Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistitis adalah suatu penyakit yang merupakan reaksi inflamasi sel-sel
urotelium melapisi kandung kemih. Penyakit ini disebabkan oleh
berkembangbiaknya mikroorganisme di dalam kandung kemih. Infeksi
kandung kemih menunjukkan adanya invasi mikroorganisme dalam kandung
kemih, dapat mengenai laki-laki maupun perempuan semua umur yang
ditunjukkan dengan adanya bakteri didalam urin disebut bakteriuria (Mayo
Clinic, 2012).
Infeksi ini ditemukan pada semua umur, pria dan wanita mulai bayi
baru lahir hingga orang tua. Wanita lebih sering mengalami sistitis dibanding
pria. Kejadian sistitis rata-rata 9.3% pada wanita diatas 65 tahun dan 2.5-11%
pada pria di atas 65 tahun (Nursalam & Fransisca, 2009). Sistitis pada
neonatus banyak terdapat pada laki-laki (2,7%) dibanding bayi perempuan
(0,7%). Insidensi sistitis menjadi terbalik seiring bertambahnya usia, yaitu
pada masa sekolah sistitis pada anak perempuan sekitar 3% sedangkan anak
laki-laki 1,1%. Insidensi sistitis pada usia remaja wanita meningkat 3,3-5,8%
yang akan terus meningkat insidensinya pada usia lanjut (Medlineplus,2014).
B. Tujuan
1. Mengetahui definisi sistitis.
2. Mengetahui penyebab dan faktor pencetus Sistitis.
3. Mengetahui mekanisme terjadinya Sistitis.
4. Mengetahui gejala klinis dari Sistitis.
5. Mengetahui terapi yang diberikan untuk penderita Sistitis.
6. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi akibat Sistitis.

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Sistitis (cystitis) adalah inflamasi akut pada mukosa kandung kemih
akibat infeksi oleh bakteri. Sistitis merupakan inflamasi kandung kemih yang
disebabkan oleh penyebaran infeksi dari uretra (Nursalam & Fransisca, 2009).
Cystitis adalah inflamasi pada vesikaurinaria. Inflamasi vesikaurinaria
ini bisa menimbulkan rasa sakit dan rasa tidak nyaman. Cystitis dapat
disebabkan oleh infeksi bakteri, dan bila infeksinya menyebar sampai ke
ginjal, akan menyebabkan masalah kesehatan yang serius (Mayo Clinic,
2012).
B. Etiologi
Penyebab dari sistitis antara lain: (Lyndon Saputra, 2009).
1. Pada wanita, kebanyakan infeksi kandung kemih diakibatkan oleh infeksi
ascenden yang berasal dari uretra dan seringkali berkaitan dengan aktivitas
seksual.
2. Pada pria, dapat diakibatkan infeksi ascenden dari uretra atau prostat tetapi
agaknya lebih sering bersifat sekunder terhadap kelainan anatomik dari
traktus urinarius.
3. Mungkin berkaitan dengan kelainan kongenital traktus genitourinarius,
seperti bladder neck obstruction, stasis urine, refluks ureter, dan
neurogenic bladder.
4. Lebih sering terjadi pada penderita diabetes.
5. Dapat meningkat pada wanita yang menggunakan kontrasepsi atau
diafragma yang tidak terpasang dengan tepat.
6. Kateterisasi urine mungkin menyebabkan infeksi
Beberapa faktor lain juga dapat menyebabkan cystitis, yaitu (Andrologi,
2014) :
1. Intersitial Cystitis, yaitu cystitis yang idopatik. Intersitial cystitis dianggap
sebagai cedera pada kandung kemih yang mengakibatkan iritasi konstan
dan jarang melibatkan infeksi. kondisi ini sulit untuk didiagnosis dan
diterapi.
2. Obat-obat tertentu dapat menyebabkan cystitis, terutama obat kemoterapi
seperti siklofosfamide dan ifofosfamid.
3. Sinar radiasi pada daerah pelvis juga dapat menyebabkan cystitis karena
dapat menyebabkan inflamasi pada jaringan kandung kemih. Biasanya
muncul 6 bulan sampai 20 tahun setelah terapi radiasi.

