Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan daerah yang sangat kaya akan sumber daya alam. Banyak

sekali tanaman di Indonesia yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan

dimanfaatkan dalam bidang kesehatan sebagai bahan obat. Pengembangan dan

pemanfaatan tanaman sebagai bahan obat telah mendapat perhatian luas dari pakar obat

untuk meneliti potensi dan khasiat dari tanaman yang bermanfaat sebagai obat.
Terdapat banyak jenis tanaman yang secara empiris telah terbukti dapat memberikan

manfaat sebagai obat. Salah satu tanaman yang secara empiris telah terbukti dapat memberi

manfaat sebagai obat adalah tanaman bandotan. Tanaman bandotan adalah tanaman yang

dapat tumbuh di daerah subtropis dan tropis. Ketinggian tanaman bandotan dapat mencapai

1 meter. Daunnya mempunyai bulu berwarna putih halus, mempunyai bunga berukuran

kecil seperti bunga matahari kecil dengan diameter 5-8 mm dan berwarna putih agak

keunguan (Prasad, 2011).


Tanaman bandotan dianggap sebagai tanaman pengganggu tanaman lainnnya dalam

kehidupan masyarakat. Karena dianggap sebagai tanaman pengganggu seringkali tanaman

ini banyak dimusnahkan. Akan tetapi tanaman ini juga bisa digunakan sebagai makanan

ternak. Sehingga saat tanaman ini dibuang atau dimusnahkan maka hasil pemusnahan

tanaman bandotan sendiri dapat digunakan sebagai makanan ternak. Kemudian daun

bandotan sendiri sering digunakan untuk penyembuhan luka dan memar dengan cara

1
ditumbuk halus lalu dicampur dengan minyak kelapa kemudian dioleskan pada bagian luka

berdarah, memar, dan luka yang terinfeksi oleh bakteri.

2
Tanaman bandotan mempunyai banyak khasiat antara lain sebagai obat luka baru,

antivirus, antibakteri, antiinflamasi, diuretik, gangguan saluran pencernaan, demam,

hemostatik, keseleo dan pegal linu (sumber). Kegunaan dan khasiat dari tanaman ini sangat

banyak, namun sejauh ini masih sedikit penelitian tentang tanaman bandotan. Satu dari

beberapa penelitian tentang tanaman bandotan menunjukkan bahwa ekstrak daun bandotan

memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Eschercia coli (Astuti,

2015).
Penyakit kulit seperti bisul dan luka borok disebabkan oleh bakteri Staphylococcus

aureus. Bakteri ini tersebar melalui udara dan biasanya menyerang masyarakat yang

beraktivitas di luar ruangan (Padjajaran and Farmasi 2009). Staphylococcus aureus

bertanggung jawab atas 80% penyakit supuratif, dengan permukaan kulit sebagai habitat

alaminya (Nickerson et al., 2009). Di negara berkembang angka kematiannya mencapai

39,5 juta, lebih dari 25% disebabkan oleh penyakit infeksi dan parasite (Dwiprahasto,

2005). Infeksi kulit akibat bakteri ini sangat mudah menyebar ke bagian tubuh lain

sehingga harus segera diobati. Untuk mengatasi infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri

dalam kehidupan nyata masyarakat biasanya menggunakan daun bandotan dengan cara

ditumbuk halus lalu dicampur dengan minyak kelapa kemudian dioleskan pada bagian luka

yang terinfeksi bakteri. Akan tetapi cara penggunaan obat di atas masih bersifat tradisional,

kurang praktis dan efisien.


Adanya permasalahan di atas dan pengobatan pada luka infeksi yang masih

menggunakan cara tradisional, kurang praktis dan efisien maka peneliti ingin membuat

suatu sediaan topikal ekstrak bandotan sebagai alternatif untuk pengobatan pada luka yang

terinfeksi bakteri. Tanaman bandotan mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder

3
seperti steroid, flavonoid, alkaloid, minyak atsiri, kumarin dan tanin yang dipercaya

memiliki banyak manfaat dan salah satunya adalah sebagai antibakteri (Kamboj dan Saluja,

2010). Daun dan bunga bandotan mengandung senyawa flavonoid yang dapat menghambat

pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus (Astuti, 2015). Selain itu alkaloid menunjukan

aktivitas antibakteri, ditandai dengan zona hambat yang terbentuk pada bakteri uji

Staphylococcus aureus (Mallikharjuna & Seetharam, 2009). Sediaan yang akan dibuat

dalam penelitian ini adalah sediaan salep.

Sediaan salep merupakan sediaan yang paling cocok dan optimal digunakan

sebagai pengobatan infeksi oleh bakteri dengan efek terapi lokal. Penelitian ini

berfokus pada pembuatan sediaan salep dari ekstrak daun dan bunga bandotan

dengan menggunakan basis (dasar) salep yang sama serta pembandingan mutu

fisiknya. Tujuan dari pengujian mutu fisik adalah untuk melihat karakteristik mutu

bahan produk. Selain itu tujuan dari perbandingan ini adalah untuk melihat mutu

fisik sediaan salep yang paling baik dari ekstrak daun dan bunga bandotan dengan

melakukan uji organoleptis, homogenitas, pH, daya sebar, daya lekat, dan

viskositas.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian

ini:

4
1. Bagaimanakah membuat ekstrak daun dan bunga bandotan?

2. Bagaimanakah membuat sediaan salep ekstrak daun dan bunga bandotan?

3. Bagaimanakah perbandingan mutu fisik sediaan salep ekstrak daun dan bunga

bandotan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini:

1. Membuat ekstrak daun dan bunga bandotan

2. Membuat sediaan salep ekstrak daun dan bunga bandotan

3. Membandingkan mutu fisik sediaan salep ekstrak daun dan bunga bandotan

1.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

1.4.1 Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah melakukan determinasi tanaman bandotan,

pengumpulan bahan, pembuatan ekstrak dengan metode maserasi dengan pelarut etanol

70%, pembuatan sediaan salep ekstrak daun dan bunga bandotan dengan menggunakan

dasar salep hidrokarbon yaitu vaselin album atau vaselin putih dan dasar salep absorbsi

yaitu adeps lanae, dan evaluasi mutu fisik sediaan salep ekstrak daun dan bunga bandotan.

5
1.4.2 Keterbatasan Penelitian

Adapun keterbatasan dalam penelitian ini yaitu tidak dilakukannya uji efektivitas dari

sediaan salep sebagai antibakteri.

1.5 Definisi Istilah

1.5.1 Bandotan adalah sejenis tanaman pengganggu yang tumbuh tegak di tanah dan

banyak ditemukan di pinggir jalan, hutan, ladang, dan tanah terbuka. Ketinggian

tanaman bandotan dapat mencapai 1 meter. Daunnya mempunyai bulu berwarna

putih halus, mempunyai bunga berukuran kecil seperti bunga matahari kecil dengan

diameter 5-8 mm dan berwarna putih agak keunguan (Prasad, 2011).

1.5.2 Flavonoid adalah senyawa metabolit sekunder dari alam yang memiliki ciri khas

terdiri atas dua cincin benzena yang mengapit tiga atom karbon berantai alifatik.

1.5.3 Alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder terbesar di alam yang memiliki ciri khas

mengandung paling sedikit satu gugus fungsi amina primer, amina sekunder, maupun

amina tersier.

