BAB I
PENDAHULUAN
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh toxin dari bakteri yang ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada
kulit dan atau mukosa, dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini
adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu
reservoir dari bakteri ini.1
Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui
droplet ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan atau debu bisa menjadi
media penularan (vehicle of transmission). Menurut manifestasi klinisnya difteri
terdiri dari difteri hidung, difteri tonsil faring, difteri laring, dan difteria kulit,
vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga. Jika terinfeksi dapat menyebabkan gejala-
gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang
dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.1
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan
segera. Bayi baru lahir membawa antibodi secara pasif dari ibunya yang biasanya
akan hilang pada usia 6 bulan, bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi
ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit tersebut.2
Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan
keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50%
penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa dapat
terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Berkat adanya
Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian
menurun secara drastis.2
BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Difteri adalah suatu infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudo-membran
pada kulit dan atau mukosa.1
2.2. Etiologi
Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang Gram-positif,
tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati
pada pemanasan 600C, tahan dalam keadaan kering dan beku. Dengan
pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau
merupakan kelompok dengan formasi mirip dengan huruf cina. Kuman
tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih banyak pada
media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membrane
mukosa manusia Corynebacterium
diphtheria dapat hidup bersama-sama
dengan kuman diphtheroid saprofit yang
mempunyai morfologi serupa, sehingga
untuk membedakan kadang diperlukan
pemeriksaan khusus dengan cara
Gambar 1. Morfologi
fermentasi glikogen, kanji, glukosa,
Corynebacterium diphtheria
3
maltose dan sukrosa.
Secara umum dikenal 3 tipe utama C. diphtheria yaitu tipe gravis,
intermedius dan mitis, namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya
basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak
tipe serologik. Hal ini mungkin bisa menerangkan mengapa pada seorang
pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C. diphtheria. Ciri khas C.
diphtheria adalah kemampuan memproduksi eksotoksin baik in vivo dan in
vitro.3
2
2.3. Epidemiologi
Difteri tersebar luas ke seluruh dunia. Angka kejadian menurun secara
nyata setelah perang dunia kedua, setelah penggunaan toksoid difteria.
Demikian pula terdapat penurunan mortalitas yang berkisar 5-10%. Delapan
puluh persen kasus terjadi di bawah umur 15 tahun, meskipun demikian
dalam suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut umur tergantung status
imunitas populasi setempat.2
Difteri jarang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat
dan Eropa, karena telah mewajibkan imunisasi pada anak-anak selama
beberapa dekade. Namun, difteri masih sering ditemukan pada negara-negara
berkembang di mana tingkat imunisasinya masih rendah. Faktor sosial
ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya fasilitas
kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini. Orang-orang
yang berada pada risiko tertular difteri meliputi:3
Anak-anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi terbaru
Orang yang hidup dalam kondisi tempat tingal penuh sesak atau tidak
sehat
Orang yang memiliki gangguan sistem kekebalan
Siapapun yang bepergian ke tempat atau daerah endemik difteri
2.4. Patogenesis
Kuman Corynebacterum diphteriae masuk melalui mukosa atau kulit,
melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran napas
bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling,
selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan
pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan
pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari
penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang
mendapati kedudukan P dan A dalam ribosom. Bila rangkaian asam amino ini
akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai
3
dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini
merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A
ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase yang
aktif.4
Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan
bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan
inaktivasi enzim translokase yang menyebabkan proses translokasi tidak
berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,
akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman.
Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersama-sama dengan dengan jaringan
nekrotik, membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi
toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin melebar dan terbentuklah
eksudat fibrin.Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna
kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Bila
dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran
akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.5
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder
dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Gangguan pernapasan
atau sufokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau
cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa
mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan
ginjal. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang
terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan
penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten
yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya
terjadi dalam 10 - 14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3 -
7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksik dan
degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung
tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan sistem
konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis
interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada
4
selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemik, kadang-
kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.4
5
luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat
penetrasi toksin dan luas membran.3
Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau
sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun
bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma,
kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus
sedang, penyembuhan terjadi berangsung-angsur dan bisa disertai
penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan
terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.3
Gambar 2.
