1. Nasopharynx
a. Ostium Pharyngeum Tubae Auditivae Eustachii, merupakan lubang yang
menghubungkan antara nasopharynx dengan cavum tympani Auris Media.
b. Torus Tubarius, merupakan pendesakan dari pars cartilagine tubae. Bangunan
ini terletak pada superior dari Ostium Pharyngeum Tubae Auditivae Eustachii.
c. Plica salpyngipharyngea, merupakan pendesakan dari m. salpingopharyngeus.
d. Torus Levatorius, merupakan pendesakan dari m. levator velli palatine.
Bangunan ini terletak di inferios dari Ostium Pharyngeum Tubae Auditiva
Eustachii.
e. Recessus pharyngeus (Fossa rossenmulleri), terletak di bagian belakang dari
nasopharynx. Bangunan ini merupakan tempat sering terjadinya perubahan
epitel kolumner menjadi skuamous sehingga merupakan predisposisi
terjadinya Ca nasopharynx.
f. Tonsila pharyngea, merupakan jaringan limfoid terletak di nasopharynx bagian
superoposterior.
2. Oropharynx
a. Tonsila palatina, merupakan jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris.
Tonsila palatine, tonsila lingualis, dan tonsila pharingea membentuk suatu
bangunan yang disebut annulus waldeyers.
b. Plica salpingopalatina, merupakan pendesakan dari m. salpingopalatina.
c. Membrana glossoepiglottica. Bangunan ini menghubungkan epiglottis dengan
glossus. Bangunan ini akan menebal menjadi plica glossoepiglottica mediana
dan laterale dimana diantaranya terdapat suatu cekungan yang disebut
vallecula epiglottica yang berfungsi sebagai tempat menampung benda-benda
tumpul.
Oropharynx dihubungkan dengan cavum oris melalui isthmus faucium.
3. Laringopharynx
a. Adytus laryngis, merupakan celah yang menghubungkan pharynx dengan
larynx.
b. Fossa piriformis, merupakan tempat yang berfungsi menampung benda-benda
tajam.
Vaskularisasi Faring
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak
beraturan. Yang utama berasal dari cabang a. karotis eksterna (cabang faring
ascendens dan cabang fausial) serta cabang a. maksila interna yakni cabang palatine
superior (Rusmarjono et al, 2007).
Anatomi Laring
Larynx merupakan organ yang tersusun atas cartilage-cartilago. Ada yang
bersifat tunggal dan berpasangan. Cartlag tyroidea, epiglottica, dan crycoidea
merupakan cartilage tunggal sedangkan cartilage arytenoidea, corniculatadan
cuneiforme merupakan cartilage yang berpasangan.
Histologi Faring
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring
karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya
torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan
laringfaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan
tidak bersilia. Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang
terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam system retikuloendotelial.
Oleh karena itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.
Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lender yang terletak di atas silia
dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lender ini berfungsi
untuk menangkap partikel kotoran y ang terbawa oleh udara yang diisap. Palut lender
ini mengandung enzim lysozyme yang penting untuk proteksi (Soepardi et al, 2012)
Faring dilapisi oleh sel psudokompleks kolumner dengan silia dan sel goblet,
silia dari laring akan bergerak menuju ke orofaring, sedankan silia dari nasofaring
bergerak turun ke orofaring (Eroschenko, 2010).
Histologi Laring
Laring merupakan saluran kaku penghubung antara laringofaring dengan
trakea. Dindingnya diperkuat oleh kartilago hialin (pada tiroid, cricoidea, dan
arytenoidea inferior) dan kartilago elastis (corniculata, cuneiforme, arytenoid superior
dan epiglottis). Dinding bagian lateralnya terdapat lipatan yang disebut plica
vestibularis. Plica ini memiliki epitel respiratorik dan dikelilingi banyak kelenjar
seromukous. Selain itu, terdapat sistem pertahanan tubuh berupa MALT (Mucous
Associated Lymphoid Tissue). Di bagian bawahnya, terdapat lipatan lagi yang disebut
plica vocalis, merupakan pita suara sejati yang dilapisi epitel skuamous kompleks
dengan serat elastis parallel sebagai ligamentum vocalis. Di sekitarnya terdapat
musculus vocalis.
Epiglotis memiliki dua permukaan: (1) facies lingualis dan bagian apeks facies
trakealis dengan epitel skuamous kompleks non-kornifikasi, yang nantinya masih
terdapat kontak dengan makanan; (2) bagian basal facies trakealis dilapisi epitel
pseudokompleks kolumnair dan banyak terdapat kelenjar mukosa dan serosa di
lamina proprianya (Mescher, 2009).
Menelan adalah suatu aksi fisiologis yang kompleks, terutama karena faring
pada hampir setiap saat melakukan beberapa fungsi lain di samping menelan dan
hanya diubah dalam beberapa detik ke dalam traktus untuk mendorong makanan.
