Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH KASUS

Penyakit Paru Obstruktif Kronik

disusun oleh
Stephanie Pangestian

Pembimbing
dr. Ganis Tjahyono, Sp. P.

RUMAH SAKIT MUHAMMDIYAH LAMONGAN


JANUARI 2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah suatu penyakit paru kronik yang
ditandai oleh adanya hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya
reversibel. Penyakit tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi
abnormal paru terhadap partikel berbahaya atau gas beracun.1
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit
tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor
risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin
banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di
dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.2
Diperkirakan 65 juta penduduk dunia menderita PPOK sedang sampai berat. Pada
tahun 2005 lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK, menyumbang 5% dari seluruh
penyebab kematian. Data mengenai morbiditas dan mortalitas PPOK tersebut didapatkan
sebagian besar dari negara dengan penghasilan tinggi. Pada tahun 2002, PPOK merupakan
penyebab kematian ke-5, diperkirakan akan meningkat menjadi ke-3 pada tahun 2030 dengan
total peningkatan kematian 30% dalam 10 tahun.3
PPOK akan berdampak negatif dengan kualitas hidup penderita, termasuk pasien yang
berumur > 40 tahun akan menyebabkan disabilitas penderitanya. Padahal mereka masih
dalam kelom-pok usia produktif namun tidak dapat bekerja maksimal karena sesak napas
yang kronik. Komorbiditas PPOK akan menghasilkan penyakit kardiovaskuler, kanker
bronchial, infeksi paru-paru, trombo embolik disorder, keberadaan asma, hiper-tensi,
osteoporosis, sakit sendi, depresi dan ansietas.4
Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah progresivitas dari
penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi terhadap aktivitas, meningkatkan status
kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi, mencegah dan menangani eksaserbasi, dan
menurunkan angka kematian.1,2

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana temuan klinis, klasifikasi, serta penatalaksanaan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis penyakit penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK).
2. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah didapat terhadap kasus
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
3. Untuk mengetahui gambaran klinis, perjalanan penyakit, penatalaksanaan, dan
tindakan rehabilitasi pada pasien yang menderita penyakit penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK).

1.4 Manfaat Penulisan


Beberapa manfaat yang didapatdari penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis tentang ilmu penyakit
dalam khususnya mengenai penyakit penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai penyakit
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik


2.1.1. Definisi
Penyakit paru obstuktif kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel
parsial. PPOK ditandai dengan adanya emfisema dan bronkitis kronis. 2 Sedangkan menurut
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD, 2013), PPOK adalah
penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan limitasi aliran udara yang
persisten dan progresif, akibat respons inflamasi kronik pada jalan napas dan parenkim paru
yang disebabkan gas atau partikel beracun. Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi pada
beratnya penyakit ini.1
2.1.2. Epidemiologi
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah
kesehatan global saat ini. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda di tiap negara
dan terus mengalami peningkatan. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya usia harapan
hidup rata-rata masyarakat dan semakin tingginya pajanan terhadap faktor risiko.5
Jumlah penderita PPOK pada tahun 2006 untuk wilayah Asia diperkirakan sekitar 56,6
juta dengan prevalensi 6,3%. Di Cina angka kasus mencapai 38,16 juta jiwa, sedangkan di
Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta jiwa pasien dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa
meningkat seiring semakin banyaknya jumlah perokok, karena 90% penderita PPOK adalah
perokok atau mantan perokok.5

Di Amerika, kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka
1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun
2000. Sebagai penyebab kematian, PPOKmenduduki peringkat ke-4 setelah penyakit jantung,
kanker dan penyakit serebrovascular.Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai
$24 milyar per tahunnya. WHO memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi
PPOK akan meningkat. Akibat sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya akan
meningkat dari ke duabelas menjadi ke lima dan sebagai penyebab kematian akan meningkat
dari ke enam menjadi ke tiga. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga DepKesRI tahun
1992, PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat ke-6.Merokok merupakan faktor
risiko terpenting penyebab PPOK di samping faktor risiko lainnya seperti polusi udara, faktor
genetik dan lain-lainnya.
2.1.3. Etiologi
Banyak hal yang dapat menjadi penyebab penyakit paru obstruktif kronis, antara lain:
1. Merokok
Penelitian menyebutkan bahwa kebiasaan merokok merupakan penyebab terbanyak
terjadinya PPOK.Kejadian PPOK karena merokok mencapai 90% kasus. Merokok sigaret
mempengaruhi makrofag untuk melepaskan faktor kemotaktik dan elastase, yang akan
menyebabkan kerusakan jaringan. Secara signifikan, PPOK berkembang pada 15%
perokok sigaret, walaupun jumlah ini pasti bukan nilai sebenarnya.Usia memulai merokok,
jumlah bungkus pertahun, dan status merokok saat ini memprediksi mortalitas. 6
Orang yang merokok mengalami penurunan FEV1 secara fisiologis normal.
Penurunan FEV1diperkirakan sekitar 20-30 ml/tahun, tetapi pada pasien PPOK biasanya
menurun 60 ml/tahun atau lebih besar. Sebuah studi menyimpulkan bahwa gangguan
fungsi paru dan perubahan struktural paru sudah muncul pada perokok sebelum tanda
klinis obstruksi muncul.6

2. Faktor Lingkungan
PPOK juga dapat terjadi pada individu yang tidak pernah merokok.Walaupun peran
polusi udara sebagai etiologi PPOK tidak jelas, efeknya lebih kecil bila dibandingkan
dengan merokok. Pada negara berkembang, penggunaan bahan bakar biomass serta
memasak dan memanaskan dalam ruangan kemungkinan juga menjadi penyumbang
terbesar dalam prevalensi PPOK.6

3. Hiperesponsif Jalan Napas


Pasien PPOK juga memiliki kecenderungan adanya hiperesponsif jalan napas, seperti
pada asma.Tetapi PPOK dan asma benar-benar berbeda.Asma dilihat sebagai fenomena
alergi, sedangkan PPOK merupakan hasil dari kerusakan dan radang karena rokok. Studi
longitudinal yang membandingkan kepekaan saluran napas pada awal studi yang kemudian
mengalami penurunan fungsi paru telah menunjukkan bahwa peningkatan kepekaan
saluran napas secara jelas merupakan prediktor penurunan fungsi paru di waktu
mendatang, tetapi studi ini masih belum jelas.7

4. Defisiensi Alfa-1 antitripsin (AAT)


Alfa-1-antitripsin merupakan salah satu fraksi protein serum yang dapat dipisahkan
melalui elektroforesis dan dapat menetralisir elastase netrofil di interstisium paru sehingga
melindungi paru dari penghancuran elastolisis.Pada keadaan defisiensi, maka mekanisme
perlindungan terhadap elastolisis ini berkurang, sehingga bisa menyebabkan
emfisema.Penelitian Erikson tahun 1963 menyatakan bahwa defisiensi AAT diwariskan
secara autosomal-kodominan dan keadaan ini menyebabkan emfisema. Defisensi AAT
disebabkan karena mutasi pada gen AAT.6

