Anda di halaman 1dari 6

PENGELOLAAN MASYARAKAT SEKITAR

Dalam rangka perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan sumber daya alam

secara optimal dan berkelanjutan, pemerintah telah menetapkan Direktorat

Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai salah satu unsur aparatur Pemerintah

Republik Indonesia yang menangani urusan perlindungan hutan dan konservasi

sumber daya alam dimaksud. Perlindungan hutan dan konservasi alam

merupakan salah satu upaya strategis pembangunan nasional sektor kehutanan

karena upaya ini mempunyai kaitan langsung dengan berbagai aspek kehidupan,

baik aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, maupun aspek lingkungan, mulai

dari skala lokal, nasional, hingga skala global.Pembangunan bidang perlindungan

hutan dan konservasi alam dilakukan dalam upaya mencapai tujuan: (1)

terwujudnya fungsi kawasan hutan secara optimal, (2) terkendalinya populasi

tumbuhan alam dan satwa liar, serta (3) terlaksananya pemanfaatan jasa

lingkungan, baik keanekaragaman hayati maupun jasa wisata alam, secara

optimal dan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat. KILAS SEJARAH Era

awal pengelolaan kawasan perlindungan alam dimulai dengan apa yang disebut

Era Yellowstone dimana program dan kegiatannya sangat menekankan

perlindungan terhadap spesies tertentu sehingga seolah menyingkirkan

kepentingan umat manusia. Di era 70-an, untuk kepentingan pengelolaan

kawasan konservasi mulai dibagi ke dalam kategori-kategori tertentu menurut

kriteria tertentu pula. Selanjutnya, tahun 80-an dimana kegiatan perlindungan

kawasan dirasakan semakin penting dan mendesak serta tekanan dan potensi

ancaman semakin meningkat tajam maka di setiap unit kawasan konservasi

harus disusun rencana pengelolaannya yang sistemnya merujuk pada


yellowstone (security approach). Setelah satu dasawarsa berlalu dirasakan

bahwa pengelolaan kawasan konservasi tidak dapat hanya dilakukan oleh satu

institusi saja (single institution) melainkan harus melibatkan berbagai pihak yang

berkepentingan, khususnya masyarakat sekitar kawasan. Kini, kondisi dimana

kompleksitas pengelolaan semakin bertambah pengelolaan kawasan konservasi

dituntut harus mampu memberikan manfaat ekonomi nyata bagi parapihak

terutama masyarakat

KONDISI UMUM KONSERVASI SAAT INI

Dalam tingkat global terminologi sustainable development sangat mengemuka

ditambah lagi dengan tingkat kerusakan dan degradasi lingkungan dan

dampaknya serta perkembangan dan akselerasi perubahan situasi yang cepat

telah mengangkat isu konservasi ke permukaan secara meluas. Sebaliknya, di

tingkat nasional secara umum konservasi masih belum dipahami secara baik

oleh pengambil keputusan sehingga masih bersifat elitis dan eksklusif.

Konservasi belum dianggap penting dimana orientasi pembangunan masih

bersifat eksploitatif dan ekstraktif. Kerapkali, kepentingan ekonomi vs konservasi

seringkali dibenturkan dan konservasi sering dikalahkan oleh kepentingan

ekonomi (jangka pendek). Di sisi lain, perubahan nilai-nilai sosial pada

masyarakat berakibat pada berubahnya cara pandang dan harapan masyarakat

terhadap pengelolaan sumberdaya alam di kawasan konservasi. Ditambah lagi

dengan perubahan tatanan pemerintah dari sentralistik menjadi desetralistik dan

otonomi (lebih terbuka). Di tingkat internasional, di satu sisi kemampuan

pembiayaan konservasi menurun akibat perubahan kondisi perekonomian global

dan di sisi lain perhatian dunia internasional terhadap isi-isu sumberdaya alam

dan lingkungan justru semakin mengemuka.


IMPLIKASI PERUBAHAN Akibat pola perubahan di atas, masyarakat mengajukan

tuntutan terhadap akses pemanfaatan sumberdaya alam kawasan konservasi

yang lebih terbuka sehingga kawasan konservasi kini dipandang sebagai sumber

ekonomi alternatif bagi kesejahteraan masyarakat. Pemerintah pusat

memposisikan keberadaan kawasan konservasi sebagai benteng terakhir

penyelamatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya namun di pihaklain

pemerintah daerah memandang kawasan konservasi sebagai salah satu sumber

pendapatan daerah (pengembangan ekonomi wilayah) sehingga kondisi yang

berseberangan ini sangat berimplikasi terhadap dukungan para pihak. Posisi

demikian menyebabkan konservasi dirasakan semakin tidak penting dan tidak

prioritas dan tentunya semakin marjinal/terpinggirkan. PARADIGMA BARU

KONSERVASI Dari sisi pengertian, pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya

untuk tujuan konservasi semata, dikembangkan utamanya untuk perlindungan

hidupan liar (conservation for protecting wildlife) namun kini, konservasi

mencakup tujuan sosial dan ekonomi (conservation for community welfare),

restorasi, rehabilitasi dan tujuan-tujuan sosial ekonomi dan budaya. Pemerintah

yang dulunya merupakan pengelola tunggal, kini mendistribusikan secara

proporsional peran para pihak (pemda/ sektor, entitas bisnis, masyarakat, dll).

