Anda di halaman 1dari 7

PAPER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

BUDAYA SAPARAN DI DESA KALIBEJI, KECAMATAN TUNTANG, KABUPATEN


SEMARANG

Disusun oleh :
DIMAS ANGGORO BAYU SAKTI
13/353838/PN/13510

Dosen Pengampu : Drs. Siti Aisyah, M.Ag

FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
BUDAYA SAPARAN DI DESA KALIBEJI, KECAMATAN TUNTANG, KABUPATEN
SEMARANG

I. PENDAHULUAN

Kebudayaan atau tradisi Islam di tanah jawa sangat dipengaruhi oleh akulturasi dan
kolaborasi antara syiar dengan kebiasaan adat masyarakatnya. Pengaruh Wali Songo dalam
tradisi budaya masyarakat Islam jawa membuahkan suatu kebiasaan yang dianut dan
dilaksanakan secara seremonial di setiap momen yang dianggap penting untuk diperingati.
Semarang merupakan wilayah yang kental dengan pengaruh Wali Songo, termasuk Desa
Kalibeji, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Kabupaten Semarang dikelilingi banyak
gunung, dan masing-masing warga di sekitar gunung tersebut mempunyai tradisi untuk
merasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu tradisi Saparan yang berada di Desa
Kalibeji dan dilaksanakan setiap setahun sekali. Dan, untuk kesempatan kali ini penulis akan
mendeskripsikan mengenai budaya Saparan yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa
Kalibeji, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang yang merupakan tempat dimana penulis
tinggal.

Bulan Sofar atau lebih dikenal dengan Bulan Sapar bagi masyarakat Indonesia
khususnya orang Jawa, adalah bulan ke dua dalam penanggalan tahun hijriyah. Di berbagai
daerah di Pulau Jawa banyak sekali tradisi yang dilaksanakan di Bulan Sapar ini. Sebut saja
Saparan di sekitar lereng Gunung Sumbing. Dari berbagai daerah yang melaksanakan tradisi
Saparan ini masing-masing mempunyai maksud dan tujuan yang hampir sama antara satu
daerah dengan daerah lainnya. Namun secara umum maksud dan tujuan dari pelaksanaan
tradisi Saparan ini adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar senantiasa diberi
keselamatan dalam mengarungi kehidupan ini.

Entah kapan dan siapa yang memulai tradisi Saparan ini, tetapi tradisi Saparan rutin
dilaksanakan setiap tahunnya,. Namun demikian, di Desa Kalibeji pelaksanaan tradisi
Saparan tidak lengkap bila tidak menggelar aneka pagelaran kesenian tradisional. Salah satu
kesenian tradisional yang seakan-akan wajib dilaksanakan di beberapa desa adalah pagelaran
kesenian, seperti tari Tayub, pertunjukkan wayang kulit, kuda lumping dan lain-lain. Sebagai
simbol pelaksanaan Saparan ini, pada hari yang telah ditetapkan dilaksanakan kenduri
bersama. Pelaksanaan kenduri ini dilaksanakan di rumah kepala dusun masing-masing yang
dihadiri warga dusun tersebut. Perlengkapan yang dibawa dalam kenduri ini terdiri dari nasi
tumpeng, satu ekor ayam ( mereka menyebutnya ingkung ayam), buah-buahan, dan beberapa
lauk pauk lainnya serta beberapa makanan ringan. Setelah masyarakat berkumpul di rumah
kepala dusun maka sesepuh kampung atau tokoh agama akan memberikan sedikit wejangan
dan dilanjutkan doa bersama yang dipimpin tokoh agama tersebut. Setelah doa bersama
beberapa petugas mengambil sebagian dari kenduri yang dibawa para warga. Hasil dari
penarikan ini akan digunakan sebagai konsumsi dalam pelaksanaan pagelaran kesenian
tradisional.

Bulan Sapar bagi sebagian warga merupakan bulan yang dinanti-nanti. Sebagian
anak-anak (bahkan juga orang dewasa) menyebutnya sebagai bulan penuh gizi. Betapa tidak,
karena di Bulan Sapar, sudah menjadi tradisi mereka saling berkunjung. Salah satu rangkaian
pelaksanaan tradisi Saparan di desa ini adalah saling mengundang. Biasanya yang diundang
adalah saudara dekat, teman, kenalan sampai relasi bisnisnya. Waktu pelaksanaan Saparan
yang berbeda antara desa yang satu dengan yang lainnya, memungkin mereka saling
berkunjung. Bahkan tidak jarang mereka juga mengundang saudara atau rekan dari luar kota.
Bagi sebagian warga yang sedang merantau di luar kota juga menyempatkan untuk pulang
kampung sekedar merayakan Saparan ini.

