Anda di halaman 1dari 8

A.

Konsep Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budget)

Penganggaran adalah rencana keuangan yang secara sistematis menunjukkan alokasi sumber
daya manusia, material, dan sumber daya lainnya. Berbagai variasi dalam sistem penganggaran
pemerintah dikembangkan untuk melayani berbagai tujuan termasuk guna pengendalian
keuangan, rencana manajemen, prioritas dari penggunaan dana dan pertanggungjawaban
kepada publik. Penganggaran berbasis kinerja diantaranya menjadi jawaban untuk digunakan
sebagai alat pengukuran dan pertanggungjawaban kinerja pemerintah.

Penganggaran berbasis kinerja merupakan penyusunan anggaran yang dilakukan dengan


memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan,
termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Sesuai dengan pasal 7 PP
Nomor 21 tahun 2004 kementerian Negara/lembaga diharuskan menyusun anggaran dengan
mengacu kepada indikator kinerja, standar biaya dan evaluasi kinerja. Indikator kinerja
(performance indicator) dan sasaran (targets) merupakan bagian dari pengembangan sistem
penganggaran berdasarkan kinerja.

Penerapan penganggaran berbasis kinerja akan mendukung alokasi anggaran terhadap prioritas
program dan kegiatan. Sistem ini terutama berusaha untuk menghubungkan antara keluaran
(output) dengan hasil (outcomes) yang disertai dengan penekanan terhadap efektivitas dan
efisiensi terhadap anggaran yang dialokasikan.

Secara lebih rinci maksud dan tujuan penganggaran berbasis kinerja diuraikan sebagai berikut:

1. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik serta efektifitas dari


pelaksanaan kebijakan dan program.

2. Mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dan dampak (outcome) atas alokasi
belanja (input) yang ditetapkan.

3. Disusun berdasarkan sasaran tertentu yang hendak dicapai dalam satu tahun anggaran.

4. Program dan kegiatan disusun berdasarkan renstra kementerian Negara/lembaga.

Anggaran berbasis kinerja merupakan metode penganggaran bagi manajemen untuk


mengaitkan setiap biaya yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan manfaat yang
dihasilkan. Manfaat tersebut dideskripsikan pada seperangkat tujuan dan dituangkan dalam
target kinerja pada setiap unit kerja. Pada dasarnya penganggaran berbasis kinerja akan merubah
fokus pengukuran pencapaian program/kegiatan yang akan dilaksanakan oleh satuan kerja.
Kegiatan tersebut semula didasarkan atas besarnya jumlah alokasi sumber daya bergerak kepada
hasil yang dicapai dari penggunaan sumber daya.
Adapun elemen-elemen yang penting untuk diperhatikan dalam penganggaran berbasis kinerja
adalah sebagai berikut:

1. Tujuan yang disepakati dan ukuran pencapaiannya;

2. Pengumpulan informasi yang sistematis atas realisasi pencapaian kinerja dapat diandalkan dan
konsisten, sehingga dapat diperbandingkan antara biaya dengan prestasinya.

Penyediaan informasi secara terus menerus sehingga dapat digunakan dalam manajemen
perencanaan, pemrograman, penganggaran dan evaluasi.

Kondisi yang harus disiapkan sebagai faktor pemicu keberhasilan implementasi penggunaan
anggaran berbasis kinerja, yaitu :

1. Kepemimpinan dan komitmen dari seluruh komponen organisasi.

2. Fokus penyempurnaan administrasi secara terus menerus.

3. Sumber daya yang cukup untuk usaha penyempurnaan tersebut (uang, waktu dan orang).

4. Penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) yang jelas.

5. Keinginan yang kuat untuk berhasil.

Sedangkan lima komponen pokok pendekatan anggaran kinerja dalam RKA-KL adalah sebagai
berikut:

1. Satuan kerja

2. Kegiatan

3. Keluaran

4. Standar biaya

5. Jenis belanja

Pada dasarnya penganggaran berbasis kinerja merubah fokus pengukuran kinerja dari fokus
pengukuran besarnya jumlah alokasi sumber daya bergeser menjadi hasil yang dicapai dari
penggunaan sumber daya. Di bawah ini dapat diringkas mengenai kerangka konseptual
penganggaran berbasis kinerja.