Yang terutama penting adalah bahwa respirasi tidak terganggu akibat menelan. Pada
umumnya menelan dapat dibagi menjadi (1) tahap volunter, yang mencetuskan proses
menelan, (2) tahap faringeal, yang bersifat involunter dan membantu jalannya
makanan melalui faring ke dalam esofagus, dan (3) tahap esofageal, fase involunter
lain yang mempermudah jalannya makanan dari faring ke lambung (Guyton, 2002).
Proses menelan secara otomatis diatur dalam urutan yang teratur oleh daerah-
daerah neuron di batang otak yang didistribusikan ke seluruh substantia retikularis
medula dan bagian bawah pons. Impuls motorik dari pusat menelan ke faring dan
esofagus bagian atas yang menyebabkan penelanan dijalarkan oleh saraf kranial ke-5
(n. Trigeminus), ke-9 (n. Glossofaringeus), ke-10 (n. Vagus), dan ke-12 (n.
Hypoglossus) serta bahkan beberapa saraf servikal superior seperti tampak pada
Gambar 1. Ringkasnya tahap faringeal dari penelanan pada dasarnya merupakan suatu
refleks (Guyton, 2002).
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum
dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah dinding
belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat melibatkan mula-mula m.
salpingofaring dan m. palatofaring, kemudian m. levator veli palatine bersama-sama
m. kontriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m levator veli
palatine menarik palatum mole ke atas belakang hamper mengenai dinding posterior
faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding
belakang faring (Soepardi et al, 2012).
Fisiologi Laring
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin
Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang
terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal
(Ruiz JW, 2009).
Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan
panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke
dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang
kosong diatasnya dikenalsebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.
Dibatasi oleh:
Lateral muskulus konstriktor faring superior
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.
Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring
terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa
Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-
masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-
7 tahun kemudian akan mengalami regresi (Hermani B, 2004).
Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata (Kartosoediro S,
2007).
Etiologi:
Faktor resiko: Sering Sering batuk pilek
batuk pilek
Pemeriksaan
diagnosis
penatalaksanaan
medikament
pencegahan invasif
osa
Follow up
a. Sifat Streptococcus Beta-Haemoliticus
Infeksi Streptococcus Grup A
Infeksi Streptococcus pyogens, bakteri -hemolitik yang tergolong dalam
serogrup A menurut klasifikasi Lancefield dan sering dikenal sebagai Group A
streptocci (GAS), dapat menyebabkan berbagai penyakit pada manusia. S pyogens
merupakan bakteri tersering yang menyebabkan akut faringitis pada anak-anak (15-
30%) dan dewasa (5-10%).
S. pyogenes, juga dikenal sebagai Grup A Streptococcus (GAS), adalah agen
penyebab dalam berbagai Grup A infeksi streptokokus. Infeksi ini mungkin non-
invasif atau invasif. Infeksi non-invasif cenderung lebih umum dan kurang parah.
Yang paling umum dari infeksi ini termasuk streptokokus faringitis (radang
tenggorokan) dan impetigo. Scarlet demam juga merupakan non-invasive infection,
tapi belum sebagai umum dalam beberapa tahun terakhir.
Infeksi invasif menyebabkan oleh Grup A streptokokus -hemolitik cenderung
lebih berat dan kurang umum. Hal ini terjadi ketika bakteri dapat menginfeksi daerah
di mana tidak biasanya ditemukan, seperti darah dan organ. Penyakit yang mungkin
disebabkan sebagai akibat dari ini termasuk streptokokus toxic shock syndrome
(STSS), necrotizing fasciitis (NF), pneumonia, andbacteremia.
Streptococcus merukan suatu grup besar dari coccus gram positif, non motil,
tidak memproduksi spora, yang berukuran 0.5-1.2m. Bakteri ini sering tumbuh
berpasangan dan dalam bentuk rantai dan menunjukkan reaksi negatif dengan
oksidase dan katalase.
Antigen dinding sel bateri ini mengandung polisakarida kapsul (subtansi C),
peptidoglikan dan asam lipoteikoat, protein R dan T, dan beberapa protein permukaan
seperti protein M, protein fimbria, fibronektin terikat protein (protein F), streptokinase
terikat sel.
Substansi C tersusun oleh polimer bercabang dari L-rhamnose dan N-acetyl-
D-glucosamine yang berperan dalam peningkatan kapasitas invasif dari bakteri
sedangkan protein R dan T digunakan sebagai epidemiologic marker dan belum
diketahui secara pasti perannya dalam infeksi.
Protein M, faktor virulensi utama, merupakan makromolekul yang tergabung
dengan fimbria yang nampak pada membran sel dan terproyeksi pada dinding
bakteri. Hal ini merupakan antigenic shift dan antigenic drift pada GAS.
Protein M mengikat fibrinogen host dan melakukan blokade pada pengikatan
komplemen dengan peptidoglikan utama. Hal ini menyebabkan bakteri mampu
bertahan dari fagositosis neutrofil maupun makrofag.
Karakteristik spesial lain yang dimiliki oleh bakteri ini adalah kemampuannya
untuk menginvasi sel epitel. Menurut studi yang telah dilakukan, kegagalan penicillin
untuk mengeradikasi S pyogens dari tenggorokan pasien terutama mereka yang
merupakan carrier dari bakteri ini adalah kurang efektifnya penicillin untuk masuk ke
dalam sel epitel (Khan, 2012).
Laringitis Kronis
Sering disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip
hidung atau bronkitis kronis, atau oleh penyalahgunaan suara seperti berteriak atau
berbicara keras (Hermani et.al, 2007).
Gejala dan tanda seluruh mukosa laring hiperemis dan menebal,
permukaannya tidak rata dan hiperemis, dan terkadang terdapat metaplasi skuamosa.
Terdapat gejala suara parau menetap, rasa tersangkut di tenggorok, sehingga pasien
sering mendehem tanpa mengeluarkan sekret karena mukosa yang menebal (Hermani
et.al, 2007).
Terapi yaitu mengobati peradangan di hidung, faring, serta bronkus yang
mungkin menjadi penyebab laringitis kronis itu. Pasien diminta untuk tidak banyak
berbicara (vocal rest) (Hermani et.al, 2007).
Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang termasuk dalam cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yaitu: tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual, tonsil tuba Eustachius (lateral
band dinding faring/ Gerlachs tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara (air borne
droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak
(Soepardi et al, 2007).
a) Tonsilitis akut
Tonsillitis Viral
Gejalanya lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri
tenggorok. Penyebab paling sering adalah virus Epstein-Barr.Hemofilus
Influenza merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif.
Gejala: Common cold disertai nyeri tenggorok. Pada
pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil
pada palatum dan tonsil.
Tonsilitis Bakterial
Etiologi nya kuman grup A Streptococcus haemolitikus yang dikenal
sebagai strept throat, pneumokokus, Streptokokus viridian, dan
Streptococcus pyogenes.
PatofisiologiInfiltrasi bakteri pada lapisan epitel menimbulkan reaksi
radang berupa keluarnya leukosit PMN sehingga terbentuk detritus.
Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri mati, dan epitel yang
terlepas. Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut
tonsillitis folikularis. Bila bercak menjadi satu membentuk alur akan
terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus juga dapat melebar
membentuk pseudomembran yang menutup tonsil (Soepardi et al, 2007).
Gejala dan TandaMasa inkubasi 2-4 hari. Sering ditemukan nyeri
tenggorok dannyeri waktu menelan, demam tinggi, rasa lesu, nyeri sendi,
tidak nafsu makan dan otalgia. Otalgia terjadi karena nyeri alih melalui N.
IX. Tonsil tampak membengkak, hiperemis dan terdapat detritus
berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh pseudomembran. Kelenjar
submandibula bengkak dan nyeri tekan.
TerapiAntibiotika spektrum lebar penisilin, eritromisin. Antipiretik
danobat kumur yang mengandung desinfektan(Soepardi et al, 2007).
b) Tonsilitis Kronik
Proses radang berulang menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid
terkikis, sehingga diganti dengan jaringan parut yang mengalami
pengerutan sehingga kripti melebar, yang kemudian diisi dengan detritus.
Proses ini berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan melekat
dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak disertai dengan
pembengkakan kelenjar submandibular.
Gejala dan tanda, tonsil membesar, permukaan tidak rata, kriptus melebar,
diisi oleh detritus. Rasa tenggorok mengganjal, kering, napas berbau.
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat
isap. Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau
kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma (Soepardi et al
2007).
Epidemiologi
Faringitis lebih sering disebabkan oleh virus (rhinovirus atau adenovirus) dan
bakteri (Streptococcus pyogenes). Puncak insidensinya adalah pada usia 4-7 tahun dan
apabila disebabkan oleh Streptococcus grup A jarang terjadi pada usia di bawah 3
tahun (Acerra, 2013).
Tonsilitis jarang terjadi pada anak usia kurang dari 2 tahun. Sedangkan,
tonsillitis yang disebabkan Streptococcus banyak terjadi pada usia 5-15 tahun.
Tonsilitis yang disebabkan oleh virus lebih sering terjadi pada anak-anak yang lebih
muda (Shah, 2013).
Faktor Resiko
Faktor resiko dari faringitis dan tonsillitis adalah:
a) Merokok atau terpapar asap rokok
b) Alergi
c) Infeksi sinus berulang
d) Usia
e) Hygiene oral
f) Jenis makanan
g) Cuaca
h) Terapi yang tidak adekuat (Rusmarjono et al, 2007)
c. Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah
sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun
berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut :
a) Komplikasi sekitar tonsil
i. Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya
trismus dan abses.
ii. Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil.
Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang
mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari
infeksi gigi.
iii. Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah
bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil,
faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os
mastoid dan os petrosus.
iv. Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya
terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang
retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
v. Krista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh
jaringan fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada
tonsil berwarna putih dan berupa cekungan, biasanya kecil dan
multipel.
vi. Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam
jaringan tonsil yang membentuk bahan keras seperti kapur.
(Pichichero, 2003)
Pencegahan
Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari
satu penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah
terpapar dari penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas
minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan
sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan
kembali. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi
berulang. Orang orang yang merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci
tangan mereka untuk mencegah penyebaran infeksi pada orang lain.