5. Sindroma Imunodefisiensi
Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan faktor resiko untuk
PPOK, bahkan setelah mengontrol variabel pengganggu seperti merokok, obat IV, ras dan
usia. Pada pasien defisiensi autoimun dan infeksi Pneumocystis carinii terjadi kerusakan
paru yang kortikal dan apikal.6

6. Gangguan Jaringan Ikat


Cutis laxa adalah gangguan elastin yang digambarkan terutama dengan penuaan
prematur.Penyakit ini biasanya kongenital dengan bermacam bentuk penurunan (mis.
dominan, resesif).Emfisema prekoks dihubungkan dengan cutis laxa sejak dari periode
neonatus atau bayi.Patogenesis penyakit ini karena defek sintesis elastin atau tropoelastin.
Sindrom Marfan yaitu penyakit autosomal dominan kolagen tipe I, ditemukan sekitar 10%
pasiennya mengalami abnormalitas paru, termasuk emfisema.6

2.1.4. Patogenesis
PPOK dapat terjadi karena berbagai mekanisme patogenesis. Patogenesis terjadinya
PPOK diantaranya adalah:
1. Hipotesis Proteinase-antiproteinase
Hipotesisproteinase-antiproteinase didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan
jaringan dan emfisema terjadi karena ketidakseimbangan proteinase dan inhibitornya.Telah
dinyatakan bahwa ada peningkatan kuantitas enzim pendegradasi elastik dibandingkan
inhibitornya pada emfisema. Konsep ini diusulkan untuk emfisema yang digambarkan
dengan defisienasi AAT.8 Pasien dengan defisiensi AAT mengalami mutasi pada gen AAT.
Mutasi Z adalah mutasi paling umum dan mutasi ini menggangu sekresi protein dari
hepatosit. Hasilnya ditandai dengan penuruan level penghambat serin protease di sirkulasi.
Dilaporkan bahwa PiZ-1 AT cenderung mengalami polimerisasi yang dapat menghambat
sekresi hepatik, menggangu inhibisi elastase netrofil dan menyebabkan
inflamasi.9Matrixmetalloproteinases (MMP) memiliki kemampuan untuk membelah
protein struktural seperti kolagen dan elastin, sehingga berperan dalam patogenesis PPOK.
Peningkatan banyak Matrix Metalloprotein dilaporkan pada emfisema karena rokok dan 3
MMP (MMP-2, -9, dan 12) mendegradasi elastin Protease lain yang berperan penting
dalam patogenesis PPOK adalah cathapsins S, L (dalam makrofag), dan G, serta
proteinase-3 (dalamnetrofil).9

2. Mekanisme Imunologis
PPOK berhubungan dengan respon inflamasi paru yang abnormal terhadap partikel
atau gas berbahaya, terutama rokok.1.Pasien dengan PPOK dilaporkan mengalami
peningkatan netrofil di sputum, jaringan paru dan bronchoalveolar lavage (BAL) dan
neutrofil berperan penting dalam patogensis PPOK. Level serum immunoglobulin free
light chains (IgLC) meningkat pada PPOK karena rokok.IgLC mengikat netrofil dan
cross-linking IgLC pada netrofil menghasilkan peningkatan produksi IL8yang merupakan
atraktan selektif untuk netrofil.Sel B juga meningkat pada pasien PPOK dan sel ini
memproduksi IgCL, selain memproduksi IgG dan IgA. Level serum IgE juga meningkat
dan berhubungan dengan merokok.9

3. Keseimbangan Oksidan-antioksidan
Stress oksidatif dapat menggangu vasodilatasi dan pertumbuhan sel endotel. 9 Ketika
oksidan melebihi antioksidan paru; modifikasi protein, lemak, karbohidrat, dan DNA
terjadi dan menghasilkan kerusakan jaringan. Oksidan tersebut dapat memodifikasi elastin,
sehingga lebih rentan terhadap pembelahan proteolitik. Merokok dapat menginaktivasi
histone deacetylase (HDAC2) dan menyebabkan transkripsi kemokin/sitokin netrofil
(TNF- dan IL-8) dan MMP sehingga terjadi degradasi matriks yang mendukung
terbentuknya emfisema.9

4. Inflamasi Sistemik
PPOK juga memiliki manifestasi ekstrapulmomal.Dinyatakan bahwa inflamasi
pulmonal persisten dapat menyebabkan pelepasan kemokin dan sitokin proinflamasi ke
sirkulasi. Mediator ini dapat menstimulasi liver, jaringan adiposa dan sumsum tulang untuk
melepaskan sejumlah leukosit, CRP, interleukin (IL)-6, IL-8, fibrinogen dan TNF- ke
sirkulasi dan menyebabkan inflamasi sistemik .10 Inflamasi sistemik dapat memulai atau
memperburuk penyakit komorbid, seperti penyakit jantung iskemik, osteoporosis, anemia
normositik, kanker paru, depresi, dan lain-lain.9

5. Apoptosis
Studi terbaru menyatakan bahwa apoptosis terlibat dalam perkembangan PPOK dan
telah ditunjukkan adanya peningkatan apoptosis epitel alveolar dan sel endotel di paru
pasien PPOK.Karena tidak diimbangi dengan peningkatan proliferasi protein struktural,
maka hal ini akan berakhir dengan kerusakan jaringan paru dan emfisema.9

6. Perbaikan yang Tidak Efektif


Ada perbaikan yang tidak efektif pada emfisema dan keterbatasan kemampuan paru
dewasa untuk memperbaiki alveolus yang rusak.9
2.1.5. Patofisiologi
Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh PPOK merupakan konsekuensi dari mekanisme
patofisiologi PPOK, diantaranya adalah:
1. Pembatasan Aliran Udara dan Udara yang Terjebak
Inflamasi luas, fibrosis dan eksudat lumen pada saluran pernapasan kecil
berhubungan dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC, dan mungkin dengan
percepatan penurunan FEV1 (karakteristik PPOK), obstruksi saluran napas ini akan
menjebak udara saat ekspirasi dan menyebabkan hiperinflasi. Emfisema juga berperan
dalam menjebak udara selama ekspirasi.Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi
demikian juga kapasitas residual fungsional meningkat, khususnya selama aktivitas,
menghasilkan peningkatan dispnea dan keterbatasan kapasitas saat aktivitas. Hiperinflasi
berkembang pada tahap awal penyakit dan menjadi mekanisme utama dispneu saat
aktivitas.1

2. Abnormalitas Pertukaran Gas


Abnormalitas pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia.Distribusi
abnormal rasio ventilasi-perfusi adalah mekanisme pertukaran gas abnormal pada
PPOK.Umumnya transfer oksigen dan karbon dioksida memburuk selama perjalanan
penyakit. Hal ini menyebabkan retensi karbon dioksida saat dikombinasikan dengan
penurunan ventilasi selama kerja pernapasan tinggi karena obstruksi berat dan hiperinflasi
bersamaan dengan gangguan dari otot ventilasi.1