1.5.4 Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang mengandung fenol dan berperan

dalam pengikatan protein serta pembentukan pigmen tumbuhan.

6
1.5.5 Terpenoid adalah senyawa metabolit sekunder yang ditemukan berlimpah pada

tanaman tingkat tinggi dan strukturnya terdiri dari unit-unit isoprena (C5H8).

1.5.6 Steroid adalah kelompok senyawa bahan alam yang kebanyakan strukturnya terdiri

atas 17 atom karbon dengan membentuk struktur dasar 1,2-

siklopentenohidrofenantren.

1.5.7 Ekstraksi adalah proses pemisahan bahan aktif dalam suatu tanaman dari

campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai.

1.5.8 Ekstrak adalah hasil yang diperoleh dari ekstraksi tanaman obat dengan ukuran

partikel tertentu dan menggunakan medium pengekstraksi tertentu.

1.5.9 Mutu fisik adalah karakteristik mutu bahan produk yang dapat dinilai melalui

beberapa pengujian seperti uji organoleptis, homogenitas, pH, daya sebar, daya lekat,

dan viskositas.

1.5.10 Komparasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbandingan (suatu hal

yang bersifat dapat diperbandingkan dengan suatu hal lainnya).

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides L.)

Tanaman bandotan merupakan sejenis tanaman pengganggu, yang banyak

ditemukan di pinggir jalan, hutan, ladang, dan tanah terbuka. Tanaman bandotan

merupakan family Asteraceae. Tanaman ini berasal dari Asia Tenggara, Amerika

Tengah, Karibia, Florida, China Selatan, Australia, dan Amerika Selatan. Tanaman

ini dikenal sebagai tanaman hias dari Amerika, banyak ditemukan di pasifik selatan,

dan negara beriklim lainnya (Prasad, 2011). Di Indonesia, bandotan merupakan

tumbuhan liar dan lebih dikenal sebagai tumbuhan pengganggu (gulma) di kebun

dan di ladang. Tumbuhan ini ditemukan juga di pekarangan rumah, tepi jalan,

tanggul, di sekitar saluran air, dan di ketinggian 1-2.100 meter di atas permukaan

laut (Izah, 2009).

Tanaman bandotan telah digunakan di Afrika sebagai tanaman obat untuk

berbagai macam penyakit. Daun bandotan biasanya digunakan untuk pengobatan

8
demam, pneumonia, flu, rematik, sakit kepala, dan pengobatan luka, selain itu juga

sebagai antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik (Adebayo, 2010).

2.1.1 Klasisfikasi Tanaman Bandotan

Berdasarkan Natural Resources Concervative Service (Kartesz, 2012)


tanaman bandotan diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Astericae
Ordo : Asterales
Family : Asteraceae
Genus : Ageratum
Spesies : Ageratum conyzoides L

2.1.2 Nama Lain

Ageratum conyzoides atau bandotan termasuk family Compositae atau

Asteraceae. Di beberapa daerah, Di daerah Sunda, tumbuhan ini dikenal dengan

nama babadotan leutik, jukut bau, dan ki bau. Wedusan dan tempuyak adalah nama

9
lain di daerah Jawa, sedangkan dus bedusan adalah nama di daerah Madura, empedu

tanah di Kalimantan Tengah, mbora di Kalimantan Timur, buyuk-buyuk di daerah

Manado, tada-tada di Sulawesi Tengah, dan lawet di Sulawesi (Dalimartha, 2003).

2.1.3 Penyebaran

Menurut Cronquist (1981), family Asteraceae terdiri dari 1.100 genus dan

lebih dari 20.000 spesies, tersebar terutama di wilayah subtropika yang beriklim

sedang. Genus yang utama antara lain Senecio terdiri dari hanya 30 spesies,

semuanya ditemukan di wilayah Amerika Latin dan Karibia, kecuali dua spesies,

yaitu Ageratum conyzoides dan Ageratum houstonianum, yang telah dibudidayakan

di wilayah Asia Tenggara.

2.1.4 Morfologi Tanaman Bandotan

Tanaman bandotan dapat memiliki ketinggian mencapai 1 meter. Daun dan

batang bandotan ditutupi oleh bulu halus yang berwarna putih. Daun bandotan dapat

mencapai panjang 7,5 cm.. Bunga bandotan berukuran kecil seperti bunga matahari

dengan diameter 5-8 mm dan berwarna putih keunguan. Buahnya mudah tersebar,

sedangkan bijinya ringan dan mudah terhembus angina (Prasad, 2011).

10
Gambar 2.1 Tanaman Bandotan (Baskoro, 2010).

2.1.5 Manfaat Tanaman Bandotan

Di India, daun bandotan umumnya dimanfaatkan sebagai antiseptik dan

penyembuh luka. Hal ini disebabkan karena peran daun bandotan sebagai

antimikroba dan hemostatik (Sachin, 2009).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mustafa (2005), daun bandotan

secara umum mempunyai efek antimikroba yang dapat mensterilkan luka dan

mempercepat penyembuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek

penyembuhan luka dari ekstrak methanol daun bandotan pada tikus Wistar. Luka

dibuat eksisi pada kulit kemudian dibalut dengan ekstrak daun bandotan dan

dilakukan pengamatan histologis setelah 10 hari. Dari hasil pengamatan

menunjukkan jumlah sel inflamasi lebih sedikit dan jumlah sel fibrosis lebih banyak

daripada kelompok kontrol.

11
Tanaman bandotan merupakan tanaman herbal yang tumbuh di daerah tropis

dan subtropis. Tanaman bandotan digunakan sebagai obat tradisional untuk luka

sayat, luka bakar, dan pengobatan luka yang terinfeksi oleh bakteri. Telah diketahui

tanaman bandotan dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus,

Baccilus subtilis, Eschericia coli, Pseudomonas, Helicobacter pylori (Ndip, 2009).

Satu dari beberapa penelitian tentang tanaman bandotan menunjukkan bahwa

ekstrak daun bandotan memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus

aureus dan Eschercia coli dengan nilai KHM berturut-turut adalah 12,5 mg/mL dan

25 mg/mL (Astuti, 2015).

Daun bandotan sering digunakan untuk menutup luka terbuka. Terdapat

sejumlah penelitian yang menyatakan efeknya terhadap luka sayat dan luka bakar,

hal ini karena salah satu peran daun bandotan sebagai hemostatik (Bamidele, 2010).

Daun bandotan mempunyai efek hemostatik dengan menurunkan

perdarahan, prothrombin dan clotting time serta meningkatkan konsentrasi plasma

fibrinogen yang berpengaruh terhadap percepatan koagulasi darah. Clotting time

akan mempengaruhi jalur ekstrinsik koagulasi darah. Konsentrasi fibrinogen yang

meningkat dapat membantu pembentukan bekuan fibrin yang stabil (Bamidele,

2010).

2.1.6 Kandungan Kimia Daun dan Bunga Bandotan

12
Berdasarkan studi fitokimia, tanaman bandotan mengandung senyawa

steroid, terpenoid, flavonoid, saponin, asam lemak, dan alkaloid (Kamboj dan

Saluja, 2010). Studi fitokimia yang lain menunjukkan bahwa ekstrak daun bandotan

mengandung senyawa steroid, sterol, triterpenoid, alkaloid, flavonoid, tanin,

fenolik, karbohidrat, dan protein (Dash dan Murthy, 2011). Bunga bandotan juga

mengandung senyawa saponin, flavonoid, terpenoid, tanin, polifenol, dan minyak

atsiri (Astuti, 2015). Namun perlu diketahui juga bahwa tanaman bandotan

mempunyai kandungan fitokimia yang berbeda-beda tergantung dari kondisi iklim

tempat tanaman ini tumbuh (Ndip, 2009).