2
4. Bahan kimia. Karena beberapa orang mungkin hipersensitive terhadap
bahan-bahan kimia yang terdapat dalam produk tertentu seperti sabun
mandi, cairan pembersih daerah kewanitaan atau jeli spermatisida, dimana
hal tersebut akan menyebabkan terjadinya reaksi alergi pada kandung
kemih sehingga dapat terjadi keradangan.
Cystitis juga bisa disebabkan karena fistula vesikulovaginal dan fistula
vesikuloenterik (fistula yang menghubungkan vesika urinaria dengan usus).
Fistula vesikuloenterik dapat menyebabkan bakteri pembentuk gas dapat
masuk ke dalam vesika urinaria dan tumbuh di sana. Hal ini akan
menyebabkan timbulnya gelembung-gelembung udara di dalam urine
(pneumaturia).
C. Epidemiologi
Secara epidemioligi kejadian ISK pada wanita selama masa remaja dan
usia subur jauh lebih tinggi dibandingkan laki laki, dimana wanita dewasa
berisiko 30 kali lebih tinggi dibanding pria untuk mengalami ISK. Kejadian
ISK pada pria mendekati perempuan pada pria yang berusia lebih dari 60
tahun. Pada pria berusia 65 tahun atau lebih , 10 % telah ditemukan memiliki
bakteriuria, dibandingkan dengan 20 % perempuan dalam kelompok usia ini .
Secara internasional , perbandingan serupa banyak ditemukan di
negara-negara maju. Namun di negara-negara berkembang di mana laki-laki
memiliki masa hidup yang lebih pendek , kejadian ISK akibat hipertrofi
prostat lebih rendah .
Remaja laki laki jarang terkena ISK dan prevalensi bacteruria hanya
0,1 % atau kurang. Pada neonatus, ISK lebih sering terjadi pada anak laki-laki
dari pada anak perempuan (dengan rasio laki laki : perempuan = 1,5 : 1) dan
ini sering menjadi bagian dari sindrom sepsis gram negatif. Insiden kumulatif
gejala ISK ( termasuk pielonefritis ) anak laki-laki selama 10 tahun pertama
kehidupan telah dilaporkan di 1,1-1,6 %
Kejadian ISK murni pada pria dewasa muda yang berumur kurang dari
50 tahun (sekitar 5-8 per tahun per 10.000). Dalam populasi ini, gejala disuria
atau frekuensi kencing biasanya karena penyakit infeksi menular seksual yang
berhubungan dengan uretra (misalnya , gonokokal uretritis dan
nongonococcal) dan prostat .

3
Pada pria yang lebih tua dari 50 tahun, kejadian ISK meningkat secara
drastis (sekitar 20-50 % prevalensi) hal ini dikarenakan karena pembesaran
prostat, kelemahan , dan instrumentasi dari saluran kemih . Spektrum agen
penyebab juga agak lebih luas di kalangan lanjut usia ( Sudoyo, Setiyohadi, et
al, 2009).
D. Faktor Risiko (Lyndon Saputra, 2009)
a. Panjang urethra. Wanita mempunyai urethra yang lebih pendek
dibandingkan pria sehingga lebih mudah.
b. Faktor usia. Orang tua lebih mudah terkena dibanndingkan dengan usia
yang lebih muda.
c. Wanita hamil lebih mudah terkena oenyakit ini karena penaruh hormonal
ketika kehamilan yang menyebabkan perubahan pada fungsi ginjal
dibandingkan sebelum kehamilan.
d. Faktor hormonal seperti menopause. Wanita pada masa menopause lebih
rentan terkena karena selaput mukosa yang tergantung pada esterogen
yang dapat berfungsi sebagai pelindung.
e. Gangguan pada anatomi dan fisiologis urin. Sifat urin yang asam dapat
menjadi antibakteri alami tetapi apabila terjadi gangguan dapat
menyebabkan menurunnya pertahanan terhadap kontaminasi bakteri.
f. Penderita diabetes, orang yang menderita cedera korda spinalis, atau
menggunakan kateter dapat mengalami peningkatan resiko infeksi.
E. Tanda dan Gejala
1. Berikut ini adalah tanda dan gejala dari Cystitis (Fauci, Braunwald, et al,
2008) :
a. Gejala Disuria
b. Sering kencing (polakisuria)
c. Urgensi
d. Nyeri suprapubik
e. Mual muntah
f. Demam
g. Nyeri costovertebral
h. Stranguria (kencing pelan dan nyeri yang disebabkan karena spasme
otot dari urethra dan vesika urinaria) ( Sudoyo, Setiyohadi, et al, 2009).
2. Tanda (Brusch, et al,2014)) :
a. Urine berkabut dan berbau busuk
b. Urine berdarah (pada hemorrhagic cystitis
c. Nyeri tekan suprapubik
d. Flank pain
F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis

4
Dari anamnesis akan didapatkan Keluhan seperti demam, susah
buang air kecil, nyeri saat diakhir BAK (disuria terminal), sering BAK
(polakisuria), nokturia, anyang-anyangan, nyeri pinggang dan nyeri
suprapubik. Selain itu juga dapat didapatkan adanya riwayat diabetes
melitus, riwayat kencing batu (urolitiasis), higiene pribadi buruk, riwayat
keputihan, kehamilan, riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya, riwayat
pemakaian kontrasepsi diafrahma, kebiasaan menahan kencing, hubungan
seksual, dan anomali struktur saluran kemih (Sudoyo, Setiyohadi, et al,
2009).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan tentang
keadaan umum pasien dan pemeriksaan urologi. Hal ini dilakukan karena
sering kelainan di bidang urologi memberikan manifestasi penyakit yang
sistemik atau kebalikannya. Tetapi khusus pada kasus ini menitikberatkan
pada pemeriksaan sistem saluran kemih bagian bawah. Pada pemeriksaan
fisik akan didapatkan :
a. Nyeri didaerah supapubik
b. Nyeri di bagian punggung sebelah bawah
c. Pemeriksaan fisik pada daerah suprapubik, kadang tampak teraba
mencembung karena urin yang kadang sulit dikeluarkan
d. Vital sign normal, kecuali suhu tubuh biasanya subfebril sampai febril
(Sudoyo, Setiyohadi, et al, 2009).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan urin rutin atau sedimen urin.
e. Kadang didapatkan bakteri (+), jumlah leukosit atau eritrosit yang
meningkat, sedimen urin: silinder hyaline, silinder eritrosit positif.
Pemeriksaan makroskopis didapatkan urin berwarna keruh dan berbau
(Sudoyo, Setiyohadi, et al, 2009).
b. Urinalisis
Piuria dan bakteriuria dapat tanpa maupun disertai hematuria dan
leukosituria. Hitung bakteri bermakna : > 105 unit koloni/ml pada
perempuan yang asimtomatik > 103 unit koloni/ml pada laki-laki > 102
unit koloni/ml pada pasien simtomatik atau dengan kateter piuria steril
(urethritis, tuberculosis ginjal, benda asing) (Sudoyo, Setiyohadi, et al,
2009).
c. Leukosit esterase

5
Leukosit esterase merupakan pemeriksaan secara semikuantitatif
menandakan bahwa sistitis ditunjukkan kadar leukosit esterase positif
setara dengan adanya sel leukosit di urin (leukosituria) > 10 sel/LPB.
Hasil pemeriksaan leukosit esterase bila positif +1 (25 leukosit/uL), +2
(75 leukosit/uL), +3 (100 leukosit/uL) dimana 1 laukosit/LPB sepadan
dengan 10 sel/uL (Sudoyo, Setiyohadi, et al, 2009).
d. Kultur dengan pewarnaan gram urin (dari urin porsi tengah atau
spesimen langsung dari kateter)
Pada perempuan hamil dan pasien yang menjalani pembedahan
urologi dilakukan skrining terhadap bakteriuria asimptomatik dengan
kultur darah. Pertimbangan pada sistitis dengan komplikasi yaitu
dengan kultur terhadap Clamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae
pada pasien yang kegiatan seksualnya aktif atau pada piuria steril.
Spesimen bisa didapatkan dari urin porsi pertama dan porsi tengah,
pemijatan prostat dan specimen urin. Pasca pijatan prostat dilakukan
pada kasus-kasus kecurigaan prostatitis (Brusch, et al, 2014)
G. Patogenesis
Patogenesis bakteriuri asimptomatik dapat menjadi bakteriuri
simptomatik tergantung dari patogenitas bakteri dan status pasien sendiri
(host).
1. Peranan Patogenitas Bakteri
Bakteri usus yang paling sering menyebabkan ISK adalah
E.coli, dimana patogenitasnya ini berhubungan dengan bagian
permukaan sel polisakarida dan lipopolisakarida (LPS). E.coli juga
memiliki faktor virulensi yang dikenal sebagai virulence
determinalis yaitu :
Tabel 1.Faktor Virulensi E.Coli (Sudoyo, Setiyohadi et al, 2009)
Penentuvirulensi Alur
Fimbrae Adesi
Pembentuk jaringan ikat (scarring)
Kapsul antigen K Resistensi terhadap pertahanan
tubuh
Perlengketan (attachment)
Lipopolisakarida side Resistensi terhadap fagositosis
chain (antigen O)