3. Hipersekresi Mukus
Hipersekresi mukus adalah abnormalitas fisiologis pertama pada PPOK.awalnya
adalah stimulasi sekresi dari kelenjar mukus yang membesar. Lama-kelaman hipersekresi
mukus terjadi karena metaplasia epitel skuamosa.Hipersekresi mukus ini menghasilkan
batuk produktif yang kronis. Pasien dengan hipersekresi mukus adalah bila terjadi
peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar submukosa.11

4. Hipertensi Pulmonal
Terjadi pada kasus PPOK yang sudah lama, biasanya setelah terjadi abnormalitas
pertukaran gas.Faktor yang berkontribusi menyebabkan hipertensi pulmonal pada PPOK
termasuk vasokonstriksi, disfungsi endotel, dan remodelling arteri pulmonal. Kombinasi
ini mungkin suatu saat menyebabkan pembesaran ventrikel jantung kanan.11 Ada respon
inflamasi pada pembuluh darah yang sama dengan yang terjadi pada saluran napas.
Emfisema dan hilangnya capillary bed juga berkontribusi terjadinya peningkatan tekanan
di sirkulasi pulmonal.1

5. Gambaran Sistemik
Keterbatasan aliran udara dan khususnya hiperinflasi mempengaruhi fungsi jantung
dan pertukaran gas (Barr et al., 2010). Mediator inflamasi ke sirkulasi mungkin
berkontribusi pada penurunan massa otot skeletal dan kaheksia, dan mungkin memulai atau
memperburuk penyakit komorbid seperti penyakit jantung iskemik, gagal jantung,
osteoporosis, anemia normositik, diabetes, sindroma metabolik, dan depresi (GOLD, 2013).
Efek sistemik ini berkontribusi pada pembatasan kapasitas aktivitas pada pasien dan
memperburuk prognosis, tidak bergantung pada fungsi paru mereka (Postmadan Boezen,
2006).

2.1.6. Manifestasi Klinis


Gejala dari PPOK adalah seperti susah bernafas, batuk kronis dan terbentuknya sputum
kronis, episode yang buruk atau eksaserbasi sering muncul. Salah satu gejala yang paling
umum dari PPOK adalah sesak napas (dispneu). Orang dengan PPOK umumnya
menggambarkan ini sebagai:. "Saya merasa kehabisan napas," atau "Saya tidak bisa
mendapatkan cukup udara".12
Orang dengan PPOK biasanya pertama sadar mengalami dispneu pada saat melakukan
olahraga berat ketika tuntutan pada paru-paru yang terbesar. Selama bertahun-tahun, dispneu
cenderung untuk bertambah parah secara bertahap sehingga dapat terjadi pada aktivitas yang
lebih ringan, aktivitas sehari-hari seperti pekerjaan rumah tangga. Pada tahap lanjutan dari
PPOK, dispneu dapat menjadi begitu burukyang terjadi selama istirahat dan selalu muncul.12
Orang dengan PPOK kadang-kadang mengalami gagal pernafasan. Ketika ini terjadi,
sianosis, perubahan warna kebiruan pada bibir yang disebabkan oleh kekurangan oksigen
dalam darah, bisa terjadi. Kelebihan karbon dioksida dalam darah dapat menyebabkan sakit
kepala, mengantuk atau kedutan (asterixis). Salah satu komplikasi dari PPOK parah adalah
cor pulmonale, kejang pada jantung karena pekerjaan tambahan yang diperlukan oleh jantung
untuk memompa darah melalui paru-paru yang terkena dampak. 4 Gejala cor pulmonale
adalah edema perifer, dilihat sebagai pembengkakan pada pergelangan kaki, dan dispneu.12

2.1.7. Diagnosis
Dalam mendiagnosis PPOK sama seperti mendiagnosis penyakit lain, yaitu
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis PPOK harus
dipertimbangkan pada pasien yang mengalami dispneu, batuk kronis atau produksi sputum
berlebihan, dan riwayat terpajan faktor resiko penyakit.Nilai spirometri dibutuhkan untuk
membuat diagnosis dalam konteks klinis. Adanya nilai FEV1/FVC postbronkodilator <0.70
memastikan adanya pembatasan aliran udara yang persisten dan merupakan PPOK.1
1.Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan beberapa hal untuk melihat adanya riwayat medis pasien yang
berhubungan dengan PPOK, yaitu:
a. Pajanan terhadap faktor resiko, seperti asap rokok, pajanan di pekerjaan atau
lingkungan.
b. Riwayat medis terdahulu, termasuk asma, alergi, sinusitis, atau polip nasal; infeksi
respirasi saat anak-anak dan penyakit pernapasan lainnya.
c. Riwayat PPOK pada keluarga atau penyakit pernapasan kronis lainnya.
d. Pola perkembangan gejala: PPOK biasanya berkembang pada usia dewasa dan
kebanyakan pasien sadar akan peningkatan kesulitan bernapas dan beberapa
keterbatasan sosial beberapa tahun sebelum mencari bantuan pengobatan medis.
e. Riwayat eksaserbasi atau rawat inap karena penyakit pernapasan terdahulu.
f. Adanya penyakit komorbid: gangguan jantung, osteoporosis, gangguan
muskuloskeletal, dan keganasan yang juga berperan dalam pembatasan aktivitas.
g. Dampak penyakit dalam kehidupan pasien, kehilangan pekerjaan dan dampak ekonomi,
efek dalam rutinitas keluarga, merasa cemas dan depresi, serta gangguan aktivitas
seksual.
h. Kemungkinan menurunkan faktor resiko, misalnya berhenti merokok.

Dalam anamnesis juga akan didapatkan gejala dan keluhan-keluhan yang disampaikan
pasien tentang penyakitnya. Gejala-gejala pada PPOK diantaranya adalah:
a. Batuk
Batuk bisa saja hanya sebentar (pagi awal) awalnya, secara progresif ada terus
sepanjang hari, tetapi jarang nokturnal.Batuk kronis biasanya produktif dan sering
diabaikan dengan anggapan sebagai konsekuensi dari merokok. Sinkop batuk atau
fraktur kosta karena batuk mungkin terjadi.11
b. Produksi Sputum
Sputum mulai terjadi pada pagi hari tetapi lama-kelamaan akan muncul terus
sepanjang hari. Sputum bersifat mukoid dan berjumlah sedikit.Produksi sputum 3
bulan dalam 2 tahun adalah definisi epidemiologi dari bronkitis kronis.Perubahan
warna sputum (purulen) atau volume memberi kesan terjadi eksaserbasi infeksius.11
Produksi sputum sering sulit dievaluasi karena pasien mungkin lebih memilih
menelannya dibandingkan membuangnya. Pasien yang memproduksi sputum
dengan jumlah besar mungkin memiliki penyakit bronkiektasis.1
c. Dispneu
Biasanya progresif dan seiring berjalan waktu menjadi persisten.Saat onset, gejala ini
terjadi saat aktivitas (naik tangga, mendaki bukit, dll) dan dapat dihindari dengan
perubahan perilaku yang tepat (mis. menggunakan elevator). Bagaimanapun, selama
penyakit berkembang, dispnea bahkan akan muncul dalam aktivitas ringan atau
istirahat.11 Dispneu menjadi penyebab utama ketidakmampuan dan kecemasan yang
dialami pasien berhubungan dengan penyakitnya.
d. Mengi dan Dada Sesak
Mengi dan dada sesak merupakan gejala tidak spesifik dan mungkin bervariasi setiap
hari.Mengi yang dapat terdengar mungkin berasal dari laring. Dada sesak sering
diikuti usaha dalam bernapas, berasal dari kontraksi isometrik otot-otot interkostal.1
e. Gambaran pada Penyakit Berat
Lelah, penurunan berat badan dan anoreksia adalah masalah utama pasien dengan
PPOK gejala berat dan sangat berat.Sinkop batuk terjadi karena peningkatan cepat dari
tekanan intratorakal selama serangan jangka panjang batuk.Batuk yang parah ini juga
bisa menyebabkan fraktur kosta yang biasanya asimptomatis.Tanda-tanda kor-
pulmonale juga menunjukkan keadaan penyakit yang buruk. Selain itu, mungkin pasien
akan mengalami gejala depresi atau gangguan kecemasan.1