2.1.6.1 Flavonoid

Flavonoid termasuk kelompok senyawa fenol terbesar yang di temukan di

alam. Senyawa flavonoid ini bukan disebabkan karena banyaknya variasi struktur,

alkoksilasi, atau glikosilasi pada struktur tersebut. Flavonoid di alam juga sering

dijumpai dalam bentuk glikosidanya (Kristanti dan Alfinda, 2008).

Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan biru, dan

sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam tanaman. Sebagai pigmen bunga,

flavonoid jelas berperan dalam menarik serangga untuk membantu proses

13
penyerbukan. Beberapa kemungkinan fungsi flavonoid yang lain bagi tumbuhan

adalah sebagai zat pengatur tumbuh, pengatur proses fotosintesis, sebagai zat

antimikroba, antivirus dan antiinsektisida. Beberapa flavonoid sengaja dihasilkan

oleh jaringan tumbuhan sebagai respon terhadap infeksi atau luka yang kemudian

menghambat jamur meyerangnya, flavonoid diketahui telah banyak memberikan

efek fisiologis tertentu. Oleh karena itu, tumbuhan yang mengandung flavonoid

banyak dipakai dalam pengobatan tradisional (Kristanti dan Alfinda, 2008).

Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom

karbon. Dua cincin benzena (C6) terikat pada suatu rantai propana (C3) sehingga

membentuk suatu susunan C6-C3-C6. Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis

struktur, yakni 1,3-diarilpropana atau flavonoid, 1,2-diarilpropana atau isoflavonoid,

dan 1,1-diarilpropana atau neoflavonoid (Kristanti dan Alfinda, 2008).

2.1.6.2 Alkaloid

Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan

di alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas

dalam berbagai jenis tumbuhan. Ciri khas alkaloid adalah semua alkaloid

mengandung paling sedikit satu atom N yang bersifat basa dan pada umumnya

merupakan bagian dari cincin (Kristanti dan Alfinda, 2008).

14
Senyawa alkaloid diklasifikasikan menurut jenis cincin heterosiklik

nitrogen yang merupakan bagian dari struktur molekul. Menurut klasifikasi ini

alkaloid dapat dibedakan atas beberapa jenis, seperti, alkaloid piridin, pirolidin,

indol, piperidin, kuinolin, dan isokuinolin (Kristanti dan Alfinda, 2008).

2.1.6.3 Tanin

Tanin disebut sebagai polifenol tanaman, yang mempunyai peran dalam

pengikatan protein, pembentuk pigmen, sebagai ion metal, dan mempunyai susunan

molekul yang besar, serta sebagai aktivitas antioksidan. Tanin memiliki rumus

molekul C7H5 O46, ada yang tidak berwarna tetapi ada juga yang berwarna kuning

atau cokelat (Okuda dan Ito, 2011). Dua kelas besar tanin dikenal berdasarkan

reaksi hidrolitik dan asal fenoliknya. Kelas pertama disebut sebagai tanin yang

dapat dihidrolisis dan yang lain disebut tanin terkondensasi. Disebut sebagai tanin

yang dapat dihidrolisis karena mudah larut dalam asam mineral atau enzim seperti

tannase, diantaranya adalah asan gallat, hexahydrodiphenic ellagic acid. Sedangkan

tanin terkondensasi tidak dapat larut dalam asam mineral dan enzim sehingga

disebut juga tanin yang tidak dapat dihidrolisis, salah satu contohnya adalah katekin

(Rangari, 2007).

2.1.6.4 Terpenoid

Terpenoid adalah kelompok senyawa metabolit sekunder terbesar, dilihat

dari jumlah senyawa maupun variasi kerangka dasar strukturnya. Terpenoid

15
ditemukan berlimpah dalam tanaman tingkat tinggi, meskipun demikian, dari

penelitian diketahui bahwa jamur, organisme laut, dan serangga juga menghasilkan

terpenoid. Selain dalam bentuk bebasnya, terpenoid di alam juga dijumpai dalam

bentuk glikosida, glikosil ester dan iridoid. Terpenoid juga merupakan komponen

utama penyusun minyak atsiri. Senyawa-senyawa yang termasuk dalam kelompok

terpenoid diklasifikasikan berdasarkan jumlah atom karbon penyusunnya antara

lain, monoterpen C10, seskuiterpen C15, diterpen C20 , triterpen C30, tetraterpen C40,

politerpen dengan jumlah C lebih dari 40 (Kristanti dan Alfinda, 2008).

Senyawa-senyawa terpenoid tersusun atas karbon-karbon dengan jumlah

kelipatan lima. Sebagian besar terpenoid mempunyai kerangka karbon yang

dibangun oleh dua atau lebih unit C5 seperti isopren (Kristanti dan Alfinda, 2008).

2.1.6.5 Steroid

Steroid adalah kelompok senyawa bahan alam yang kebanyakan strukturnya

terdiri atas 17 atom karbon dengan membentuk struktur dasar 1,2-

siklopentenoperhidrofenantren (Kristanti dan Alfinda, 2008).

Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa yang pengelompokannya

didasarkan pada efek fisiologis yang dapat ditimbulkan. Ditinjau dari segi struktur,

perbedaan antara berbagai kelompok ini ditentukan oleh jenis substituen R 1, R2, dan

R3 yang terikat pada kerangka dasar sedangkan perbedaan antara senyawa yang satu

dengan senyawa yang lain dari suatu kelompok ditentukan oleh panjangnya rantai

16
karbon substituen, gugus fungsi yang terdapat pada substituen, jumlah dan posisi

gugus fungsi oksigen dan ikatan rangkap pada kerangka dasar serta konfigurasi

pusat asimetris pada kerangka dasar. Kelompok tersebut adalah sterol, sterol dipakai

khusus untuk steroid yang memiliki gugus hidroksi, tetapi karena praktis semua

steroid tumbuhan berupa alkohol dengan gugus hidroksi pada posisi C-3, maka

disebut sterol. Selain dalam bentuk bebasnya, sterol juga sering dijumpai sebagai

glikosida atau sebagai ester dengan asam lemak. Glikosida sterol sering disebut

sterolin (Kristanti dan Alfinda, 2008).

Secara biogenetik, steroid yang terdapat di alam berasal dari triterpen.

Steroid yang terdapat dalam jaringan hewan berasal dari lanosterol, sedangkan yang

terdapat dalam jaringan tumbuhan dari sikloartenol, setelah kedua triterpen ini

mengalami serangkaian perubahan (Kristanti dan Alfinda, 2008).