6
Lipid A (endotoksin) Inhibisi peristaltic usus
Pro-inflamasi
Membrane protein Resistensi antibiotic
lainnya Kemungkinan perlengketan
Hemolysin Inhibisi fungsi fagosit
Sekuestrasibesi
Sedangkan untuk bakteri pathogen yang berasal dari urin
(urinary pathogen) dapat menyebabkan sign & symptom ISK
tergantung dari perlengketan mukosa oleh bakteri, factor virulensi
dan variasi fase faktorvirulensi.
Peranan bacterial attachment of the mucosa. Fimbrae
(proteinaceous hair like projection from the bacterial surface)
merupakan salah satu pelengkap patogenesitas yang memiliki
kemampuan untuk melekat pada mukosa saluran kemih.
Peranan factor virulensi lainnya. Sifat patogenitas E.coli yang
lain adalah toksin. Beberapa toxinnya adalah -hemolysin, cytotoxic
necrotizing factor-1 (CNF-1) dan iron uptake system (aerobactin dan
enterobactin). Beberapa peneliti mengatakan mikroorganisme yang
uropatogenik ditandai dengan ekspresi factor virulensi ganda.
Beberapa sifat uropatogenik mikroorganisme adalah resistensi
serum, sekuestrasibesi, pembentukan hidroksat dan antigen K yang
biasanya muncul mendahului sign & symptom ISK. Gen virulensi
tersebut dipengaruhi oleh factor luar seperti suhu, ion besi,
osmolaritas, pH dan tekanan oksigen. Penelitian Johnson
mengungkapkan bahwa virulensi yang menjadi penyebab dari ISK
terdiri dari fimbriae type 1 (58%), P-fimbrae (24%), aerobactin
(38%), haemolysin (20%), antigen K(22%), resistensi serum (25%)
dan antigen O (28%).
Variase fase faktor virulensi. Virulensi suatu bakteri ditandai
dengan kemampuan untuk mengalami suatu perubahan sesuai
dengan respon terhadap faktor luar. Variasi fase virulensi ini
menunjukkan bahwa beberapa penentu virulensi bervariasi di antara
individu dan lokasi saluran kemih.
2. Peranan Faktor Host

7
Faktor predisposisi pencetus ISK. Faktor bakteri dan keadaan
saluran kemih pasien mempunyai peranan yang penting dalam
kolonisasi bakteri di saluran kemih. Hal ini didukung dari hasil
penelitian epidemiologi. Kolonisasi bakteri sering mengalami
eksaserbasi apabila terdapat kelainan struktur anatomi saluran
kemih. Contohnya adalah dilatasi dari saluran kemih tanpa obstruksi
dapat menyebabkan gangguan klirens urin dan meningkatkan
kepekaan terhadap terjadinya infeksi.
Status immunologis pasien. Dari penelitian laboratorium
didapatkan bahwa golongan darah dan status secretor (sekresi
antigen darah yang larut dalam air dan beberapa kelas
immunoglobulin) mempunyai kontribusi terhadap kepekaan terhadap
terjadinya ISK. Prevalensi ISK juga meningkat pada golongan darah
AB, B dan PI (antigen terhadap suatu tipe fimbrae bakteri) dan
dengan fenotipe golongan darah Lewis. Pada pasien dengan struktur
anatomis yang normal, kepekaan ISK rekurennya lebih besar pada
pasien dengan antigen darah non sekretorik daripada sekretorik.
Tabel 2. Faktor-faktor yang Meningkatkan Kepekaan Terhadap Infeksi Saluran
Kemih (ISK) (Sudoyo, Setiyohadi et al, 2009).
Genetik Biologis Perilaku Lainnya
Status non- Kelainan Senggama Operasi
sekretorik congenital urogenital
Antigen Urinary tract Penggunaan Terapi
golongan obstruction kondom, estrogen
darah ABO Riwayat spermisida
infeksi saluran
kemih
sebelumnya
Diabetes
Inkontinensia

8
H. Patofisiologi (Sudoyo, Setiyohadi et al, 2009)

I.