Peran masyarakat (setempat)dalam hal perencanaan, pengelolaan hingga

monitoring/evaluasi kini lebih diakomodir. Kawasan konservasi yang tadinya

merupakan aset nasional (milik pemerintah) dan hanya bermanfaat untuk

kepentingan nasional kini dipandang sebagai aset publik (tanggung jawab

bersama) dan sudah merupakan kepentingan lokal hingga tingkat global.

Cakupan pengelolaannyadirencanakan dan dikembangkan sebagai bagian dari

sistem nasional, regional dan bahkan internasional dalam bentuk jaringan kerja

berupa Protected Areas Network, PAN). Lebih-lebih pengelolaan kawasan

konservasi tidak semata hanya berupa respon jangka pendek pengelolaan yang
bersifat teknis namun dirancang untuk dikelola dan diadaptasikan menurut

perspektif jangka panjang dan berorientasi politis. Konsekwensinya pembiayaan

pengelolaan kawasan konservasi kini dibiayai dari berbagai sumber (daerah,

nasional, internasional) yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Selain itu,

kemampuan menajemen dikembangkan dari kearifan lokal (local knowledge) dan

individu-individu berbagai keahlian (multi-skilled individuals).

IMPLIKASI MAKRO DAN MIKRO PERGESERAN PARADIGMA Untuk itu, pergeseran

paradigma pengelolaan kawasan konservasi berimplikasi terhadap peraturan dan

kebijakan, biologi, sosial-ekonomi dan budaya. Secara makro, dituntut adanya

perubahan terhadap UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam

Hayati dan Ekosistemnya serta petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya.

Sangat dimungkinkan terjadinya pergeseran peran dan posisi tunggal

kementerian teknis (LHK) yang menaunginya dikembangkan menjadi peran multi

stakeholder yang berasal dari pemerintah, swasta dan masyarakat. Dengan

demikian dibutuhkan kemauan dalam melakukan perubahan terhadap kebijakan

konservasi nasional sehingga lebih mengakomodasi kepentingan para pihak

yang dapat memberikan manfaat riil secara optimal dan lestari. Secara mikro,

kawasan konservasi seyogyanya memberikan manfaat yang nyata dan langsung

berupa akses (ruang pemanfaatan) yang lebih luas. Pembagian peran secara

proporsional bagi para pihak dan sekaligus dapat mengurangi beban

pengelolaan bagi pemerintah (pusat). Harus dibuka ruang bagi peluang bisnis

konservasi sehingga kawasan konservasi tidak hanya melulu sebagai cost center

activity. Gaya sentralistik pengelolaaan harus segera ditinggalkan ke arah

pengelolaan yang lebih akomodatif dan adaptif terhadap nilai-nilai lokal ke dalam

manajemen kawasan sehingga sistem perencanaannya merupakan bagian dari

sistem lain yang saling berkaitan. Pola pendekatan pengelolaan kawasan juga

harus lebih persuasif, partisipatif dan kolaboratif daripada pendekatan


pengamanan (security approach). HARAPAN Untuk itu diharapkan konservasi

menjadi arus utama (mainstream) pembagunan di semua sektor dan di semua

tingkat. Konservasi harus dijadikan gerakan masif (aksi) dan menjadi pondasi

hidup keseharian (way of life). Hal ini dapat dicapai dengan mengadopsi dan

mengadaptasi sistem manajemen kawasan terhadap situasi perubahan-

perubahan yang cepat dan pengelolaan kawasan konservasi haruslah berbasis

kinerja sehingga pengelolaannya lebih efektif, efisien dan akuntabel. Dibutuhkan

keberanian dan kemauan untuk mereformasi kebijakan di bidang konservasi

sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya antar lain berupa revisi terhadap

berbagai perangkat regulasi yang mengaturnya. STRATEGI DAN LANGKAH KE

DEPAN Konservasi merupakan tanggung jawab bersama sehingga diperlukan

penyamaan pemahaman pengertian konservasi bagi penggiat konservasi di

semua tingkat/level. Perluasan jejaring kerja melalui diseminasi konservasi dan

bukan hanya dikelola oleh institusi tunggal. Selanjutnya, dibutuhkan panduan

konservasi bagi pembangunan daerah/sektoral untuk para pengambil kebijakan

dan pelaksanya. Konservasi harus dijadikan instrumen tawar politik bagi

pimpinan daerah (eksekutif) dan legislatif. Di tingkat masyarakat, perlu

dikembangkan masyarakat konservasi sehingga konservasi tidak lagi bernuansa

elitis dan eksklusif. Potensi kader konservasi perlu ditumbuhkembangkan dengan

melakukan kegiatan pembinaan pendidikan konservasi sejak usia dini. PENUTUP

Dalam mencapai keberhasilan mencapai tujuan pengelolaan konservasi perlu

dilakukan adopsi perubahan paradigma kawasan konservasi dan melakukan

terobosan dan inovasi konservasi baru. Pengembangan sistem komunikasi dan

jejaring kerja diharapkan akan menjadi semacam efek bola salju. Dalam upaya

memberikan manfaat langsungnya, wajib dikembangkan ekonomi alternatif bagi

masyarakat yang bergantung langsung pada sumberdaya alam hutan (forest-

dependent people). Referensi ___________UU No. 5 Tahun 1990 tentang


Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya ___________2008,

P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008

2018. ___________2008.Konservasi Indonesia. Sebuah Potret Pengelolaan dan

Kebijakan. Pokja Kebijakan Konservasi. Bogor *)Widyaiswara Balai Diklat

Kehutanan Pematang Siantar

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/bernardtfpangaribuan/paradigma-

pengelolaan-kawasan-konservasi_555eae981fafbda4075daf16

Anda mungkin juga menyukai