2.2 Ekstraksi

2.2.1 Definisi

17
Ekstraksi merupakan salah satu metode pemisahan kimia berdasarkan atas

kelarutan komponen dengan pelarut yang digunakan. Ekstrak adalah hasil yang

diperoleh dari ekstraksi atau sediaan yang diperoleh dengan cara ekstraksi tanaman

obat dengan ukuran partikel tertentu (Kristanti dan Alfinda, 2008). Berdasarkan

bentuk campuran yang diekstraksi dapat dibedakan dua macam ekstraksi yaitu

sebagai berikut:

1. Ekstraksi padat-cair, jika substansi yang diekstraksi terdapat di dalam campurannya yang

berbentuk padat. Proses ini paling banyak ditemui di dalam usaha untuk mengisolasi suatu

subtansi yang terkandung di dalam suatu bahan alam. Dalam proses ekstraksi padat-cair

diperlukan kontak yang sangat lama antara pelarut dan padatan. Sifat-sifat bahan alam dan

bahan yang akan diekstraksi berperan penting dalam menentukan kecepatan dan ketepatan

ekstraksi (Kristanti dan Alfinda, 2008).


2. Ekstraksi cair-cair, jika substansi yang diekstraksi terdapat di dalam campurannya yang

berbentuk cair (Kristanti dan Alfinda, 2008).

2.2.2 Metode Ekstraksi

2.2.2.1 Ekstraksi dengan Menggunakan Pelarut dengan Cara Dingin

18
1. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperature

ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode

pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik merupakan metode

maserasi disertai pengadukan yang terus-menerus. Remaserasi berarti dilakukan

pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama,

dan seterusnya (Depkes RI, 2000).

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna

(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses

perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap

perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), dan dilakukan secara terus-

menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan

(Depkes RI, 2000).

19
2.2.2.2 Ekstrak dengan Menggunakan Pelarut dengan Cara Panas

1. Refluks

Refluks adalah metode ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik

didihnya, selama waktu tertentu dan dengan jumlah pelarut terbatas yang relatif

konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses

pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi

sempurna (Depkes RI, 2000).

2. Soxhlet

Soxhlet adalah metode ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan

jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).

3. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang

lebih tinggi dari temperature ruangan (kamar), biasanya digesti dilakukan pada suhu 40-50
0
C (Depkes RI, 2000).

2.2.2.2 Destilasi Uap

Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa yang mudah menguap (minyak atsiri)

dari bahan (segar atau simplisia) berdasarkan tekanan parsial senyawa yang mudah

menguap dengan menggunakan uap air dari ketel secara kontinyu sampai sempurna

dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran (senyawa yang mudah menguap

20
ikut terdestilasi) menjadi destilat air bersama senyawa kandungan yang memisah

sempurna atau memisah sebagian. Pada destilasi uap, bahan (simplisia) benar-benar

tidak tercelupkan ke air yang mendidih, namun dilewati uap air sehingga senyawa

kandungan menguap ikut terdestilasi (Depkes RI, 2000).

2.3 Kulit Manusia

Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti

perlindungan terhadap kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh fisik maupun

pengaruh kimia, serta mencegah kelebihan kehilangan air dari tubuh dan berperan

sebagai termoregulasi. Kulit bersifat lentur dan elastis yang menutupi seluruh

permukaan tubuh dan merupakan 15% dari total berat badan orang dewasa (Paul,

2011). Fungsi proteksi kulit adalah melindungi tubuh dari kehilangan cairan

elektrolit, trauma mekanik dan radiasi ultraviolet, sebagai barier dari invasi

mikroorganisme patogen, merespon rangsangan sentuhan, rasa sakit dan panas

karena terdapat banyak ujung saraf, tempat penyimpanan nutrisi dan air yang dapat

digunakan apabila terjadi penurunan volume darah dan tempat terjadinya

metabolisme vitamin D (Perdanakusuma, 2007).

21
2.4 Tinjauan tentang Sediaan Salep

Salep (unguenta menurut FI ed. III) adalah sediaan setengah padat yang

mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obat harus larut atau

terdispersi homogen ke dalam dasar salep yang cocok. Salep dapat ditujukan untuk

pengobatan lokal atau sistemik. Dasar salep yang cocok disesuaikan dengan bahan

aktif atau sifat obat yang akan digunakan. Salep dipilih karena memiliki daya

absorpsi yang baik, serta dapat bekerja secara lokal langsung pada daerah yang

dituju serta kemudahan dalam pemakaiannya selain itu juga mudah dibawa kemana-

mana.

Fungsi salep antara lain sebagai bahan pembawa subtansi obat untuk

pengobatan kulit, sebagai bahan pelumas pada kulit, sebagai bahan pelindung kulit

dari pengaruh yang merusak (Voigt, 1995).

2.4.1 Pembagian Salep Berdasarkan Sifat Farmakologi/Terapeutik dan Penetrasinya

(Syamsuni, 2006).

1. Salep Epidermis : digunakan untuk melidungi kulit dan menghasilkan efek lokal,

tidak diabsorbsi, kadang-kadang ditambahkan antiseptic, astrigensia untuk meredakan

rangsangan atau anestesi lokal.

2. Salep Endodermis : salep yang bahan obatnya menembus ke dalam kulit, terabsorbsi

sebagian, dan digunakan untuk melunakkan kulit atau selaput lender.

22
3. Salep Diadermis : salep yang bahan obatnya menemus ke dalam tubuh melalui kulit

dan mencapai efek yang diinginkan.

2.4.2 Peraturan Pembuatan Salep Menurut F. Van Duin

1. Peraturan Salep Pertama


Zat-zat yang dapat larut dalam campuran lemak dilarutkan dengan cara

pemanasan.
2. Peraturan Salep Kedua
Bahan-bahan yang larut dalam air, jika tidak ada peraturan lain, harus dilarutkan

lebih dahulu dalam air, asalkan jumlah air yang dipergunakan dapat diserap seluruhnya oleh

basis salep dan jumlah air yang dipakai dikurangi dari basis salepnya.
3. Peraturan Salep Ketiga
Bahan-bahan yang sukar atau hanya sebagian dapat larut dalam lemak dan air

harus diserbukkan lebih dahulu, kemudian diayak dengan pengayak No. 60.
4. Peraturan Salep Keempat
Salep-salep yang dibuat dengan cara mencairkan, campurannya harus digerus

sampai dingin. Untuk bahan-bahan yang dilebur penimbangannya harus dilebihkan 10-

20% untuk mencegah apabila terjadi kekurangan bobot.

2.4.3 Persyaratan Salep (Farmakope Indonesia Edisi IV)

1. Pemerian : tidak boleh berbau tengik

2. Kadar : kecuali dinyatakan lain dan untuk salep yang mangandung obat keras atau

obat narkotik, kadar bahan obat adalah 10%.

3. Dasar salep : kecuali dinyatakan lain, sebagai bahan dasar salep (basis salep)

digunakan vaselin putih (vaselin album). Tergantung dari sifat bahan obat dan tujuan

23
pemakaian salep, dapat dipilih beberapa bahan dasar salep. Dasar salep yang digunakan

sebagai pembawa dibagi dalam 4 kelompok :

a. Dasar salep hidrokarbon : Vaselin putih, vaselin kuning (vaselin flavum), malam

putih (cera album), malam kuning (cera flavum), atau campurannya. Dasar salep

ini dikenal sebagai dasar salep berlemak. Hanya sejumlah kecil komponen

berair dapat dicampurkan kedalamnya. Salep ini dimaksudkan untuk

memperpanjang kontak bahan obat dengan kulit dan bertindak sebagai pembalut

penutup. Dasar salep hidrokarbon digunakan terutama sebagai emolien, dan

sukar dicuci. Tidak mengering dan tidak tampak berubah dalam waktu lama.

b. Dasar salep serap : Dasar salep serap ini dapat dibagi dalam 2 kelompok.