Gambaran Histopatologi
Gambar 1. H.E. 250 kemacetan vaskular mukosa urothelial dengan peradangan
menyusup terdiri terutama eosinofil , menunjukkan sistitis eosinophilic (Mallat
dkk, 2013)
J. Tata Laksana
1. Terapi Lama
Terapi dosis tunggal untuk cystitis tanpa komplikasi adalah efektif.
Terapi pilihannya terdiri dari sulfisoksazol (Gantrisin), 2 g; trimetrophim

9
480 mg dan sulfametoksazol 2400 mg (Bactrim DS atau Septra DS 3
tablet; atau amoksisilin 3g.
Gejala jenis cystitis tanpa komplikasi yang tidak responsif terhadap
terapi dosis tunggal merupakan indikasi pengobatan selama 7-10 hari
engan tetrasiklin 500 mg 4 kali sehari; doksisiklin 100 mg 2 kali sehari;
atau trimetrophin/sulfametoksazol 160/800 mg 2 kali sehari.
Terapi dosis tunggal tidak diberikan pada pria atau wanita hamil
yang ditandai tanda-tanda yang melibatkan ginjal. Obat yang dapat
diberikan adalah antibiotik selama 10 hari, contoh obatnya adalah
sulfisokzazol 1 g 4 kali sehari. Selain itu dapat diberikan nitrofurantoin 50-
100mg 4 kali sehari dan asam naliksiat 1 g 4 kali sehari (Michael Eliastam,
et al., 1998).

2. Terapi Baru
a. Non medika mentosa
1) Minum air putih minimal 2 liter/hari bila fungsi ginjal normal
2) Menjaga higienitas genitalia eksterna. Edukasi tentang penyebab dan
faktor risiko penyakit infeksi saluran kemih. Penyebab infeksi
saluran kemih yang paling sering adalah karena masuknya flora anus
ke kandung kemih melalui perilaku/higiene pribadi yang kurang
baik.
3) Pada saat pengobatan infeksi saluran kemih, diharapkan tidak
berhubungan seks.
4) Waspada terhadap tanda-tanda infeksi saluran kemih bagian atas
(nyeri pinggang) dan pentingnya untuk kontrol kembali.
5) Patuh dalam pengobatan antibiotik yang telah direncanakan.
6) Menjaga kesehatan pribadi-lingkungan dan higiene pribadi-
lingkungan.
b. Medika Mentosa
Cystitis ringan dapat sembuh dalam 4-9 hari tanpa pengobatan.
Tapi apabila terjadi infeksi bakteri berat, maka dapat menimbulkan
manifestasi seperti demam, dan nyeri perut, dan kondisi ini memerlukan
pengobatan dengan menggunakan antibiotic. Pemilihan antibiotic
sebaiknya berdasarkan hasil kultur urine.
Trimetrophin/sulfametoksazol, Nitrofurantion, dan
fluoroquinolones sangat efektif untuk melawan hampir seluruh

10
pathogen yang menyebabkan cystitis. Trimetrophin/sulfametoksazol
dan nitrofurantion direkomendasikan untuk pengobatan pada cystitis
tanpa komplikasi. Bagaimana pun juga, diperkirakan adanya resisten
trimetrophin/sulfametoksazol oleh E. coli pada cystitis tanpa
komplikasi sekitar 20%, dibandingkan dengan nitrofuantion yang hanya
sekitar<2% . Sehingga trimetrophin/sulfametoksazol lebih
direkomendasikan pada area dengan prevalensi resistensi E.coli
terhadap trimetrophin/sulfametoksazol <20%. Pada dewasa dan anak-
anak durasi pengobatan sekitar 3-5 hari. Terapi yang lebih lama tidak di
perlukan. Terapi single dose pada reccurent cystitis kuranglah efektif.
Jika ingin menggunakan single-dose, Fluoroquinolones dengan half-
lives yang lebih panjang lebih cocok untuk terapi single-dose.
Pemberian antibiotik golongan flurokuinolon dengan durasi 7-10 hari
pada perempuan dan 10-14 hari pada laki-laki. Resistensi terhadap
penicillins dan aminopenicillins sangatlah tinggi sehingga tidak
direkomendasikan (Wein, Kavoussi et al, 2010).
K. Komplikasi
Jika cystitis diobati secara cepat dan tepat, sangat jarang terjadi
komplikasi, tetapi pada kasus yang tidak di obati, dapat terjadi komplikasi
serius seperti ( Sudoyo, Setiyohadi, et al, 2009):
a. Infeksi ginjal
Cystitis yang tidak diobati dapat menyebabkan infeksi ginjal yang disebut
pyelonephritis, infeksi ginjal dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
permanen dari ginjal. Pada anak-anak dan dewasa muda lebih beresiko
terjadi kerusakan di ginjal dikarenakan gejalanya sering tidak terlihat.
b. Hematuria
Pada cystitis, akan tampak sel darah merah di urine dengan penglihatan
dibawah microskop (microskopik hematuri) dan biasanya hilang dengan
pengobatan. Hematuri macros jarang pada cystitis bakteri.
c. Gagal ginjal
d. Sepsis
e. Inkotinensia urine
f. ISK berulang atau kronik kekambuhan
L. Prognosis