B. Proses Penganggaran Berbasis Kinerja


Dalam penyusunan penganggaran berdasarkan kinerja, ada beberapa hal yang harus terlebih
dahulu disusun, yakni:

1. Program dan kegiatan. Program disusun berdasarkan prioritas dan kegiatan ditetapkan untuk
mendukung keberhasilan sasaran program.

2. Menentukan keluaran yang dihasilkan dari suatu kegiatan.

3. Menentukan indikator kinerja, baik narasi maupun target yang akan dicapai.

4. Berdasarkan standar biaya keluaran yang ditentukan, disusun permintaan anggaran yang
dibutuhkan untuk mencapai kinerja dimaksud.

Sedangkan tahapan-tahapan pokok dalam menyusun anggaran berbasis kinerja diuraikan


sebagai berikut:

Pertama: masing-masing kementerian negara/lembaga menetapkan rencana beralur logika yang


mampu mengaitkan antara visi/misi suatu kementarian negara/lembaga dengan sasaran tahunan
yang menjadi tanggungjawab satuan kerja di bawahnya.

Kedua: menetapkan program dan kegiatan yang diusulkan atas dasar prioritas dari yang paling
mendukung keberhasilan tujuan dan sasaran yang akan dicapai oleh kementerian negara /
lembaga / pemerintah daerah.

Ketiga: setelah menentukan jumlah keluaran atau hasil yang akan dicapai sebagai sasaran dari
suatu program, kemudian kebutuhan sumber daya untuk memproduksi keluaran dimaksud
dihitung.

Keempat: selain menentukan besaran indikator masukan (input) yang menjadi dasar penyusunan
anggaran juga harus ditetapkan indikator keluaran yang akan dipergunakan untuk mengukur
ketercapaian keluaran dari suatu kegiatan dengan memperhatikan targetnya.

Kelima: apabila alokasi anggaran telah ditetapkan, perubahan besaran anggaran terhadap usulan
anggaran untuk melaksanakan suatu program atau kegiatan akan mempengaruhi capaian
kinerja, baik berupa penurunan target kinerja apabila alokasi anggaran berkurang, ataupun
peningkatan target kinerja apabila alokasi anggaran bertambah.

C. Komponen Pengukuran Kinerja

Penentuan program dan kegiatan yang jelas merupakan hal yang sangat penting dalam
pengembangan penganggaran berdasarkan kinerja, karena penganggaran berdasarkan kinerja
menghubungkan dengan kuat perancanaan strategis dengan penganggaran. Perencanaan harus
mulai disusun untuk menghasilkan informasi yang memadai atas pencapaian kinerja dimana
masing-masing lembaga/unit kerja merupakan pihak yang bertanggung jawab atas kesediaan
informasi tersebut. Tingkat informasi yang harus dikembangkan meliputi:

Ekonomis: sejauh mana masukan yang ada digunakan dengan sebaik-baiknya;

Efisiensi: sejauh mana perbandingan antara tingkat keluaran suatu kegiatan dengan masukan
yang digunakan;

Efektivitas: sejauh mana keluaran yang dihasilkan mendukung pencapaian hasil yang
ditetapkan. (Endin, 2005:89).

Sedangkan dasar hukum indikator kinerja dan pengukuran kinerja adalah PP nomor 21 tahun
2004 Pasal 7 ayat 2 yang menyatakan bahwa: dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja
diperlukan indikator kinerja, standar biaya, dan evaluasi kinerja dari setiap program dan jenis
kegiatan. Selain itu dalam penjelasan PP nomor 21 tahun 2004 (poin I 4) dinyatakan
bahwa:Kementerian/lembaga dituntut memperkuat diri dengan kapasitas dalam
mengembangkan indikator kinerja, dan sistem pengukuran kinerja, dan dalam meningkatkan
kualitas penyusunan kebutuhan biaya, sebagai persyaratan untuk mendapatkan anggaran. Agar
pengukuran dapat dilakukan, maka kinerja harus dapat dinyatakan dalam angka (kuntifikasi).
Oleh karena itu diperlukan indikator-indikator yang dapat menunjukkan secara tepat tingkat
prestasi kerja/kinerja. Macam-macam indikator kinerja (Herry, 2008: 36), yaitu:

1. Indikator Kinerja Kegiatan

2. Indikator Kinerja Program

3. Indikator Efisiensi

4. Indikator Kualitas

Pengukuran kinerja diperlukan untuk menilai seberapa besar perbedaan (gap) antara kinerja
aktual dengan kinerja yang diharapkan. Dengan diketahuinya perbedaan (gap) tersebut, maka
upaya-upaya perbaikan dan peningkatan kinerja dapat dilakukan.