Kelompok pertama terdiri atas dasar salep yang dapat bercampur dengan air

membentuk emulsi air dalam minyak (Parafin hidrofilik dan Lanolin anhidrat),

dan kelompok kedua terdiri atas emulsi air dalam minyak yang dapat bercampur

dengan sejumlah larutan air tambahan (Lanolin). Dasar salep serap juga

bermanfaat sebagai emolien.

c. Dasar salep yang dapat dicuci dengan air : dasar salep ini adalah emulsi minyak

dalam air antara lain salep hidrofilik dan lebih disebut krim. Dasar salep ini

dinyatakan juga sebagai dapat dicuci dengan air karena mudah dicuci dari

kulit atau dilap basah, sehingga lebih dapat diterima untuk dasar kosmetik.

Beberapa bahan obat dapat menjadi lebih efektif menggunakan dasar salep ini

dari pada dasar salep hidrokarbon. Keuntungan dari dasar salep ini adalah dapat

24
diencerkan dengan air dan mudah menyerap cairan yang terjadi pada kelainan

dermatologik.

d. Dasar salep larut dalam air : misalnya PEG atau campurannya. Kelompok ini

juga disebut juga dasar salep tak berlemak dan terdiri dari konstituen larut air.

Dasar salep jenis ini memberikan banyak keuntungan seperti dasar salep yang

dapat dicuci dengan air dan tidak mengandung bahan yang tak larut dalam air

seperti parafin, lanolin.

4. Homogenitas : jika dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang

cocok, harus menunjukkan susunan yang homogen.

5. Penandaan : pada etiket harus tertera obat luar.

2.4.4 Kualitas Dasar Salep (Syamsuni, 2006)

Kualitas dasar salep yang baik adalah:

1. Stabil, tidak terpengaruh oleh suhu dan kelembapan dan selama dipakai harus bebas dari

inkompatibilitas.
2. Lunak, yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi lunak dan

homogen, karena salep digunakan untuk kulit yang teriritasi, inflamasi, ekskloriasi.
3. Mudah dipakai, umumnya salep tipe emulsi adalah yang paling mudah dipakai dan

dihilangkan dari kulit.

25
4. Dasar salep yang cocok yaitu dasar salep yang harus kompatibel secara fisika dan kimia

dengan obat yang dikandungnya. Dasar salep tidak boleh merusak atau menghambat aksi

terapi dari obat yang mampu melepas obatnya pada daerah yang diobati.
5. Terdistribusi merata, obat harus terdistribusi merata melalui dasar salep padat atau cair pada

pengobatan.

2.5 Karakteristik Bahan

2.5.1. Vaselin Album

Vaselin Album atau Vaselin Putih adalah campuran yang dimurnikan dari

hidrokarbon setengah padat, diperoleh dari minyak bumi dan keseluruhan atau

hampir keseluruhan dihilangkan warnanya dan dapat mengandung stabilitator yang

sesuai (FI edisi IV).

Pemerian putih atau kuning pucat, massa berminyak transparan dalam

lapisan tipis setelah didinginkan pada suhu 00. Kelarutan tidak larut dalam air, sukar

larut dalam etanol dingin, panas atau dalam etanol mutlak dingin, mudah larut

dalam benzena, karbon disulfide, kloroform, larut dalam heksana, dalam sebagian

besar minyak lemak, dan minyak atsiri. Jarak lebur antara 380 dan 600. Kegunaan

sebagai zat tambahan dan dasar salep. Wadah dan penyimpanan dalam wadah

tertutup rapat.

2.5.2 Adeps Lanae

26
Adeps Lanae atau Lemak Bulu Domba adalah zat serupa lemak yang

dimurnikan, diperoleh dari bulu domba yang dibersihkan dan dihilangkan warna

dan baunya. Mengandung air tidak lebih dari 0,25%. Boleh mengandung

antioksidan yang sesuai tidak lebih dari 0,02% (FI edisi IV).

Pemerian massa seperti lemak, lengket, warna kuning, bau khas. Kelarutan

tidak larut dalam air, dapat bercampur dengan air lebih kurang 2 kali beratnya, agak

sukar larut dalam etanol dingin, lebih larut dalam etanol panas, mudak larut dalam

eter, dan dalam kloroform. Jarak lebur 38 0 dan 440. Kegunaan sebagai zat tambahan,

penyimpanan dalam wadah tertutup rapat.

2.5.3 Nipagin

Nipagin atau metilparaben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak

lebih dari 100,5% C8 H8 O3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Pemerian serbuk hablur kecil, tidak berwarna, putih, tidak berbau, atau

berbau khas lemah dan mempunyai rasa sedikit terbakar. Kelarutan sukar larut

dalam air, benzena, dan dalam karbon tetraklorida, mudah larut dalam etanol dan

eter. Jarak lebur antara 1250 dan 1280. Kegunaan sebagai pengawet. Wadah dan

penyimpanan dalam wadah tertutup (FI edisi IV).

2.5.4 Nipasol

27
Nipasol atau propilparaben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak

lebih dari 100,5% C10 H12 O3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Pemerian serbuk putih, hablur kecil, dan tidak berwarna. Kelarutan sangat

sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol, dan eter, sukar larut dalam dalam

air mendidih. Jarak lebur 950 dan 980. Kegunaan sebagai pengawet. Wadah dan

penyimpanan dalam wadah tertutup (FI edisi IV).

2.6 Evaluasi Mutu Fisik Sediaan Salep

2.6.1 Uji Organoleptis

Uji organoleptis ini ditujukan untuk mengetahui kestabilan sediaan yang

dibuat. Pengujian organoleptis meliputi warna, bau, rasa, dan tekstur sediaan yang

telah dibuat setiap minggu selama empat minggu pada suhu kamar.

2.6.2 Uji pH

Uji pH dilakukan untuk mengetahui nilai keasaman atau kebasaan sediaan

salep yang dibuat dengan menggunakan kertas pH. Pemeriksaan pH dilakukan

dengan cara menyediakan salep sebanyak 0,5 gram kemudian dilarutkan dalam 30

ml aquadest, lalu diukur nilai pH-nya menggunakan pH meter sampai menujukkan

nilai pH yang konstan. Pemeriksaan pH dilakukan setiap minggu selama empat

28
minggu pada suhu kamar untuk melihat kestabilan dari sediaan salep

(Padmadisastra dkk, 2007).

2.6.3 Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk melihat apakah sediaan salep yang dibuat

menunjukkan susunan yang homogen dengan dioleskan pada sekeping kaca atau

bahan transparan lain yang cocok (Syamsuni, 2006).

2.6.4 Uji Daya Lekat

Uji daya lekat dilakukan untuk mengetahui apakah sediaan tersebut

menempel atau melekat pada kulit. Ditimbang 500 mg salep di letakkan di atas

objek gelas, kemudian objek gelas yang lain diletakkan di atasnya dan ditekan

dengan beban seberat 100 g selama 5 menit, objek gelas dipasang pada alat uji.

Beban seberat 80 g dilepaskan dan dicatat waktunya pada saat kedua objek gelas

tersebut terlepas. Adapun syarat waktu daya lekat yang baik adalah tidak kurang

dari 4 detik (Astuti et al., 2010) .