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien PPOK yang masih dini biasanya tidak menunjukkan
kelainan.2 Seiring dengan perjalanan penyakit, muncullah beberapa tanda dan gejala
yang makin lama akan makin khas menjadi gejala PPOK. PPOK memberikan tanda
berupa gangguan baik pada sistem pernapasan maupun sistemik.
a. Tanda Pernapasan
Inspeksi: barrel chest, pursed-lips breathing, gerakan tidak normal dari
dada/abdomen dan penggunaan otot-otot pernapasan. Semua ini merupakan tanda
pembatasan aliran udara, hiperinflasi dan gangguan mekanis dari bernapas.11
Palpasi: ditemukan fremitus melemah pada emfisema.2
Perkusi: penurunan letak diafragma, suara timpani karena hiperinflasi, hati dapat
teraba.11
Auskultasi: suara napas vesikuler normal, atau melemah, terdapat ronki dan atau
mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang,
bunyi jantung terdengar jauh.2
b. Tanda Sistemik
Distensi vena leher, pembesaran hati dan edema perifer dapat terjadi karena cor
pulmonale atau selama inflasi yang parah.
Kehilangan massa otot dan kelemahan otot perifer yang konsisten dengan malnutrisi
dan/atau disfungsi otot skelet.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai dalam mendiagnosis PPOK adalah:
a. Pemeriksaan darah rutin
Untuk melihat nilai Hb, Ht, leukosit, dll. Peningkatan sel darah merah (eritrositosis),
terjadi ketika level oksigen di darah rendah (hipoksemia) dalam waktu yang lama.
Sel darah merah membawa oksigen di darah.Karena kerusakan paru, pasien PPOK
tidak dapat memperoleh cukup udara. Sehingga reaksi tubuh adalah meningkatkan
produksi sel darah merah untuk meningkatkan jumlah oksigen di darah.1
b. Pemeriksaan faal paru dengan spirometri
Pemeriksaan faal paru merupakan hal yang esensial untuk diagnosis dan penilaian
keparahan penyakit, dan juga membantu memantau progresnya. Nilai yang didapat
dari pemeriksaan dengan spirometri adalah FVC, FEV 1dan FEV1 /FVC.Penurunan
nilai dari ketiga parameter diatas menunjukkan adanya gangguan dalam faal
paru.Nilai FEV1 yang didapatkan dari hasil spirometri adalah indeks yang paling
sering digunakan untuk menilai obstruki aliran udara, menilai beratnya PPOK dan
juga untuk memantau perjalanan penyakit.
c. Pemeriksaan Radiologi
Harus dilakukan pada semua pasien.Pemeriksaan radiologi memang tidak sensitif
untuk diagnosis, tetapi membantu dalam menyingkirkan penyakit lain (pneumonia,
kanker, efusi pleura, dan pneumotoraks). Umum walaupun tidak spesifik, tanda
emfisema adalah diafragma yang mendatar, radiolusensi paru yang ireguler.11
Bronkitis kronis berhubungan dengan peningkatan tanda bronkovaskular dan
kardiomegali.6 Dengan komplikasi hipertensi pulmonal, bayangan vaskular hilus
menjadi sering, dengan kemungkinan adanya pembersaran ventrikular kanan.
d. Analisa Gas Darah Arteri (AGDA)
Analisa gas darah arteri memberikan petunjuk tentang keakutan dan keparahan
eksaserbasi dari penyakit.Pasien PPOK mengalami hipoksemia ringan sedang tanpa
hiperkapnia.Seiring perjalanan penyakit, hipoksemia memburuk dan hiperkapnia
mulai berkembang.Mekanisme paru dan pertukaran gas memburuk selama
eksaserbasi akut.Umumnya ada mekanisme kompensasi ginjal yang terjadi bahkan
saat CO2 yang kronisbertahan dalam tubuh (bronkitis); sehingga pH biasanya
mendekati normal. Biasanya, bila didapati pH dibawah 7,3 dapat menjadi tanda
gangguan akut dari sistem pernapasan.6
e. Evaluasi Sputum
Pada bronkitis kronis stabil, sputumnya mukoid dan makrofag sangat
banyak.Dengan eksaserbasi, sputum menjad purulen karena adanya
neutrofil.Peningkatan jumlah sputum merupakan tanda eksaserbasi akut (Mosenifar,
2013). Beberapa organisme yang sering ditemukan dari kultur adalah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Moraxella catarrhalis juga sering, dan
Pseudomonas aeruginosa dapat ditemukan pada pasien dengan obstruksi berat.
f. Pemeriksaan Alfa-1 Antitripsin
Pasien dengan tingkat AAT rendah, diagnosis definitifnya membutuhkan penentuan tipe
Pi. Hal ini dilakukan dengan fokus isoelektris pada serum yang mewakili lokus Pi
untuk alel umum dan alel Pi lain yang jarang. Molecular genotyping DNA dapat
dilakukan untuk alel Pi yang umum. 7 Tingkat 1-antitripsinharus diperkirakan pada
pasien PPOK muda (dekade 4 atau 5) dan memiliki riwayat keluarga yang kuat. Nilai
serum 1-antitripsin <1520% dari batas normal merupakan tanda dari defisiensi 1-
antitripsin.11
2.1.8. Derajat PPOK
Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan Dokter Paru Indonesia) maka
PPOK dikelompokkan ke dalam: 13
a. PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum dan dengan sesak napas derajat nol sampai satu. Sedangkan pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan VEP1 80% prediksi (normal) dan VEP1/KVP < 70 %.

b. PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk. Dengan atau
produksi sputum dan sesak napas dengan derajad dua. Sedangkan pemeriksaan spirometrinya
menunjukkan VEP1 70% dan VEP1/KVP < 80% prediksi.
c. PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajat tiga atau empat
dengan gagal napas kronik. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai komplikasi kor
pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri menunjukkan VEP1/KVP < 70
%, VEP1< 30 % prediksi atau VEP1> 30 % dengan gagal napas kronik. Hal ini ditunjukkan
dengan hasil pemeriksaan analisa gas darah dengan kriteria hipoksemia dengan normokapnia
atau hipoksemia dengan hiperkapnia.