Fokus penelitian ini adalah masyarakat sekitar Desa Kalibeji dan sekitarnya tentang
tradisi Saparan. Hal ini disebabkan karena daerah tersebut cukup unik dalam hal pelaksanaan
yang ada di dalamnya. Masyarakat tidak begitu menghiraukan tradisi Saparan tersebut apakah
sesuai atau tidak bahkan apakah ada hubungannya apabila dikaitkan dengan Islam, Inilah
perhatiannya. Hal ini sangat dimungkinkan, karena masyarakat Jawa yang menganut budaya
tinggi, akan sukar untuk meninggalkan budaya lamanya ke ajaran baru walaupun ajaran
tesebut sebenarnya mengajarkan sesuatu yang lebih baik,seperti ajaran agama islam .
II. ISI

2.1. Pandangan Masyarakat Desa Kalibeji tentang Tradisi Saparan

Kecenderungan upacara tradisi Saparan di Kalibeji cukup menarik. Karena sebagian


warga, khususnya warga masyarakat tersebut mengatakan:

Sebenarnya acara Saparan itu sendiri bagus, tujuannya pun jelas yaitu : Syukuran dusun
atau memperingati cikal-bakal adanya dusun istilahnya dalam bahasa jawa (merti dusun),
itu juga sama halnya seperti syukuran yang diadakan setiap hari kemerdekaan tanggal 17
Agustus. Mungkin yang perlu ditinjau kembali adalah dalam pelaksanaannya.

warga masyarakat Desa Kalibeji nampaknya mempunyai cara pandang sendiri terhadap
tradisi Saparan. Mereka memaknainya sebagai rasa syukur. Tetapi kita harus mengetahui
acara yang ada didalamnya, apakah hanya acara syukuran yang sederhana atau bahkan ada
acara-acara yang lain, mungkin bisa dikatakan tak sewajarnya. Untuk lebih jelasnya kita lihat
hasil pemaparan dari salah satu tokoh warga masyarakat Desa Kalibeji tentang apa saja acara
yang ada di dalamnya, yang di ungkapkan oleh tokoh masyarakat:

Saparan itu memang dari dulu sudah ada sejak zaman nenek moyang, kalau cikal-bakalnya
atau pertama kali muncul kurang begitu jelas, entah itu datangnya pada masa transisi dari
hindu-budha ke agama islam, sebelum itu atau bahkan sesudah islam menyebar.

Beliau juga menambahkan bahwa intinya semua sama yaitu memperingati dusun
sebagai atas rasa syukur yang telah diberikan. Mungkin acara yang ada didalamnya, karena
masih banyak menggunakan tradisi-tradisi kejawen. Tetapi mereka harus paham jangan asal
ikut-ikutan karena dibalik semua itu ada artinya, sebagai contoh acara didalam Saparan itu
sendiri ada beberapa kegiatan:

1. Sabelum acara Saparan dimulai ada nyadran, yaitu acara bersih-bersih ke


makam, itu tujuannya selain warga bisa berkumpul bersama juga sebagai
kebersamaan karena kalau dilakukan sendiri-sendiri akan merasa berat. Nyadran
dilakukan karena makam-makam didusun tidak dikasih nisan, hanya sebatang kayu,
jadi kalau tidak dibersihkan maka akan tumbuh rumput dan lama kelamaan kalau
tidak dibersihkan nanti akan hilang. Acara seperti itu tidak harus, misalkan tidak
dilakukan juga tidak apa-apa. Selang sehari kemudian diadakan pengajian umum
yang dilaksanakan pada siang hari setelah waktu Dzuhur.
2. Pada malam hari sebelum acara inti, para warga berkumpul di rumah bapak dukuh
untuk memanjatkan doa kepada Yang Maha Esa, di mulai dengan berdoa bersama
acara sesaji yang didalamnya ada beraneka macam makanan dan minuman, itu
semua mempunyai makna, kata sesaji itu berasal dari kata ngajeni yaitu dengan
mendatangkan orang-orang untuk ngaji bersama setelah selesai mereka diajeni atau
dijamu dengan makanan-makanan yang ada dalam sesaji tersebut. Jadi sesaji itu
bukan dipersembahkan buat makhluk halus, melainkan untuk diri sendiri, kalau
misalkan tidak dilakukan akan mendatangkan bahaya, hal seperti itu tidak di
benarkan kalau memang demikian justru harus diluruskan.

3. Acara puncak, yaitu, dari keluarga tokoh masyarakat, mendatangkan sanak


saudara dan mengundang warga lain yang bertujuan untuk mempererat tali
silaturahmi dan bisa berkumpul bersama dengan disuguh sebuah kesenian daerah.
Acara puncak ini juga dihadiri oleh warga lain desa, kebanyakan mereka bertujuan
hanya untuk sekedar cari keramaian perlu di tinjau kembali terutama dalam hal
penjamuan, karena sangat berlebihan dalam menjamu, hampir rata-rata satu kepala
keluarga bisa menghabiskan uang sebesar satu juta rupiah dalam satu hari, itu akan
diraskan begitu beratnya bagi mereka yang bisa dikatakan warga yang kurang
mampu dengan harus mengeluarkan dana sebesar itu, mungkin dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari mereka sudah berjuang dengan susah payah, aplagi harus
ditambah dengan beban biaya yang lebih berat. Dari pihak yang diundang pun
mereka harus bergantian mengundang, apabila di dusunnya ada Saparan, itu juga
akan menambah beban seperti mempunyai ikatan.