2.6.5 Uji Daya Sebar

Uji daya sebar dilakukan untuk mengetahui luas daerah penyebaran salep.

Uji daya sebar ditentukan dengan cara menimbang 500 mg salep dan diletakkan di

tengah kaca. Sebelumnya ditimbang dahulu kaca yang lain dan diletakkan kaca

tersebut di atas salep kemudian diberi beban 200 g dan dibiarkan selama 1 menit.

Diameter salep yang menyebar diukur dengan mengambil panjang rata-rata

29
diameter dari beberapa sisi dan dicatat diameter salep yang menyebar. Suatu sediaan

salep dikatakan baik apabila daya sebarnya besar (diameter besar) (Astuti et al.,

2010).

2.6.6 Uji Viskositas

Uji viskositas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar tahanan sediaan

salep untuk mengalir. Uji viskositas dilakukan dengan menggunakan alat

viskotester. Viskotester di pasang pada klemnya dengan arah horizontal atau tegak

lurus dengan arah klem. Rotor kemudian dipasang pada viskotester kemudian

dikunci berlawanan arah dengan jarum jam. Mangkuk diisi sampel salep yang akan

diuji, rotor ditempatkan tepat berada ditengah-tengah yang berisi salep, kemudian

alat dihidupkan dan ketika rotor mulai berputar jarum penunjuk viskositas secara

otomatis akan bergerak menuju ke kanan, kemudian setelah stabil, viskositas dibaca

pada skala rotor yang digunakan. Cara di atas diulangi 3 kali tiap formula.

30
2.7 Kerangka Teori

Daun dan bunga bandotan

Dibuat simplisia

Kandungan metabolit
sekunder bandotan yang
menghambat pertumbuhan
Staphylococcus aureus

50 g serbuk simplisia dimaserasi


selama 24 jam dengan etanol 70%

Ekstrak pekat Dibuat sediaan


daun dan bunga salep
bandotan
dilakukan skrining
fitokimia

Sediaan salep Sediaan salep


ekstrak daun ekstrak bunga
bandotan bandotan

Dibandingkan mutu fisik


organoleptis, pH, homogenitas,
daya sebar, daya lekat, viskositas
31
Bandotan merupakan sejenis tanaman pengganggu yang banyak ditemukan

di pinggir jalan, hutan, ladang, dan tanah terbuka. Senyawa yang terkandung dalam

daun dan bunga bandotan sebagai antibakteri adalah flavonoid. Selain flavonoid

senyawa metabolit sekunder lain juga berkhasiat sebagai antibakteri antara lain

alkaloid, tanin, terpenoid dan steroid. Penyakit infeksi pada kulit seperti bisul dan

luka borok disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus, apabila infeksi ini tidak

segera ditangani maka akan menyebar ke bagian tubuh lainnya. Permasalahan

tersebut dapat diatasi dengan membuat sediaan salep ekstrak daun dan bunga

bandotan sebagai antibakteri. Sediaan salep ini dapat digunakan dengan nyaman,

praktis dan efisien pada pengobatan infeksi kulit, dan tidak lagi menggunakan

pengobatan secara tradisional.

Flavonoid merupakan senyawa yang mudah larut dalam senyawa polar dan

tidak tahan dalam pemanasan atau rusak karena pemanasan. Untuk mendapatkan

ekstrak daun dan bunga bandotan yang akan digunakan sebagai sediaan salep

tersebut, dilakukan ekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol 70% sebanyak

500 mL terhadap 50 gram daun dan bunga bandotan.. Metode pembuatan ekstrak

daun dan bunga bandotan adalah metode maserasi. Metode maserasi dipilih karena

dianggap lebih aman karena tidak menggunakan pemanasan sehingga tidak merusak

zat aktif flavonoid dalam daun dan bunga bandotan. Skrining fitokimia dilakukan

untuk mengetahui senyawa flavonoid pada ekstrak daun dan bunga bandotan

32
sebagai antibakteri. Selain itu dilakukan juga skrining fitokimia pada senyawa

metabolit sekunder lain seperti alkaloid, tanin, terpenoid, dan steroid yang juga

mempunyai khasiat sebagai antibakteri.

Bahan aktif yang digunakan dalam formula salep ini adalah ekstrak daun

dan bunga bandotan, dengan menggunakan kombinasi dasar salep yaitu dasar

hidrokarbon dan dasar absorbsi. Kedua dasar salep ini mempunyai efek terapi yang

baik, stabil, tidak mudah rusak, dan mampu bertahan lama di kulit. Penggunaan

dasar salep absorbsi untuk menyerap kandungan air yang terdapat pada formula.

Pengawet yang digunakan adalah nipagin dan nipasol dimana nipagin digunakan

sebagai pengawet untuk fase air dan nipasol digunakan sebagai pengawet untuk fase

minyak. Bahan tersebut dikombinasikan dengan ekstrak daun dan bunga bandotan

yang mengandung flavonoid karena tidak menimbulkan reaksi antar bahan.

Sedian salep yang telah dibuat dilakukan perbandingan mutu fisik antara

sediaan salep ekstrak daun dan ekstrak bunga bandotan. Tujuan dari perbandingan

ini adalah untuk melihat sediaan salep yang memiliki mutu fisik yang baik dan

sesuai standar. Mutu fisik yang dibandingkan antara lain organoleptis, pH,

homogenitas, daya sebar, daya lekat dan viskositas. Uji organoleptis digunakan

untuk mengetahui bentuk sediaan yang dibuat. Uji pH digunakan untuk mengetahui

sediaan salep ekstrak daun dan bunga bandotan tidak mengiritasi kulit. Uji

viskositas digunakan untuk mengetahui seberapa besar tahanan sediaan salep untuk

mengalir agar dapat menghasilkan efek yang baik. Uji daya lekat digunakan untuk

33
mengetahui apakah sediaan salep tersebut mampu menempel atau melekat pada

kulit. Sedangkan uji daya sebar digunakan untuk mengetahui luas daerah

penyerapan salep.

2.8 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah mutu fisik sediaan salep ekstrak daun

dan bunga bandotan berdasarkan evaluasi mutu fisik organoleptis yakni warna, bau,

dan rasa dengan menggunakan dasar salep yang sama. Hipotesis dalam penelitian

ini dibatasi hanya evaluasi mutu fisik organoleptis sediaan salep ekstrak daun dan

bunga bandotan, dimana dapat dilihat secara organoleptis yakni warna, bau, dan

rasa dari kedua sediaan salep yang memiliki peluang dapat digunakan sebagai

pengobatan infeksi kulit yang dapat diterima dan memenuhi standar.

34
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dimana peneliti akan

menggambarkan dan mendeskripsikan mutu fisik sediaan salep ekstrak daun dan

bunga bandotan. Adapun penelitian ini meliputi tiga tahap yaitu tahap persiapan,

tahap pelaksanaan, dan tahap akhir.

Dalam tahap persiapan ini peneliti menentukan populasi dan sampel

penelitian, menentukan lokasi dan waktu penelitian, serta menentukan formula,

kemudian mempersiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan

sediaan salep.

Tahap pelaksanaan yaitu tahap dimana untuk memulai proses penelitian.