Derajat PPOK Berdasarkan Kriteria GOLD


Kriteria GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) adalah
suatu kriteria yang dipakai secara internasional yang merupakan kolaborasi antara
National Institutes of Health (NIH) danWorld Health Organization (WHO) dalam
menentukan derajat keparahan pada pasien PPOK.
Kriteria GOLD untuk PPOK mengklasifikasikan penderita PPOK berdasarkan
derajat pembatasan aliran udara (obstruksi).Selain untuk mengklasifikasikan, kriteria
GOLD ini juga berguna untuk mendiagnosis obstruksi. Derajat keparahan PPOK dinilai
berdasarkan nilai dari hasil pemeriksaan spirometri.1
Nilai spirometri yang digunakan dalam penentuan kriteria GOLD adalah:
1. FVC (Forced Vital Capacity)atau Kapasitas Vital Paksa adalah total volume udara yang
dapat pasien keluarkan secara paksa dalam sekali bernapas.
2. FEV1 (Forced Expiratory Volume in One Second)atau Volume Ekspirasi Paksa detik 1
adalah volume udara yang dapat dikeluarkan pasien dalam detik pertama saat ekspirasi
paksa.
3. FEV1 /FVC adalah rasio FEV1 terhadap FVC yang dinyatakan dalam fraksi.
Kriteria spirometri yang diperlukan dalam kriteria GOLD untuk diagnosis derajat
keparahan PPOK adalah FEV1 /FVC setelah pemberian bronkodilator.1
Tabel 2.1 Kriteria GOLD untuk Derajat Keparahan PPOK
Derajat Karakteristik

I : PPOK Ringan FEV1/FVC < 0,70


FEV1 80% prediksi
II: PPOK Sedang FEV1/FVC < 0,70
50% FEV1 80% prediksi
III: PPOK Berat FEV1/FVC < 0,70
30% FEV1 50% prediksi
IV: PPOK Sangat Berat FEV1/FVC < 0,70
FEV1< 30% prediksi atau
FEV1< 50% prediksi
ditambah Gagal nafas
kronik

I. Mild COPD atau PPOK ringan, dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi
sputum).pada tahap ini pasien mungkin belum menyadari bahwa fungsi parunya tidak
normal.

II. Moderate COPD atau PPOK sedang,ditandai dengan semakin memburuknya hambatan
aliran udara disertai gejala yang biasanya berkembang pada tahap ini, yaitu napas yang
memendek saat melakukan aktivitas.Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari
pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya.

III. Severe COPD atau PPOK berat, ditandai dengan keterbatasan/hambatan aliran udara
yang semakin memburuk, yaitu pemendekan nafas semakin burukdan sering membatasi
aktivitas harian pasien.Terjadi sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas
latihan.Eksaserbasi biasanya mulai dapat terlihat pada tahap ini.
IV. Very severe COPD atau PPOK sangat berat, ditandai dengan keterbatasan/hambatan
aliran udara yang berat.Pada tahap ini kualitas hidup sudah sangat terganggu dan
eksaserbasi pada pasien bisa mengancam jiwaditambah dengan adanya gagal nafas kronik
dan gagal jantung kanan.1

2.1.9. Penatalaksanaan
Adapun tujuan dari penatalaksanaan PPOK ini adalah:
- Mencegah progresifitas penyakit
- Mengurangi gejala
- Meningkatkan tolenransi latihan
- Mencegah dan mengobati komplikasi
- Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
- Mencegah dan meminimalkan efek samping obat
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualitas hidup penderita
- Menurunkan angka kematian
Program berhenti merokok sebaiknya dimasukkan sebagai salah satu tujuan selama
tata laksana PPOK.2

a) Terapi Farmakologis
Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan
dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi,
nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting).2
Macam-macam bronkodilator:
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).

- Golongan agonis beta-2


Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat
sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan
bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidka dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya
mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih
sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada
derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega
napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka
panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
Kortikosteroid
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20%
dan minimal 250 mg.2
Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan:
Lini I: amoksisilin
Makrolid
Lini II: amoksisilin dan asam klavulanat
Sefalosporin, kuinolon, makrolid baru
Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N-
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.2
Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.2

b) Terapi non-farmakologis
Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan
sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-
organ lainnya. Manfaat oksigen:
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualitas hidup
Indikasi:
PO2< 60 mmHg atau Sat O2< 90%
PO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2> 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan Pulmonal, Ht
> 55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.2

Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal
napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas
kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah. 2
Ventilasi mekanik dapat digunakan dengan cara:
- Ventilasi mekanik dengan intubasi
Digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah.

- Ventilasi mekanik tanpa intubasi


Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Noninvasive Intermitten Positif Pressure
(NIPPV) atau Negative Pressure Ventilation (NPV).

Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan
energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan
hiperkapni menyebabkan terjadinya hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan
menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan
perubahan analisis gas darah.2
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan:
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualitas hidup pendita PPOK. Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu:
- Latihan fisik
- Latihan pernapasan dan latihan endurance
- Rehabilitasi psikososial

2.1.10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah:
1. Gagal napas
a) Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah PO2< 60 mmHg dan PCO2> 60 mmHg, dan pH
normal.Penatalaksanaan:
- Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing

b) Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh:


- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun

2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman,
hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih
rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.2

3. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung kanan.2
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. S
Umur : 51 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SMA
Status Pernikahan : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Jagran RT 1RW 2Jagran Karanggeneng Lamongan
Tanggal MRS : 6 September 2016
Tanggal Pemeriksaan : 7 September 2016