Membran berwarna putih
kelabu yang menutup tonsil
dan dinding faring
6
klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups
yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang progresif, suara parau dan
batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi
suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan
membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.2
2.6 Diagnosis
Diagnosis difteria harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis.
Penentuan kuman difteria dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya.
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody
technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan
isolasi C.diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan
dengan tes toksinogenisitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek).1
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis1
Kontak dengan penderita difteri
Suara serak
Stridor dan tanda lain obstruksi jalan nafas
Demam tak begitu tinggi
Pemeriksaan Fisik1
7
Tonsilitis, faringitis, rinitis
Limfadenitis servikal + edema jaringan lunak leher (bullneck)
Sangat penting untuk dignosis ditemukannya membran pada tempat
infeksi yang berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat.
Laboratorium1
Hitung leukosit darah tepi dapat
Kadang-kadang timbul anemia
Protein likuor pada neuritis difteria sedikit
Urea N darah pada nekrosis tubular akut dapat
Diagnosis pasti ; Kuman difteria pada sediaan langsung / biakan (+)
2.8 Komplikasi
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau
akibat aktivitas eksotoksin, maka penyulit difteria dapat dikelompokkan
dalam obstruksi jalan nafas, dampak eksotoksin terutama ke otot jantung,
saraf dan ginjal, serta infeksi sekunder oleh bakteri lain.3
8
Obtruksi jalan nafas
Disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membran difteria
atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan
servikal.3
Dampak toksin
Dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa
miokarditis yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan
biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan
antitoksin.3
Pada umumnya penyulit miokarditis terjadi pada minggu ke-2,
tetapi bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada minggu
ke-6. Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara jantung redup,
terdengar bising jantung, atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal jantung.
Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen ST,
perpanjangan interval PR, dan heart block.3
Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral,
terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi
kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau,
terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya
terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan
ke-7. 3
Paralisis ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai
hilangnya deep tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam likuor
serebrospinal. Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu ke-5 dan ke
-7 sebagai akibat neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat menyebabkan
kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator mekanik. Bila terjadi
kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal
jantung.3
Infeksi sekunder bakteri
Setelah era penggunaan antibiotik secara luas, penyulit sekunder
bakteri sudah sangat jarang terjadi. 3
2.9 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
9
mengeliminasi Corynebacterum diphteriae untuk mencegah penularan, serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.6
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi
selama 2 - 3 minggu. 4
Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2 - 3 minggu atau lebih lama bila
terjadi miokrditis
Oksigen bila sesak nafas
Pemberian cairan serta diet makanan lunak yang mudah dicerna dengan
kalori tinggi
Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
Trakeostomi pada kasus dengan obstruksi saluran nafas berat
Prednisone 1 1,5 mg/kgbb/hari, peroral, tiap 6 8 jam pada kasus berat
selama 14 hari.
Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteri.
Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh
karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi
anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi
indurasi > 10 mm. Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes
larutan serum 1 : 10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan
garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada
konjungtiva bulbi dan lakrimasi.4
Bila tes kulit / konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi. Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus
10
diberikan sekaligus secara intravena. Dosis serum anti difteri ditentukan
secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung pada berat
badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI. 4
Dosis yang diberikan seperti :
Difteri hidung / faring ringan 40.000 U
Difteri faring 60.000 80.000 U
Difteri faring berat / laring / dengan bull neck 100.000 120.000 U
2. Antibiotik
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000
KI/BB/hari selama 7-10 hari atau 25.000 50.000 U/kgbb/hari intra
muscular, tiap 12 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari
berturut-turut negative (-).4
Bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 - 50 mg/kg/hari, di bagi
dalam 4 dosis maksimal 2gr/ hari, peroral atau intravena, tiap 6 jam
selama 14 hari.4
2.10 Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan
memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada
umumnya, setelah anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini
sangat rendah sehingga perlu imunisasi.6
Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan
pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria
11
lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak
mempunyai antibodi terhadap organismenya. Keadaan demikian
memungkinkan seorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya
(karier) atau menderita difteria ringan.6
Pengobatan yang dapat diberikan pada karier adalah penisilin 100
mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama
satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi. 6
Imunisasi
Imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal
terhadap difteria sampai 6 bulan. Sedangkan imunitas aktif diperoleh
setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta
imunisasi toksoid difteria. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan
uji Schick dan uji Moloney.6
Uji kepekaan Schick menentukan kerentanan (suseptibilitas)
seorang terhadap difteria. Uji Schick dilakukan dengan menyuntikkan
toksin difteria yang dilemahkan secara intrakutan. Bila tidak terdapat
kekebalan (tidak mempunyai antitoksin), toksin akan menimbulkan
nekrosis jaringan; maka hasil disebut positif. Demikian sebaliknya, apabila
seorang mempunyai antitoksin, tidak mempunyai antitoksin, tidak
menimbulkan reaksi dan hasil dinyatakan negatif. 6
Uji kepekaan Moloney, lebih menentukan sensitivitas terhadap
produk bakteri dari basil difteria. Dilakukan dengan cara memberikan 0,1
ml larutan toksoid difteria secara intradermal. Reaksi positif bila dalam 24
jam timbul eritema > 10 mm, yang berarti bahwa :
o pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas.
o pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang
berbahaya.7
12
Untuk imunisasi primer terhadap difteria digunakan toksoid
difteria (alum-precipitated toxoid) yang kemudian digabung dengan
toksoid tetanus dan vaksin pertussis dalam bentuk vaksin DTP.3
Lama kekebalan sesudah mendapatkan imunisasi dengan toksoid
difteria merupakan masalah yang penting diperhatikan. Beberapa
penelitian serologic membuktikan adanya penurunan kekebalan sesudah
kurun waktu tertentu dan perlunya penguatan pada masa anak. Booster
pada sangat diperlukan untuk meningkatkan kekebalan, diberikan baik
setahun setelah DTP3 maupun pada usia 4-5 tahun.3
2.11 Prognosis
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih
baik daripada sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di negara lain.
Di Indonesia, pada daerah kantong yang belum terjamah imunisasi masih
dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk. 8
13
Kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena:9
1) obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya
membrana difteria
2) adanya miokarditis dan gagal jantung
3) paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai
penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa;
walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. 10
BAB III
14
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
15
1. Dr. T.H.Rampengan, Sp. A(K) & Dr. I.R. Laurentz, Sp. A. Penyakit Infeksi
Tropik Pada Anak. Jakarta: EGC; 2008.
2. Richard E. Behrman, et al. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 6. Jakarta: Elsevier;
2015.
3. Abdul Latief, dkk. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: Sagung Seto;
2013.
4. FKUI. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta: FKUI; 2010.
5. Fajriyah, Ishmatul. Hubungan Pengetahuan Ibu Dan Dukungan Keluarga
Dengan Status Imunisasi TD Pada Sub Pin Difteri. Jurnal Berkala
Epidemiologi; 2014: 2(3).
6. http://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/
7. Iriani Yulia, et al. Kadar Immunoglobulin G-Difteri dan Tetanus pada Anak
Sekolah Dasar Kelas Satu. Sari Pediatri; 2012: 14( 1).
8. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Current Evidences in
Pediatric Emergencies Management. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2014
9. Fadlyana Eddy, et al. Imunogenisitas dan Keamanan vaksin Tetanus Difteri
(Td) pada Remaja sebagai salah satu upaya mencegah Reemerging Disease di
Indonesia. Sari Pediatri; 2013: 15(3).
10. Julitasari Sundoro, et al. Protektivitas, Reaksi Lokal, dan Reaksi Sistemik
setelah Imunisasi dengan Vaksin Td pada Anak Sekolah Dasar; 2014: 46(3).
16