Pertama determinasi tanaman dilakukan di Materia Medika Batu (MMB) untuk

mengetahui klasifikasi dan bentuk fisik dari tanaman mimba, selanjutnya untuk

35
pembuatan simplisia bahan baku diambil di daerah Tuban. Pembuatan simplisia

dilakukan pengeringan dibawah sinar matahari selama 3 hari. Kemudian membuat

ekstrak daun dan bunga bandotan dengan metode maserasi setelah mendapatkan

ekstrak kemudian melakukan proses pembuatan sediaan salep dari ekstrak daun dan

bunga bandotan. Salep ekstrak daun dan bunga bandotan yang telah jadi dilakukan

perbandingan mutu fisik dengan cara evaluasi menggunakan uji organoleptis,

homogenitas, pH, daya sebar, daya lekat, dan viskositas.

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang mempunyai kualitas dan

karakteristik tertentu yang ditetapakan oleh penelitian. Populasi dalam penelitian ini

adalah sediaan salep ekstrak daun dan bunga bandotan.

3.2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang akan diteliti. Sampel

dalam penelitian ini adalah sebagain salep yang mengandung ekstrak daun dan

bunga bandotan.

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

36
3.3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi dan Laboratorium

Farmasetika Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang.

3.3.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian yang digunakan mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan,

sampai tahap analisa hasil akan dilakukan pada bulan Maret April 2016.

3.4 Definisi Operasional Variabel

Dalam penelitian ini terdapat variabel bebas dan variabel terikat. Variabel

bebas dalam penelitian ini adalah sediaan salep ekstrak daun dan bunga bandotan

sedangkan variabel terikatnya adalah mutu fisik sediaan salep ekstrak daun dan

bunga bandotan. Definisi operasional variabel dalam penelitian ini dapat dilihat

pada tabel 3.1 dibawah ini :

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel

Variabel Sub Definisi Alat Ukur Standar Mutu Skala

Variabel Operasional Fisik ukur


Mutu Organoleptis Parameter yang Visual Sediaan tidak Ordinal

37
fisik menunjukkan fisik berubah warna,

(mengkaj salep, yaitu bentuk, tekstur, dan bau

i tentang warna, dan bau


pH Parameter yang pH meter pH yang menyamai Nominal
mutu
menunjukkan pH fisiologis kulit
sediaan)
tingkat keasaman yaitu antara 4,5-6,5

atau kebasaan

sediaan salep
Homogenitas Parameter yang Objek glass Homogen Ordinal

menunjukkan semua ditunjukkan dengan

bahan tercampur tercampurnya

merata pada sediaan semua bahan yang

salep yang digunakan dalam

dihasilkan formulasi sediaan

salep secara merata.

Tidak homogen

ditunjukkan dengan

tidak tercampurnya

semua bahan yang

digunakan dalam

formulasi sediaan

salep secara merata.


Daya Lekat Parameter yang Stopwatch Daya lekat salep Nominal

38
menunjukkan yang baik 5-7 detik

sediaan salep

mampu melekat

pada kulit
Daya Sebar Parameter yang Penggaris Daya sebar salep Nominal

menunjukkan luas yang baik 5-7 cm

penyebaran salep

pada kulit
Viskositas Menunjukkan Viskometer 2000-50000 cps Nominal

kekentalan sediaan Brookfield

salep

3.5 Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini yaitu meliputi alat dan bahan. Alat- alat yang

digunakan yaitu anak timbangan dan timbangan, mortar dan stamper, gelas arloji,

kaca preparat, beaker glass, pipet tetes, penggaris, stopwatch, corong butcher,

blender, pH meter, wadah ekstraksi, pot salep, rotary evaporator, viskometer

Brookfield, waterbath. Bahan- bahan yang dibutuhkan yaitu ekstrak daun dan bunga

bandotan, vaselin album, lanolin (adeps lanae), nipagin (metil paraben), dan nipasol

(propil paraben).

3.6 Pengumpulan Data

39
3.6.1 Determinasi Tanaman Bandotan

Determinasi tanaman bandotan dilakukan di Materia Medika Batu (MMB)

untuk mengetahui klasifikasi dan bentuk fisik secara langsung tanaman yang

digunakan sebagai bahan baku penelitian.

3.6.2 Pemilihan Daun dan Bunga Bandotan

Pemilihan daun dan bunga bandotan dilakukan dengan tujuan agar

mendapatkan ekstrak daun dan bunga yang berkualitas yaitu dengan dipilih daun

dan bunga yang masih baik.

3.6.3 Pembuatan Serbuk Daun dan Bunga Bandotan

Pembuatan serbuk dipilih daun dan bunga bandotan yang segar, kemudian

daun dan bunga dicuci, diangin-anginkan dan dikeringkan langsung di bawah sinar

matahari selama 3 hari. Setelah dilakukkan pengeringan disiapkan simplisia daun

dan bunga bandotan, kemudian simplisia daun dan bunga bandotan dihaluskan

dengan menggunakan blender, setelah itu simplisia daun dan bunga bandotan yang

sudah halus di ayak dengan menggunakan ayakan nomor 100.

3.6.4 Pembuatan Ekstrak Daun dan Bunga Bandotan

40
Serbuk daun dan bunga bandotan sebanyak 50 g dimaserasi dengan 500 mL

pelarut etanol 70 % selama 24 jam. Kemudian disaring filtratnya, sisa serbuk

(residu) dimaserasi kembali dengan pelarut etanol sampai jernih. Maserat yang

diperoleh diuapkan dengan alat rotary evaporator pada temperatur tidak lebih dari

400-500 C hingga diperoleh ekstrak kental.

a. Perhitungan Rendeman

Perhitungan rendeman ekstrak daun dan bunga bandotan :

Berat serbuk daun dan bunga bandotan = a gram

Berat ekstrak daun dan bunga bandotan = b gram

b
% Kadar ekstrak daun dan bunga bandotan = 100
a

b. Standardisasi Ekstrak

Standardisasi ekstrak meliputi pemeriksaan organoleptis dilakukan dengan cara

mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa ekstrak.

3.6.5 Pembuatan Skiring Fitokimia

3.6.5.1 Skrining Fitokimia Flavonoid

Ditimbang ekstrak 0,5 g dimasukkan dalam cawan, kemudian ditambahkan

2 mL etanol 70% dan diaduk. Ditambahkan serbuk magnesium 0,5 g dan 3 tetes

HCl pekat, terbentuknya warna jingga sampai merah menunjukkan adanya flavon,

41
merah sampai merah padam menunjukkan flavonol, merah padam sampai keunguan

menunjukkan flavonon (Mojab, et al. 2003).

3.6.5.2 Skrining Fitokimia Alkaloid

Ditimbang 0,5 g serbuk simplisia, kemudian ditambahkan 1 ml asam

klorida 2 N dan 9 mL. Dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, dinginkan

dan disaring. Dipindahkan 3 tetes filtrat pada kaca arloji, ditambahkan 2 tetes

Bouchardat LP. Jika pada kedua percobaan tidak terjadi endapan, maka serbuk tidak

mengandung alkaloid. Jika dengan mayer LP terbentuk endapan menggumpal

berwarna putih atau kuning yang larut dalam metanol pekat dan dengan Bouchardat

LP terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam, maka ada kemungkinan

terdapat alkaloida (Depkes RI 1978).