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama:sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Laki-laki, 51 tahun datang ke IGD RSML dengan keluhan sesak napas yang
memberat sejak 20 jam SMRS. Sesak yang dirasakan tidak berhubungan dengan cuaca, suhu,
waktu, dan perubahan posisi. Sesak dirasakan sampai sulit tidur dan hanya terasa nyaman
saat posisi duduk. Pasien biasanya tidur dengan 2 bantal. Terbangun tengah malam karena
sesakdisangkal. Pasien mengakuadanya sesak ketika beraktifitas namun hal ini hanya sesekali
dialami pasien.Nyeri dada disangkal.Sesak jika berjalan jauh dan dada berdebar disangkal.
Riwayat bengkak pada ekstremitas disangkal. Demam, pusing, mual dan muntah disangkal.
Batuk berdahak lebih dari 1 bulan, penurunan berat badan, dan keringat malam
disangkal.Sekarang pasien sudah tidak batuk. Sesak sudah dirasa sejak 8 bulan SMRS dan
berkurang hanya setelah minum obat. BAB dan BAK dalam batas normal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien mengatakan sudah pernah mengalami keluhan yang sama seperti yang
dirasakan sekarang. Keluhan nyeri menelan, sakit tenggorokan, pilek, dan batuk berdahak
warna putih (1 sendok makan setiap batuk) pernah dialami pasien walaupun keluhan
tersebut sering hilang timbul dalam 1 tahun terakhir. Pasien sering mengeluh sesak yang
hilang timbul seperti ini sejak 9 bulan terakhir. Sesak pertama kali dirasakan saat Desember
2015 disertai batuk darah dan belum pengobatan 6 bulan. Keluhan sesak serupa dirasakan
terakhir kali 2 bulan yang lalu dan pasien saat itu dirawat inap karena keluhan ini. Pasien
mengatakan telah didiagnosisPPOK dan rutin kontrol ke poli paru RSML sejak saat itu.
Riwayat penyakit lain seperti asma, flek paru, kencing manis, hipertensi, kanker,
sakit kuning, penyakit ginjal, atau penyakit jantung disangkal oleh pasien. Riwayat alergi
makanan maupun obat-obatan disangkal oleh pasien. Riwayat transfusi darah juga disangkal.
Riwayat Pengobatan:
Pasien mengatakan belum berobat untuk keluhan sekarang.Pasien mengaku sering
mendapat uap dan pengobatan untuk keluhan sesak ini sebelumnya dari dokter di poli RSML.
Riwayat pengobatan 6 bulan disangkal.
Riwayat Keluarga:
Keluarga pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan
yang sama seperti pasien. Pada keluarga pasien juga tidak ditemukan adanya riwayat
penyakitlain seperti asma, flek paru, kencing manis, hipertensi,kanker, penyakit hati, ginjal,
dan jantung.Riwayat alergi makanan maupun obat-obatan disangkal oleh keluarga pasien.
Riwayat Sosial:
Pasien saat ini sudah menikah dan bekerja sebagai seorang Wiraswasta. Pasien tinggal
bersama istri dan anaknya.Riwayat merokok (+) sejak usia 20 tahun dan baru berhenti sejak 2
bulan yang lalu, pasien menghabiskan rokok biasanya sebanyak 1 bungkus dalam sehari.
Pasien tidak mengkonsumsi minuman beralkohol. Pasien tidak menggunakan narkotika baik
obat minum maupun suntik.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Dari pemeriksaan fisik didapatkan:
KU: Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4M6V5
Nadi : 100 kali/menit
Frekuensi napas : 38 kali/menit
Suhu : 360 C
Tekanan darah : 120/79 mmHg
Kepala : normocephali
Mata : edema palpebral -/-, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
THT : faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tenang, uvula di tengah
Mulut : bibir sianosis (-), lidah kotor (-), mukosa mulut dan bibir basah (+)
Leher : JVP tidak meningkat, pembesaran KGB colli (-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi :iktus kordis teraba di linea midclavicula sinistra V,

2 jari kearah medial dari linea midklavikula kiri.

Perkusi : batas jantung normal

Auskultasi : S1-S2 regular, murmur (-), gallop (-)

Paru
Inspeksi : bentuk dada normal, pergerakan dada simetris kanan dan kiri,

retraksi dada +/+, barrel chest (-), sela iga melebar (+)

Palpasi : gerakan napas simetris, fokal fremitus sama +/+

Perkusi : hipersonor di kedua lapang paru

Auskultasi: bunyi napas vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing +/+

Abdomen
Inspeksi : datar

Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak teraba membesar

Perkusi : timpani di semua lapang abdomen, undulasi (-),

nyeri ketok costovertebral angle -/-

Auskultasi: bising usus (+) N

Ekstremitas : akral hangat kering merah, pitting edema -/-, sianosis -/-, CRT >2 detik

3.4 Pemeriksaan Penunjang


a) Laboratorium Darah tanggal 6 September 2016

Hematologi Umum
Hb : 7,4g/dL Eosinophil : 2,9%
Leukosit : 11.100 MCH : 14,2 pg
Hematokrit : 23,2% MCHC : 25,30 g/dL
Trombosit : 386.000 MCV : 56fl
LED 1 : 6 Monosit : 6,8 %
LED 2 : 12 MPV : 3 fl
Eritrosit : 5,21 Neutrophil : 74,2%
Limposit : 14,4% RDW : 18%
Basophil : 1.7%
Serum Elektrolit
Chlorida Serum : 100
Kalium Serum : 3.9
Natrium Serum : 134
Faal Ginjal
Ureum : 28
Kreatinin : 0.5
Faal Hati

SGOT : 35

SGPT :43

Gula Darah
Glukosa sewaktu : 117

Analisa Gas darah

pH : 7,303 Hct : 33,4 %

pCO2 : 74,3 mmHg cHCO3 : 36 mmol/L

pO2 : 327 mmHg Be : 8,5 mmol/L

SO2 : 99,9% Beecf : 9,6 mmol/L

iCa : 1.100 mmol/L


Kesimpulan : Gagal napas tipe 2.

b) Rontgen Thorax AP tanggal 6 September 2016

Interpretasi :

Posisi trakea lurus ditengah


Hilus tidak menebal
Paru : hiperlusen vaskuler pada kedua lapang paru, tak tampak fibroinfiltrat, sinus
phrenicocostalis kanan tumpul dan kiri lancip
Jantung : Posisi jantung normal, cor tampak membesar
Diafragma tidak mendatar
Tulang dan soft tissue tak tampak kelainan
Sela iga tampak melebar
Kesan : cardiomegali + efusi pleura minimal dextra + susp. PPOK

Rontgen Thorax PA yang dibawa pasien saat dirawat inap pertama kali tanggal 18 Juli 2016.
c) EKG
3.5 Diagnosa:
- PPOK
- Gagal napas tipe 2

3.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan di IGD:

o Rawat Inap
o O2 NRM 10 lpm
o Nebul velutin 4cc + bisolvon 10 tetes wh +/+ minimal, keluhan sesak berkurang,
RR 22-24x, SaO2 100%.
o IVFD Asering 1000cc/24 jam
o Pump aminofilin amp bolus lanjut pump 2 amp/24jam
o Inj. Acran (Ranitidin)2x50mg
o Inj. Triject (Ceftriaxon) 2x1 gr
o Inj. Hexilon (Metil prednisolon) 2x125 mg lanjut 3 x 62,5 mg
o Transfusi PRC1 kolf dengan premed inj. Lasix 1 amp iv.

3.7 Rencana Monitoring:


Tanda tanda vital

Keluhan

Cairan keluar dan cairan masuk

DL3 hari sekali

Analisa gas darah 3 hari sekali.

3.8 KIE
Pendidikan
Pasien diedukasi mengenai penyesuaian keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan
perburukan fungsi paru.
Edukasi pasien tentang bahaya rokok dan dampaknya bagi kesehatan.
Penggunaan obat-obatan, macam obat dan jenisnya, cara penggunaannya yang benar,
waktu penggunaan yang tepat, dan dosis obat yang tepat dan efek sampingnya.

