangkuk)

b. Akses pelayanan kesehatan


Tempat tinggal pasien berada dekat dengan Bidan Praktek swasta.
Jarak dengan pusat pelayanan kesehatan rujukan seperti Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah dapat ditempuh 15 menit. Pasien memiliki
kendaraan bermotor dan masih dapat mengendarai motor dan menyetir
mobil sendiri, jadi mudah untuk melakukan kontrol ke rumah sakit. Istri
dan anak pasien juga dapat mengendarai motor atau menyetir mobil dan
siap mengantar.

c. Lingkungan
Pasien tinggal bersama istri, anak laki laki, menantu dan kedua cucu
laki lakinya. Pasien tinggal di rumah yang tergolong sederhana dengan 6
kamar tidur, dinding dan lantai dibuat dari bahan permanen. Tempat
tinggalnya terdiri dari 1 lantai. Pada lingkungan rumah pasien terdapat 2
bangunan rumah. Di dalam rumah bangunan 1 terdapat 2 ruang tidur, ruang
keluarga, dapur, kamar mandi dengan WC duduk, dan gudang. Di bangunan
2 terdapat 4 kamar tidur, 1 buah kamar mandi dengan WC jongkok dan
ruang keluarga. Di luar rumah terdapat halaman yang ditumbuhi dengan
berbagai macam tanaman dan garasi untuk 1 buah mobil. Rumah pasien

31
tergolong berdebu dan berantakan, semua barang-barang seperti jarang
dipindahkan. Ventilasi secara umum tergolong baik dimana rumah pasien
memiliki jendela serta pintu pada ruang tamu dan kamar sehingga
pertukaran udara dan sinar matahari dapat berlangsung dengan baik.
Sumber air untuk minum, keperluan memasak, mandi dan mencuci baju
berasal dari air PAM. Pada rumah pasien juga terdapat sumur namun sudah
lama tidak digunakan.
Rumah pasien berdampingan dengan tetangganya berdempetan.
Pasien merupakan orang yang sering bersosialisasi dengan tetangga dan
masyarakat sekitar. Pasien setiap pagi berjalan santai di sekitar lingkungan
rumah pasien sekitar 10-15 menit.

d. Kebutuhan Bio-psikososial
Lingkungan biologis
Melalui wawancara dengan pasien, diketahui ada keluarga pasien
yang memiliki riwayat Diabetes Mellitus yaitu ayah dan kakak pasien.
Terdapat riwayat hipertensi pada orangtua pasien. Berdasarkan keluhan
pasien yang mengarah pada penyakit Diabetes Melitus, maka sangat
diperlukan kontrol terhadap gula darah pasien agar tidak terjadi
komplikasi yang lebih berat.

Faktor psikologi
Dalam keadaan sakit ini pasien sangat membutuhkan pengertian dan
dukungan dari keluarga dalam menjalani aktivitas sehari-hari dan
menjalani pengobatannya termasuk untuk minum obat setiap harinya dan
pengaturan dietnya. Pasien saat ini tinggal bersama keluarga yang sangat
memperhatikan kondisi kesehatannya. Istri dan anak pasien sangat
mendukung pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari sehingga pasien
tidak terbebani dengan keluhannya. Cucu cucu pasien juga sering
menyemangati pasien dan menghibur pasien sehari harinya. Pasien juga
mengisi hari harinya dengan mengurus cucu. Saat pertama kali terdiagnosa
Diabetes Mellitus pasien sempat terguncang dan kehilangan kepercayaan
untuk sembuh seperti sediakala. Pasien sempat mencari pengobatan ke

32
orang pintar setiap malam selama satu tahun. Hal ini malah membuat
pasien menjadi kelelahan dan pengobatan yang dijalani pasien menjadi
kurang optimal. Tetapi saat ini berkat dorongan keluarga dan kerabat
pasien,keadaan psikologi pasien sudah kembali pasien sudah bersemangat
menjalani hidup dan berobat.

Faktor Sosial dan kultural


Agar keluarga dapat menjaga privasi / kerahasiaan tentang penyakit
pasien, karena dapat menimbulkan rasa malu dan tertekan pada pasien
apabila adanya anggapan yang negatif dari masyarakat terhadap penyakit
yang diderita oleh pasien. Keluaga juga berperan sebagaipenyemangat
pasien untuk tetap teratur menjalani pengobatannya. Pasien juga
membutuhkan perhatian dari lingkungan sekitar, seperti teman-temannya.
Dibutuhkan suatu kegiatan bersama agar dapat menjauhkan pasien dari
rasa bosan dan tertekan karena penyakitnya.

Faktor Spiritual
Keluarga pasien sebaiknya mengajak pasien untuk terus mendekatkan
diri dengan Tuhan yang Maha Esa, karena dengan begitu dapat
menjauhkan pasien dari pikiran-pikiran negatif tetang penyakitnya.