3.6.5.3 Skrining Fitokimia Tanin

Ditimbang 0,5 g ekstrak dan dimasukkan dalam cawan, ditambahkan 2 mL

etanol 70% dan diaduk. Kemudian ditambahkan FeCl3 sebanyak 3 tetes, jika

menghasilkan biru karakteristik, biru-hitam, hijau atau biru-hijau dan endapan maka

senyawa mengandung tanin (Mojab, et al. 2003)

3.6.5.4 Skrining Fitokimia Terpenoid


Ditimbang 0,5 g ekstrak, dilarutkan dalam 0,5 mL kloroform. Kemudian

ditambahkan 0,5 mL anhidrida asetat, ditetesi dengan 2 mL H 2SO4 pekat melalui

42
dinding tabung. Adanya senyawa golongan terpenoid ditandai dengan timbulnya

warna merah (Setyowati, 2014).


3.6.5.5 Skrining Fitokimia Steroid
Ditimbang 0,5 g ekstrak dalam tabung reaksi ditambahkan 2 mL etanol 70%

kemudian diaduk. Ditambahkan 2 mL kloroform, kemudian ditambahkan 2 mL

H2SO4 pekat dengan cara diteteskan pelan-pelan dari sisi dinding tabung reaksi.

Pembentukan cincin warna merah menunjukan adanya steroid (Mandal dan Ghasal,

2012).

3.6.6 Pembuatan Sediaan Salep

3.6.6.1 Rancangan Formula

Dalam penelitian ini, formula salep ekstrak daun dan bunga bandotan dibuat

dengan 3 replikasi sediaan salep 20 gram.

Rancangan formula sediaan salep ekstrak daun dan bunga bandotan dapat

dilihat pada table 3.2 dan 3.3 :

Tabel 3.2 Rancangan Formulasi Sediaan Salep Ekstrak Daun Bandotan

Bahan Formula
Ekstrak daun bandotan 5%
Adeps lanae 6%
Nipagin 0,15%
Nipasol 0,3%
Vaselin album Ad 20 gram
Keterangan : Dibuat Triplo

43
Tabel 3.3 Rancangan Formulasi Sediaan Salep Ekstrak Bunga Bandotan

Bahan Formula
Ekstrak daun bandotan 5%
Adeps lanae 6%
Nipagin 0,15%
Nipasol 0,3%
Vaselin album Ad 20 gram

Keterangan:DibuatTriplo

3.6.6.2 Perhitungan Bahan

1. Perhitungan Bahan Sediaan Salep Ekstrak Daun Bandotan

5
Ekstrak daun bandotan =5% = 100 20 g = 1 g = 1000 mg

6
Adeps lanae = 20 g + 10 % = 1,3 g = 1300 mg
100

0.15
Nipagin = 20 g + 10 % = 0,13 g = 130 mg
100

0.3
Nipasol = 20 g + 10 % = 0,16 g = 160 mg
100

Vaselin album = 20 + 10 % ( 1 + 1,3 + 0,13 + 0,16 )

= 17,51 g

2. Perhitungan Bahan Sediaan Salep Ekstrak Bunga Bandotan

44
5
Ekstrak daun bandotan =5% = 100 20 g = 1 g = 1000 mg

6
Adeps lanae = 20 g + 10 % = 1,3 g = 1300 mg
100

0.02
Nipagin = 20 g + 10 % = 0,13 g = 130 mg
100

0.3
Nipasol = 20 g + 10 % = 0,16 g = 160 mg
100

Vaselin album = 20 + 10 % ( 0,25 + 1,3 + 0,13 + 0,16 )

= 17,536 g

3.6.6.3 Prosedur Pembuatan Sediaan Salep

1. Disiapkan alat dan bahan


2. Disetarakan timbangan
3. Ditimbang semua bahan yang diperlukan
4. Diambil vaselin album, adeps lanae dan nipasol kemudian dimasukkan

kedalam cawan dan dilebur d iatas waterbath lalu diaduk hingga homogen
5. Basis salep dicampur dengan ekstrak daun dan bunga bandotan dalam

mortir kemudian diaduk sampai homogen


6. Didiamkan sampai dingin
7. Sediaan dimasukkan ke dalam wadah dan diberi etiket

3.6.6.4 Evaluasi Mutu Fisik Sediaan Salep

45
3.6.6.4.1 Uji Organoleptis

Prosedur pengujian organoleptis sebagai berikut:

1. Diamati bentuk dan tekstur salep


2. Dibau aroma salep berbau tengik atau tidak
3. Diamati warna salep

3.6.6.4.2 Uji Homogenitas

Prosedur pengujian homogenitas sebagai berikut:

1. Diletakkan sediaan salep pada gelas objek


2. Dioleskan sediaan salep
3. Diamati partikelnya apakah tercampur rata untuk mengetahui homogenitasnya

3.6.6.4.3 Uji pH

Prosedur pengujian pH dengan menggunakan pH meter sebagai berikut:

1. Ditimbang sediaan salep sebanyak 100 mg


2. Dilarutkan dalam 10 mL aquadest
3. Dicelupkan kertas pH meter ke dalam larutan salep
4. Diamati dan dicocokkan warna kertas pH dengan standard pH pada kemasan

3.6.6.4.4 Uji Daya Sebar

Prosedur pengujian daya sebar sebagai berikut:

1. Ditimbang salep sebanyak 0,5 gram


2. Diletakkan salep ke dalam kaca objek kemudian ditutup dengan kaca objek lainnya
3. Diberi beban 100 g di atas kaca preparat dan dibiarkan selama 1 menit
4. Dicatat hasilnya

3.6.6.4.5 Uji Daya Lekat

46
Prosedur pengujian daya lekat sebagai berikut:

1. Ditimbang salep sebanyak 0,5 gram


2. Diletakkan salep yang telah ditimbang di atas kaca objek, kemudian ditutup dengan

kaca objek lainnya


3. Diletakkan beban 100 g selama 5 menit
4. Beban dilepas, dan diberi beban seberat 80 g
5. Kaca objek ditarik dengan beban 80 g
6. Dicatat hasilnya

3.6.6.4.6 Uji Viskositas

Prosedur pengujian viskositas menggunakan viskometer Brookfield sebagai

berikut:

1. Salep dimasukkan kedalam wadah uji


2. Mesin viskometer Brookfield dihidupkan kemudian ditunggu sampai jarum

berhenti bergerak
3. Dicatat hasil pengukuran

3.7 Analisis Data


Analisa data sediaan salep ekstrak daun dan bunga bandotan didapat dari

hasil penetapan syarat mutu fisik sediaan dengan perlakuan 3 replikasi meliputi uji

organoleptis, homogenitas, pH, daya lekat, daya sebar, dan viskositas.


Untuk menentukan apakah sediaan salep ekstrak daun dan bunga bandotan dapat

memenuhi uji mutu fisik sesuai standar, maka dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:

Tabel 3.4 Analisa data

47
N Pengamatan Literatur
o

1. Organoleptis Dilihat secara visual yang meliputi bentuk,


warna, dan bau.

2. Homogenitas Tidak terdapat partikel partikel kecil pada


gelas objek.

3. pH Dilihat pada pH standar yang menyamai pH


fisiologis kulit normal yaitu kulit 4,5 6,5.

4. Daya Lekat Daya lekat salep yang baik 5-7 detik


Daya sebar salep yang baik 5-7 cm
5. Daya Sebar

6. Viskositas 2000-50000 cps

7. Uji Anova

48

Anda mungkin juga menyukai