Penggunaan oksigen, kapan oksigen harus digunakan, berapa dosisnya, mengetahui


efek samping kelebihan dosis oksigen.
Penilaian dini eksaserbasi akut dan penanganannya, yaitu batuk dan sesak bertambah,
sputum bertambah dan berubah warna.
Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas.

Kontrol

Kegiatan Periode Hasil yang diharapkan


Kontrol ulang Setiap bulan atau saat terjadi Eksaserbasi dapat dicegah
eksaserbasi dan ditangani segera apabila
timbul
Nasihat Setiap kunjungan Mengubah gaya hidup jadi
lebih sehat

Follow up, tanggal 7-9-2016. Hari Rawatan I

S/ Sesak nafas berkurang, batuk berdahak (-), demam (-)

O/ KU: sedang, GCS 456, TD 123/85 mmHg, RR 24 x/menit, nadi: 78 x/menit, SaO2 99%
Pulmo : retraksi dada +/+, penggunaan otot bantu nafas (-), SN vesikuler +/+, wh -/-, rh -/-

Cor : dalam batas normal

Abdomen :dalam batas normal

Ekstremitas : akral HKM, sianosis (-), edema -/-

Hasil DL: Hb : 8,8 Eosinophil : 0,8%

Leukosit : 8.700 MCH : 16,10 pg


Hematokrit : 26,4% MCHC : 27 g/dL
Trombosit : 335.000 MCV : 59,70 fl
LED 1 : 11 Monosit : 1,4 %
LED 2 : 21 MPV : 4 fl
Eritrosit : 5,46 Neutrophil : 89,8%
Limposit : 7,5% RDW : 19 %

Basophil :0,5%

A/ PPOK + gagal napas tipe 2

P/ - O2NRM 8 lpm
- Mobilisasi miring kiri miring kanan
- IVFD Asering 1000cc/24 jam
- Nebulizer ventolin : pulmicort per 8 jam
- Pump aminofilin 2 amp/24jam
- Inj. Acran 2x50mg
- Inj. Triject 2x1 gr
- Inj. Hexilon 3 x 62,5mg
- advis dr. Ganis Sp.P : konsul bagian cardio

Follow up, Tanggal 8-9-2016, Hari Rawatan II

S/ Sesak napas berkurang, batuk (-), demam (-).

O/ KU: sedang, GCS 456, TD 127/84 mmHg, RR 22 x/menit, nadi: 88 x/menit, SaO2 99%

Pulmo: retraksi dada +/+, penggunaan otot bantu nafas (-), SD vesikuler +/+, wh +/-, rh -/-

Cor : dalam batas normal

Abdomen :dalam batas normal


Ekstremitas : akral HKM, sianosis (-), edema -/-

A/ PPOK + gagal napas tipe 2

P/ - O2NK 4 lpm
- Mobilisasi miring kiri miring kanan
- IVFD Asering 1000cc/24 jam
- Nebulizer ventolin : pulmicort per 8 jam
- Pump aminofilin 2 amp/24jam
- Inj. Acran 2x50mg
- Inj. Triject 2x1 gr
- Inj. Hexilon 3 x 62,5mg
- Hasil konsul cardio: Cor pulmonale
EKG: sinus ritme 100 x/menit, axis normal
Echo: EF 82%, normokinetik, RA/RV dilatasi, est. RAP 10 mmHg
Saran: Inj. Furosemid 10mg 0 0
PO: Spirola tab 1 x 50mg, Canderin 8mg 1 x tab

Follow up, Tanggal 9-9-2016, Hari Rawatan III

S/ Sesak napas (-), batuk (-), demam (-).

O/ KU: sedang, GCS 456, TD113/70 mmHg, RR : 20x/menit, nadi: 82 x/menit, SaO2 99%

Pulmo :retraksi dada +/+, penggunaan otot bantu nafas (-), SD vesikuler +/+,wh +/-, rh -/-

Cor : dalam batas normal

Abdomen :dalam batas normal

Ekstremitas : akral HKM, sianosis (-), edema -/-

A/ PPOK + gagal napas tipe 2 + cor pulmonale

P/ - O2NK 2 lpm
- Mobilisasi miring kiri miring kanan
- IVFD Asering 1000cc/24 jam
- Nebulizer ventolin : pulmicort per 8 jam
- Pump aminofilin 2 amp/24jam
- Inj. Acran 2x50mg
- Inj. Triject 2x1 gr
- Inj. Hexilon 3 x 62,5mg
- Inj. Furosemid 10mg 0 0
- PO : Spirola tab 1 x 50mg, Canderin 8mg 1 x tab
Follow up, Tanggal 10-9-2016, Hari Rawatan IV

S/ Sesak napas (-), batuk (-), demam (-).

O/ KU: sedang, GCS 456, TD110/71 mmHg, RR : 20x/menit, nadi: 86 x/menit, SaO2 100%

Pulmo :retraksi dada -/-, penggunaan otot bantu nafas (-), SD vesikuler +/+,wh +/-, rh -/-

Cor : dalam batas normal

Abdomen :dalam batas normal

Ekstremitas : akral HKM, sianosis (-), edema -/-

A/ PPOK + cor pulmonale

P/ - O2room air
- Mobilisasi miring kiri miring kanan
- IVFD Asering 1000cc/24 jam
- Nebulizer ventolin : pulmicort per 8 jam
- Pump aminofilin 2 amp/24jam
- Inj. Acran 2x50mg
- Inj. Triject 2x1 gr
- Inj. Hexilon 3 x 62,5mg
- Inj. Furosemid 10mg 0 0
- PO : Spirola tab 1 x 50mg, Canderin 8mg 1 x tab

Follow up, Tanggal 11-9-2016, Hari Rawatan V

S/ Sesak napas (-), batuk (-).

O/ KU: sedang, GCS 456, TD124/69 mmHg, RR : 20x/menit, nadi: 80 x/menit, SaO2 100%

Pulmo :retraksi dada -/-, penggunaan otot bantu nafas (-), SD vesikuler +/+,wh +/-, rh -/-

Cor : dalam batas normal

Abdomen :dalam batas normal

Ekstremitas : akral HKM, sianosis (-), edema -/-

Hasil DL: Hb : 9,2 Eosinophil : 0,1%

Leukosit : 6.900 MCH : 15,60 pg


Hematokrit : 27,6% MCHC : 26,60 g/dL
Trombosit : 385.000 MCV : 58,50 fl
LED 1 : 2 Monosit : 3,2 %
LED 2 : 5 MPV : 4 fl
Eritrosit : 5,91 Neutrophil : 89,6%
Limposit : 6,2% RDW : 20 %

Basophil :0,9%

A/ PPOK + cor pulmonale

P/ - O2room air
- Mobilisasi miring kiri miring kanan
- IVFD Asering 1000cc/24 jam
- Nebulizer ventolin : pulmicort per 8 jam
- Pump aminofilin 3 amp/24jam
- Inj. Acran 2x50mg
- Inj. Triject 2x1 gr
- Inj. Hexilon 3 x 62,5mg
- Inj. Furosemid 10mg 0 0
- PO : Spirola tab 1 x 50mg, Canderin 8mg 1 x tab

Follow up, Tanggal 12-9-2016, Hari Rawatan VI

S/ Sesak napas (-), batuk (-).