11
Kebanyakan kasus dari cystitis menimbulkan rasa tidak nyaman namun
akan sembuh tanpa komplikasi setelah pengobatan (Medlineplus,2014).

12
III. KESIMPULAN

1. Sistitis adalah inflamasi akut pada mukosa kandung kemih akibat infeksi
oleh bakteri.
2. Banyak faktor penyebab dari sistitis antara lain jenis kelamin, riwayat
penyakit sebelumnya, life style, dan riwayat pengobatan maupun
tindakan medis.
3. Sistitis lebih sering menyerang wanita dibandingkan pria.
4. Gejala utama dari sistitis adalah disuria, polakisuria, urgensi, nyeri
suprapubik, mual, muntah, demam, nyeri costovertebra, dan stranguria.
5. Terapi dari sistitis tergantung dari tingkatan gejalanya, jika ringan dapat
sembuh dengan sendirinya, jika manifestasi klinis lebih berat dapat
diberikan terapi antibiotik.
6. Komplikasi dari sistitis tergantung dari beratnya infeksi yang dialami
bahkan bisa sampai mengalami gagal ginjal.

13
DAFTAR PUSTAKA

Andrologi. 2014.RadangKandungKemih.Metropole Hospital Jakarta


<http://andrologi.wordpress.com/category/andrologi/radang-kandung-
kemih-andrologi/>
Brusch, John L, Bavaro, Mary F, et al. 2014.Cystitis in Females. Medscape
<http://emedicine.medscape.com/article/233101-overview>
Eliastam , Michael et al .1998. Penuntun Kearuratan Medis. Jakarta : EGC
Fauci, Braunwald et al. 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine,
17th edition.United States : McGraw-Hill
Hanno, M. 2007.Painful Bladder Syndrome/Interstitial Cystitis and Related
Disorders. Omnia Mea.<http://med-
stud.narod.ru/med/urology/pbs.html>
F. Mallat, W. Hmida, S. Mestiri, et al. 2013. Eosinophilic Cystitis with
Eosinophilic Cholecystitis: A Rare Association. Case Rep Urology.
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3806378/>
Mayo Clinic. 2012. Disease and Condition : Cystitis,
<http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/cystitis/basics/prevention/con-20024076>
MedlinePlus. 2014. Cystitis Acute.<http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/cystitis/basics/prevention/con-20024076>
Tanagho, Emil A, McAninch, Jack W. 2006. Smiths General Urology, 17th
edition.United States :McGraw-Hill
Seed, Patrick. 2013. Duke University Medical Center : Center for Microbial
Pathogenesis. Duke Bacteriology Research Unit
<http://mgm.duke.edu/microbial/bacteriology/seed/>
Sudoyo, Aru W, Setiyohadi, Bambang, et al. 2009.Buku Ajar
IlmuPenyakitDalam, Edisi 5. Jakarta: InternaPublishing,
Svanborg, Catarina, Lutay, Nataliya et al. 2011.Genetic Innate Immunity
and UTI Susceptibility. Nature Publishing Group <
http://www.nature.com/nrurol/journal/v8/n8/fig_tab/nrurol.2011.100_
F1.html>
Tilak, Justin, Chaudry Sultan, Wong, Eric. 2011.Urinary Tract Infection
(UTI). McMaster Pathophysiology Review
<http://www.pathophys.org/uti/>
Wein, Alan J, Kavoussi, Louis R et al. 2007. Campbell-Walsh Urology,
Ninth edition. United States :McGraw-Hill.

14

Anda mungkin juga menyukai