4.4 Resume
Pasien berinisial IKS, berumur 67 tahun, jenis kelamin laki-laki, suku Bali,
agama Hindu, pendidikan tamat SMP, sudah menikah, tidak bekerja, alamat Jalan
Pulau Batanta gg I no 3A. Penderita datang ke Diabetic Centre RSUP Sanglah
untuk kontrol obat habis. Pasien saat ini tidak memiliki keluhan yang
mengganggu aktivitasnya. Pasien rutih mengonsumsi obat dan memeriksakan gula
darahnya. Pasien kadang mengeluhkan nyeri pada tengkuknya tetapi hilang
dengan beristirahat. Keluahan lemas dan kesemutan disangkal oleh pasien. Pasien
juga tidak pernah mengalami luka yang lama sembuh.Penderita sudah didiagnosis
menderita diabetes mellitus sejak tahun 2011. Pasien pertama kali mendapat
insulin saat rawat inap tersebut dan diteruskan sampai sekarang. Pasien sempat

33
dirawat inap pada tahun 2014 di RSUP Sanglah dengan diagnosis CAP pada tahun
2014. Saat itu pasien masih rutin mendapat pengobatan Diabetes Melitusnya yaitu
dengan Levemir 1x12 unit dan Novorapid 3x12 unit. Pasien mempunyai riwayat
hipertensi sejak tahun 2011, bersamaan dengan Diabetes Melitusnya. Sebelumnya
pasien jarang memeriksakan dirinya ke dokter, karena tidak pernah ada keluhan
pada mengganggu aktivitas pasien. Pasien juga mengonsumsi obat untuk penyakit
hipertensinya yaitu Irbesartan 1x300mg. Riwayat penyakit jantung dan penyakit
ginjal disangkal oleh pasien. Di keluarga pasien dikatakan terdapat anggota
keluarga pasien yang menderita penyakit kencing manis yaitu ayah dan kakak
pasien. Riwayat tekanan darah tinggi dikatakan ada di keluarga pasien yaitu ibu
pasien. Riwayat penyakit jantung dikatakan tidak ada. Pasien saat ini pasien tidak
bekerja, pasien dulunya bekerja sebagai sopir dan sekuriti. Keseharian pasien
menghabiskan waktunya di rumah, mengurus cucu sesekali pulang kampung ke
Karangasem. Pasien memiliki riwayat merokok sejak usia 20 tahun dan sudah
berhenti sejak terdiagnosis DM dan sudah berhenti minum kopi sejak tahun 2011.
Pasien cukup aktif bersosialisasi dengan tetangga disekitar rumah pasien. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, keadaan umum baik,
tekanan darah berbaring 160/100 mmHg, nadi 72x/menit, respirasi 18 x/menitt,
temperatur axilla 36,8 0C. Pada pemeriksaan kimia klinik, glukosa darah sewaktu
125mg/dLdan gula darah 2 jam PP 145mg/dL. Saat ini pasien dengan terapi
insulin Levemir 1x16 sc dan Novorapid 3x16 sc.

4.5 KIE dan Saran


KIE kepada pasien tentang penyakitnya yang bersifat kronis namun dapat
terkontrol sehingga pasien dapat menyadari perlunya pengobatan serta
pemeriksaan rutin untuk memantau kesehatannya.
KIE tentang penggunaan insulin dimana setelahnya pasien harus makan
supaya tidak terjadi hipoglikemia.
KIE jika pasien beraktivitas membawa air gula atau permen supaya jika
mengalami gejala hipoglikemia pasien dapat langsung mengatasinya.
KIE makanan yang sebaiknya dikonsumsi maupun yang harus dihindari
seperti makanan berlemak dan lain-lain.

34
KIE agar pasien menyadari penyakitnya dan dapat melakukan aktivitas
yang digemarinya dengan tetap mengingat segala keterbatasannya saat ini.
KIE tentang rekreasi sehingga pasien dapat mengarahkan pikiran dan rasa
penat kepada hal yang positif dan meningkatkan ikatan bersama keluarga.
KIE agar pasien sentiasa memelihara kaki agar tidak terkena diabetic foot.
Dimana, pasien haruslah mengelak terjadinya luka pada kaki, dan
menjauhi bahaya-bahaya.
KIE pasien supaya rajin mendekatkan diri dengan Tuhan agar memiliki
kehidupan yang lebih tenang.
KIE kepada anak pasien untuk mulai mengatur gaya hidup dan pola makan
karena keturunan merupakan faktor risiko diabetes mellitus.

DOKUMENTASI HASIL KUNJUNGAN (7 November 2015)

35
DAFTAR PUSTAKA

36
1. Soegondo S,dkk. 2004.. Penatalaksanaan Diabetes Terpadu. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI UI.
2. Soegondo S,dkk. 2006. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes
Mellitus Tipe 2 Di Indonesia 2006. Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia.
3. Kuswardhani, RA.Tuty. 2008. Buku panduan Geriatri Medik, Pedoman
Diagnostik Dan Terapi. Denpasar:Divisi Geriatri Bagian Penyakit Dalam
FK UNUD/RSUP Sanglah.
4. Sudoyo W.Aru, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
5. Anonim. 2011. Diabetes Melitus. WHO. Last update: 28 Maret 2011.
Diakses tanggal : 24 Mei 2015
http://www.who.int/topics/diabetes_mellitus/en/
6. Rani A.A, dkk. 2009. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam
7. PERKENI. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta

37

Anda mungkin juga menyukai