Berikut diuraikan asfek-asfek dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja:

1. Indikator Kinerja
Indikator pengukuran kinerja terdiri dari:

a. Input Indicator (masukan)

Merupakan segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk
menghasilkan keluaran. Indikator ini merupakan tolak ukur kinerja berdasarkan tingkat atau
besaran sumber-sumber: dana, sumber daya manusia, maaterial, waktu, tekhnologi, dan
sebagainya yang digunakan untuk melaksanakan progaram atau kegiatan. Dengan meninjau
distribusi sumber daya, suatu lembaga dapat menganalisis apakah alokasi sumber daya yang
dimiliki telah sesuai dengan rencana strategik yang telah ditetapkan. Tolak ukur ini dapat juga
untuk perbandingan (brenchmarking) dengan lembaga-lembaga lain yang relevan. Contoh
indikator masukan untuk kegiatan penyuluhan lingkungan sehat untuk daerah pemukiman
masyarakat kurang mampu adalah jumlah dana yang dibutuhkan dan tenaga penyuluh
kesehatan.

Walaupun tolak ukur masukan relatif mudah diukur serta telah digunakan secara luas, namun
seringkali dipergunakan secara kurang tepat sehingga dapat menimbulkan hasil evaluasi yang
rancu atau bahkan menyesatkan, di antaranya:

1. Pengukuran sumber daya manusia tidak menggambarkan intensitas keterlibatannya dalam


pelaksanaan kegiatan.

2. Pengukuran biaya tidak akurat karena banyak biaya-biaya yang dibebankan kesuatu kegiatan
tidak mempunyai kaitan yang kuat dengan pencapaian sasaran kegiatan tersebut.

3. Banyaknya biaya-biaya masukan (input) seperti gaji bulanan personalia pelaksana, biaya
pendidikan dan pelatihan, dan biaya penggunaan peralatan dan mesin seringkali tidak
diperhitungkan sebagai biaya kegiatan.

2. Output Indicator (keluaran)

Merupakan produk berupa barang atau jasa yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai
dengan masukan yang digunakan. Indikator keluaran adalah sesuatu yang diharapkan langsung
dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik atau non fisik. Dengan membandingkan
indikator keluaran instansi dapat menganalisis sejauh mana kegiatan terlaksana sesuai dengan
rencana. Indikator keluaran hanya dapat menjadi landasan untuk menilai kemajuan suatu
kegiatan apabila tolak ukur dikaitkan dengan sasaran kegiatan yang terdefinisi dengan baik dan
terukur. Oleh karenanya indikator keluaran harus sesuai dengan lingkup dan sifat kegiatan
instansi.
Untuk kegiatan yang bersifat penelitian berbagai indikator kinerja yang berkaitan dengan
keluaran paten dan publikaasi ilmiah sering dipergunakan baik pada tingkat kegiatan maupun
instansi. Untuk kegiatan yang bersifat pelayanan tekhnis, indikator yang berkaitan dengan
produk, pelanggan, serta pendapatan yang diperoleh dari jasa tersebut mungkin lebih tepat
untuk digunakan.

Beberapa indikator keluaran juga bermanfaat untuk mengidentifikasikan perkembangan instansi.


Sebagai contoh besarnya pendapatan yang diperoleh melalui pelayanan tekhnis, kontrak riset
besarnya retribusi yang diperoleh, serta perbandingannya dengan keseluruhan anggaran instansi,
menunjukkan perkembangan kemampuan instansi memenuhi kebutuhan pasar, serta
mengindikasikan tingkat ketergantungan instansi yang bersangkutan pada APBN.

c. Outcome Indicator (hasil)