Penulis merasa sangat kekurangan dalam memberikan penjelasan tentang tradisi


Saparan diatas, mungkin dengan sedikit hasil memaparkan uraian wawancara dari warga dan
hasil dari pengalaman saat bergaul dengan warga mengenai kegiatan tradisi Saparan maupun
kegiatan yang ada di dalamnya akan bisa menambah pengertian atau wawasan bagi mereka
yang melaksanakannya terlebih bagi warga yang hanya ikut-ikutan dan tidak tau makna di
dalamnya, karena hal semacam itu akan lebih berbahaya dibanding warga yang melakukan
tetapi mengerti makna dan mempunyai tujuan. Sikap seperti ini diperlukan, karena kita
bukanlah bangga yang membenarkan diri sendiri belaka, melainkan sanggup menghargai
pandapat orang lain, yang terkadang betentangan dengan pendirian kita sendiri. Pandangan
ini memang perlu ditekankan karena pluralitas kita sangat tinggi dari sudut agama, budaya,
bahasa, adat kebiasaan maupun politik. Ini terbawa oleh pendidikan, letak geografis maupun
cara hidup kita yang sangat berbeda dari satu dengan lain.

2.2. Hubungan Agama Islam dengan Tradisi Saparan Berkaitan dengan Akhlak

Di Desa Kalibeji pada umumnya, hubungan agama dengan tradisi Saparan bisa
dikatakan tidak ada, misalnya kalau ada juga tidak terlalu bertentangan dengan islam. Hal ini
bisa disimpulkan dari hasil pemaparan warga, bahwa kebanyakan dari mereka mengatakan
acara Saparan itu warisan nenek moyang yang harus tetap di lestarikan dan tidak ada sangkut-
pautnya terhadap agama. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah dalam pelaksanaan seperti
yang sudah dipaparkan diatas, jadi akan muncul suatu pertanyaan apakah acara yang ada itu
sudah sesuai dengan akhlak? Sedangkan akhlak sendiri mempunyai arti Secara bahasa akhlak
berasal dari kata artinya perangai, kebiasaan, watak, peradaban yang baik.
Menurut Istilah: sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melaksanakan
perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Kenyataan sosial semacam ini
adalah tantangan bagi agama-agama, khususnya islam. Agama, menurut klaim penulis, harus
mampu berkomunikasi lebih dekat lagi dengan masyarakat, terutama komunitas masyarakat
pedesaan, seperti halnya warga masyarakat dusun tersebut tentang tradisi Saparan. Jika tradisi
Saparan masih saja berkukuh dengan pandangannya sendiri, tanpa dikaji kembali melalui
agama, karena sebagian besar masyarakat Desa Kalibeji beragama islam, bukan mustahil
mereka akan menggabungkan antara tradisi dan agama dalam acara-acara semacam itu, Inilah
tantangan baru agama islam khususnya bagi kaum intelektual muda khususnya warga
masyarakat Desa Kalibeji.

Prinsip dan konsep-konsep yang mendasari penilaian tentang perilaku manusia


contohnya, dengan patokan apa dapat dibedakan antara tindakan yang benar dan yang
salah secara moral atau akhlak? Apakah kesenangan merupakan satu-satunya ukuran untuk
menentukan sesuatu sebagai yang baik? Apakah keputusan moral bersifat sewenang-
wenang atau sekehendak hati? Maksud utama ungkapan moral atau akhlak bukanlah untuk
menegaskan bahwa demikianlah persoalan yang ada, melainkan untuk menasehati,
mengingatkan, mensyaratkan, menyatakan, atau memprotes bahwa demikianlah yang harus
dilakukan. Sesungguhnya tujuan pertama misi diutusnya Nabi adalah kajian akhlak. Nabi
SAW Bersabda: Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (HR.
Imam Malik )
III. PENUTUP

Agama Islam di Indonesia dibawa oleh para kekasih Allah, keberhasialan mereka
dalam menyebarkan agama Islam karena mereka pandai membaca situasi dan kondisi yaitu
menyesuaikan kebudayaan dan tradisi yang ada di tanah Jawa khususnya Semarang dan
sekitarnya. Terlebih di Desa Kalibeji sendiri mereka tidak menghilangkan sama sekali tradisi
yang sudah ada, hanya saja ditambahi atau dimodifikasi, yang dulunya tidak ada unsur nilai
Islamnya sekarang ditambahi dengan nilai-nilai Islam.

Salah satunya adalah tradisi Saparan yang terdapat di desa tersebut, selain sebagai
ajang silaturahim, bulan ini juga dijadikan sebagai bulan untuk memperingati cikal-bakal
desa tersebut, biasanya Saparan dilakukan satu bulan penuh, bergiliran dari satu desa ke desa
yang lain, waktu pelaksanaannya malam hari, sebelum acara puncak dimulai pada siangnya
dilakukan acara pengajian umum sebagai bukti itu adalah bahwa Saparan itu sudah di sisipi
oleh nilai-nilai keagamaan. Budaya Saparan diisi dengan kesenian Kuda Lumping,
pertunjukkan Wayang Kulit, bersih makam serta kesenian daerah lainnya.

Anda mungkin juga menyukai