O/ KU: sedang, GCS 456, TD118/78 mmHg, RR : 20x/menit, nadi: 84 x/menit, SaO2 100%

Pulmo :retraksi dada -/-, penggunaan otot bantu nafas (-), SD vesikuler +/+,wh +/-, rh -/-

Cor : dalam batas normal

Abdomen :dalam batas normal

Ekstremitas : akral HKM, sianosis (-), edema -/-

A/ PPOK + cor pulmonale

P/ - acc KRS
- PO : Aminofilin tab 2 x 200 mg a.c
- Cefixime tab 2 x 100 mg
- Metil prednisolon tab 2 x 8 mg
- Spirola tab 1 x 50mg
- Canderin 8mg 1 x tab
- Neurodex 1 x 1 tab
- Kontrol poli paru 1 minggu kemudian.

BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang laki-laki berinisial Sberusia 51 tahun yang beralamat di Lamongandatang ke


RSML dengan keluhan utama sesakyang bertambah berat sejak 20 jam SMRS.Dari
keluhantersebut, yang dapat kita pikirkan adalah gangguan di sistem respirasi/paru, gangguan
di hepar, gagal jantung, dan gangguan ginjal.
1 tahun SMRS, pasien mengeluh batuk, dahak (+) warna putih, 1 sendok makan
setiap batuk.Demam(-).Hal ini menandakan adanya batuk yang kronis.Dalam hal ini dapat
dipikirkan adanya bronkitis kronis dan TB paru.
2 bulan SMRS, pasien mengeluh batuk berdahak semakin sering.Sesak (+) hilang
timbul tidak dipengaruhi suhu dan aktivitas.Nyeri dada disangkal.Sesak jika berjalan jauh dan
dada berdebar disangkal. Terbangun tengah malam karena sesak disangkal. Riwayat bengkak
pada ekstremitas disangkal. Dari hal ini menunjukkan bahwa sesak napas bukan berasal dari
gangguan jantung maupun alergi/asma.
3 hari SMRS pasien mengeluh sesak napas semakin bertambah.Sesak napas tidak
dipengaruhi aktivitas, cuaca, dan emosi.Sesak napas tidak berkurang saat istirahat.Batuk
(-),nyeri dada (-),mual (-),penurunan nafsu makan (+).BAB dan BAK biasa.Dari anamnesis
ini, kemungkinan gangguan hepar dapat disingkirkan karena tidak ada kelainan BAB dan
BAK.Perubahan warna BAK bisa menunjukkan terjadinya gangguan di hepar.
20 jam SMRS pasien mengeluh semakin sesak dan terasa memberat.Sekarang
pasien sudah tidak batuk.Demam (-), nyeri ulu hati (-), mual (-), penurunan nafsu makan (+),
BAB dan BAK biasa.Pasien berobat ke RSML dan dirawat.
Riwayat darah tinggi disangkal, kencing manis disangkal. Riwayat penyakit asma
disangkal. Batuk berdahak lebih dari 1 bulan, penurunan berat badan, dan keringat malam
disangkal.Riwayat minum obat selama 6 bulan disangkal. Riwayat merokok (+)sejak usia 20
tahun dan baru berhenti sejak 2 bulan yang lalu, pasien menghabiskan rokok biasanya
sebanyak 1 bungkus dalam sehari. Pasien tidak mengkonsumsi minuman beralkohol.Riwayat
penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.Dari anamnesis ini, dapat diketahui terdapat
faktor risiko yaitu merokok yang lama untuk timbulnya gangguan pada paru berupa PPOK.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan pasien tampak sakit berat dengan
kesadaran compos mentis. Tekanan darah 120/79 mmHg,nadi: 100x/menit, frekuensi
pernapasan: 38x/menit, Suhu: 36oC, JVP tidak meningkat. Pada pemeriksaan paru, inspeksi
pergerakan dada saat statis dan dinamis simetris kanan sama dengan kiri, barrel chest(-), dan
sela iga yang melebar, retraksi dada +/+.Pada palpasi dada didapatkan gerakan napas simetris,
fokal fremitus sama +/+. Pada perkusi dada didapatkan hipersonor pada kedua lapang paru.
Pada auskultasi, didapatkan bunyi napas vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing +/+.Berdasarkan
pemeriksaan fisik, dapat ditegakkan diagnosis berupa penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK).
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb yang menurun (<8 g/dL),
leukosit dan laju endap darahyang meningkat, menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi
sertaanemia. Pada analisa gas darah didapatkan PCO2 >60 mmHg. Berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, didapatkan PPOK disertai gagal
napas tipe 2. Dapat dipikirkan pula kemungkinan PPOK dengan eksaserbasi akut.
Penatalaksanaanyang diberikan adalah oksigenasi adekuat, nebulisasi,
medikamentosa, dan transfusi PRC.Medikamentosa meliputi bronkodilator, antibiotik,
kortikosteroid, dan vitamin.Prognosis dari PPOK tergantung dari penyebabnya, umur pasien,
dan pengobatan yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

1. GOLD, 2013. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease Updated 2013. Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease, p.10-17.
2. PDPI, 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Persatuan Dokter Paru Indonesia, hal. 1-32.
3. World Health Organization. 2012. Chronic obstructive pulmonary disease fact sheet.
WHO Media Center. Available from: http://www.who.int/mediacentre.Diunduh 10
September 2016.
4. Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J, Busquet X, 2003. Systemic Effect
of COPD, Eur Respir J; 21; p.347-360.
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) diagnosis
dan penatalaksanaan. Edisi ke-1. Jakarta: 2011.
6. Mosenifar, Zab., 2013. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/297664-overview. Diunduh 10 September 2016.
7. Reilly, J.J., Silverman, E.K., Shapiro, S.D., 2010. Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. In: Loscalzo, J., ed. Harrison Pulmonary and Critical Care 17th edition. New
York, USA: Mc-Graw Hill, p.178-189.
8. Vijayan, V.K., 2013. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Indian J Med Res, 137:
p.251-269.
9. Shapiro, S.D., Ingenito, E.P., 2005. The Pathogenesis of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease: Advances in the Past 100 Years. Am J Respir Cell Mol Biol, 32:
p.367-372.
10. Tkac, J., Man, S.F., Sin, D.D., 2007. Systemic Consequences of COPD. Ther Adv
Respir Dis, 1: p.47-59.
11. ATS-ERS, 2004. Standards of Diagnosis and Management of Patients of COPD.
American Thoracic Society and European Respiratory Society, p.14-43.

12. Putra, G.N.W, Artika, I.D.M, 2013.Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Paru
Obstruktif Kronis. E-Jurnal Medika Udayana, 2(1).
13. Omeati, R. 2013Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).Media
Litbangkes 23(2): hal. 82-8.

Anda mungkin juga menyukai