Merupakan sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah
(efek langsung). Indikator hasil adalah sesuatu manfaat yang diharapkan diperoleh dari keluaran.
Tolak ukur ini menggambarkan hasil nyata dari keluaran suatu kegiatan. Pada umumnya para
pembuat kebijakan paling tertarik pada tolak ukur hasil dibandingkan dengan tolak ukur lainnya.
Namun untuk mengukur indikator hasil, informasi yang diperlukan seringkali tidak lengkap dan
tidak mudah diperoleh. Oleh karenanya setiap instansi perlu mengkaji berbagai pendekatan
untuk mengukur hasil dari keluaran suatu kegiatan. Pengukuran indikator hasil seringkali rancu
dengan pengukuran indikator pengeluaran. Sebagai contoh penghitungan jumlah bibit unggul
yang dihasilkan oleh suatu kegiatan merupakan tolak ukur keluaran. Namun penghitungan besar
produksi per hektar yang dihasilkan oleh bibit-bibit unggul tersebut atau penghitunagan
kenaikan pendapatan petani. Penggunaan bibit unggul tersebut merupakan tolak ukur hasil.
Dari contoh tersebut dapat pula dirasakan bahwa penggunaan tolak ukur hasil seringkali tidak
murah dan memerlukan waktu yang tidak pendek, karena validitas dan realibilitas tergantung
pada skala penerapannya.

Dengan indikator outcome organisasi akan mengetahui apakah hasil yang telah diperoleh dalam
bentuk output memang dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dan memberikan kegunaan
yang besar bagi masyarakat banyak. Pencapaian indikator kinerja outcome ini belum tentu akan
dapat terlihat dalam jangka waktu satu tahun. Seringkali outcome baru terlihat setelah melewati
kurun waktu lebih dari satu tahun, mengingat sifatnya yang bukan hanya sekedar hasil. Dan
mungkin juga indikator outcome tidak dapat dinyatakan dalam ukuran kuantitatif akan tetapi
lebih bersifat kualitatif.

2. Standar Biaya

Standar biaya merupakan komponen lain yang harus dikembangkan sebagai dasar untuk
mengukur kinerja keuangan dalam sistem anggaran kinerja, selain standar analisa biaya dan tolak
ukur kinerja. Standar biaya adalah harga satuan unit biaya yang berlaku. Penerapan standar biaya
ini membantu penyusunan anggaran belanja suatu program atau kegiatan bagi setiap
kementerian/lembaga dan unit kerja yang ada agar kebutuhan atas suatu kegiatan yang sama
tidak berbeda biayanya.

Pengembangan standar biaya akan dilakukan dan diperbaharui secara terus menerus sesuai
dengan perubahan harga yang berlaku. Apalagi mengingat situasi perekonomian dewasa ini,
setiap saat harga-harga kebutuhan berubah-ubah dan akan berimbas pada penetapan standar
biaya.

3. Evaluasi Kinerja

Penangung jawab evaluasi kinerja dapat dikelompokkan menjadi dua:

Pertama: pimpinan satker bertanggung jawab terhadap evaluasi kinerja kegiatan (pasal 8 ayat 2
PP No. 21 tahun 2004).

Kedua: Menteri/pimpinan lembaga bertanggung jawab terhadap evaluasi kinerja program


(pasal 8 ayat 3 PP No. 21 tahun 2004).

Mengingat laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah merupakan pertanggung jawaban


suatu lembaga, maka penilaian atas kewajaran laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah
harus dievaluasi oleh pihak independen. Mekanisme evaluasi ini adalah bagian yang tak
terpisahkan dari kewajiban presiden dan para pembantunya dalam menyelenggarakan sistem
pengendalian internal guna mendorong perbaikan manajemen pemerintah secara berkelanjutan
dalam rangka mencapai tujuan bernegara.

Untuk itu, pada tingkat nasional evaluasi kinerja perlu dilakukan oleh aparat pengawasan internal
yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Sedangkan pada lingkungan
kementerian negara/lembaga monitoring perlu dilakukan oleh aparat pengawasan internal
dilingkungan masing-masing.

III. Kesimpulan

Dalam penerapan Reformasi Birokrasi yang akhir-akhir ini selalu di gembor-gemborkan oleh
pemerintah, mau tak mau setiap instansi pemerintah harus melaksanakan penganggaran berbasis
kinerja, karena dalam penganggaran berbasis kinerja setiap program kegiatan akan terukur
tingkat capaiannya, sehingga anggaran tersebut akan lebih efektif, efesien, dan akuntabel.

Selama ini didalam pengukuran kinerja suatu instansi pemerintah hanya dilihat dari kemampuan
suatu instansi didalam penyerapakan anggaran yang telah ditetapkan dalam bentuk DIPA,
dengan system penganggaran berbasis kinerja pengukurannya berdasarkan output yang akan
dicapai dari kegiatan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai