Anda di halaman 1dari 124

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan
sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.1
Tuberkulosis masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di
dunia. Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2
juta manusia. Di semua negara telah terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di
Afrika sebesar 30%, Asia sebesar 55%, dan untuk China dan India secara tersendiri
sebesar 35% dari semua kasus tuberkulosis.2
Estimasi prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar 660.000
dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian
akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahun. Selain itu, kasus resistensi
merupakan tantangan baru dalam program penanggulangan TB. Pencegahan
meningkatnya kasus TB yang resistensi obat menjadi prioritas penting.3
Resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terlebih lagi multi& drug &
resistant tuberculosis & (MDR TB) telah menjadi masalah kesehatan yang serius di
beberapa negara, termasuk Indonesia.4 Laporan WHO tahun 2007 menyatakan
persentase resistensi primer di seluruh dunia telah terjadi poliresistensi 17,0%,
monoresistensi terdapat 10,3%, dan Tuberculosis - Multidrug Resistant (TB-MDR)
sebesar 2,9 %. Sedangkan di Indonesia resistensi primer jenis MDR terjadi sebesar
2%.4,5
Kasus TB dengan resistensi OAT merupakan kasus yang sulit
ditangani, membutuhkan biaya yang lebih besar, efek samping obat
yang lebih banyak dengan hasil pengobatan yang kurang memuaskan.
TB dengan resistensi OAT ini terutama berhubungan dengan riwayat
pengobatan sebelumnya yang tidak adekuat. Pada pasien yang memiliki
riwayat pengobatan TB sebelumnya kemungkinan terjadi resistensi
sebesar 4 kali lipat sedangkan terjadinya MDR TB sebesar 10 kali lipat.6
Data di Indonesia menyatakan pada TB kasus baru didapatkan MDR TB
2% dan kasus TB yang telah diobati didapatkan 19%. 7
Resistensi obat pada kasus TB adalah masalah yang mendapat
perhatian besar dalam program penanggulangan TB oleh karena
beberapa strain MDRTB yang sulit diobati. Strain ini mendapat perhatian
oleh karena dapat menyebar di seluruh dunia, menekankan perlunya
peningkatan program kontrol, seperti metode diagnostik baru, obat
obatan yang lebih efektif dan penemuan vaksin yang lebih efektif. 8 Pasien
dengan MDR-TB membutuhkan pengobatan lebih lama dengan obat yang
sebenarnya kurang efektif namun lebih toksik. Oleh karena itu sangat
penting untuk membedakan diagnosis MDR-TB dengan resistensi lain
dengan melakukan kultur mikobakterium dan uji sensitifitas karena
implikasi terapi yang berbeda.9
Penyebaran TB-MDR telah meningkat oleh karena lemahnya
program pengendalian TB, kurangnya sumber dana dan isolasi yang tidak
adekuat, tindakan pemakaian ventilasi dan keterlambatan dalam
menegakkan diagnosis suatu TB-MDR.10
Angka resistensi/TB-MDR paru dipengaruhi oleh kinerja program
penanggulangan TBC paru di kabupaten setempat/kota setempat
terutama ketepatan diagnosis mikroskopik untuk menetapkan kasus
dengan BTA (+), dan penanganan kasus termasuk peran Pengawas
Menelan Obat (PMO) yang dapat berpengaruh pada tingkat kepatuhan
penderita untuk minum obat. Faktor lain yang mempengaruhi angka
resistensi/ MDR adalah ketersediaan OAT yang cukup dan berkualitas
ataupun adanya OAT yang digunakan untuk terapi selain TBC.11
Resistensi ganda merupakan hambatan dan menjadi masalah yang
paling besar terhadap program pencegahan dan pemberantasan TB
dunia. Angka kesembuhanpada pengobatan TB-MDR relatif lebih rendah,
disamping itu lebih sulit, mahal dan lebih banyak efek samping yang akan
ditimbulkannya. Masalah lain, penyebaran resistensi obat di berbagai
negara sering tidak diketahui serta penatalaksanaan penderita TB-MDR
tidak adekuat.12

Oleh karena itu sangat diperlukan strategi penatalaksanaan yang


tepat pada kasus TB dengan resistensi OAT agar tidak berlanjut menjadi
extensively drug& resistant tuberculosis & (XDR TB).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri yang menular
dan disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang ditandai dengan
pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Penyakit
tuberculosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar ke
hampir seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus
limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan.
Individu kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau
ketidakefektifan respon imun. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat
Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup
terutama di paru/berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial
tinggi. Kuman Tuberkulosis berbentuk batang, mempunyai sifat khusus
yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula
sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat
yang gelap dan lembab.

TB dengan resistensi terjadi dimana basil Mycobacterium tuberculosis resisten


terhadap rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya. TB resistensi
dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer yaitu
resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapat OAT sebelumnya.
Resistensi primer ini dijumpai khususnya pada pasien-pasien dengan positif HIV.
Sedangkan resistensi sekunder yaitu resistensi yang didapat selama terapi pada orang
yang sebelumnya sensitif obat.13
Berdasarkan Guideline for the programmatic management of drug resistant
tuberculosis: emergency update oleh WHO 2008 resisten terhadap OAT dinyatakan
bila hasil pemerikaan laboratorium menunjukkan adanya pertumbuhan M.
tuberculosis in vitro saat terdapat satu atau lebih OAT. Terdapat empat jenis kategori
resistensi OAT, yaitu:5
a. Mono resisten, yakni resisten teradapat satu OAT lini pertama
b. Poli resisten, yakni resisten terhadap lebih dari satu OAT lini pertama selain
kombinasi isoniazid dan rifampicin
c. Multi Drug Resistant (MDR), yakni resisten terhadap sekurang-kurangnya
isoniazid dan rifampisin
d. Extensivel drug resistant (XDR), yakni MDR TB ditambah kekebalan
terhadap salah satu obat golongan fluoroquinolon dan sedikitnya salah satu
dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamiin, dan amikasin)

2.1 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan dunia yang penting
khususnya di negara berkembang. Pada bulan Maret tahun 1993 World Health
Organization (WHO) telah mendeklarasikan tuberkulosis sebagai Global
Health Emergency. Berdasarkan laporan Penanggulangan TB Global yang
dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2007, angka insidensi TB pada tahun 2007
mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya
diperkirakan merupakan kasus baru. Asia termasuk kawasan dengan
penyebaran tuberkulosis (TB) tertinggi di dunia sebesar 33%. Setiap 30 detik,
ada satu pasien di Asia meninggal dunia akibat penyakit ini.2,3,4
Indonesia adalah negara dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia
setelah Cina dan India Perkiraan kejadian BTA positif di Indonesia adalah
266.000 kasus tahun 1998. TB menempati peringkat nomor 3 sebagai
penyebab kematian teringgi di Indonesia setelah penyakit jantung dan penyakit
pernafasan akut pada seluruh kalangan usia.2
Kejadian MDR TB tidak merata di seluruh belahan dunia. Dari laporan survei
yang dilakukan WHO tahun 1994 -1999 diperkirakan 70 % kasus baru MDR TB
terjadi hanya pada 10 negara, sehingga kasus MDR TB ini lebih dianggap menjadi
masalah lokal. Sedangkan laporan yang dibuat oleh International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) yang melakukan survei pada tahun 1994
-1997 terhadap 35 negara, dijumpai bahwa resistensi obat anti tuberkulosis terdapat
di seluruh negara yang disurvei. Hal ini mengarahkan bahwa kasus MDR-TB ini
merupakan masalah global.22 Survei yang dilakukan pada 54 negara antara tahun
1996 -1999 didapatkan bahwa angka resistensi tertinggi dijumpai di Estonia (36,9%),
diikuti oleh propinsi Henan di Cina (35%), Ivanovo Oblast di Federasi Rusia (32,4%)
dan Latvia (29,9%).15
Tahun 2000 di negara Jerman dijumpai angka resistensi sebesar
8,7%. Beberapa negara yang menjadi hot spot MDR-TB mempunyai
angka prevalensi MDR-TB yang tinggi dan dapat mengancam
keberhasilan program penanggulangan MDR-TB. Negara yang termasuk
di dalamnya adalah Estonia, Latvia di Eropa; Argentina dan Repoblik
Dominika di Amerika; serta Cote dIvoire di Afrika. Penelitian yang
dilakukan oleh Tsao dkk. di Chang Gung Memorial Hospital Taiwan pada
tahun1992-1996 didapatkan 28%-29% resisten terhadap paling sedikit
dua jenis obat. Penelitian yang dilakukan oleh Alicia dkk. di Pilipina
tahun 1999 didapatkan angka resistensi sebesar 17,6%, termasuk
14,9% terhadap isoniazid, 4,3% terhadap rifampisin, 6,4% terhadap
streptomisin dan 1,1% terhadap etambutol dan pirazinamid, sedangkan
angka MDR-TB didapatkan 4,3%. Penelitian terbaru yang dilakukan di
Gujarat India didapatkan angka MDR TB sebesar 35,2%. 15

2.2 Etiologi
Mikobakterium tipe humanus dan tipe bovinus adalah mikobakterium
yang paling banyak menyebabkan penyakit tuberkulosis. Kuman ini berbentuk
batang, bersifat aerob, dinding sel mengandung; lipid, fosfatida polisakarida,
tuberkulo protein, mudah mati pada air mendidih (5 menit pada suhu 800C,
dan 20 menit pada suhu 600C), dan apabila terkena sinar ultraviolet (matahari).
Basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu kamar dan ruangan
yang lembab. Ia mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan, oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA).1,4,5
2.3 Cara Penularan
Penularan penyakit ini melalui inhalasi droplet khususnya yang didapat
dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung
BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke
udara dalam bentuk droplet (percikan Dahak). Orang dapat terinfeksi kalau
droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Dalam 1 tahun, 1
penderita TB BTA positif menularkan 10-15 orang. Selama kuman TB masuk
kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat
menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, salura napas,atau penyebaran langsung kebagian-bagian
tubuh lainnya.1,5,6
Risiko mendapat infeksi Mycobacterium tuberculosis ditentukan
terutama oleh faktor-faktor eksogen :3
a. Kontak dengan penderita BTA positif (seberapa dekat dan seberapa lama)
b. Lingkungan tempat kontak (lingkungan yang padat dan ventilasi ruang
yang buruk)
Sedangkan faktor-faktor endogen :3
a. Daya tahan tubuh
b. Usia
c. Penyakit penyerta (infeksi HIV, silikosis, limfoma, leukemia, malnutrisi,
gagal ginjal kronis, diabetes melitus, orang dengan terapi imunosupresif
dan hemophilia)
Gambar 2.1 Faktor risiko kejadian tuberculosis paru 2
2.4 Patogenesis
2.4.1 Tuberkulosis Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan ke alveolus dan
menetap di sana. Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak
dalam sitoplasma makrofag. Di sini kuman dapat terbawa masuk ke organ
tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang
tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut kompleks primer atau fokus Ghon.
Kompleks primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Waktu antara
terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 3-8 minggu.1-4
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi
tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer
tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh
(imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat
menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa
kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-
kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman,
akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita
Tuberkulosis.3,4,6
Kompleks primer tersebut selanjutnya dapat menjadi:2
1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang paling sering
terjadi.
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus dan 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi
karena kuman yang dormant.
3. Berkomplikasi dan menyebar secara :
a. Per kontinuitatum, yakni menyebar kesekitarnya
b. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di
sebelahnya. Kuman ini juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus.
c. Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya
d. Secara limfogen.
2.4.2 Tuberkulosis Post Primer (Sekunder)
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-
tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa
(tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas
reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas
menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS dan
gagal ginjal. Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dari sarang dini yang
berlokasi di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau
inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus
hiler paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil.
Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang
terdiri dari sel-sel histiosit dan sel Datia-Langhans yang dikelilingi oleh sel-sel
limfosit dan berbagai jaringan ikat.1-4
Sarang dini pada tuberkulosis sekunder ini akan mngikuti salah satu jalan
sebagai berikut:2-4
1. Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan
dengan serbukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran
dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersubut dapat
menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan
menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang tersebut meluas, membentuk jaringan keju. Kavitas akan muncul
dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas awalnya berdinding
tipis, kemudian dindinganya akan menjadi tebal (kavitas sklerotik).
Kavitas tersebut akan menjadi:
a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang baru.
b. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan sembuh, dan
mungkin aktif kembali, mencair lagi dan terus menjadi kavitas lagi.
c. Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kavitas
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kavitas yang terbungkus dan menciut
sehingga kelihatan seperti bintang.

2.5

Klasifikasi
TB paru diklasifkasikan atas:2,7
a. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
1. TB paru BTA(+)
2. TB paru BTA (-)
b. Berdasarkan lokasi
1. TB paru
2. TB extra paru
c. Berdasarkan tipe pasien
1. Kasus baru, bila pasien belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan obat kurang dari satu bulan.
2. Kasus relaps (kambuh), bila pasien sebelumnya pernah mendapat
pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan sputum BTA
(+).
3. Kasus defaulted atau drop out , bila pasien telah menjalani pengobatan
1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatan selesai.
4. Kasus gagal, bila pasien BTA positif yang masif tetap positif atau kembali
positif pada akhir bulan ke 5 atau akhir pengobatan.
5. Kasus kronik, bila pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan
pengawasan yang baik.
6. Kasus bekas TB, bila hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran
radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif.

Seseorang akan terinfeksi kuman TB kalau dia menghirup droplet yang


mengandung kuman TB yang masih hidup dan kuman tersebut mencapai alveoli
paru (catatan: Seseorang yang terinfeksi biasanya asymptomatic/tanpa gejala).
Sekali kuman tersebut mencapai paru maka kuman ini akan ditangkap oleh
makrofag dan selanjutnya dapat tersebar ke seluruh tubuh. Jika seorang anak
terinfeksi TB, dia pasti sudah mengalami kontak cukup lama dengan orang yang
menderita TB. Orang yang terinfeksi kuman TB dapat menjadi sakit TB bila
kondisi daya tahan tubuhnya menurun. Sebagian dari kuman TB akan tetap
tinggal dormant dan tetap hidup sampai bertahun-tahun dalam tubuh manusia.
Hal ini dikenal sebagai infeksi TB laten.
Paru merupakan port dentre dari 98% kasus infeksi TB. Seseorang dengan
infeksi TB laten tidak mempunyai gejala TB aktif dan tidak menular.Kuman TB
dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 m), akan
terhirup dan dapat mencapai alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak
terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya,
tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang
tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan
akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi
di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.1,2,3, 8
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary
complex). 1,3
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB bervariasi selama 212 minggu, biasanya berlangsung selama 48
minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga
mencapai jumlah 10 10 , yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
3 4

imunitas selular.1,3
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk,
yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein,
yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif.
Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat
sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi,
sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas
selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
1,3

Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya


akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga
akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB.1,3
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau
di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau
paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan membesar
karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan
hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve
mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan
erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk
fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai
lesi segmental kolaps-konsolidasi. 3
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut
menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik. 1
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ
di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling
sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada
umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),
demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.1
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul
dalam waktu 26 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung
pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun
pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun
(balita) terutama di bawah dua tahun. 1
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding
vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman
TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat
penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized
hematogenic spread1

2.6 Gejala Klinis


Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu gejala
lokal (repiratorik) dan gejala sistemik.
a. Gejala Respiratorik2,3,8
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi.

1. Batuk
a Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus.
Batuk 2 minggu dan mula-mula terjadi oleh karena iritasi bronkus,
selanjutnya akibat adanya peradangan pada bronkus batuk akan menjadi
produktif. Batuk produktif ini berguna untuk membuang produk-produk
ekskresi peradangan. Dahak dapat bersifat mukoid atau purulent. Batuk
bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama
semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.

2. Batuk darah
Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat dan
ringannya batuk darah yang timbul tergantung dari besar kecilnya
pembuluh darah yang pecah. Batuk darah tidak selalu timbul akibat
pecahnya aneurisma pada dinding kavitas, juga dapat terjadi karena
ulserasi pada mukosa bronkus. Batuk darah inilah yang paling sering
membawa penderita berobat ke dokter.
3. Nyeri dada
Gejala ini jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi
gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan nafasnya.
4. Wheezing
Terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan
oleh sekret, peradangan, jaringan granulasi dan ulserasi.
5. Dispneu
Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan
paru yang cukup luas. Pada awal penyakit gejala ini tidak pernah
didapatkan.
b. Gejala sistemik-4,8,9
1. Demam
Demam merupakan gejala pertama dari TB paru, demam lama (2
minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi
saluran kemih, malaria, dan lain-lain), biasanya subfebril, mirip demam
influenza yang segera mereda. Tergantung dari daya tahan tubuh dan
virulensi kuman, serangan demam yang berikut dapat terjadi setelah 3
bulan, 6 bulan, 9 bulan (multiplikasi 3 bulan). Demam dapat mencapai
suhu tinggi yaitu 40-41C.
2. Keringat malam
Keringat malam bukanlah gejala yang patognomonis untuk penyakit
tuberkulosis paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah
lanjut, kecuali pada orang-orang dengan vasomotor labil, keringat malam
dapat timbul lebih dini.
3. Malaise dan nafsu makan berkurang
Tuberkulosis bersifat radang menahun sehingga dapat terjadi rasa
tidak enak badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan makin
kurus, sakit kepala dan mudah lelah.
4. Gangguan Menstruasi
Terjadi pada proses tuberkulosis paru sudah menjadi lanjut.
4. Penurunan berat badan
Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi
yang baik.

Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang
terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit,
adalah sebagai berikut:
a Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
b Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter 1 cm, konsistensi
kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.
c Tuberkulosis otak dan selaput otak:
1 Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai
gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
2 Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
d Tuberkulosis sistem skeletal:
1). Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
2). Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda
peradangan di daerah panggul.
3). Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa
sebab yang jelas.
4). Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
e Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus
(skin bridge).
f Tuberkulosis mata:
1). Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
2). Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai
bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan
disertai kecurigaan adanya infeksi TB

Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M. tuberculosis


terhadap OAT terdiri dari:
1 Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap salah
satu jenis OAT lini pertama.
2 Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan.
3 Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan
terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT lini
pertama lainnya.
4 Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan yaitu
Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.
5 Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
Rifampisin dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT lain yang
dideteksi menggunakan metode pemeriksaan yang sesuai,
pemeriksaan konvensional atau pemeriksaan cepat. Termasuk dalam
kelompok ini adalah setiap resistansi terhadap rifampisin dalam
bentuk Monoresistance, Polydrug Resistance, MDR dan XDR.
1.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi resisten OAT
TB resistensi OAT pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia sebagai
akibat dari pengobatan TB yang tidak adekuat dan penularan dari pasien MDR TB.
Pengobatan yang tidak adekuat ini biasanya akibat dari satu atau lebih kondisi
berikut, yaitu:6
a. Regimen, dosis dan cara pemakaian OAT tidak tepat
b. Ketidateraturan dan ketidakpatuhan pasien untuk minum obat
c. Terputusnya ketersedian OAT
d. Kualitas obat yang renda
Selain itu meningkatnya kasuh HIV dan co infeksi dengan TB
meningkatkan jumlah kasus resisten OAT. 14

Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu: 16


a. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.
b. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang
kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat
yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah
dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut.
c. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter
mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi,
demikian seterusnya
d. Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu
paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena
kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan
(addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat
yang resisten saja
e. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara
baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat
f. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya
sampai berbulan-bulan

1.3. Mekanisme Resistensi M. tuberculosis


Berbeda dengan resistensi pada kebanyakan bakteri terhadap antibiotika
dimana resistensi yang didapat dengan cara transformasi, transduksi atau konyugasi
gen, resistensi yang didapat basil Mycobacterium tuberculosis adalah pada mutasi
kromosom utama.23 Basil tuberkulosis mempunyai kemampuan secara spontan
melakukan mutasi kromosom yang mengakibatkan basil tersebut resisten terhadap
obat antimikroba. Mutasi yang terjadi adalah unlinked, oleh karenanya resistensi obat
yang terjadi biasanya tidak berkenaan dengan obat yang tidak berhubungan.
Munculnya resistensi obat menggambarkan peninggalan dari mutasi sebelumya,
bukan perubahan yang disebabkan karena terpapar dengan pengobatan. Mutasi yang
bersifat unlinked ini menjadi dasar utama dalam prinsip pengobatan tuberkulosis
modern.15
Mutan basil yang resisten terhadap suatu obat timbul secara alamiah dan
diseleksi oleh pengobatan yang tidak adekuat. Pengobatan yang tidak adekuat ini
meliputi penggunaan satu macam obat saja (direct monotherapy) atau penggunaan
terapi kombinasi tetapi strain kuman hanya sensitif terhadap satu macam obat saja,
sebagai hasilnya timbul resistensi sekunder terhadap satu obat. Mutasi yang baru
pada populasi basil yang berkembang ini akhirnya dapat menimbulkan MDR apabila
pengobatan yang tidak adekuat dilanjutkan. Penderita tuberkulosis dengan resistensi
sekunder bisa menularkan kuman yang sudah resisten tersebut kepada orang lain
yang kemudian disebut resistensi primer. Resistensi primer, sama seperti resistensi
sekunder dapat ditularkan kepada orang lain sehingga terjadi penyebaran penyakit
resisten obat pada masyarakat.15
1.3.1. Resistensi INH
Isoniazid adalah derivat nikotinamid yang juga dikenal dengan isonikotinic
acid hydrazide (INH) dengan rumus kimia 4-pyridinecarboxylic acid hidrazide.
Target kerja isoniazid sebagai antituberkulosis sama dengan mekanisme terjadinya
resistensi isoniazid. Sacchetiniand Blachard menunjukkan bahwa isoniazid bekerja
menghambat enoyl-acyl carier protein reductase, yang diperlukan dalam biosintesa
asam mikolat dinding sel kuman tuberkulosis. Isoniazid menghambat pembentukan
dinding sel kuman dalam bentuk isoniazid aktif yaitu setelah mengalami oksidasi.
Aktivasi isonizid memerlukan enzim catalase-periksidase (gen katG) dan hidrogen
peroksida yang dihasilkan kuman TB. KatG adalah satu-satunya enzim yang dapat
mengaktifkan isoniazid, dengan demikian mutasi gen katG strain kuman TB
merupakan kuman yang resisten terhadap isoniazid. Demikian juga mutasi gen inhA
yang diperlukan dalam pembentukan asam mikolat pada kuman TB akan menjadikan
kuman resisten terhadap isoniazid.15
1.3.2. Resistensi Rifampisin
Rifampisin menghambat proses transkripsi RNA kuman TB dengan berikatan
pada sub unit beta (RpoB) RNA polimerase dan mencegah pembentukan RNA.
Mutasi pada gen RpoB menyebabkan kuman TB resisten terhadap rifampisin.
Resisten terhadap rifampisin dapat dianggap mewakili MDR TB sejak dijumpai
paling banyak strain kuman TB yang resisten terhadap rifampisin juga resisten
terhadap isoniazid.15
1.3.3. Resistensi Etambutol
Etambutol dengan rumus kimia dextro-2,2-(ethildimino)-di-1 onol adalah
senyawa kimia sintetis yang mempunyai efek antimikroba. Sampai sekarang
mekanisme kerja ethambutol serta dasar genetik resistensi belum diketahui secara
jelas. Spesifik etambutol untuk spesies mikobakteria diindikasikan bahwa target yang
dituju menyangkut pengrusakan dinding sel. Etambutol mencegah pembentukan
dinding sel dengan menghambat arabinosyltransferase yang menyangkut dalam
biosintesa arabinogalactan dan lipoarabinomannan. Resistensi terhadap etambutol
ternyata berhubungan dengan perubahan pada gen embCAB arabinosyltransferase,
dengan kode protein embA, embB dan embC. Protein ini berperan dalam produksi
komponen dinding sel arabinogalactan dan lipoarabinomannan. Alcaide dkk.
menunjukkan bahwa mutasi pada embB sangat berhubungan dengan resistensi kuman
TB terhadap etambutol.15
1.3.4. Resistensi Pirazinamid
Pirazinamid dengan struktur kimia yang sama dengan nikotinamid, sejak
tahun 1952 telah diketahui sebagai obat antituberkulosis, tetapi menjadi komponen
yang penting OAT jangka pendek baru pada pertengahan tahun 1980-an. Pirazinamid
aktif menyerang semi dorman kuman TB yang mana efek tersebut tidak dimiliki oleh
obat lain, disamping mempunyai daya kerja sinergis yang sangat kuat bersama
isoniazid dan rifampisin sebagai kemoterapi dalam pengobatan TB, sehingga bisa
mengurangi jangka waktu pengobatan dari 9 sampai 12 bulan menjadi 6 bulan.
Pirazinamid sama seperti isoniazid juga menghambat sintesa dinding sel kuman TB,
namun mekanisme kerjanya yang benar-benar pasti belum diketahui. Pirazinamid
hanya efektif membunuh kuman TB apabila kuman tersebut menghasilkan
nikotinamidase dan pirazinamidase, yaitu enzim yang diperlukan dalam mengubah
pirazinamid menjadi asam pirazinoat. Scorpio dan Zhang mengisolasi gen pncA
mikobakteria, kode untuk enzim amidase, menunjukkan mutasi gen pncA
bertanggung jawab terhadap terjadinya resistensi kuman TB terhadap pirazinamid.15

1.3.5. Resistensi Streptomisin


Streptomisin merupakan obat antituberkulosis yang telah lama ditemukan dan
dikenal sangat aktif membunuh kuman TB dengan mengganggu pembacaan kode
amicoacyl-tRNA, sehingga menghambat penterjemahan mRNA. Salah satu yang
umum sebagai tambahan mekanisme resistensi kuman terhadap streptomisin adalah
asetilasi obat oleh enzim modifikasi aminoglycoside, namun ini tidak dijumpai pada
kuman TB. Resistensi kuman TB terhadap streptomisin dihubungkan dalam dua
kelas mutasi yang berbeda, yaitu mutasi pada point S12 protein ribosom dengan kode
gen rpsL dan mutasi pada 16S rRNA dengan kode gen rrs. Mutasi pada rpsL dan rrs
dapat menyebabkan resistensi kuman TB terhadap streptomisin.15
1.4. Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis paru dibuat atas dasar1,3,4,8:

a. Anamnesa
Dari anamnesa didapatkan keluhan pasien berupa keluhan
respiratorik dan keluhan sistemik.

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien
mungkin ditemukan konjungtiva dan kulit yang pucat karena
anemia, suhu demam subfebris, badan kurus atau berat badan
menurun.

Dasar kelainan anatomis tuberkulosis paru terletak pada lobuli,


jadi meliputi alveoli dan beberapa bronkiolus terminalis. Tanda-
tanda dini berupa konsolidasi serta didapatkan sekret dibronkus
kecil. Karena proses menjalar pelan-pelan dan menahun, maka
biasanya penderita datang dengan keadaan yang sudah lanjut
sehingga kelainan fisik mudah diketahui, berupa:

- Kelainan parenkim yaitu konsolidasi, fibrosis,


atelektasis, dan/atau kerusakan parenkim dengan sisa suatu
kavitas.
- Kelainan saluran pernafasan : berupa radang dari
mukosa disertai dengan penyempitan maupun penimbunan
sekret.
- Kelainan pleura : oleh karena proses terletak dekat
pleura, maka hampir selalu terjadi reaksi pleura berupa
penabalan atau nyeri pleura.
Konsolidasi dan fibrosis pada parenkim paru dengan saluran
pernafasan yang masih terbuka akan meningkatkan
penghantaran getaran suara sehingga fremitus suara
meningkat. Suara nafas menjadi bronko-vesikuler atau bronkial,
didapatkan bronkofoni atau suara bisik yang disebut whispered
pectoraliloque.

Sekret yang berada didalam bronkus akan menyebabkan


suara tambahan berupa ronki basah. Suara ronki kasar atau
halus tergantung dari tempat sekret berada. Penyempitan
saluran pernafasan menimbulkan ronki kering, dan penyempitan
ini disertai kavitas dapat terdengar suara yang disebut hallow
sound sampai amforik.

c. Pemeriksaan laboratorium

Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah


dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium
tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal,
cairan pleura ataupun biopsi jaringan. Masing-masing pendekatan diagnostik
yang dijelaskan memiliki keterbatasan . Namun, ketika kombinasi klinis ,
radiologis , laboratorium , dan temuan histopatologis konsisten dengan
diagnosis TB dan ada bukti epidemiologi paparan tuberkulosis atau bukti
imunologi infeksi M. tuberculosis, mungkin merupakan diagnosis yang
akuratdalam banyak kasus. 1,10
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari
beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk
menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB.

Sputum
Sputum dijadikan tanda yang patognomonis, dengan
ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat
dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat
memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah
diberikan. BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara
bilasan bronkus, jaringan paru, pleura, cairan pleura, cairan
lambung, jaringan kelenjar, cairan serebrospinal, urin dan tinja.
Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit
mengeluarkan dahaknya. Bila sputum sudah didapat, kuman
BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman baru dapat
ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka
ke luar. Cara pengambilan sputum yaitu 3 kali (sewaktu-pagi-
sewaktu). Pembacaan hasil pemeriksaan sediaaan sputum
dilakukan dengan menggunakan skala International Union
Against Tuberkulosis and Lung Disease (IUATLD), sebagai
berikut:

a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut


negatif
b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis
jumlah kuman yang ditemukan.
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut +
(1+)
d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++
(2+), minimal dibaca 50 lapang pandang.
e. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++
(3+), minimal dibaca 20 lapang pandang.
Hasil pemeriksaan dikatakan positif bila apabila
sedikitnya 2 dari 3 spesimen SPS hasilnya positif. Bila hanya
1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih
lanjut yaitu pemeriksaan rontgen dada atau pemeriksaan
sputum SPS diulang.

Darah
Pemeriksaan darah tidak dapat digunakan sebagai pegangan
untuk menyokong diagnosis TB paru, karena hasil pemeriksaan
darah tidak menunjukkan gambaran yang khas. Tapi gambaran
darah kadang-kadang dapat membantu menentukan aktivitas
penyakit.

- Laju endap darah


Laju endap darah sering meningkat pada proses aktif,
tetapi laju endap darah yang normal tidak dapat
mengesampingkan proses tuberkulosis aktif.

- Leukosit
Jumlah leukosit dapat normal atau sedikit meningkat
pada proses yang aktif.

- Hemoglobin
Pada penyakit tuberkulosis berat sering disertai
dengan anemi derajat sedang. Bersifat normositik dan sering
disebabkan defisiensi besi.

Tes tuberkulin
Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu
sedang atau pernah mengalami infeksi M. Tuberculosa, M.
Bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya.

d. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar ialah foto thoraks PA. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform).

Gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada
penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan
untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier.

. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah


sebagai berikut:

a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat


(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks
lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma

Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif 1 :

- Bayangan berawan / nodular disegmen apikal dan posterior


lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah paru.

- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak


berawan atau nodular.

- Bayangan bercak milier

- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif :

- Fibrotik

- Kalsifikasi

- Schwarte atau penebalan pleura

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan


pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut:
- Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua
paru dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan, serta tidak
dijumpai kavitas

- Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.

Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan
asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah
terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografik dan riwayat penyakit dahulu
dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu 1) TB aktif yang
sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan tidak sesuai standar
terapi; 2) Kontak dengan kasus TB resistensi ganda; 3) Gagal terapi atau kambuh; 4)
Infeksi human immnodeficiency virus (HIV); 5) Riwayat rawat inap dengan wabah
MDR TB.16
Diagnosis TB resistensi tergantung pada pengumpulan dan proses kultur
spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien
tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa,
dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua harus
dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai.16
Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB.
Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional
berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode
ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka
belakangan ini diusulkanlah teknologi baru. Yang termasuk metode terbaru ini adalah
metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya
telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan
sebagai petanda TB resisten khususnya pada suasana dengan prevalensi TB resisten
tinggi. Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan metode yang lebih
sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi
klinik secara rutin.8
1.5. Penalaksanaan MDR TB
Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat anti
TB, WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan potensi
dan efikasinya, sebagai berikut (World Health Organization, 2008):17
1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat
ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya digunakan
dan digunakan dalam dosis maksimal.
2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika alergi
digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi sampai
jumlah kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negative
3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal levofloksasin.
Semua pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon dalam
regimennya
4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid),
ethionamid, dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak
sebaik obat-obat oral lini pertama dan kuinolon.
5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam klavulanat,
dan makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan efikasinya,
akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih minimal.
Ada tiga cara pendekatan pembuatan regimen didasarkan atas riwayat obat TB
yang pernah dikonsumsi penderita, data drug resistance surveillance (DRS) di suatu
area, dan hasil DST dari penderita itu sendiri. Berdasarkan data di atas mana yang
dipakai, maka dikenal pengobatan dengan regimen standar, pengobatan dengan
regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu
penderita tersebut, dan pengobatan secara empiris yang diikuti dengan regimen yang
sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut.17
Pengobatan dengan regimen standar : pembuatan regimen didasarkan atas hasil
DRS yang bersifat representative pada populasi dimana regimen tersebut akan
diterapkan. Semua pasien MDR TB akan mendapat regimen sama. 17
Pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai
dari hasil DST individu penderita : awalnya semua pasien akan mendapat regimen
yang sama selanjutnya regimen disesuaikan berdasarkan hasil uji sensitivitas yang
telah tersedia dari pasien yang bersangkutan. 17
Pengobatan secara empirik yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil
DST individu pasien : tiap regimen bersifat individualis, dibuat berdasarkan riwayat
pengobatan TB sebelumnya, selanjutnya disesuaikan setelah hasil uji sensitivitas obat
dari pasien yang bersangkutan tersedia. 17
Menurut WHO guidelines 2008 membuat pentahapan tersebut sebagai berikut
(World Health Organization, 2008): 17
Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih
menunjukkan efikasi
Tahap 2 : tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi
berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatan
Tahap 3 : tambahan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan
fluorokuinolon
Tahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari obat
golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang mungkin
efektif
Tahap 5 : pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari
golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR) apabila dirasakan
belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1 sampai 4.
Selain itu, ada beberapa butir dalam pengobatan MDR TB yang dianjurkan
oleh WHO (2008) sebagai prinsip dasar, antara lain (World Health Organization,
2008) : (1) Regimen harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum
penderita. (2) Dalam pemilihan obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini
pertama dan obat lini kedua yang berada di area / negara tersebut. (3) Regimen
minimal terdiri 4 obat yang jelas diketahui efektifitasnya. (4) Dosis obat diberikan
berdasarkan berat badan. (5) Obat diberikan sekurnag-kurangnya 6 hari dalam
seminggu, apabila mungkin etambutol,pirazinamid, dan fluoro kuinolon diberikan
setiap hari oleh karena konsentrasi dalam serum yang tinggi memberikan efikasi. (6)
Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah terjadi konversi. (7) Apabila terdapat
DST, maka harus digunakan sebagai pedoman terapi. DST tidak memprediksi
efektivitas atau inefektivitas obat secara penuh. (8) Pirazinamid dapat digunakan
dalam keseluruhan pengobatan apabila dipertimbangkan efektif. Sebagian besar
penderita MDR TB memiliki keradangan kronik di parunya, dimana secara teoritis
menghasilkan suasana asam dan pirazinamid bekerja aktif. (9) Deteksi awal adalah
faktor penting untuk mencapai keberhasilan. 17
Pengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap, tahap awal dan tahap
lanjutan. Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan
TB bukan MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien akan mendapat
Obat anti tuberkulosis lini kedua minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif, dimana
salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua yang
dipakai pada tahap awal. 17

KOMPLIKASI

1. TB paru dengan efusi pleura


Efusi pleura adalah kompulan cairan abnormal di cavum pleura yang
disebabkan oleh produksi yang berlebih, atau penurunan absorbsi, atau keduanya.
Pada orang dewasa, kebanyakan penyebab efusi pleura adalah gagal jantung
kongestif (transudat), dan bakteri pneumonia serta keganasan adalah penyebab utama
dan sering untuk eksudat. Efusi pleura pada anak-anak umumnya kebanyakan adalah
infeksi (50-70% efusi parapneumonik), gagal jantung kongestif adalah penyebab
yang lebih sedikit (5- 15%) dan keganasan adalah kasus yang jarang. 12,13
Efusi parapneumonik didefinisikan sebagai cairan di rongga pleura sehubungan
dengan adanya pneumonia, abses paru, atau bronkiektasis. Bakteri non - TB
pneumonia merupakan penyumbang terbesar sebagai penyebab utama efusi pleura
pada anak. Dibuktikan dengan agen spesifik penyebab tergantung dengan usia
pasien, penyakit yang mendasarinya, metode kultur laboratorium yang standar, dan
pemberian terapi antibiotik. 12

2. TB paru dengan penumothoraks


Pneumothoraks adalah suatu keadaan dimana terdapat akumulasi udara
ekstrapulmoner dalam rongga pleura, antara pleura visceral dan parietal, yang dapat
menyebabkan timbulnya kolaps paru. Normalnya tekanan pada rongga pleura lebih
negatif daripada tekanan di paru, namun pada pneumotoraks, tekanan menjadi lebih
positif sehingga menyebabkan paru menjadi kolaps. Udara dapat masuk ke dalam
celah pleura melalui beberapa proses kerusakan pada parenkim paru, masuk melalui
saluran napas dengan keadaan dinding dada yang intak (pneumototaks tertutup)
ataupun adanya kerusakan pada dinding dada (pneumotoraks terbuka).
Pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi spontan dan traumatik. Traumaik
dapat dibagi lagi menjadi iatrogenik dan non-iatrogenik (accidental). Pneumotoraks
spontan dapat dibagi lagi menjadi primer (tanpa ada penyakit yang mendasarinya)
ataupun sekunder (komplikasi dari penyakit paru akut atau kronik).
Timbulnya kejadian penumotoraks berhubungan dengan banyak kasus, yang
antara lain adanya infeksi pada saluran napas, trauma dada, acute lung injury yang
disebabkan oleh materi fisik yang terinhalasi dan bahan kimia, penyakit inflamasi
paru akut atau kronis, keganasan, dan prosedur diagnostik dan terapeutik medis yang
melibatkan toraks dan organ abdomen.
Aspirasi jarum transtorakal ataupun prosedur biopsi dapat menimbulkan
komplikasi penumotoraks iatrogenik. Penyebab lain yang umum terjadi adalah
torakosisntesis. Ventilasi mekanik dan tindakan resusitasi dapat juga menyebabkan
penumotoraks.
Walaupun mekanisme terjebaknya udara masih belum sepenuhnya dimengerti
pada setiap etiologinya, namun hampir selalu berhubungan dengan defek pada
lapisan pleura yang kehilangan integritasnya. 3
TB paru merupakan salah satu penyebab sekunder pneumotoraks spontan.
Penumotoraks sekunder karena TB paru biasanya terjadi setelah keterlibatan TB
yang cukup luas pada paru dan onset mendadak dari fistula bronkopleura serta
empyema dengan formasi kavitas berat atau dengan TB milier. Kuman
mycobacterium menginvasi pleura dan menyebabkan nekrosis liquifaktif dan terjadi
ruptur pleura.16

3. TB paru dengan empiema


Empiema adalah akumulasi pus dalam rongga pleura. Pada anak, efusi
parapneumonia merupakan penyebab empyema terbanyak. Keadaan ni memerlukan
penanganan yang serius berkaitan dengan tingginya mortalitas dan lama rawat inap.
Lebih dari 50% penyebab empiema adalah efusi parapneumonia, 25% terjadi
setelah operasi paru, esophagus, atau mediastinum, 10% akibat trauma toraks, dan
sisanya terjadi akibat sepsis, tuberculosis, enterokolitis nekrotikans, abses
subdiafragmatika, atau pneumotoraks spontan.3

Efusi pleura adalah adanya penumpukan cairan dalam rongga


(kavum) pleura yang melebihi batas normal. Dalam keadaan normal
1
terdapat 10-20 cc cairan.

Effusi pleura adalah penimbunan cairan pada rongga pleura atau


Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura
dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan
oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan
2
pleura.

Dalam konteks ini perlu di ingat bahwa pada orang normal rongga
pleura ini juga selalu ada cairannya yang berfungsi untuk mencegah
melekatnya pleura viseralis dengan pleura parietalis, sehingga dengan
demikian gerakan paru (mengembang dan mengecil) dapat berjalan
dengan mulus. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga
pleura sekitar 10-20 ml. Cairan pleura komposisinya sama dengan
cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih
1,2
rendah yaitu < 1,5 gr/dl.

Ada beberapa jenis cairan yang bisa berkumpul di dalam rongga


pleura antara lain darah, pus, cairan seperti susu dan cairan yang
1,2
mengandung kolesterol tinggi

a. Hidrotoraks
Pada keadaan hipoalbuminemia berat, bisa timbul transudat. Dalam
hal ini penyakitnya disebut hidrotorak dan biasanya ditemukan bilateral.
Sebab-sebab lain yang mungkin adalah kegagalan jantung kanan, sirosis hati
dengan asites, serta sebgai salah satu tias dari syndroma meig (fibroma ovarii,
asites dan hidrotorak).

b. Hemotoraks
Hemotorak adalah adanya darah di dalam rongga pleura. Biasanya
terjadi karena trauma toraks. Trauma ini bisa karna ledakan dasyat di dekat
penderita, atau trauma tajam maupu trauma tumpul. Kadar Hb pada
hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah
hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini
mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil
oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka biasanya
darah tersebut berasal dari trauma dinding dada. Penyebab lainnya
hemotoraks adalah:
Pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan
darahnya ke dalam rongga pleura.
Kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta)
yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura.
Gangguan pembekuan darah, akibatnya darah di dalam rongga pleura
tidak membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah
dikeluarkan melelui sebuah jarum atau selang.
c. Empiema
Bila karena suatu infeksi primer maupun sekunder cairan pleura
patologis iniakan berubah menjadi pus, maka keadaan ini disebut piotoraks
atau empiema. Pada setiap kasus pneumonia perlu diingat kemungkinan
terjadinya empiema sebagai salah satu komplikasinya. Empiema bisa
merupakan komplikasi dari:
Pneumonia
Infeksi pada cedera di dada
Pembedahan dada
d. Chylotoraks

Kilotoraks adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan


kil/getah bening pada rongga pleura. Adapun sebab-sebab
terjadinya kilotoraks antara lain :

Kongental, sejak lahir tidak terbentuk (atresia) duktus torasikus, tapi


terdapat fistula antara duktus torasikus rongga pleura.
Trauma yang berasal dari luar seperti penetrasi pada leher dan dada,
atau pukulan pada dada (dengan/tanpa fratur). Yang berasal dari efek
operasi daerah torakolumbal, reseksi esophagus 1/3 tengah dan atas,
operasi leher, operasi kardiovaskular yang membutuhkan mobilisasi
arkus aorta.
Obstruksi Karena limfoma malignum, metastasis karsinima ke
mediastinum, granuloma mediastinum (tuberkulosis, histoplasmosis).

Penyakit-penyakit ini memberi efek obstruksi dan juga


perforasi terhadap duktus torasikus secara kombinasi. Disamping
itu terdapat juga penyakit trombosis vena subklavia dan nodul-
nodul tiroid yang menekan duktus torasikus dan menyebabkan
1,2
kilotoraks.

2.2 Anatomi dan Fisiologi Pleura


Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura
visceralis dan parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel
mesothelial, jaringaan ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan
cairan yang sangat tipis. Membran serosa yang membungkus parekim
paru disebut pleura viseralis, sedangkan membran serosa yang melapisi
dinding thorak, diafragma, dan mediastinum disebut pleura parietalis.
Rongga pleura terletak antara paru dan dinding thoraks. Rongga pleura
dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas antara
kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hillus paru. Dalam
hal ini, terdapat perbedaan antara pleura viseralis dan parietalis,
1,2,3
diantaranya :

1. Pleura Visceralis
Permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesothelial yang tipis < 30mm.
Diantara celah-celah sel ini terdapat sel limfosit. Di bawah sel-sel mesothelial
ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit, di bawahnya terdapat
lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastik. Lapisan
terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura yang banyak mengandung
pembuluh darah kapiler dari a. Pulmonalis dan a. Brakhialis serta pembuluh
limfe Menempel kuat pada jaringan paru Fungsinya. untuk mengabsorbsi
cairan pleura.
2. Pleura parietalis
Jaringan lebih tebal terdiri dari sel-sel mesothelial dan jaringan ikat (kolagen
dan elastis). Dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung kapiler dari a.
Intercostalis dan a. Mamaria interna, pembuluh limfe, dan banyak reseptor
saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan temperatur.
Keseluruhan berasal n. Intercostalis dinding dada dan alirannya sesuai dengan
dermatom dada. Mudah menempel dan lepas dari dinding dada di atasnya
Fungsinya untuk memproduksi cairan pleura
Gambar 1. Tampilan depan paru dan pleuranya

FISIOLOGI

Cairan pleura berfungsi untuk memudahkan kedua


permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis bergerak selama
pernapasan dan untuk mencegah pemisahan toraks dan paru yang
dapat dianalogkan seperti dua buah kaca objek yang akan saling
melekat jika ada air. Kedua kaca objek tersebut dapat bergeseran
satu dengan yang lain tetapi keduanya sulit dipisahkan.
Cairan pleura dalam keadaan normal akan bergerak dari
kapiler di dalam pleura parietalis ke ruang pleura kemudian diserap
kembali melalui pleura viseralis. Masing-masing dari kedua pleura
merupakan membran serosa mesenkim yang berpori-pori, dimana
sejumlah kecil transudat cairan intersisial dapat terus menerus
melaluinya untuk masuk kedalam ruang pleura.
Selisih perbedaan absorpsi cairan pleura melalui pleura
viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan pembentukan
cairan oleh pleura parietalis dan permukaan pleura viseralis lebih
besar dari pada pleura parietalis sehingga dalam keadaan normal
(1)
hanya ada beberapa mililiter cairan di dalam rongga pleura.
Gambar 2 memperlihatkan dinamika pertukaran cairan dalam
ruang pleura.

Jumlah total cairan dalam setiap rongga pleura sangat sedikit,


hanya beberapa mililiter yaitu 1-5 ml. Dalam kepustakaan lain
menyebutkan bahwa jumlah cairan pleura sebanyak 12-15 ml (1).
Kapanpun jumlah ini menjadi lebih dari cukup untuk memisahkan kedua
pleura, maka kelebihan tersebut akan dipompa keluar oleh pembuluh
limfatik (yang membuka secara langsung) dari rongga pleura kedalam
mediastinum, permukaan superior dari diafragma, dan permukaan lateral
(3)
pleural parietalis . Oleh karena itu, ruang pleura (ruang antara pleura
parietalis dan pleura visceralis) disebut ruang potensial, karena ruang ini
normalnya begitu sempit sehingga bukan merupakan ruang fisik yang
1,2,3
jelas.

2.3 Epidemiologi

Estimasi prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000


orang di negara-negara industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan
prevalensi penyakit yang mendasarinya.

Secara umum, kejadian efusi pleura adalah sama antara kedua


jenis kelamin. Namun, penyebab tertentu memiliki kecenderungan seks.
Sekitar dua pertiga dari efusi pleura ganas terjadi pada wanita. Efusi
pleura ganas secara signifikan berhubungan dengan keganasan payudara
dan ginekologi. Efusi pleura yang terkait dengan lupus eritematosus
2
sistemik juga lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria.

2.4 Etiologi
Ruang pleura normal mengandung sekitar 1 mL cairan, hal ini
memperlihatkan adanya keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan
tekanan onkotik dalam pembuluh darah pleura viseral dan parietal dan
drainase limfatik luas. Efusi pleura merupakan hasil dari
2
ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik.

Efusi pleura merupakan indikator dari suatu penyakit paru atau non
pulmonary, dapat bersifat akut atau kronis. Meskipun spektrum etiologi
efusi pleura sangat luas, efusi pleura sebagian disebabkan oleh gagal
jantung kongestif,. pneumonia, keganasan, atau emboli paru. Mekanisme
sebagai berikut memainkan peran dalam pembentukan efusi pleura:

1. Perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya, radang, keganasan,


emboli paru)
2. Pengurangan tekanan onkotik intravaskular (misalnya, hipoalbuminemia,
sirosis)
3. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan pembuluh darah
(misalnya, trauma, keganasan, peradangan, infeksi, infark paru, obat
hipersensitivitas, uremia, pankreatitis)
4. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam sirkulasi sistemik dan /
atau paru-paru (misalnya, gagal jantung kongestif, sindrom vena kava
superior)
5. Pengurangan tekanan dalam ruang pleura, mencegah ekspansi paru penuh
(misalnya, atelektasis yang luas, mesothelioma)
6. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan lengkap, termasuk
obstruksi duktus toraks atau pecah (misalnya, keganasan, trauma)
7. Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi di diafragma melalui
limfatik atau cacat struktural (misalnya, sirosis, dialisis peritoneal)
8. Perpindahan cairan dari edema paru ke pleura viseral
9. Peningkatan tekanan onkotik di cairan pleura yang persisiten menyebabkan
adanaya akumulasi cairan di pleura

10.Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang

(tuberkulosis, pneumonia, virus, bronkiektasis, abses amuba

subfrenik yang menembus ke rongga pleura), karena tumor dan

trauma

2.5 Klasifikasi
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme
pembentukan cairan dan kimiawi cairan menjadi 2 yaitu atas transudat
atau eksudat. Transudat hasil dari ketidakseimbangan antara tekanan
onkotik dengan tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah hasil dari
peradangan pleura atau drainase limfatik yang menurun. Dalam
beberapa kasus mungkin terjadi kombinasi antara karakteristk cairan
1,2,3
transudat dan eksudat.

1. Klasifikasi berasarkan mekanisme pembentukan cairan:


a. Transudat

Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu


adalah transudat. Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan
antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotic, sehingga
terbentuknya cairan pada satu sisi pleura melebihi reabsorpsinya oleh
pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada:

1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik


2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
3. Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura
4. Menurunnya tekanan intra pleura

Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:

a. Gagal jantung kiri (terbanyak)


b. Sindrom nefrotik
c. Obstruksi vena cava superior
d. Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek
diafragma atau masuk melalui saluran getah bening)

b. Exusadat

Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui


membrane kapiler yang permeabelnya abnormal dan berisi protein
berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Bila terjadi
proses peradangan maka permeabilitas kapiler pembuluh darah
pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat
atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga
pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah
karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis
eksudativa tuberkulosa. Protein yang terdapat dalam cairan pleura
kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran
protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan
menyebabkan peningkatan konsentasi protein cairan pleura,
sehingga menimbulkan eksudat.

Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:

a. Infeksi (tuberkulosis, pneumonia)


b. Tumor pada pleura
c. Iinfark paru,
d. Karsinoma bronkogenik
e. Radiasi,
f. Penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Sistemic Lupus
Eritematosis).

2.6 Patofisiologi

Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam


rongga pleura melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini
segera direabsorpsi oleh saluran limfe, sehingga terjadi keseimbangan
antara produksi dan reabsorpsi. Kemampuan untuk reabsorpsinya dapat
meningkat sampai 20 kali. Apabila antara produk dan reabsorpsinya tidak
seimbang (produksinya meningkat atau reabsorpsinya menurun) maka
1,2,3,4
akan timbul efusi pleura.

Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan


antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal
cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh
darah kapiler. Filtrasi yang terjadi karena perbedaan tekanan osmotic
plasma dan jaringan interstitial submesotelial kemudian melalui sel
mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat
melalui pembuluh limfe sekitar pleura. Pergerakan cairan dari pleura
parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaan
tekanan hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan
diabsorpsi oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang diabsorpsi
oleh sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan
pada pleura visceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-
1,2,3,4
sel mesothelial.

Bila penumpukan cairan dalam rongga pleura disebabkan oleh


peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk
pus/nanah, sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai
1,2,3,4
pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemotoraks.

penumpukan cairan pleura dapat terjadi bila:


1. Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura meningkatkan
pembentukan cairan pleura melalui pengaruh terhadap hukum Starling.
Keadaan ni dapat terjadi pada gagal jantung kanan, gagal jantung kiri dan
sindroma vena kava superior.
2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis,
baik karena obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis.
3. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih
banyak cairan masuk ke dalam rongga pleura
4. Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan
transudasi cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura
5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe bermuara
pada vena untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena sistemik akan
menghambat pengosongan cairan limfe, gangguan kontraksi saluran limfe,
infiltrasi pada kelenjar getah bening.
Efusi pleura akan menghambat fungsi paru dengan membatasi
pengembangannya. Derajat gangguan fungsi dan kelemahan bergantung
pada ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila cairan tertimbun
secara perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin
akan terkumpul dengan sedikit gangguan fisik yang nyata.

Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani, pada akhirnya akan


menyebabkan gagal nafas. Gagal nafas didefinisikan sebagai kegagalan
pernafasan bila tekanan partial Oksigen (Pa O2) 60 mmHg atau tekanan
partial Karbondioksida arteri (Pa Co2) 50 mmHg melalui pemeriksaan
analisa gas darah.

2.7 Manifestasi Klinis

Biasanya manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh


penyakit dasar. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan
nyeri dada pleuritis, sementara efusi malignan dapat mengakibatkan
dispnea dan batuk. Ukuran efusi akan menentukan keparahan gejala.
Pada kebanyakan penderita umumnya asimptomatis atau memberikan
gejala demam, ringan ,dan berat badan yang menurun seperti pada efusi
1,2,3,4,5
yang lain.

Dari anamnesa didapatkan :

a. Sesak nafas bila lokasi efusi luas. Sesak napas terjadi pada saat permulaan
pleuritis disebabkan karena nyeri dadanya dan apabila jumlah cairan
efusinya meningkat, terutama kalau cairannya penuh
b. Rasa berat pada dada
c. Batuk pada umumnya non produktif dan ringan, terutama apabila disertai
dengan proses tuberkulosis di parunya, Batuk berdarah pada karsinoma
bronchus atau metastasis
d. Demam subfebris pada TBC, dernarn menggigil pada empiema
Dari pemeriksaan fisik didapatkan (pada sisi yang sakit)

a. Dinding dada lebih cembung dan gerakan tertinggal


b. Vokal fremitus menurun
c. Perkusi dull sampal flat
d. Bunyi pernafasan menruun sampai menghilang
e. Pendorongan mediastinum ke sisi yang sehat dapat dilihat atau diraba pada
treakhea

1. Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat
diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan
yang diperoleh melalui torakosentesis.

Torakosentesis adalah pengambilan cairan melalui sebuah


jarum yang dimasukkan diantara sel iga ke dalam rongga dada di
bawah pengaruh pembiasan lokal dalam dan berguna sebagai
sarana untuk diuagnostik maupun terapeutik.

Pelaksanaan torakosentesis sebaiknya dilakukan pada


penderita dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan toraks, pada
bagian bawah paru di sela iga v garis aksilaris media dengan
memakai jarum Abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan
pleura sebaiknya tidak melebihi 1000 1500 cc pada setiap kali
aspirasi. Adalah lebih baik mengerjakan aspirasi berulang-ulang
daripada satu kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan
pleural shock (hipotensi) atau edema paru.

Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang


terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya belum diketahui betul, tapi
diperkirakan karena adanya tekanan intra pleura yang tinggi
dapat menyebabkan peningkatan aliran darah melalui
permeabilitas kapiler yang abnormal.

2. Biopsi Pleura
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan
penyebabnya maka dilakukan biopsi dimana contoh lapisan
pleura sebelah luar untuk dianalisa. Pemeriksaan histologi satu
atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukkan 50
-75% diagnosis kasus-kasus pleuritis tuberkulosa dan tumor
pleura. Bila ternaya hasil biopsi pertama tidak memuaskan, dapat
dilakukan beberapa biopsi ulangan. Pada sekitar 20% penderita,
meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, penyebab
dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan. Komplikasi biopsi
antara lain pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi atau
tumor pada dinding dada.

3. Analisa cairan pleura


Untuk diagnostic cairan pleura, dilakukan pemeriksaan :

a. Warna Cairan
Biasanya cairan pleura berwama agak kekuning-kuningan
(serous-xantho-ctrorne. Bila agak kemerah-merahan, ini dapat
terjadi pada trauma, infark paru, keganasan. adanya
kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning kehijauan dan agak
purulen, ini menunjukkan adanya empiema. Bila merah
tengguli, ini menunjukkan adanya abses karena ameba

b. Biokimia
Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan
eksudat yang perbedaannya dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.

Perbedaan Transuda Eksudat


t
- Kadar protein dalam efusi < 3. > 3.
(g/dl)
< 0,5 > 0,5
- Kadar protein dalam efusi
Kadar protein dalam serum

- Kadar LDH dalam efusi (I.U) < 200 > 200

- Kadar LDH dalam efusi


Kadar LDH dalam Serum
< 0,6 > 0,6
- Berat jenis cairan efusi
< 1,016 > 1,016
- Rivalta
negatif positif
Di. samping pemeriksaan tersebut di atas. secara biokimia
diperiksakan juga pada cairan pleura :

- kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-


penyakit infeksi, artitis reumatoid dan neoplasma
- kadar amilase. Biasanya meningkat pada pankreatitis dan
metastasis adenokarsinoma.

c. Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat
mengandung mikroorganisme, apalagi bila cairannya
purulen, (menunjukkan empiema). Efusi yang purulen dapat
mengandung kuman-kuman yang aerob ataupun anaerob.
Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura
adalah : Pneumokok, E. coli, Kleibsiella, Pseudomonas, Entero-
bacter.

Pada pleuritis tuberkulosa, kultur cairan terhadap kuman


tahan asam hanya dapat menunjukkan yang positif sampai
20%.

Pemeriksaan Laboratorium terhadap cairan pleura dapat


dilihat pada tabel dibawah ini :

Pemeriksaan Laboratorium Terhadap Cairan Pleura

Hitung sel total Hitung diferensial, hitung sel darah merah,


sel jaringan

Rasio protein cairan pleura terhadap seum


Protein total
> 0,5 menunjukkan suatu eksudat
Laktat Bila terdapat organisme, menunjukkan
dahidrogenase empiema

Pewarnaan Gram
dan tahan asam

Biakan
Biakan kuman aerob dan anerob, biakan
jamur dan mikobakteria harus ditanam
pada lempeng

Glukosa
Glukosa yang rendah (< 20 mg/dL) bila
gula darah normal menunjukkan infeksi
atau penyakit reumatoid

Amylase Meningkat pada pankreatitis, robekan


esofagus
pH
Efusi parapneumonik dengan pH > 7,2
dapat diharapkan untuk sembuh tanpa
drainase kecuali bila berlokusi. Keadaan
dengan pH < 7,0 menunjukkan infeksi
yang memerlukan drainase atau adanya
robekan esophagus.

Sitologi Dapat mengidentifikasi neoplasma

Hematokrit Pada cairan efusi yang banyak darahnya,


dapat membantu membedakan
hemotoraks dari torasentesis traumatik

Dapat rendah pada lupus eritematosus


Komplemen sistemik

Preparat sel LE Bila positif, mempunyai korelasi yang


tinggi dengan diagnosis lupus aritematosus
sistemik

Diagnosa efusi pleura

1. Anamnesis dan gejala klinis


Keluhan utama penderita adalah nyeri dada sehingga penderita
membatasi pergerakan rongga dada dengan bernapas pendek atau tidur miring
ke sisi yang sakit. Selain itu sesak napas terutama bila berbaring ke sisi yang
sehat disertai batuk batuk dengan atau tanpa dahak. Berat ringannya sesak
napas ini ditentukan oleh jumlah cairan efusi. Keluhan yang lain adalah
sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
2. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan dada yang terkena cembung
selain melebar dan kurang bergerak pada pernapasan. Fremitus vokal
melemah, redup sampai pekak pada perkusi, dan suara napas lemah atau
menghilang. Jantung dan mediastinum terdorong ke sisi yang sehat. Bila tidak
ada pendorongan, sangat mungkin disebabkan oleh keganasan
3. Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologis mempunyai nilai yang tinggi dalam
mendiagnosis efusi pleura, tetapi tidak mempunyai nilai apapun dalam
menentukan penyebabnya. Secara radiologis jumlah cairan yang kurang dari
100 ml tidak akan tampak dan baru jelas bila jumlah cairan di atras 300 ml.
Foto toraks dengan posisi Posterioe Anterior akan memperjelas
kemungkinan adanya efusi pleura masif. Pada sisi yang sakit tampak
perselubungan masif dengan pendorongan jantung dan mediastinum ke sisi
yang sehat.
4. Torakosentensi
Tujuan torakosentesis (punksi pleura) di samping sebagai diagnostik juga
sebagai terapeutik.

2.10 Penatalaksanaan

Efusi pleura harus segera mendapatkan tindakan pengobatan


karena cairan pleura akan menekan organ-organ vital dalam rongga dada.
Beberapa macam pengobatan atau tindakan yang dapat dilakukan pada
1,2,3,4,5,6
efusi pleura masif adalah sebagai berikut :

1. Obati penyakit yang mendasarinya


a. Hemotoraks
Jika darah memasuki rongga pleura hempotoraks
biasanya dikeluarkan melalui sebuah selang. Melalui selang
tersebut bisa juga dimasukkan obat untuk membantu
memecahkan bekuan darah (misalnya streptokinase dan
streptodornase). Jika perdarahan terus berlanjut atau jika
darah tidak dapat dikeluarkan melalui selang, maka perlu
dilakukan tindakan pembedahan

b. Kilotoraks
Pengobatan untuk kilotoraks dilakukan untuk
memperbaiki kerusakan saluran getah bening. Bisa
dilakukan pembedahan atau pemberian obat antikanker
untuk tumor yang menyumbat aliran getah bening.

c. Empiema
Pada empiema diberikan antibiotik dan dilakukan
pengeluaran nanah. Jika nanahnya sangat kental atau telah
terkumpul di dalam bagian fibrosa, maka pengaliran nanah
lebih sulit dilakukan dan sebagian dari tulang rusuk harus
diangkat sehingga bisa dipasang selang yang lebih besar.
Kadang perlu dilakukan pembedahan untuk memotong
lapisan terluar dari pleura (dekortikasi).

d. Pleuritis TB.
Pengobatan dengan obat-obat antituberkulosis
(Rimfapisin, INH, Pirazinamid/Etambutol/Streptomisin)
memakan waktu 6-12 bulan. Dosis dan cara pemberian obat
seperti pada pengobatan tuberkulosis paru. Pengobatan ini
menyebabkan cairan efusi dapat diserap kembalai, tapi
untuk menghilangkan eksudat ini dengan cepat dapat
dilakukan torakosentesis. Umumnya cairan diresolusi dengan
sempurna, tapi kadang-kdang dapat diberikan kortikosteroid
secara sistematik (Prednison 1 mg/kgBB selama 2 minggu,
kemudian dosis diturunkan). (2)

2. Torakosentesis
keluarkan cairan seperlunya hingga sesak - berkurang (lega); jangan
lebih 1-1,5 liter pada setiap kali aspirasi. Zangelbaum dan Pare menganjurkan
jangan lebih 1.500 ml dengan waktu antara 20-30 menit. Torakosentesis ulang
dapat dilakukan pada hari berikutnya. Torakosentesis untuk tujuan diagnosis
setiap waktu dapat dikerjakan, sedangkan untuk tujuan terapeutik pada efusi
pleura tuberkulosis dilakukan atas beberapa indikasi.
a. Adanya keluhan subjektif yang berat misalnya nyeri dada, perasaan
tertekan pada dada.
b. Cairan sudah mencapai sela iga ke-2 atau lebih, sehingga akan
mendorong dan menekan jantung dan alat mediastinum lainnya, yang
dapat menyebabkan kematian secara tiba-tiba.
c. Suhu badan dan keluhan subjektif masih ada, walaupun sudah
melewati masa 3 minggu. Dalam hal seperti ini biasanya cairan sudah
berubah menjadi pyotoraks.
d. Penyerapan cairan yang terlambat dan waktu sudah mendekati 6
minggu, namun cairan masih tetap banyak.
3. Chest tube
jika efusi yang akan dikeluarkan jumlahnya banyak, lebih baik
dipasang selang dada (chest tube), sehingga cairan dapat dialirkan dengan
lambat tapi sempurna. Tidaklah bijaksana mengeluarkan lebih dari 500 ml
cairan sekaligus. Selang dapat diklem selama beberapa jam sebelum 500 ml
lainnya dikeluarkan. Drainase yang terlalu cepat akan menyebabkan distres
pada pasien dan di samping itu dapat timbul edema paru. 2
4. Pleurodesis
Pleurodesis dimaksudkan untuk menutup rongga pleura sehingga akan
mencegah penumpukan cairan pluera kembali. Hal ini dipertimbangkan untuk
efusi pleura yang rekuren seperti pada efusi karena keganasan Sebelum
dilakukan pleurodeSis cairan dikeluarkan terlebih dahulu melalui selang dada
dan paru dalam keadaan mengembang

Pleurodesis dilakukan dengan memakai bahan sklerosis yang


dimasukkan ke dalam rongga pleura. Efektifitas dari bahan ini
tergantung pada kemampuan untuk menimbulkan fibrosis dan
obliterasi kapiler pleura. Bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk
keperluan pleurodesis ini yaitu : Bleomisin, Adriamisin, Siklofosfamid,
ustard, Thiotepa, 5 Fluro urasil, perak nitrat, talk, Corynebacterium
parvum dan tetrasiklin Tetrasiklin merupakan salah satu obat yang
juga digunakan pada pleurodesis, harga murah dan mudah didapat
dimana-mana. Setelah tidak ada lagi cairan yang keluar masukkanlah
tetrasiklin sebanyak 500 mg yang sudah dilarutkan dalam 20-30 ml
larutan garam fisiologis ke dalam rongga pleura, selanjutnya diikuti
segera dengan 10 ml larutan garam fisiologis untuk pencucian selang
dada dan 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa sakit atau dengan
memberikan golongan narkotik 1,5-1 jam sebelum dilakukan
pleurodesis. Kemudian kateter diklem selama 6 jam, ada juga yang
melakukan selama 30 menit dan selama itu posisi penderita diubah-
ubah agar tetrasiklin terdistribusi di seluruh rongga pleura. Bila dalam
24-48 jam cairan tidak keluar lagi selang dada dicabut.

EFUSI PLEURA
A. Definisi

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat

penumpukan cairan dari dalam kavum pleura diantara pleura

parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan transudat

atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya

mengandung cairan sebanyak 10-20 ml, cairan pleura

komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan

pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl.

B. Etiologi
A. Berdasarkan Jenis Cairan
Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang

mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura

mengalami perubahan.
Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang

mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura

mengalami perubahan.
Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui

pengukuran kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam

cairan, pleura.

Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari

tiga kriteria berikut

ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu

pun dari tiga criteria ini:

Protein cairan pleura / protein serum > 0,5


LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6
LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai

LDH yang normal didalam serum.


Efusi pleura berupa :

a) Eksudat, disebabkan oleh :


1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma: virus coxsackie,

Rickettsia, Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi

leukosit antara 100-6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan

keluhan sakit kepala, demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit

perut, gejala perikarditis. Diagnosa dapat dilakukan dengan

cara mendeteksi antibodi terhadap virus dalam cairan efusi.


2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat

ditempeli oleh bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru

dan menjalar secara hematogen. Bakteri penyebab dapat

merupakan bakteri aerob maupun anaerob (Streptococcus

paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas,

Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes,

Fusobakterium, dan lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan

dengan pemberian antibotika ampicillin dan metronidazol serta


mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari rongga

pleura.
3. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis,

Aspergillus, Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena reaksi

hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi.


4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling

banyak terjadi melalui focus subpleural yang robek atau melalui

aliran getah bening, dapat juga secara hemaogen dan

menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi

disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan

nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada

didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi

hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang disebabkan oleh TBC

biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang yang

masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala

febris, penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada

pleuritik.
5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer

pada paru-paru, mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi

pleura terjadi bilateral dengan ukuran jantung yang tidak

membesar. Patofisiologi terjadinya efusi ini diduga karena :


Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi

inflamasi dan terjadi kebocoran kapiler.


Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan

limfe pleura, bronkhopulmonary, hillus atau

mediastinum, menyebabkan gangguan aliran balik

sirkulasi.
Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-

tekanan negatif intra pleural, sehingga menyebabkan

transudasi. Cairan pleura yang ditemukan berupa

eksudat dan kadar glukosa dalam cairan pleura tersebut


mungkin menurun jika beban tumor dalam cairan pleura

cukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan

sitologik cairan pleura dan tindakan blopsi pleura yang

menggunakan jarum (needle biopsy).


6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai

pneumonia bakteri, abses paru atau bronkiektasis. Khas dari

penyakit ini adalah dijumpai predominan sel-sel PMN dan pada

beberapa penderita cairannya berwarna purulen (empiema).

Meskipun pada beberapa kasus efusi parapneumonik ini dapat

diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang diperlukan

pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut

Light, terdapat 4 indikasi untuk dilakukannya tube

thoracostomy pada pasien dengan efusi parapneumonik:


Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam

kavum pleura
Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada

cairan pleura
Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih

rendah daripada nilai pH bakteri.

Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena

efusi parapneumonik yang mengalir bebas dapat

berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.

7. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis

Rheumatoid, Skleroderma.
8. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi

parapneumonik.
b) Transudat, disebabkan oleh :
1. Gangguan kardiovaskular

Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis.

Sedangkan penyebab lainnya adalah perikarditis

konstriktiva, dan sindroma vena kava superior.


Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan

tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding

dada sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada pleura

parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan kapiler

pulmonal akan menurunkan kapasitas reabsorpsi

pembuluh darah subpleura dan aliran getah bening

juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan

ke rongg pleura dan paru-paru meningkat.

Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh

rongga dada dapat juga menyebabkan efusi pleura

yang bilateral. Tapi yang agak sulit menerangkan

adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi

pada sisi kanan.

Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan

jantungnya teratasi dengan istirahat, digitalis, diuretik

dll, efusi pleura juga segera menghilang. Kadang-

kadang torakosentesis diperlukan juga bila penderita

amat sesak.

2. Hipoalbuminemia

Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik

protein cairan pleura dibandingkan dengan tekanan

osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan bilateral

dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah

dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian

garam. Tapi pengobatan yang terbaik adalah dengan

memberikan infus albumin.

3. Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung

cairan pleura melalui lubang kecil yang ada pada

diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi biasanya di

sisi kanan dan biasanya cukup besar untuk

menimbulkan dyspneu berat. Apabila

penatalaksanaan medis tidak dapat mengontrol asites

dan efusi, tidak ada alternatif yang baik.

Pertimbangan tindakan yang dapat dilakukan adalah

pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal

venous shunt, torakotomi) dengan perbaikan terhadap

kebocoran melalui bedah, atau torakotomi pipa

dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.

4. Meigs Syndrom

Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada

penderita-penderita dengan tumor ovarium jinak dan

solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan sindrom

serupa : tumor ovarium kistik, fibromyomatoma dari

uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat rendah

tanpa adanya metastasis. Asites timbul karena sekresi

cairan yang banyak oleh tumornya dimana efusi

pleuranya terjadi karena cairan asites yang masuk ke

pleura melalui porus di diafragma. Klinisnya

merupakan penyakit kronis.

5. Dialisis Peritoneal

Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis

peritoneal. Efusi terjadi unilateral ataupun bilateral.

Perpindahan cairan dialisat dari rongga peritoneal ke

rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini


terbukti dengan samanya komposisi antara cairan

pleura dengan cairan dialisat.

c) Darah

Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut

hemothoraks. Kadar Hb pada hemothoraks selalu lebih

besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak

yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal

ini mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai

sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila

darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah

tersebut berasal dari trauma dinding dada.

C. Patofisiologis
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga

pleura berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura

parietalis yang saling bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan

normal juga selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui

kapiler pleura parietalis dan diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe

pleura viseralis dengan kecepatan yang seimbang dengan kecepatan

pembentukannya.
Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya

kecepatan proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan

penimbunan cairan secara patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme

yang berhubungan dengan terjadinya efusi pleura yaitu;


1). Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada

sirkulasi kapiler
2). Penurunan tekanan kavum pleura
3). Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari

rongga pleura.
Gambar 1. Patofisiologi efusi pleura

Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat

disebabkan oleh peradangan. Bila proses radang oleh kuman

piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga

empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah

sekitar pleura dapat menyebabkan hemothoraks. Proses


terjadinya pneumothoraks karena pecahnya alveoli dekat

parietalis sehingga udara akan masuk ke dalam rongga pleura.

Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada

daerah tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien

emfisema paru (Halim et al., 2007).

Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena

penyakit lain bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif,

sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum.

Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis

konstriktiva, keganasan, atelektasis paru dan pneumothoraks

(Halim et al., 2006).

Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang

menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura

meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau

kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga

pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah

karena mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis

eksudativa tuberkulosa (Halim et al., 2006). Penting untuk

menggolongkan efusi pleura sebagai transudatif atau eksudatif.

D. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan

fisik yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan,

biopsi dan analisa cairan pleura.

E. Manifestasi Klinis
a. Gejala Utama.

Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika

mekanika paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul

adalah sesak (Davey., 2003), berupa rasa penuh dalam dada

atau dispneu (Ward et al., 2007). Nyeri bisa timbul akibat

efusi yang banyak (Davey., 2003), berupa nyeri dada pleuritik


atau nyeri tumpul (Ward et al., 2007). Adanya gejala-gejala

penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri

dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril

(tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak.

Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika

terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan

b. Pemeriksaan Fisik.
Inspeksi. Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak

lebih cembung
Palpasi. Penurunan fremitus vocal atau taktil
Perkusi. Pekak pada perkusi,
Auskultasi. Penurunan bunyi napas
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila

terjadi atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat

menyebabkan bunyi napas bronkus (Ward et al., 2007).

Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk

akan berlainan, karena cairan akan berpindah tempat.

Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam

pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada

perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk

permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis

Ellis Damoiseu).

Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada

perkusi redup timpani

dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-

Rochfusz, yaitu daerah

pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain,

pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.


Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar

krepitasi pleura.

c. Pemeriksaan Penunjang.

Foto thoraks

Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang

terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan

seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi

dari pada bagian medial, tampak sudut kostrofrenikus

menumpul (Davey., 2003). Pada pemeriksaan foto dada posisi

lateral dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi

gravitasi (Halim et al., 2006).

Torakosentesis.

Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana

diagnostik maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya

dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah

paru sela iga garis aksilaris posterior dengan jarum abbocath

nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak

melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi. Untuk diagnosis

cairan pleura dilakukan pemeriksaan:

a. Warna cairan.
Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-santrokom).
b. Biokimia.
Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat. Perbedaannya dapat

dilihat pada tabel dibawah:


c. Sitologi.
Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila

ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu.


Sel neutrofil: pada infeksi akut
Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau

limfoma maligna).
Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru
Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
Sel giant: pada arthritis rheumatoid
Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
Sel maligna: pada paru/metastase.
d. Bakteriologi.
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat

mengandung mikroorganisme berupa kuman aerob atau anaerob.

Paling sering pneumokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas,

enterobacter (Halim et al., 2006).


Biopsi Pleura.
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan

tumor pleura. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks,

penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada (Halim et al., 2006).
F. Penatalaksanaan

Terapi penyakit dasarnya (Antibiotika).

Terapi Paliatif (Efusi pleura haemorhagic).

Torakosentesis.

Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan

diagnosis, aspirasi juga dapat dikerjakan dengan tujuan

terapetik. Torakosentesis dapat dilakukan sebagai berikut:

1 penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau

diletakkan diatas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat

dilakukan pada penderita dalam posisi tidur terlentang.


2 Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks,

atau di daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea

aksilaris media di bawah batas suara sonor dan redup.


3 Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan

dengan jarum berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan

aspirasi biasanya disebabkan karena penusukan jarum terlampaui

rendah sehingga mengenai diahfrahma atau terlalu dalam sehingga

mengenai jaringan paru, atau jarum tidak mencapai rongga pleura

oleh karena jaringan subkutis atau pleura parietalis tebal.

Gambar 2. Metode torakosentesis


4 Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc

pada setiap aspirasi. Untuk mencegah terjadinya edema paru akibat

pengembangan paru secara mendadak. Selain itu pengambilan


cairan dalam jumlah besar secara mendadak menimbulkan reflex

vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan hipotensi.


Pemasangan WSD.
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks

dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara

lambat dan aman. Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut:


1 Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8,

9 linea aksilaris media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea

medioklavikuralis.
2 Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal

selebar kurang lebih 2 cm sampai subkutis.


3 Dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.
4 Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai

mendapatkan pleura parietalis.


5 Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan

kemudian trokar ditarik. Pancaran cairan diperlukan untuk

memastikan posisi selang toraks.


6 Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta

dibebat dengan kasa dan plester.


7 Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura.

Ujung selang dihubungkan dengan botol penampung cairan

pleura. Ujung selang diletakkan dibawah permukaan air sedalam

sekitar 2 cm, agar udara dari luar tidak dapat masuk ke dalam

rongga pleura.
Gambar 3. Pemasangan jarum WSD
8 WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi

pada selang, kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru

mengembang. Untuk memastikan dilakukan foto toraks.


9 Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan

jaringan paru telah mengembang. Selang dicabut pada saat

ekspirasi maksimum.
Pleurodesis.
Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis,

merupakan penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang

digunakan adalah sitostatika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard,

5-fluorourasil, adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat

dikeluarkan sbanyak-banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg)

diberikan selang waktu 710 hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan

WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang

menghilangkan rongga pleura, sehingga mencegah penimbunan kembali

cairan dalam rongga tersebut.


Obat lain adalah tetrasiklin.
Pada pemberian obat ini WSD harus dipasang dan paru dalam keadaan

mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam 3050 ml larutan

garram faal, kemudian dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui

selang toraks, ditambah dengan larutan garam faal 1030 ml larutan garam

faal untuk membilas selang serta 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi

rasa nyeri yang ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik diberikan 11,5

jam sebelum pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi rasa nyeri

tersebut. Selang toraks diklem selama 6 jam dan posisi penderita diubah-

ubah agar penyebaran tetrasiklin merata di seluruh bagian rongga pleura.

Apabila dalam waktu 24 jam -48 jam cairan tidak keluar, selang toreaks

dapat dicabut.
G. Diagnosa Banding
o Konsolidasi paru akibat pneumoni
o Keganasan paru dengan disertai kolaps paru
o Pneumotoraks
o Fibrosis paru
H. Prognosa
Tergantung penyakit yang mendasari, pada kasus tertentu, dapat sembuh

sendiri setelah diberi pengobatan adekuat terhadap penyakit dasarnya.


wsd
A. Konsep Anatomi Fisiologi Pernapasan

Sistem pernapasan dapat disebut juga dengan sistem respirasi yang berarti

bernapas kembali. Sistem ini berperan menyediakan oksigen (O2) yang diambil dari

atmosfir dan mengeluarkan karbon dioksida (CO2) dari sel-sel (tubuh) menuju ke

udara bebas (Muttaqin, A. 2008: 24). Proses bernapas berlangsung dalam beberapa

langkah dan berlangsung dengan dukungan sistem saraf pusat dan sistem

kardiovaskuler. Pada dasarnya sistem pernapasan terdiri atas rangkaian saluran udara

yang menghantarkan udara luar agar dapat bersentuhan dengan membran kapiler

alveoli yang memisahkan antara sistem pernapasan dan sistem kardiovaskuler.

Fungsi utama paru adalah sebagai tempat pertukaran gas, dalam konteks ini maka

fisiologi sistem pernapasan dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu fungsi ventilasi,

perfusi dan pertukaran gas.

1. Ventilasi Paru

Yaitu udara bergerak masuk dan keluar dari paru-paru dikarenakan adanya

selisih tekanan udara di atmosfir dan alveolus dan di dukung oleh kerja mekanik otot-

otot (Soemantri I. 2008: 12). Dalam hal ini dinding thorax berfungsi sebagai

hembusan. Selama inspirasi volume thorax bertambah besar karena diafragma turun

dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot, seperti otot sternokleidomastoideus

yang mengangkat sternum ke atas serta otot serratus, otot scalenus dan otot

intercostalis eksternus berperan mengangkat iga, sedangkan otot

sternokleidomastoideus mengangkat sternum atas. Fungsi ventilasi atau paru-paru


adalah mengukur kemampuan dada dan paru-paru untuk menggerakan udara masuk

dan keluar alveoli (Hudak & Gallo, 1997: 452).

Mekanisme ventelasi adalah dimulai dari proses inspirasi. Selama inspirasi,

udara bergerak dari luar ke dalam trachea, bronchus, bronchiulus dan alveoli. Selama

ekspirasi, gas gas yang terdapat dalam alveolus prosesnya berjalan seperti inspirasi

dengan alur terbalik. Faktor fisik yang mempengaruhi keluar masuknya udara dari

dan ke paru-paru merupakan gabungan dari ventilasi mekanik yang terdiri atas :

a. Perbedaan Tekanan Udara

Udara mengalir dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah.

Selama inspirasi, pergerakan diafragma dan otot bantu pernapasan lainnya

memperluas ringga dada, sehingga menurunkan tekanan dalam rongga sampai di

bawah tekanan atmosfir. Hal ini menyebabkan udara tertarik melalui trachea dan

bronchus lalu masuk ke dalam alveoli.

b. Resistensi Jalan Udara

Peningkatan tekanan dari cabang bronchus dan adanya benda asing dalam

saluran napas mengakibatkan udara terhambat masuk ke dalam alveolus.

c. Komplian Paru-paru

Adalah kemampuan paru-paru untuk mengembang dan mengempis.Pada saat

inspirasi paru-paru mengembang dan saat ekspirasi paru-paru mengempis.

2. Perfusi Paru

Sirkulasi paru-paru memberikan darah vena campuran yang dikeluarkan

ventikel kanan jantung memberikan kesempatan untuk pertukaran gas sebelum

kembali ke atrium kanan. Sirkulasi paru-paru unuk dan berbeda dari organ khusus

sirkulasi lain (Hudak & Gallo, 1997: 456).

Di banding dengan tekanan sistemik, tekanan intrapulmonal lebih rendah.

Pada sirkulasi pulmonal systole/diastole = 25/8 m mmHg atau kurang lebih enam kali

lebih kecil daripada sirkulasi sistemik. Karena tekanan yang rendah ini maka efek
hidrostatiknya menjadi penting. Selain itu ada perbedaan yang nyata antara apek dan

basal paru pada keadaan berdiri.

Pertukaran gas paru selain dipengaruhi oleh ventelasi juga dipengaruhi oleh

perfusi paru itu sendiri. Ketidakseimbangan antara ventelasi dan perfusi akan

mempengaruhi pertukaran gas. Dalam hubungan antara ventelasi dan perfusi

kebanyakan penyakit respirasi mengalami ketidakseimbangan.

3. Pertukaran Gas/Difusi

Pertukaran gas atau yang sering disebut difusi. Pada tahap ini proses respirasi

mencakup proses gas-gas melintasi membrane antara alveolus-kapiler yang tipis,

yakni kurang dari 0,5 mm. Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih

tekanan parsial antara gas dan fase gas. Tekanan O2 dalam atmosfer sama dengan

tekanan laut yakni kurang lebih 149 mmHg atau dari 760 mmHg (Somantri, I. 2008:

13).

Menurut Hudak & Gallo (1997: 467) pertukaran gas yang paling penting

adalah masuknya oksigen dan dikeluarkannya karbondioksida. Faktor-faktor yang

menentukan kecepatan difusi gas melalui membrane paru-paru adalah :

a. Makin besar perbedaan tekanan pada membrane, makin cepat kecepatan difusi
b. Makin besar area membrane paru-paru makin besar kualitas gas yang dapat

berdifusi
melewati membrane dalam waktu tertentu.
c. Makin tipis membrane, makin cepat difusi gas melalui membrane tersebut ke

bagian yang berlawanan.


d. Koefisien difusi secara langsung proporsional terhadap kemampuan terlarut dari

ngas dalam cairan membrane paru-paru dan kebalikannya terhadap ukuran

molekul. Namun demikian molekul kecil yang berdifusi tinggi lebih cepat

daripada besarnya ukuran gas yang kurang dapat larut.

Koefisien difusi :
1). Oksigen : 1

2). Karbondioksida : 20.3

3). Nitrogen : 0,53.

Tekanan parsial oksigen dalam atmosfer pada permukaan laut besarnya

sekitar 149 mmHg (21 % dari 760 mmHg). Pada waktu oksigen di inspirasi dan

sampai alveolus maka tekanan parsial ini mengalami penurunan sampai sekitar 103

mmHg. Penurunan ini disebabkan tercampurnya udara dalam ruang rugi anatomis

saluran napas. Ruang rugi ini volumenya sekitar 1 ml udara per pound atau sekitar

150 ml untuk dewasa normal. Tekanan parsial oksigen dalam kapiler paru-paru

sebesar 40 mmHg. Karena perbedaan tekanan parsial ini maka oksigen dengan

mudah berdifusi dalam aliran darah. Demikian sebaliknya dengan keluarnya CO2.

Selisih tekanan CO2 antara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah (6 mmHg)

menyebabkan karbondioksida berdifusi ke dalam alveolus.

Dari fisiologi sistem pernapasan ini maka dapat disimpulkanbahwa ketiga

faktor tersebut di atas sangat menentukan keefektifan sistem jalan napas.

Adapun refleks pernapasan terbagi atas dua jenis yaitu :

1. Refleks Batuk (cough)

Saluran pernapasan memiliki bagian yang sangat peka terhadap rangsang.

Bagian tersebut adalah laring, trachea, dan bronchus sangat peka terhadap

perabaan (light touch), sedangkan bronchus terminalis dan alveoli peka terhadap

rangsang kimiawi.

Mekanisme terjadinya refleks batuk dimulai dari terangsangnya bagian-

bagian yang peka pada saluran pernapasan. Rangsang ditangkap oleh sensor taktil

dan kemoreseptor aferen melalui nervous vagus menuju pusat pernapasan (medulla

oblongata), misal rangsang yang berupa benda asing yang memasuki saluran

pernapasan bawah. Selanjutnya pusat pernapasan memerintahkan tubuh untuk

melakukan refleks batuk agar benda asing tersebut dapat dikeluarkan. Tubuh
merespons dengan menginspirasi udara ke paru-paru, menutup glotis oleh epiglotis,

menutup pita suara agar udara inspirasi tertahan di dalam paru-paru. Udara yang

tertahan menimbulkan tekanan dalam alveolus sehingga otot-otot abdomen dan

interkostalis interna berkontraksi dengan kuat lalu secara mendadak terjadilah

ekspirasi. Ekspirasi yang kuat mendadak membuat epiglottis dan pita suara terbuka

yang menyebabkan udara dengan cepat melewati bronkus besar dan trakhea sehingga

benda-benda asing keluar.

2. Refleks Bersin (sneeze)

Berbeda dengan refleks batuk, rangsang yang ada ditangkap oleh reseptor

taktil di hidung. Rangsang kemudian diteruskan ke nervous trigeminus dan

dilanjutkan ke pusat pernapasan di medulla oblongata.

Urutan mekanisme refleks sama dengan mekanisme refleks batuk, namun

pada refleks bersin uvula dikondisikan ke bawah, sehingga memungkinkan aliran

udara ekspirasi menjadi kuat dan dapat melalui rongga mulut dan rongga hidung.

Refleks besin bermanfaat untuk mengluarkan benda asing yang masuk rongga hidung

atau saluran pernapasan bagian bawah.

WSD

Definisi
WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan

udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura dengan menggunakan pipa penghubung

untuk

mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut. Dalam keadaan normal rongga

pleura memiliki tekanan negatif dan hanya terisi sedikit cairan pleura / lubrican.(1)

Perubahan Tekanan Rongga Pleura(1)

Tekanan Istirahat Inspirasi Ekspirasi


Atmosfir 760 760 760
Intrapulmoner 760 757 763
Intrapleural 756 750 756

Tujuan (5,6,7)

a. Mengalirkan/drainage udara atau cairan dari rongga pleura

untuk mempertahankan
b. tekanan negatif rongga tersebut.
c. Mengembangkan kembali paru yang kolaps
d. Memasukkan obat ke dalam rongga pleura.

Indikasi Pemasangan WSD(5,6,7)

a. Pneumothoraks :

o Spontan > 20% oleh karena rupture bleb


o Luka tusuk tembus
o Klem dada yang terlalu lama
o Kerusakan selang dada pada sistem drainase

b. Hemothoraks :

- Robekan pleura
- Kelebihan antikoagulan
- Pasca bedah thoraks

c. Hemopneumothorak

d. Thorakotomy :

Lobektomy
Pneumoktomy

e. Efusi pleura : Post operasi jantung


f. Emfiema :

Penyakit paru serius


Kondisi indflamsi

g. Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk

h. Flail Chest yang membutuhkan pemasangan ventilator

Kontra Indikasi Pemasangan WSD(5,6)

a. Hematothoraks masif yang belum mendapat penggantian cairan/darah


b. Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol
c. Perlekatan pleura yang luas.

Tempat Pemasangan WSD(5,6,7)

a. Bagian Apex paru


Yaitu pada anterolateral intercosta 1-2 yang berfungsi untuk mengeluarkan

udara dari rongga pleura.


b. Bagian Basal
Yaitu pada posterolateral intercosta ke 8-9 yang berfungsi untuk mengeluarkan

cairan (darah, pus) dari rongga pleura.

Jenis-jenis WSD(5,6,7)
A. WSD dengan sistem satu botol
Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien simple
pneumothoraks
Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2 lubang selang

yaitu 1 untuk ventilasi dan 1 lagi masuk ke dalam botol. Jenis ini

mempunyai 2 fungsi, sebagai penampung dan botol penampung


Air steril dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang terendam 2cm

untuk mencegah masuknya udara ke dalam tabung yang menyebabkan

kolaps paru

B. WSD dengan sistem 2 botol


Digunakan 2 botol ; 1 botol mengumpulkan cairan drainage dan botol ke-

2 botol water seal.


Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang awalnya kosong dan

hampa udara, selang pendek pada botol 1 dihubungkan dengan selang di

botol 2 yang berisi water seal. Dapat dihubungkan dengan suction control
Cairan drainase dari rongga pleura masuk ke botol 1 dan udara dari

rongga pleura masuk ke water seal botol 2


Prinsip kerjasama dengan ystem 1 botol yaitu udara dan cairan mengalir

dari rongga pleura ke botol WSD dan udara dipompakan keluar melalui

selang masuk ke WSD


Biasanya digunakan untuk mengatasi hemothoraks, hemopneumothoraks,

efusi peural
Keuntungannya adalah water seal tetappada satu level

C. WSD dengan sistem 3 botol


Sama dengan sistem 2 botol, ditambah 1 botol untuk mengontrol jumlah

hisapan yang digunakan. Selain itu terpasang manometer untuk

mengontrol tekanan
Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan
Yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air pada botol ke-3.

Jumlah hisapan tergantung pada kedalaman ujung selang yang tertanam

dalam air botol WSD


Drainage tergantung gravitasi dan jumlah hisapan yang ditambahkan
Botol ke-3 mempunyai 3 selang :
Tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan tube pada botol ke dua
Tube pendek lain dihubungkan dengan suction
Tube di tengah yang panjang sampai di batas permukaan air dan terbuka

ke atmosfer

Komplikasi Pemasangan WSD(5,6)

a. Laserasi, mencederai organ (hepar, lien)


b. Perdarahan
c. Empisema Subkutis
d. Tube terlepas
e. Infeksi
f. Tube tersumbat

Persiapan Pemasangan WSD(7)

a. Pengkajian
Memeriksa kembali instruksi dokter
Mencek inform consent
Mengkaji tanda-tanda vital dan status pernapasan pasien.

b. Persiapan Pasien
Siapkan pasien
Memberi penjelasan kepada pasien meliputi :

a) Tujuan tindakan

b) Posisi tubuh saat tindakan dan selama terpasang WSD, posisi klien

dapat duduk atau berbaring

c) Upaya-upaya untuk mengurangi rangsangan nyeri seperti nafas dalam

dan distraksi

d) Foto thoraks posterior-anterior dan lateral paru.

c. Persiapan alat dan bahan meliputi :

1) Trokar atau kateter toraks dengan nomor yang disesuaikan dengan bahan

yang

akan dialirkan, untuk udara nomor 18-20 dan untuk pus nomor 22-24.

2) Kasa steril

3) Plester

4) Alkohol 70% dan bethadin 10%

5) Spuit 5 cc sebanyak 2 buah

6) Lidocain solusio injeksi untuk anestesi local sebanyak 5 ampul

7) Botol WSD

8) Satu buah meja dengan satu set bedah minor

9) Duk steril

Prosedur Tindakan

a. Posisi pasien dengan sisi yang sakit menghadap ke arah dokter dengan

disandarkan pada kemiringan 30o-60o, tangan sisi paru yang sakit diangkat ke

atas kepala
b. Lakukan tindakan antiseptic menggunakan bethadin 10% dilanjutkan dengan

menggunakan alkohol 70% dengan gerakan berputar ke arah luar, pasang duk

steril dengan lubang tempat di mana akan dilakukan insersi kateter


c. Lakukan anestesi lokal lapis demi lapis dari kulit hingga pleura parietalais

menggunakan lidocain solusio injeksi, jangan lupa melakukan aspirasi sebelum

mengeluarkan obat pada setiap lapisan. Anestesi dilakukan pada daerah yang

akan di pasang WSD atau pada intercostalis 4-5 anterior dari mid axillary line
d. Langsung lakukan punksi percobaan menggunakan spuit anestesi tersebut
e. Lakukan sayatan pada kulit memanjang sejajar intercostalis lebih kurang 1 cm

lalu buka secara tumpul sampai ke pleura


f.Disiapkan jahitan matras mengelilingi kateter
g. Satu tangan mendorong trokar dan tangan lainnya memfiksir trokar untuk

membatasi masuknya alat ke dalam rongga pleura. Setelah trokar masuk ke

dalam rongga pleura, stilet dicabut dan lubang trokar di tutup dengan ibu jari.

Kateter yang sudah diklem pada ujung distalnya di insersi secara cepat melelui

trokar ke dalam rongga pleura. Kateter diarahkan ke anteroapikal pada

pneumothoraks dan posterobasal pada cairan pleura/empiema. Trokar dilepas

pada dinding dada. Kateter bagian distal dilepas dan trokar dikeluarkan
h. Setelah trokar ditarik, hubungkan kateter dengan selang dan masukkan ujung

selang ke dalam botol WSD yang telah diberi larutan bethadin yang telah

diencerkan dengan NaCl 0,9% dan pastikan ujung selang terendam sepanjang

dua cm
i. Perhatikan adanya undulasi pada selang penghubung dan terdapat cairan, darah dan

pus yang dialirkan atau gelembung udara pada botol WSD.


j. Fiksasi kateter dengan jahitan tabbac sac, lalu tutup dengan kasa steril yang telah di

beri bethadin dan fiksasi ke dinding dada dengan plester.(Standar Diagnosis &

Terapi Gawat Darurat, 2007: 70-72)

PEDOMAN PENCABUTAN

a. Kriteria pencabutan :

1) Sekrit serous, tidak hemoraged


2) Dewasa : jumlah kurang dari 100cc/24jam
3) Anak anak : jumlah kurang 25-50cc/24jam
4) Paru mengembang dengan tanda :
Auskultasi suara napas vesikuler kiri dan kanan
Perkusi bunyi sonor kiri dan kanan
Fibrasi simetris kiri dan kanan
Foto toraks paru yang sakit sudah mengembang
b. Kondisi :

1. Pada trauma
Hemato/pneumothorak yang sudah memenuhi kedua kriteria, langsung

dicabut dengan cara air-tight (kedap udara).


2. Pada thoracotomi
Infeksi : klem dahulu 24 jam untuk mencegah resufflasi, bila baik cabut
3. Post operatif : bila memenuhi kedua kriteria, langsug di cabut (air-tight)
4. Post pneumonektomi : hari ketiga bila mediastinum stabil (tak perlu air-

tight).

c. Alternatif

1. Paru tetap kolaps, hisap sampai 25 cmH20


2. Bila kedua krieria dipenuhi, klem dahulu 24 jam, tetap baik

lakukan pencabutan.
3. Bila tidak berhasil, tunggu sampai dua minggu, lakukan dekortikasi
4. Sekret lebih dari 200cc/24jam : curiga adanya Chylo toraks (pastikan

dengan pemeriksaan laboratorium), pertahankan sampai dengan empat

minggu, bila tidak berhasil dilakukan toracotomi


5. Bila sekret kurang dari 100cc/24jam, klem, kemudian dicabut.

PERAWATAN WSD(6)

1. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.

Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali,

dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan

tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.

2. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat

akan diberi analgetik oleh dokter.

3. Dalam perawatan yang harus diperhatikan :

Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan

tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian

masuknya slang dapat dikurangi.

Pergantian posisi badan.

Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal

kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan

pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau

menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.

4. Mendorong berkembangnya paru-paru.

1. Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.

2. Latihan napas dalam.

3. Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk

waktu slang diklem.

4. Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.

5. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.

Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika

perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika

banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan

keadaan pernapasan.

1. Suction harus berjalan efektif :

Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan

setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi.


Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna

muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.

Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika

suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke

1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di

bawah atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh

gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang

tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru.

Perawatan slang dan botol WSD/ Bullow drainage.

1. Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa

cairan yang keluar kalau ada dicatat.

2. Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan

adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.

3. Penggantian botol harus tertutup untuk mencegah udara

masuk yaitu mengklem slang pada dua tempat dengan

kocher.

4. Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas

botol dan slang harus tetap steril.

5. Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-

sendiri, dengan memakai sarung tangan.

Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada,

misal : selang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll WSD (Water Seal

Drainage)
DAFTAR PUSTAKA

(1) Smeltzer, S.C. & Bare. B.G., 2002. Brunner & Suddarths Textbook of Medical

Surgical Nursing 8thEdition Volume I, Jakarta: ECG.


(2) Koentjahja, Abiyoso, Agung S, Muktyati S. Pneumotoraks dan

Penatalaksanaannya. Kumpulan Makalah Simposium Dokter Umum Gawat

Darurat Paru, Surakarta, 3 Juli 1993; 39-45.

(3) Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC

(4) Anonymous. 2008. Askep Pemasangan WSD.www.scribd.com, Diakses 20

Desember 2010 Jam 08.00 WIB


(5) www.akper-insada.ac.id/sistem-pernapasan/water-seal-drainagewsd
(6) nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35532.html
(7) www.fkumyecase.net/.../index.php?...Water+Sealed+Drainage...

DAFTAR PUSTAKA

1 Jeremy, et al. Efusi Pleura. At a Glance Medicine Edisi kedua.

EMS. Jakarta : 2008.

2 Jeremy, et al. Penyakit Pleura. At a Glance Sistem respirasi Edisi

kedua. EMS. Jakarta : 2008.

3 Halim, Hadi. Penyakit Penyakit Pleura. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid II. 2007. Balai Penerbit FK UI Jakarta.


4 Prasenohadi. The Pleura. Universitas Indonesia. 2009

5 Maryani. 2008. Efusi Pleura. Diakses dari

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/pleura.pdf pada

tanggal 06 April 2011

6 Ewingsa. 2009. Efusi Pleura. Diakses dari

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/efusipleura.pdf

pada tanggal 06 April 2011

WSD ( Water Seal Drainage )

Pengertian :
Merupakan tindakan invasif yang dialakukan untuk mengeluarkan udara,
cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thoraks, dan mediastinum
dengan menggunakan pipa penghubung.

Indikasi dan tujuan pemasangan WSD


1. Indikasi :
Pneumotoraks, hemotoraks, empyema
Bedah paru :
- karena ruptur pleura udara dapat masuk ke dalam
rongga pleura
- reseksi segmental msalnya pada tumor, TBC
- lobectomy, misal pada tumor, abses, TBC
2. Tujuan pemasangan WSD
Memungkinkan cairan ( darah, pus, efusi pleura ) keluar dari
rongga pleura
Memungkinkan udara keluar dari rongga pleura
Mencegah udara masuk kembali ke rongga pleura yang dapat
menyebabkan pneumotoraks
Mempertahankan agar paru tetap mengembang dengan jalan
mempertahankan tekanan negatif pada intra pleura.

Prinsip kerja WSD


1. Gravitasi : Udara dan cairan mengalir dari tekanan yang tinggi
ke tekanan yang rendah.
2. Tekanan positif : Udara dan cairan dalam kavum pleura ( + 763
mmHg atau lebih ). Akhir pipa WSD menghasilkan tekanan WSD
sedikit ( + 761 mmHg )
3. Suction

Jenis WSD
1. Satu botol
Sistem ini terdiri dari satu botol dengan penutup segel. Penutup
mempunyai dua lobang, satu untuk ventilasi udara dan lainnya
memungkinkan selang masuk hampir ke dasar botol. Keuntungannya
adalah :
- Penyusunannya sederhana
- Mudah untuk pasien yang berjalan
Kerugiannya adalah :
- Saat drainase dada mengisi botol lebih banyak kekuatan yang
diperlukan
- Untuk terjadinya aliran tekanan pleura harus lebih tinggi dari
tekanan botol
- Campuran darah dan drainase menimbulkan busa dalam botol
yang membatasi garis pengukuran drainase
2. Dua botol
Pada sistem dua botol, botol pertama adalah sebagai botol
penampung dan yang kedua bekerja sebagai water seal. Pada sistem
dua botol, penghisapan dapat dilakukan pada segel botol dalam air
dengan menghubungkannya ke ventilasi udara.
Keuntungan :
- Mempertahankan water seal pada tingkat konstan
- Memungkinkan observasi dan pengukuran drainage
yang lebih baik

Kerugian :
- Menambah areal mati pada sistem drainage yang potensial untuk
masuk ke dalam area pleura.
- Untuk terjadinya aliran, tekanan pleura harus lebih tinggi dari
tekanan botol.
- Mempunyai batas kelebihan kapasitas aliran udara pada kebocoran
udara.

3. Tiga botol
Pada sistem tiga botol, botol kontrol penghisap ditambahkan ke sistem
dua botol. Botol ketiga disusun mirip dengan botol segel dalam air.
Pada sistem ini yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air
pada botol ketiga dan bukan jumlah penghisap di dinding yang
menentukan jumlah penghisapan yang diberikan pada selang dada.
Jumlah penghisap di dinding yang diberikan pada botol ketiga harus
cukup unutk menciptakan putaran-putaran lembut gelembung dalam
botol. Gelembung kasar menyebabkan kehilangan air, mengubah
tekanan penghisap dan meningkatkan tingkat kebisingan dalam unit
pasien. Untuk memeriksa patensi selang dada dan fluktuasi siklus
pernafasan, penghisap harus dilepaskan saat itu juga.
Keuntungan :
- sistem paling aman untuk mengatur pengisapan.
Kerugian :
- Lebih kompleks, lebih banyak kesempatan untuk terjadinya
kesalahan dalam perakitan dan pemeliharaan.
- Sulit dan kaku untuk bergerak / ambulansi

4. Unit drainage sekali pakai


Pompa penghisap Pleural Emerson
Merupakan pompa penghisap yang umum digunakan sebagai
pengganti penghisap di dinding. Pompa Penghisap Emerson ini
dapat dirangkai menggunakan sistem dua atau tiga botol.
Keuntungan :
- Plastik dan tidak mudah pecah
Kerugian :
- Mahal
- Kehilangan water seal dan keakuratan pengukuran drainage bila
unit terbalik.
Fluther valve
Keuntungan :
- Ideal untuk transport karena segel air dipertahankan
bila unit terbalik
- Kurang satu ruang untuk mengisi
- Tidak ada masalah dengan penguapan air
- Penurunan kadar kebisingan
Kerugian :
- Mahal
- Katup berkipas tidak memberikan informasi visual pada tekanan
intra pleural karena tidak adanya fluktuasi air pada ruang water
seal.
Calibrated spring mechanism
Keuntungan :
- Idem
- Mampu mengatasi volume yang besar
Kerugian
- Mahal

Tempat pemasangan WSD


1. Bagian apeks paru ( apikal )
2. Anterolateral interkosta ke 1- 2 untuk mengeluarkan udara bagian
basal
3. Posterolateral interkosta ke 8 9 untuk mengeluarkan cairan ( darah,
pus ).

Persiapan pemasangan WSD


Perawatan pra bedah
1. Menentukan pengetahuan pasien mengenai prosedur.
2. Menerangkan tindakan-tindakan pasca bedah termasuk letak incisi,
oksigen dan pipa dada, posisi tubuh pada saat tindakan dan
selama terpasangnya WSD, posisi jangan sampai selang tertarik
oleh pasien dengan catatan jangan sampai rata/ miring yang akan
mempengaruhi tekanan.
3. Memberikan kesempatan bagi pasien untuk bertanya atau
mengemukakan keprihatinannya mengenai diagnosa dan hasil
pembedahan.
4. Mengajari pasien bagaimana cara batuk dan menerangkan batuk
serta pernafasan dalam yang rutin pasca bedah.
5. Mengajari pasien latihan lengan dan menerangkan hasil yang
diharapkan pada pasca bedah setelah melakukan latihan lengan.

Persiapan alat
1. Sistem drainase tertutup
2. Motor suction
3. Selang penghubung steril
4. Cairan steril : NaCl, Aquades
5. Botol berwarna bening dengan kapasitas 2 liter
6. Kassa steril
7. Pisau jaringan
8. Trocart
9. Benang catgut dan jarumnya
10.Sarung tangan
11.Duk bolong
12.Spuit 10 cc dan 50 cc
13.Obat anestesi : lidocain, xylocain
14.Masker

Perawatan pasca bedah


Perawatan setelah prosedur pemasangan WSD antara lain :
1. Perhatikan undulasi pada selang WSD
2. Observasi tanda-tanda vital : pernafasan, nadi, setiap 15 menit
pada 1 jam pertama
3. Monitor pendarahan atau empisema subkutan pada luka operasi
4. Anjurkan pasien untuk memilih posisi yang nyaman dengan
memperhatikan jangan sampai selang terlipat
5. Anjurkan pasien untuk memegang selang apabila akan mengubah
posisi
6. Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu
7. Ganti botol WSD setiap tiga hari dan bila sudah penuh, catat
jumlah cairan yang dibuang
8. Lakukan pemijatan pada selang untuk melancarkan aliran
9. Observasi dengan ketat tanda-tanda kesulitan bernafas, cynosis,
empisema.
10.Anjurkan pasiuen untuk menarik nafas dalam dan bimbing cara
batuk yang efektif
11.Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh

Bila undulasi tidak ada, ini mempunyai makna yang sangat penting
karena beberapa kondisi dapat terjadi antara lain :
1. Motor suction tidak jalan
2. Selang tersumbat atau terlipat
3. Paru-paru telah mengembang
Oleh karena itu harus yakin apa yang menjadi penyebab, segera
periksa kondisi sistem drainase, amati tanda-tanda kesulitan bernafas.

Cara mengganti botol WSD


1. Siapkan set yang baru. Botol yang berisi aguades ditambah
desinfektan.
2. Selang WSD diklem dulu
3. Ganti botol WSD dan lepas kembali klem
4. Amati undulasi dalam selang WSD.

Indikasi pengangkatan WSD


1. Paru-paru sudah reekspansi yang ditandai dengan :
- Tidak ada undulasi
- Tidak ada cairan yang keluar
- Tidak ada gelembung udara yang keluar
- Tidak ada kesulitan bernafas
- Dari rontgen foto tidak ada cairan atau udara
2. Selang WSD tersumbat dan tidak dapat diatasi dengan spooling atau
pengurutan pada selang.
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN WSD

1. Pengkajian
a. Sirkulasi
- Taki kardi, irama jantung tidak teratur ( disaritmia )
- Suara jantung III, IV, galop / gagal jantung sekunder
- Hipertensi / hipotensi
b. Nyeri
Subyektif :
- Nyeri dada sebelah
- Serangan sering tiba-tiba
- Nyeri bertambah saat bernafas dalam
- Nyeri menyebar ke dada, badan dan perut
Obyektif
- Wajah meringis
- Perubahan tingkah laku
c. Respirasi
Subyektif :
- Riwayat sehabis pembedahan dada, trauma
- Riwayat penyakit paru kronik, peradangan, infeksi paru,
tumor, biopsi paru.
- Kesulitan bernafas
- Batuk
Obyektif :
- Takipnoe
- Peningkatan kerja nafas, penggunaan otot bantu dada, retraksi
interkostal.
- Fremitus fokal
- Perkusi dada : hipersonor
- Pada inspeksi dan palpasi dada tidak simetris
- Pada kulit terdapat sianosis, pucat, krepitasi subkutan
d. Rasa aman
- Riwayat fraktur / trauma dada
- Kanker paru, riwayat radiasi / khemotherapi
e. Pengetahuan
- Riwayat keluarga yang mempunyai resiko tinggi seperti TB,
Ca.
- Pengetahuan tentang penyakit, pengobatan, perawatan.

2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan


Dx.1. Tidak efektifnya pola nafas sehubungan dengan :
- Penurunan ekspansi paru
- Penumpukan sekret / mukus
- Kecemasan
- Proses peradangan
Ditandai dengan :
- Dyspnoe, takipnoe
- Nafas dalam
- Menggunakan otot tambahan
- Sianosis, arteri blood gas abnormal ( ABGs )
Kriteria evaluasi
- Pernafasan normal / pola nafas efektif dengan tidak adanya sianosis,
gejala hipoksia dan pemeriksaan ABGs normal.

Intervensi keperawatan dan rasionalisasi


Independen
a. Identifikasi faktor presipitasi, misal :
- Kolaps spontan, trauma keganasan, infeksi komplikasi dari mekanik
pernafasan
Memahami penyebab dari kolaps paru sangat penting untuk
mempersiapkan WSD pada ( hemo/pneumotoraks ) dan
menentukan untk terapi lainnya.
b. Evaluasi fungsi respirasi, catat naik turunnya/pergerakan dada, dispnoe,
kaji kebutuhan O2, terjadinya sianosis dan perubahan vital signs.
Tanda-tanda kegagalan nafas dan perubahan vital signs merupakan
indikasi terjadinya syok karena hipoksia, stress dan nyeri.
c. Auskultasi bunyi pernafasan
- Kemungkinan akibat dari berkurangnya atau tidak berfungsinya
lobus, segmen, dan salah satu dari paru-paru
- Pada daerah atelektasis suara pernafasan tidak terdengar tetapi
bila hanya sebagian yang kolaps suara pernafasan tidak terdengar
dengan jelas.
- Hal tersebut dapat menentukan fungsi paru yang baik dan ada
tidaknya atelektasis paru.
d. Catat pergerakan dada dan posisi trakea
Pergerakan dada yang terjadi pada saat inspirasi maupun ekspirasi
tidak sama dan posisi trakea akan bergeser akibat adanya tekanan
peumotoraks.
e. Kaji fremitus
Suara dan fibrasi fremitus dapat membedakan antara daerah yang
terisi cairan dan adanya pemadatan jaringan
f. Bantu pasien dengan menekan pada daerah yang nyeri sewaktu batuk
dan nafas dalam
Dengan penekanan akan membantu otot dada dan perut sehingga
dapat batuk efektif dan mengurangi trauma
g. Pertahankan posisi yang nyaman dengan kepala lebih tinggi dari kaki
- Miringkan dengan arah yang sesuai dengan posisi cairan / udara
yang ada di dalam rongga pleura
- Bantu untuk mobilisasi sesuai dengan kemampuannya secara
bertahap dan beri penguatan setiap kali pasien mampu
melaksanakannya.
Mendukung untuk inspirasi maksimal, memperluas ekspirasi paru-
paru dan ventilasi.
h. Bantu pasien untuk mengatasi kecemasan /ketakutan dengan
mempertahankan sikap tenang, membantu pasien untk mengontrol
dengan nafas dalam.
Kecemasan disebabkan karena adanya kesulitan dalam pernafasan
dan efek psikologi dari hipoksia.

Bila WSD terpasang


Cek ruang kontrol suction untuk jumlah cairan yang keluar dengan tepat
( untuk batas air dinding regulator terpasang dengan benar ).
Mempertahankan tekanan negatif intra pleural dengan
mempertahankan ekspansi paru secara optimal atau dari drainage
cairan.
Cek batas cairan dari botol WSD, pertahankan dan tentukan pada batas
yang telah ditetapkan.
Cairan dalam botol WSD untuk mencegah terjadi tekanan udara dalam
rongga pleura pada waktu suction tidak digunakan dan sebagai alat
untuk evaluasi apakah sistem drainage berfungsi atau tidak.
Observasi gelembung udara pada botol WSD
- Gelembung udara merupakan udara yang keluar akibat adanya
reflek ekspansi pada pneumotoraks. Gelmbung udara biasanya
terjadi sebagai akibat dari penurunan pengembangan paru atau
terjadi selama ekspansi atau batuk pada fungsi rongga pleura
menurun.
- Tidak ditemukannya gelembung udara berarti ekspansi paru normal
atau terjadi hambatan seperti obstruksi pada selang.
Evaluasi gelembung udara yang terjadi.
Dengan suction yang terpasang dapat mengidikasikan adanya
kebocoran udarayang menetap mungkin dari pneumotoraks yang luas,
luka insersi dari selang atau dari sistem WSD.
Tentukan lokasi kebocoran pada pasien atau WSD ( dengan memasang
klem pada selang kateter toraks distal ) dengan sedikit ditarik keluar.
Apakah bubbling terhenti ketika kateter di klem, maka kebocoran
terjadi pada klien.
Catat jumlah cairan yang keluar dari botol WSD
Rongga WSD menunjukkan adanya tekanan intra pleura dimana terjadi
perbedaan tekanan pada waktu inspirasi dan ekspirasi. Perbedaan
tersebut normal 2 6 cm.
Monitor untuk undulasi abnormal dan catat apabila ada perubahan yang
menetap atau sementara.
Peningkatan fluktuasi tidak terjadi pada saat batuk. Bila terjadi
obstruksi menunjukkan adanya pneumotoraks yang luas sehingga
peningkatan tersebut akan berlangsung secara terus menerus.
Atur posisi sistem drainage agar berfungsi seoptimal mungkin, misalnya
sisakan panjang selang pada tempat tidur, yakinkan bahwa selang itu
tidak kaku dan menggantung di atas WSD, keluarkan akumulasi cairan bila
perlu.
Bila posisi tidak baik, menekuk atau adanya akumulasi cairan akan
mengakibatkan tekanan berkurang pada wSD dan mengurangi
pengeluaran udara dan cairan berkurang.
Evaluasi apakah perlu tube tersebut dilakukan pengurutan
Menarik / menekan diperlukan untuk mengeluarkan gumpalan darah /
eksudat drainage.
Tekan selang dengan hati-hati pada setiap kali melakukannya, jangan
sampai mempengaruhi tekanan yang ada.
Penarikan biasanya dirasakan kurang nyaman oleh pasien sebab akan
mempengaruhi tekanan intra toraks yang menyebabkan batuk dan
nyeri dada. Penarikan yang salah dapat menimbulkan trauma /injury
misalnya; invaginasi jaringan, kolaps jaringan di sekitar kateter atau
perdarahan dari dinding kapiler.

Bila WSD tidak terpasang


Perhatikan adanya tanda-tanda respirasi distress kemudian hubungkan
toraks kateter dengan selang suction. Perhatikan tehnik aseptik. Apabila
kateter tercabut, tutup luka insersi dengan dressing dengan sedikit
tekanan dan segera lapor ke dokter.
Dapat terjadi pneumotoraks

Setelah selang dilepas


Observasi tanda dan gejala bila kemungkinan terjadi kembali
pneumotoraks seperti nafas pendek, mengeluh nyeri. Tutup luka dengan
dressing steril, observasi keadaan luka.
Deteksi dini dari adanya komplikasi sangat penting, misalnya
pneumotoraks kembali / infeksi.

Kolaborasi
Lakukan fototoraks ulang
Untuk memonitor terjadinya hemo/pneumotoraks dan pengembangan
paru.
Periksa ulang analisa gas darah, tekana O2 dan tidal volume.
Mengetahui pertukaran gas dan ventilasi untuk menentukan therapi
selanjutnya.
Perhatikan apabila membutuhkan penambahan O2
Merupakan alat bantu pernafasan, mencegah terjadinya respiratory
distress syndrom dan sianosis akibat hipoksemia.

Dx 2. Injuri, potensial terjadi trauma / hypoksia sehubungan dengan ;


pemasangan alat WSD, kurangnya pengetahuan tentang WSD ( prosedur dan
perawatan )
Kriteria evaluasi :
- mengenal tanda-tanda komplikasi
- pencegahan lingkungan / bahaya fisik lingkungan

Intervensi perawatan dan rasionalisasi


Independen
a. Review dengan pasien akan tujuan / fungsi drainege, catat/ perhatikan
tujuan yang penting dalam penyelamatan jiwa
Informasi tentang kerja WSD akan mengurangi kecemasan
b. Fiksasi kateter thoraks pada didnding dada dan sisakan panjang kateter
agar pasien dapat bergerak atau tidak terganggu pergerakannya.
Mencegah lepasnya kateter dan mengurangi nyeri akibat terpasangnya
kateter dada
Perhatikan bahwa sambungan selang kateter dengan WSD aman
Mencegah lepasnya sambungan selang
Lapisi dengan kasa pada insersis kateter
Mencegah iritasi kulit
c. Usahakan WSD berfungsi dengan baik dan aman dengan meletakkannya
ebih rendah dari bed pasien di lantai atau troli.
Mempertahankan posisi gaya gravitasi dan mengurangi resko
kerusakan ataupun pecahnya unit WSD
d. Lengkapi dengan alat transportasi yang aman bila dibawa ke lain unit
untuk pemeriksaan diagnostik
- Sebelum berangkat cek WSD, batas cairan, ada tidaknya
gelembung, undulasi ( derajat dan waktunya )
- Yakinkan chest tube dapat di klem atau dilipat dari suction / WSD
Mempertahankan berlangsungnya pengeluaran cairan / udara
secara optimal selama transportasi bila pengeluaran cairan dari
rongga dada banyak kateter jangan di klem, suction jangan dicabut
sebab dapat mengakibatkan adanya akumulasi cairan / udara
sehingga timbul gangguan respirasi.
e. Monitor insersi kateter pada dinding dada, perhatikan keadaan kulit di
sekitar kateter drainage. Ganti dressing dengan kassa steril setiap kali
diperlukan.
Untuk mengetahui keadaan kulit seperti infeksi, erosi jaringan sedini
mungkin
f. Anjurkan pasien untuk tidak menekan atau membebaskan selang dari
tekanan, misalnya tertindih tubuh.
Mengurangi resiko obstruksi drain atau lepasnya sambungan selang.
g. Kaji perubahan yang terjadi, catat ; beri tindakan perawatan jika :
- perubahan suara bubling
- kebutuhan O2 yang tiba-tiba
- nyeri dada
- lepasnya selang
Intervensi yang tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi
h. Observasi adanya tanda-tanda respirasi distress bila kateter thoraks
tercabut.
Pneumothoraks dapat terjadi sehingga timbul gangguan fungsi
pernafasan yang memerlukan tindakan emergency

Dx 3. Kurangnya pengetahuan sehubungan dengan kurangnya informasi


Kriteria evaluasi :
- Menyebutkan penyebab penyakit
- Dapat mengidentifikasi tanda / gejala untuk perawatan /
pengobatan lebih lanjut
- Mengikuti program therapi dan menunjukkan adanya perubahan
pola hidup untuk mencegah timbulnya / kambuhnya penyakit.

Intervensi keperawatan dan rasionalisasi


Independen
a. Review patologi penyakit dengan klien
Informasi dapat menurunkan kecemasan / ketakutan akibat ketidak
tahuan. Pengetahuan mendasari pemahaman akan keadaan adan
pentingnya intervensi therapiutik.
b. Identifikasi adanya kekambuhan penyakit / komplikasi
Penyakit paru COPD + malignant merupakan penyebab terjadinya
kekambuhan penyakit. Pada klien sehat tapi menderita spontaneus
pneumotoraks kekambuhan berkisar 10 15%, yang sudah kambuh
dua kali resiko untuk menderita kembali sekitar 60%.
c. Review tanda dan gejala yang perlu tindakan medis segera; nyeri dada
tiba-tiba, dispnoe, distress respiratory.
Kambuhnya pneumo/hemothoraks memerlukan tindakan medis untuk
mencegah/mengurangi terjadinya komplikasi
d. Review pentingnya pola hidup sehat ; nutrisi adekuat, istirahat, latihan.
Mempertahankan kesehatan secara umum dan mencegah terjadinya
kekambuhan.

I. PENGERTIAN WSD

Water Seal Drainage ( WSD ) merupakan suatu intervensi yang penting untuk
memperbaiki pertukaran gas dan pernapasan pada periode pasca operatif yang dilakukan pada

daerah thorax khususnya pada masalah paru-paru.

WSD adalah suatu tindakan invansif yang dilakukan dengan memasukan suatu kateter/ selang

kedalam rongga pleura ,rongga thorax,mediastinum dengan maksud untuk mengeluarkan


udara, cairan termasuk darah dan pus dari rongga tersebut agar mampu mengembang atau

ekspansi secara normal.

Bedanya tindakan WSD dengan tindakan punksi atau thorakosintesis adalah pemasangan

kateter / selang pada WSD berlangsung lebih lama dan dihubungkan dengan suatu botol
penampung.
Macam-Macam metode dari WSD :

a. Sistem WSD Botol Tunggal

Sistem ini terdiri dari satu botol dengan penutup segel. Penutup mempunyai dua lubang, satu

untuk ventilasi udara dan lubang yang lain memungkinkan selang masuk kedalam botol.

Keuntungan :

Penyusunan sederhana

Memudahkan untuk mobilisasi pasien

Kerugian :

Saat melakukan drainage, perlu kekuatan yang lebih besar dari ekspansi dada untuk

mengeluarkan cairan / udara

Untuk terjadinya aliran kebotol, tekanan pleura harus lebih tinggi dari tekanan dalam

botol

Kesulitan untuk mendrainage udara dan cairan secara bersamaan.

b. Sistem WSD Dua Botol

Pada sistem dua botol, botol pertama adalah sebagai botol penampung dan yang kedua

bekerja sebagai water seal. Pada sistem dua botol, penghisapan dapat dilakukan pada segel
botol dalam air dengan menghubungkannya ke ventilasi udara.

Keuntungan :

Mampu mempertahankan water seal pada tingkat yang konstan


Memungkinkan observasi dan tingkat pengukuran jumlah drainage yang keluar dengan

baik

Udara maupun cairan dapat terdrainage secara bersama-sama .

Kerugian :

Untuk terjadinya aliran, tekanan pleura harus lebih tinggi dari tekanan botol

Mempunyai batas kelebihan kapasitas aliran udara sehingga dapat terjadi kebocoran

udara.

c. Sistem WSD Tiga Botol

Pada sistem tiga botol, sistem dua botol ditambah dengan satu botol lagi yang berfungsi

untuk mengatur / mengontrol jumlah drainage dan dihubungkan dengan suction. Pada sistem
ini yang terpenting adalah kedalaman selang dibawah air pada botol ketiga. Jumlah penghisap

didinding yang diberikan botol ketiga harus cukup untuk menciptakan putaran-putaran
lembut gelembung dalam botol. Gelembung yang kasar menyebabkan kehilangan air,

mengubah tekanan penghisap dan meningkatkan tingkat kebisingan .

Keuntungan :

Sistem paling aman untuk mengatur penghisapan

Kerugian :

Perakitan lebih kompleks sehingga lebih mudah terjadi kesalahan pada pada perakitan

dan pemeliharaan

Sulit untuk digunakan jika pasien ingin melakukan mobilisasi

d. Sistem WSD sekali pakai / disposable


Jenis-jenisnya :

Pompa penghisap Pleural Emerson

Merupakan pompa penghisap yang umum digunakan sebagai pengganti penghisap di


dinding. Pompa Penghisap Emerson ini dapat dirangkai menggunakan sistem dua atau tiga

botol.

Keuntungan :

Plastik dan tidak mudah pecah

Kerugian :

Mahal

Kehilangan water seal dan keakuratan pengukuran drainage bila unit terbalik.

Fluther valve

Keuntungan :

Ideal untuk transport karena segel air dipertahankan bila unit terbalik

Kurang satu ruang untuk mengisi

Tidak ada masalah dengan penguapan air

Penurunan kadar kebisingan

Kerugian :

Mahal

Katup berkipas tidak memberikan informasi visual pada tekanan intra pleural karena
tidak adanya fluktuasi air pada ruang water seal.

Calibrated spring mechanism

Keuntungan :

Mampu mengatasi volume yang besar

Kerugian

Mahal

Gambar sistem WSD disposable :

2. INDIKASI , TUJUAN DAN LOKASI PEMASANGAN WSD

a. Indikasi
1. Pneumothoraks yang disebabkan oleh :

- Spontan > 20 % karena rupture bleb

- Luka tusuk tembus

- Klem dada yang terlalu lama

- Kerusakan selang dada pada sistem drainage

2. Hemothoraks yang disebabkan oleh :

- robekan pleura

- kelebihan antikoagulan

- pasca bedah thoraks

3. Empyema disebabkan oleh :

- Penyakit paru serius

- Kondisi inflamasi

4. Bedah paru karena :

- Ruptur pleura sehingga udara dapat masuk kedalam rongga pleura

- Reseksi segmental. Misalnya : pada tumor paru , TBC

- Lobectomy. Missal : pada tumor paru, abses, TBC

- Pneumektomi.

5. Efusi pleura yang disebabkan oleh :


- Post operasi jantung

b. Tujuan

1. Memungkinkan cairan ( darah, pus, efusi pleura ) keluar dari rongga pleura

2. Memungkinkan udara keluar dari rongga pleura

3. Mencegah udara masuk kembali ke rongga pleura ( reflux drainage) yang dapat

menyebabkan pneumotoraks

4. Mempertahankan agar paru tetap mengembang dengan jalan mempertahankan tekanan

negatif pada intra pleura.

c. Lokasi

1) Apikal

- Letak selang pada intercosta III midclavicula

- Dimasukan secara anterolateral


- Fungsi : Untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura

2) Basal

- Letak selang pada intercosta V-VI atau intercosta VIII-IX midaksilaler

- Fungsi : Untuk mengeluarkan cairan dan rongga pleura

3. KONSEP FISIOLOGI TINDAKAN WSD TERHADAP TUBUH

Paru-paru disokong dalam rongga dada oleh tekanan negative. Tekanan negative ini
dibuat oleh dua kekuatan yang berlawanan. Pertama kecenderungan dinding dada untuk

mengembang kedepan dan belakang. Kedua adalah kecenderungan jaringan alveolar elastis
untuk berkontraksi.

Analogi adalah dua lapisan mikroskopik yang saling mengikat tetesan air yang terletak
diantaranya.

Kedua lapisan tersebut adalah lapisan visceral dan lapisan pleural parietal. Tetesan air adalah
cairan pleura.

Sesuai analogi lapisan tersebut, upaya kekuatan yang berlawanan untuk menarik pleura pada
arah yang berbeda. Terjadinya tekanan paru negative yang mengikat paru dengan kencang

pada dinding dada akan mencegah paru menjadi kolaps.Selama inspirasi, tekanan intrapleura
akan menjadi lebih negative. Pada ekspirasi, tekanan menjadi kurang negatif.

4. PENGKAJIAN

a. Sirkulasi

- Taki kardi, irama jantung tidak teratur ( aritmia )

- Suara jantung III, IV, galop / gagal jantung sekunder

- Hipertensi / hipotensi
b. Nyeri

Subyektif :

- Nyeri dada sebelah

- Serangan sering tiba-tiba

- Nyeri bertambah saat bernafas dalam

- Nyeri menyebar ke dada, badan dan perut

Obyektif

- Wajah meringis

- Perubahan tingkah laku ( pergerakan hati-hati pada daerah yang sakit, prilaku

distraksi )

c. Respirasi

Subyektif :

- Riwayat sehabis pembedahan dada, trauma

- Riwayat penyakit paru kronik, peradangan, infeksi paru, tumor, biopsi paru.

- Kesulitan bernafas

- Batuk

Obyektif :

- Takipnoe

- Peningkatan kerja nafas, penggunaan otot bantu dada, retraksi interkostal.

- Fremitus menurun pada sisi yang abnormal


- Perkusi dada : hipersonor

- Pada inspeksi dan palpasi dada tidak simetris

- Pada kulit terdapat sianosis, pucat, krepitasi subkutan daerah dada, berkeringat,

d. Rasa aman

- Riwayat fraktur / trauma dada

- Kanker paru, riwayat radiasi / khemotherapi

e. Integritas ego

- cemas, ketakutan, gelisah

f. Pengetahuan

- Riwayat keluarga yang mempunyai resiko tinggi seperti TB, Ca.

- Pengetahuan tentang penyakit, pengobatan, perawatan.

5. DIAGNOSIS KEPERWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL

1. Nyeri akut berhubungan dengan tindakan insisi pemasangan WSD

DS :

- mengatakan nyeri dada sebelah

- serangan nyeri sering tiba-tiba

- nyeri bertambah saat bernapas dalam

- nyeri menyebar kedada,badan dan perut

DO :
- wajah tampak meringis

- perubahan prilaku (pergerakan hati-hati pada daerah yang sakit, prilaku distraksi )

- Perubahan tanda-tanda vital terutama nadi biasanya meningkat.

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru akibat

penumpukan cairan/ udara,nyeri luka insisi, ditandai dengan

DS :

- klien mengatakan mempunyai riwayat pembedahan dada,trauma

- Riwayat penyakit paru kronik,peradangan paru, tumor paru,

- Mengatakan sulit bernapas akibat nyeri

- batuk-batuk.

DO :

- Takipnea

- Peningkatan kerja napas, penggunaan otot Bantu pernapasan,retraksi intercosta

- Perkusi dada : Hipersonor

- Pada inspeksi dan palpasi pergerakan dada tidak simetris

- Pada kulit terjadi sianosis, pucat, berkeringat dan terjadi krepitasi subcutan daerah

dada.

3. Sindrome kurang perawatan diri berhubungan dengan nyeri dan pola napas tidak efektif

akibat pemasangan selang WSD ditandai dengan

DS :
- Klien mengungkapkan nyeri pada saat melakukan mobilisasi

- Klien mengungkapkan tidak dapat memenuhi ADL nya karena nyeri dan sesak

DO :

- Klien tampak membatasi pergerakanya dan tidak mampu memenuhi ADL nya

- Pada daerah thoraks terpasang selang WSD

4. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang tindakan WSD, ditandai

dengan

DS :

- Klien mengatakan cemas dan takut dengan keadaanya yang terpasang selang

- Klien mengatakan tidak mengerti tentang fungsi,cara perawatan dan semua yang berkaitan
dengan tindakan WSD

DO :

- Klien tampak cemas,

- Klien tampak gelisah dan ketakutan.

5. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan insisi / invansif akibat pemasangan selang

WSD ditandai dengan :

DS : -

DO :

- Terdapat luka insisi pemasangan selang WSD pada daerah thoraks


7. PERSIAPAN ALAT PROSEDUR TINDAKAN PEMASANGAN WSD

a. Kasa steril

b. Sarung tangan steril dan masker

c. Motor suction

d. Duk steril

e. Sumber cahaya

f. Sedative ( jika siperlukan )

g. Lidokain 1 % tanpa epinephrine ( 20 ml )

h. Spuit ukuran 10 ml dengan needle no 18 dan 23

i. Tube / selang WSD no 28 atau 36 french ( untuk dewasa ) steril

j. Sistem drainage dan penyedot/suction ( pompa emerson )

k. Botol penampung berisis cairan antiseptic ( jumlah botol tergantung dengan sistem WSD

yang akan dipakai )

l. Tabung oksigen dan kanul oksigen

m. mata pisau scalpel dan tangkainya no 10 dan no 11

n. Naalpocdes,Klem,duk berlubang steril.

o. Trocart

p. Klem mosquito 6 buah

q. Klem Kelly bengkok yang besar

r. Gunting jaringan 2 buah

s. Gunting jahitan 2 buah

t. Gunting diseksi bengkok metsenbaum 2 buah


u. Forsep jaringan dengan dan tanpa gigi 2 buah

v. Plester / hipavik

w. Benang jahitan

1) no 2-0, 30 silk jarum kulit ( cutting needle )

2) no 2-0, 30 silk dengan jarum jaringan ( taxen needle)

x. bengkok / tempat sampah

y. gunting plester dan betadine

1.6. Prognosis
Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis pada
penderita TB resistensi ganda. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan bahwa adanya
keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua, malnutrisi, infeksi HIV, riwayat menggunakan OAT
dengan jumlah yang cukup banyak sebelumnnya, terapi yang tidak adekuat (< 2 macam obat
yang aktif) dapat menjadi petanda prognosis buruk pada penderita tersebut.18
Dengan mengetahui beberapa petanda di atas dapat membantu klinisi untuk mengamati
penderita lebih seksama dan dapat memperbaiki hal yang menjadi penyebab seperti
malnutrisi.18

Pneumotoraks adalah adanya udara di dalam rongga pleura (yaitu ruang antara dinding
dada dan paru-paru)1 . Pneumothoraks spontan terbagi atas pneumothoraks primer dan sekunder.
Pneumothoraks spontan primer dapat muncul pada individu sehat sedangkan pneumothoraks
spontan sekunder muncul sebagai akibat komplikasi dari penyakit dasar.1,2 Pada penelitian
terkini dari 505 pasien di Israel dengan pneumothoraks spontan sekunder didapatkan penyebab
terbanyak adalah PPOK 348, tumor 93, sarkoidosis 26, tuberkulosis 9, penyakit infeksi paru lainya
16, dan lain-lain 13 orang.1 Data di RSU dr.Soetomo tahun 2000-2004 menyebutkan terdapat 392
orang pasien pneumotoraks spontan sekunder yang dirawat di bangsal paru, dan pasien dengan
penyakit dasar Tuberkulosis paru sebanyak 304 orang (76%)3. Fistel bronkopleura adalah keadaan
dimana terjadi hubungan antara rongga pleura dan bronkus, hal ini merupakan hal yang relatif
jarang terjadi tetapi membawa dampak terhadap tingginya morbiditas dan mortalitas serta
berhubungan dengan lamanya perawatan di rumah sakit.4 Berikut ini akan dilaporkan kasus
seorang pasien dengan pneumotoraks spontan sekunder kiri dengan kelainan dasar penyakit TB
paru dan adanya single fistel pada paru kiri serta diabetes mellitus.

Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara pada rongga pleura (berasal dari
perlukaan paru atau traktus trakheobronkhial, atau berasal dari perlukaan dinding dada),
yang mengakibatkan hilang atau meningkatnya tekanan negatif dalam rongga
pleura.1Pneumotoraks dapat dibagi spontan atau traumatik. Pneumitoraks spontan
dibagi menjadi primer dan sekunder, primer jika sebabnya tidak diketahui sedangkan
sekunder jika terdapt latar belakang penyakit paru. Pneumotoraks traumatik dibagi
menjadi pneumotoraks traumatik iatrogenik dan bukan iatrogenik.2

Gambar 1
Insiden pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak diketahui,
pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 5:1. pneumotoraks spontan
primer(PSP) sering dijumpai pada pria dengan usia antara dekade 3 dan 4, salah satu
penelitian menyebutkan sekitar 81% kasus PSP berusia kurang dari 45 tahun. Seaton
dkk, melaporkan bahwa pasien tuberkulosis aktif mengalami koplikasi pneumotoraks
sekitar 1,4% dan jika terdapat kavitas paru komplikasi pneumotoraks meningkat lebih
dari 90%.2
Di Olmested County, Minnesota Amerika, melton et al melakukan penelitian selama 25
tahun(tahun 1950-1974) pada pasien terdiagnosis sebagai pneumotoraks atau
pneumomediastinum didapatkan 75 pasien karena trauma, 102 pasien karena iatrogenik
dan sisanya 141 pasien karena pneumotoraks spontan. Dari 141 pasien pneumotoraks
tersebut 77 pasien PSP dan 64 pasien PSS. Pada pasien pasien pneumotoraks spontan
didapatkan insidensi sebagai berikut: PSP terjadi pada 7,4-8,6/100.000 pertahun untuk
pria dan 1,2/100.000 pertahun untuk wanita, sedangkan insidensi PSS 6,3/100.000
pertahun untuk pria dan 2,0/100.000 pertahun untuk wanita (loddenkemper,2003).
Pneumotoraks lebih sering ditemukan pada hemitoraks kanan daripada hemitoraks kiri.
Pneumotoraks bilateral kira-kira 2% dari seluruh pneumotoraks spontan. Kekerapan
pneumotoraks ventil 3-5% dari pneumotoraks spontan. Kemungkinan berulangnya
pneumotoraks menurut James dan Studdy 20% untuk kedua kali,dan 50% untuk yang
ketiga kali.3

PEMBAHASAN

Anatomi dan fisiologi rongga toraks


Paru merupakan organ yang elstik, berbentuk kerucut dan terletak dalam rongga dada
atau toraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah
besar memisahkan paru tersebut. Setiap paru mempunyai apex dan dasar. Pembuluh
darah paru dan bronkial, bronkus,saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada
bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru kanan lebih besar dari paru kiri dan dibagi
menjadi 3 lobus oleh fissura iterlobaris, sedangkan paru kiri bibagi menjadi 2 lobus.
Lobus-lobus tersebut dibagi lagi sesuai dengan segmen bronkusnya. Paru kanan dibagi
menjadi 10 segmen sedangkan paru kiri dibagi menjadi 9 segmen.7
Gambar 2
Segmen-segmen pada bronkus
Gambar 3
Segmen-segmen lobus paru

Keterangan gambar 2 dan 3:


1. Lobus dan segmen brokus
2. Bronkus lobus superior kanan
3. Bronkus segmen apikal bronkus (B I)
4. Bronkus segmen posterior (B II)
5. Bronkus segmen anterior (B III)
6. Bronkus lobus media kanan
7. Bronkus segmen lateral (B IV)
8. Bronkus segmen medial (B V)
9. Bronkus lobus inferior kanan
10. Brokus segmen superior (B VI)
11. Bronkus segmen supapical
12. Bronkus segmen media-basal (B VII)
13. Bronkus segemen antero-basal (VIII)
14. Bronkus segmen latero-basal (B IX)
15. Brokus segmen postero-basal (B X)
16. Bronkus lobus superior kiri
17. Bronkus segmen apico-posterior (B I+II)
18. Bronkus segmen anterior (B III)
20. Bronkus segmen lingula superior (B IV)
21. Bronkus segmen lingula inferior (B V)
23. Bronkus lobus inferior sinistra
24. Bronkus segmen superior (B IV)
25. Bronkus segmen subapikal
26. Bronkus segmen medio-basal (B VII)
27. Bronukus segmen antero-basal (B VIII)
28. Bronkus segmen latero-basal( B IX)
29. Bronkus segmen postero-basalis ( B X)
Pleura adalah suatu lapisan tipis kontinu yang mengandung kolagen dan jaringan elastik,
melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi paru (pleura viseralis).
Diantara pleura parietalis dan viserslis terdapat suatu lapisan tipis cairan pleura yang
berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernafasan dan
untuk mencegah pemisahan toraks dan paru, yang dapat dianalogkan seperti 2 buah
kaca objek yang saling mendekat jika ada air. Kedua kaca objek tersebut dapat bergeser
satu dan yang lain tapi keduanya sulit dipisahkan.
Hal yang sama juga berlaku pada cairan pleura diantara paru dan toraks. Tidak ada
ruangan yang sesungguhnya memisahkan pleura parietalis dan pleura viseralis sehingga
apa yang disebut sebagai rongga pleura atau kavitas pleura hanyalah suatu rungan
potensial. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfer sehingga
mencegah paru kolaps.
Gambar 4
Rongga pleura ( gambar berwarna biru)

Ada 3 faktor yang mempertahankan tekanan negatif yang normal ini. Pertama,
jaringan elastik paru memberikan kekuatan kontinu yang cenderung menarik paru
menjauh dari rangka toraks ttetapi permukaan pleura viseralis dan pleura parietalis yang
saling menempel itu tidak dapat dipisahkan, sehingga tetap ada kekuatan kontinue ysng
cenderung memisahkannya, kekuatan ini dikenal sebai tekanan negatif diruang pleura.
Tekanan intrpleura secara terus-menerus bervariasi sepanjang siklus pernafasan tapi
selalu negatif.
Faktor utama kedua dalam mempertahankan tekanan negatif intrapleura adalah
kekuatan osmotik yang terdapat diseluruh membran pleura. Selisih perbedaan absorbsi
cairan pleura melalui pleura viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan
pembentukan cairan oleh pleura prietalis dan permukaan pleura viseralis lebih besar
daripada pleura paritealis sehingga ruang pleura dalam keadaan normal hanya terdapat
beberapa milimeter caian.
Faktor ketiga yang mendukung tekanan negatif intrapleura adalah kekuatan pompa
limfatik. Sejumlah kecil protein secara normal memasuki ruang pleura tetapi akan
dikeluarkan oleh sistem limfatik dalm pleura parietalis. Terkumpulnya protein dalam
ruang intrapleura akan mengacaukan keseimbangan osmotik normal tanpa pengeluaran
limfatik.
Ketiga faktor ini kemudian mengatur dan mempertahankan tekanan negatif intrapleura
normal. Diafragma merupakan otot berbentuk kubah yang membentuk dasar rongga
toraks dan memisahkan rongga tersebut dari rongga abdomen.
Suplai darah paru bersifat unik dalam beberapa hal. Pertama, paru mempunyai 2 sumber
suplai darah dari A. Bronkialis dan A. pulmonalis. A. Bronkialis menyediakan darah
teroksigenasi dari sirkulasi sistemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan paru. Sirkulasi bronkial tidak berperanan pada pembentukan gas, sehingga
darah tidak teroksigenasi yang mengalami pirau sekita 2-3% curah jantung.
A. pulmonalis yang berasal dar ventrikel kanan mengalirkan darah vena campuran ke
paru yaitu darah yang mengambil bagian pertukaran gas. Jaringan kapiler paru yang
halus mengitari dam menutupi alveolus, merupakan kontak erat yang diperlukan untuk
proses pertukaran gas antara alveolus dan darah. Darah teroksienasi kemudian
dikembalikan melalui vena pulmonalis ke ventrikel kiri yang selanjutnya membagikannya
kepada sel-sel melaui sirkulasi sistemik.
Proses fisiologis pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke dalm jaringan-
jaringan dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi dan dibagi menjadi 3 stadium. Pertama,
ventilasi dinama udara bergerak masuk dan keluar paru karana ada selisih tekanan yang
terdapat anatra atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Selama inspirasi
volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat
kontraksi beberapa otot. Otot sternuleidomastoideus mengangkat sternum keats dan
otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga. Toraks membesar
kearah anteroposterior, lateral dan vertikal. Peningkatan volume ini menyebabkan
penurunan tekanan intrpleura dari sekitar -4 mmHg menjadi sekitar -8 mmHg bila paru
mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang sama tekanan intrapulmonar atau
tekanan jalan nafas menurun sampai sekitar -2 mmHg(relatif terhadap atmosfer) dari
0mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara jalan nafas dan atmosfer
menyebabkan udara mengalir kedalam paru sampai tekanan jalan nafas pada akhir
inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding
dada dan paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, rangka iga turun dan
lengkung diafragma naik keatas ke dalam rongga toraks menyebabkan volume torkas
berkurang. Penurunan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun
tekanan intrapulmonal. Tekanan intra pulmonal sekarang meningkat mencapai 1-2mmHg
diatas tekanan atmosfer. Selisih tekanan antara jalan nafas dan atmosfer menjadi
terbalik, sehingga mengalir keluar dari apru sampai tekanan jalan nafas dan atmosfer
sama kembali pada akhir ekspirasi.
Stadium kedua adalah transportasi yang terdapat beberapa aspek didalamnya (1) difusi
gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan antara darah sistemih
dan sel-sel jaringan, (2) distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuainnya
dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus, (3) reaksi kimia dan fisik dari O2 dan
CO2 dengan darah.
Stadium ketiga (akhir ekspirasi) adalah respirasi sel atau respirasi interna, yaitu saat zat-
zat diksidasi untuk mendapatkan energi dan CO2 terbentuk sebagai sisa proses
metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru.7

Klasifikasi dan etiologi pneumotoraks


Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan atau traumatik dan klasifikasinya
berdasarkan penyebabnya adalah sebagai berikut:
1. Pneumotoraks spontan
Adalah setiap pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa adanya suatu penyebab(trauma
maupun iatrogenik), dibagi menjadi 2:
a. Pneumotoraks spontan primer: suatu pneumotoraks yang terjadi tanpa ada riwayat
penyakit paru yang mendasari sebelumnya, umumnya pada individu sehat, dewasa
muda, tidak berhungan dengan aktivitas fisik yang berat tetapi justru terjadi saat
istirahat dan sampai sekarang belum diketahui penyebabnya.
b. b. Pneumotoraks spontan sekunder: suatu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya
penyakit paru yang mendasarinya. Kelainan paru yang sering menyebabkan terjadinya
pneumotoraks spontan sekunder adalah: PPOK, asma, kelainan bullosa (bullae), kelainan
interstisial (fibrosis paru idiopatik, sarkoidosis,dsb.), atau infeksi. Adanya keganasan
dapat pula menyebabkan kerusakan yang mengakibatkan hubungan langsung antara
alvolus/bronkhus ke pleura.
2. Pneumotoraks traumatik
Adalah pneumotoraks yang terjadi akibat suatu trauma, baik trauma penetrasi mayupun
bukan yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru. Pneumotoraks
traumatik diperkirakan 40% dari semua kasus pneumotoraks. Pneumotoraks traumati
tidak harus disertai dengan fraktur iga maupun luka penetrasi yang terbuka. Trauma
tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat menimbulkan pneumotoraks.
Beberapa penyebab trauma penetrasi pada dinding dada adalah luka tusuk, luka tembak,
akibat tusukan jarum maupun pada saat dilakukan kanulasi vena sentral. Pneumotoraks
traumatik berdasarkan kejadiannya dibagi 2:
a. Pneumotoraks traumatik bukan iatrogenik: adalah pneumotoraks yang terjadi karena
jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada baik terbuka maupun tertutup.
b. Pneumotoraks traumati iatrogenik: adalh pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi
tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun dibedakan menjadi 2,yaitu:
i. pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental, adalah pneumotoraks yamg terjadi
akibat trindakan medis karena kesalahan/komplikasi misalnya pada tindakan
parasentesis dada, biopsi pleura, biopsi transbronkial, biopsi/aspirasi paru perkutaneus,
kanulasi vena sentral, barotrauma(ventilasi mekanik).
ii. pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial(deliberate), dalah pneumotoraks yang
sengaja dilakukan dengan cara mengisi adara kedalam rongga pleura melalui jarum
dengan suatu alat Maxwell box. Biasanya untuk terapi tuberkulosis(pada era sebelum
antibiotik) atau untuk menilai permukaan paru.
Berdasarkan jenis fistulanya pneumotoraks dapat dibagi menjadi 3,yaitu:
1. Pneumotoraks tertutup (simple pneumothorax): suatu pneumotoraks dengan tekanan
udara dalam rongga pleura ynag sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan pleura pada
sisi hemitoraks kontralateral tetapi tekananya masih lebih rendah dari tekanan atmosfir.
Pada jenis ini tidak didapatkan defek atau luka terbuka dari dinding dada. Pnemotoraks
tertutup dibagi menjadi:
a. Minimal / Kecil : berkurangnya volume paru sampai 1/3 volume total
b. Besar: volume paru yang kolaps dari 1/3 volume seluruh volume paru
2. Pneumotoraks terbuka (open pneumothorax): terjadi karena luka terbuka pada dinding
dada sehingga pada saat inspirasi udara dapat keluar melalui luka tersebut. Pada saat
inspirasi, mediastinum dalam keadaan normal tetapi pada saat ekspirasi mediastinum
bergeser kearah sisi dinding dada yang terluka(sucking wound).

Gambar 5. sucking-chest-wound

3. Tension pneumotoraks: terjadi karena mekanisme check valve yaitu pada saat inspirasi
udara masuk ke dalam rongga pleura tetapi pada saat ekspirasi udara dalam rongga
pleura tidak dapat keluar. Semakin lama tekanan udara didalam rongga pleura akan
meningkat dan melebihi tekanan atmosfir. Udara yng terkumpul dalam rongga pleura ini
dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal nafas. Pneumotoraks jenis ini
juga sering disebut pneumotoraks ventil.

Gambar 6
Tension pneumothorax kanan
dengan pergeseran mediastinum kearah kontralateral
Patofisiologi
Pneumotoraks spontan terjadi oleh karena pecahnya bleb atau kista kecil yang
diameternya tidak lebih dari 1-2 cm yang berada di bawah permukaan pleura viseralis,
dan sering ditemukan di daerah apeks lobus superior dan inferior. Terbentuknya bleb ini
oleh karena adanya perembesan udara dari alveoli yang dindingnya ruptur melalui
jaringan intersisial ke lapisan jaringan ikat yang berada di bawah pleura viseralis.3
Sebab pecahnya dinding alveolus ini belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga ada
dua faktor sebagai penyebabnya:
1. Faktor infeksi atau radang paru.
Infeksi atau radang paru walaupun minimal akan membentuk jaringan parut pada
dinding alveoli yang akan menjadi titik lemah.
2. Tekanan intra alveolar yang tinggi akibat batuk atau mengejan.
Mekanisme ini tidak dapat menerangkan kenapa pneumotoraks spontan sering terjadi
pada waktu penderita sedang istirahat. Dengan pecahnya bleb yang terdapat di bawah
pleura viseralis, maka udara akan masuk ke dalam rongga pleura dan terbentuklah
fistula bronkopleura. Fistula ini dapat terbuka terus, dapat tertutup, dan dapat berfungsi
sebagai ventil.3
Open pneumotoraks terjadi akibat ada hubungan langsung antara kavum toraks (cavum
pleura) dengan dunia luar akibat berlubangnya dinding dada. Keadaan ini dapat terjadi
akibat adanya tusukan, luka tembak dll. Pada keadaan open pneumotorax, udara dapat
keluar masuk kavum pleura sehingga tekanannya tidak lagi negatif dan paru dapat
kolaps. Jika lubang yang terjadi lebih besar dari 2/3 diameter trakea maka udara
cenderung lebih melewati lubang tersebut dibandingkan melewati traktus respiratorius
yang seharusnya. Masuknya udara ini terutama saat inspirasi.
Pada saat inspirasi, tekanan dalam rongga dada menurun (semakin negatif), sehingga
udara dari luar masuk kedalam kavum pleura lewat lubang tadi. Saat ekspirasi, takanan
rongga dada meningkat, akibatnya udara keluar melalui lubang tersebut. Keluarnya
udara ini akan menimbulkan bunyi seprti peluit/siulan, inilah yang disebut sucking chest
wound.
Pada kondisi tertentu dimana dinding paru (pleura viseralis juga ikut berlubang) maka
penutupan ini dapat membahayakan. Pada keadaan seperti ini, pada saat inspirasi, udara
dari dalam paru akan bocor kerongga pleura. Pada saat ekspirasi udara dari kavum
pleura memang dapat masuk lagi keparu retapi tidak sempurna, apalagi jika lubangnya
bersifat katup (ventile). Akibatnya setiap kali menarik nafas, udara dalam kavum pleura
semakin bertambah banyak sehingga tekanan semakin meningkat, sementara ketika
ekspirasi adara dalam kavum pleura tidak dapat keluar. Inilah yang disebut dengan
tension pneomothorax. Pengumpulan udara tersebut akan terus sampai sisi yang sakit
akan kolaps secara total. Pada tahap ini, tekanan belum tinggi. Bila paru telah kolaps
sedangkan udara masih terus masuk ke cavum pleura, lama-kelamaan tekanan disitu
akan meningkat. Peningkatan tekanan ini akan mengeser mediastinum kekontralateral.
Pergeseran ini dapat mengancam jiwa karena:
1. Di mediastinum banyak terdapat organ penting seperti jantung dan pericardium,
aorta, syaraf, vena cava soperior dan inferior. Di antara organ tersebut, yang paling
terganggu fumgsinya bila mediastinum bila mediastinum bergeser adalah vena cava
karena dindingnya tipis, sehingga medah tertekan bahkan dapat mengempes. Akibatnya
aliran darah balik kejantung terganggu, jumlah darah yang kembali ke jantung berkurang
dan berlanjut dengan penurunan cardiac output. Cardiac output yang turun dapat
menyebabkan syok non hemoragik, yang sering mematikan.
2. mediastinum yang terdesak kearah paru yang sehat mengakibatkan vantilasi pada
paru yang sehat terganggu dan ini akan memperburuk hipoksia pasien. Pada pasien
tampak mekanisme kompensasi berupa peningkatan frekuensi nafas (hiperventilasi).6
Gambar 7
1)Pneumotoraks dengan pergeseran trakea dan mediastinum kearah kiri.
2) pneumotoraks kanan dengan paergeseran medistinum yng menekan p. darah, paru
kontalaterall, jantung.

Diagnosis
Anamnesis
Biasanya ditemukan anamnesis yang khas, yaitu rasa nyeri pada dada seperti ditusuk,
disertai sesak nafas dan kadang-kadang disertai dengan batuk-batuk. Rasa nyeri dan
sesak nafas ini makin lama dapat berkurang atau bertambah hebat. Berat ringannya
perasaan sesak nafas ini tergantung dari derajat penguncupan paru, dan apakah paru
dalam keadaan sakit atau tidak. Pada penderita dengan COPD, pneumotoraks yang
minimal sekali pun akan menimbulkan sesak nafas yang hebat. Sakit dada biasanya
datang tiba-tiba seperti ditusuk-tusuk setempat pada sisi paru yang terkena, kadang-
kadang menyebar ke arah bahu, hipokondrium dan skapula. Rasa sakit bertambah waktu
bernafas dan batuk. Sakit dada biasanya akan berangsur-angsur hilang dalam waktu satu
sampai empat hari. Batuk-batuk biasanya merupakan keluhan yang jarang bila tidak
disertai penyakit paru lain; biasanya tidak berlangsung lama dan tidak produktif.
Keluhan-keluhan tersebut di atas dapat terjadi bersama-sama atau sendiri-sendiri,
bahkan ada penderita pneumotoraks yang tidak mempunyai keluhan sama sekali.
Pada penderita pneumotoraks ventil, rasa nyeri dan sesak nafas ini makin lama makin
hebat, penderita gelisah, sianosis, akhirnya dapat mengalami syok karena gangguan
aliran darah akibat penekanan udara pada pembuluh darah dimediastinum.3

Pemeriksaan Fisik:
Umum : pasien terlihat takipneu, hipotensif, diaforesis, retraksi otot pernapasan. Pada
keadaan pneumotoraks tension dapat terlihat peningkatan tekanan vena sentral
(peningkatan tekanan vena jugular), penurunan pucat, distres pernapasan, dan
penurunan kesadaran.
Inspeksi : Asimetris hemitoraks dengan sisi yang terkena terlihat lebih besar, gerakan
pernapasan yang terlambat.
Palpasi : suara napas menghilang, krepitasi.
Perkusi dada : hipersonor.
Auskultasi : bunyi napas melemah sampai hilang.1
Pemeriksaan penunjang
Analisa gas darah arteri
Memberi gambaran hipoksemia meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak
diperlukan. Pada sebuah penelitian didapatkan 17% dengan PO2<55mmHg, 16% dengan
PCO2>50mmHg dan 4% dengan PCO2 >60 mmHg. Pda pasien PPOK lebih mudah terjadi
pneumotoraks spontan. Dalam sebuah penelitian 51 dari 171 pasien PPOK(30%) dengan
FEV1<1,0 liter dan 33% dengan FEV1/FVC<40% prediksi. Penelitian lain menyebutkan
bahwa gagal nafas yang berat (PO2<50mmHg dan PCO2>50% mmHg atau disertai
dengan syok ) terdapt pada 16% pasien dan secara signifikan meningkatkan mortalitas
sebasar 10%.2

Foto toraks
Proyeksi PA tegak, didapatkan:
Garis pleura viseralis tampak putih, lurus atau cembung terhadap dinding dada dan
terpisah dari garis pleura parietalis.
Celah antara kedua garis pleura tampak lusens karena terisi kumpulan udara dan tidak
didapatkan corakan vaskuler pada daerah tersebut.1
Gambar 8
Pneumotoraks kiri

Pada keadaan tension pneumotoraks tidak semestinya dikerjakan pemeriksaan


diagnostik tambahan, cukup dari pemeriksaan fisik saja. Untuk kecurigaan pneumotoraks
tanpa distres pernapasan yang hebat dapat dilakukan pemeriksaan foto rontgen proyeksi
PA tegak. Gambaran rontgen yang didapat: kolapnya paru dengan hilangnya corakan
bronkovesikuler, gambaran hemitoraks yang lebih radiolusen (gelap), pelebaran sela iga,
gambaran mediastinal/trakhea shifting, pendorongan/pendataran diafragma, emfisema
subkutis.1
Sedikitnya 50 ml udara dalam pleura dapat dilihat dalam foto toraks. Foto toraks lateral
dapat mendukung 10% pneumotoraks jika terdapat jarak intrapleura 1 cm. Luasnya
pneumotoraks bergantung pada banyaknya paru yang kolaps dan penurunan derajat dan
perluasan dari rongga dada.
Pneumotoraks minimal dapat dilihat dengan mudah dengan menggunakan foto lateral.
Pada posisi ini sedikitnya 5 ml udara dalam rongga plura dapat ditemukan.5
Penilaian foto toraks pada saat ekspirasi telah dibuktikan. Dalam penelitian pada 85
pasien yang mengalami pneumotoraks dan 93 pasien kontrol. Foto toraks AP dengan
ekspirasi dan inspirasi mempunyai sensitivitas yang sama dalam mendeteksi
pneumotoraks. Dikarenakan itu cukup dilakukan foto toraks dengan inspirasi maksimal.5
Pada pasien dengan posisi AP, diperlukan 500ml udara dalam rongga pleura untuk
mendukung dianosis pneumotoraks. Udara dalam rongga pleura terakumulasi di daerah
subpulmonal dan terlihat diluar garis anterior pleura, sulcus kostofrenikus dan
anterolateral mediastinum.5

CT Scan
CT lebih sensitif dalam mendeteksi pneumotoraks dibandingkan foto toraks,dimana
sekitar 10-50% pneumotoraks tidak ditemukan dengan foto toraks AP ataupun secara
klinis tetapi dapat terlihat dengan menggunakan CT, pneumotoraks seperti ini disebut
pneumotoraks tersembunyi (occult pneumothorax).4

Gambar 9. Occult pneumothorax5


a) Foto toraks memperlihatkan area lusens di paru kiri bawah dengan peningkatan
katajaman diafragma kiri
b) CT scan membantu dalam mengkonfirmasi pneumotoraks(*)

Gambar 10. Tension pneomotoraks5


a) Foto toraks memperlihatkan pneomotoraks kanan
b) CT scan memperlihatkan pneumotoraks kanan(* putih) dengan pergeseran
jantung(tanda panah). (* hitam) kontusio paru

Pemeriksaan ini lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan
pneumotoraks , batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapilmoner serta untuk
membedakan antara pneumotoraks spontan primer atau sekunder. Sensitivitas
pemeriksaan CT untuk mendiagnosis pneumotoraks spontan primer antara 80-90%.2
Cara menentukan ukuran(presentase) pneumotoraks
Volume paru dan hemitoraks dihitung sebagai diameter kubus. Jumlah (isi) paru yang
kolaps ditentukan dengan rata-rata diameter kubus paru dan toraks sebagai nilai
perbandingan(ratio). Misalnya: diameter kubus rata0rata hemitoraks 10 cm dan diameter
kubus rata-rata paru yang kolaps 8 cm maka ratio diameter kubus adalah 83/103=
512/1000, sehingga diperkirakan ukuran pneumotoraksnya 50%.
Cara lain untuk menentukan luas atau peresentase pneumotoraks adalah dengan
menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal ditambah dengan
jarak terjauh celah pleura pada garis horizontal ditambah dengan jarak terdekat celah
pleura pada garis horizontal, kemudian dibagi 3 dan dikalikan 10.2
Diagnosis differensial:
pneumotoraks dapat memberi gejala seperti infark myocard, emboli paru dan
pneumonia. Pada pasien muda, tinggi, pria, dan perokok jika setelah difoto diketahui ada
pneumotoraks, umumnya diagnosis kita menjurus ke pneumotoraks spontan primer.
Komplikasi
tension pneumotoraks (terjadi pada 3-5% pasien pneumotoraks) dapat pula
mengakibatkan kegagalan respirasi akut, pio-pneumotoraks, hidropneumotoraks atau
hemopneumotoraks.
Penatalaksanaan
Tindakan pneumotoraks tergantung dari luasnya pneumotoraks. Tujuan dari
penatalaksanaan tersebut untuk mengeluarkan udara dari rongga leura dan menurunkan
kecenderungan untuk kambuh lagi. British horacic Society dan American Collage of Chest
Physician telah memberikan rekomendasi untuk penanganan pneumotoraks. Prinsip-
prinsip penanganan pneumotoraks adalah:
Observasi dan pemberian tambahan oksigen
Aspirasi sedarhana dengan menggunakan jarum dan pamasangan tube torakostomi
dengan atau tanpa pleurodesis
Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya bleb atau bulla
Torakotomi
Observasi dan pemberian tambahan oksigen
Tindakan ini dilakukan apabila luas pneumotoraks <15% dari hemitoraks. Apabila fistula
dari alveoli ke rongga pleura telah menutup, udara dalam pleura perlahan-lahan akan
diresopsi. Laju resopsinya diperkirakan 1,25 dari sisi pneumotoraks perhari. Laju resopsi
tersebut diperkirakan akan meningkat jika diberikan tambahan oksigen. Pemberian 100%
oksigen pada kelinci percibaan yang mengalami pneumotoraks ternyata meningkat laju
resopsinya enam kali lipat. Observasi dilakukan dalam beberapa hari (minggu) dengan
foto toraks serial tiap 12-24 jam selama 2 hari bisa dilakukan dengan atau tanpa harus
dirawat dirumah sakit.
Aspirasi dengan jarum dan tube torakostomi
Tindakan ini dilakukan seawal mungkain pada pasien pneumotoraks yang luasnya >15%.
Tindakan ini bertujuan mengeluarkan udara dari rongga pleura (dekompresi). Tindakan
dekompresi dapat dilakukan dengan cara:
1. menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk rongga pleura, sehingga
tekanan udara positif akan keluar melalui jarum tersebut.
2. membuat hubungan dengan udara luar melalui saluran kontra ventil, yaitu dengan
Water Sealed Drainage (WSD): pipa khusus (kateter urine) yang steril dimasukkan
kerongga pleura dengan perantaraan trokar atau klem penjepit. Sebelum trokar
dimasukkan kerongga pleura, terlebih dahulu dilakukan insisi kulit pada ruang antar iga
ke enam pada linea aksilaris media. Insisi juga dapat dilakukan pada ruang antar iga
kedua pada linea mid klavikula. Sebelum melakukan insisi kulit daerah tersebut harus
dibersihkan dengan cairan desinfektan dan dilakukan injeksi anestesi lokal dengan
lidokain 2%.Setelah trokar masuk kedalam rongga pleura, pipa khusus segera
dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian trokar dicabut sehingga hanya kateter
trsebut yang masih tertinggal dlm rongga pleura. Kedian dihubungkan dengan pipa yang
lebih panjang dan terakhir dengan pipa kaca yang dimasukkan kedalam air di dalam
botol. Masuknya pipa kaca kedalam air sebaiknya 2 cm dari permukaan air, supaya
gelembung udara mudah keluar. Apabila paru sudah mengembang penuh dan tekanan
dalam rongga pleura sudah negatif, maka sebelum dicabut dilakukan uji coba dengan
menjepit pipa tersebut selama 24 jam. Tindakan selanjutnya melakukan evaluasi foto
toraks, apakah paru mengembang dan tidak mengempis lagi atau tekanan rongga pleura
positif lagi. Apabila tekanan alam rongga pleura positif lagi maka pipa tersebut belum
dapat dicabut.
Di RS Persahabatan, setelah WSD diklem selam 1-3 hari dibuat foto toraks. Bila paru
sudah mengembang maka WSD da[pat dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat
pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal.

Gambar 11.
Pemasangan Chest Tube sebagai dekompresi pada pneumotoraks kiri

Torakoskopi
Adalah suatu tindakan untuk melihat langsung kedalam rongga toraks dengan alat bantu
torakoskop. Torakoskopi yang dipandu oleh video (Video Assisted Thoracoscopy surgery
atau VATS) memberikan kenyamanan dan keamanan pada operator maupaun pasien.
Tindakan ini sangat efektif dalam penanganan PSP dan mencegah berulnagnya kembali.
Dengan prosedur ini dapat dilakukan reseksi bulla atau bleb dan bisa juga dilakukan
pleuredesis. Tindakan ini dilakukan apabila:
tindakan aspirasi maupun WSD gagal dilakukan
paru tidak mengembang setelah 3 hari pemasangan tube torakostomi
terjadinya fistula bronkopleura
timbulnya kembali pneumotoraks setelah dilakukan pleuredesis
pada pasien ynag berkaitan dengan pekerjaannya agar tidak mudah kambuh kembali
seperti pilot dan penyelam.

Torakotomi
Tindakan pembedahan ini indiksinya hampir sama dengan torakoskopi. Tindakan ini
dilakukan jiak dengan torakoskopi gagal atau jika bulla terdapat di apex paru.
Prognosis
Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan mengalami kekambuhan,
setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube thoracostomy.
Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumotoraks yang dilakukan torakotoni
terbuka. Pasien-pasien yang penatalaksanaannya cukup baik, umumnya tidak dijumpai
komplikasi. Pasien pneumotoraks spontan sekunder tergantung penyakit paru yang
mendasarinya, misalkan pada pasien PSS dengan PPOK harus lebih berhati-hati karena
sangat berbahaya.2

PENUTUP

Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara pada rongga pleura (berasal dari
perlukaan paru atau traktus trakheobronkhial, atau berasal dari perlukaan dinding dada),
yang mengakibatkan hilang atau meningkatnya tekanan negatif dalam rongga
pleura.1Pneumotoraks dapat dibagi spontan atau traumatik. Pneumitoraks spontan
dibagi menjadi primer dan sekunder, primer jika sebabnya tidak diketahui sedangkan
sekunder jika terdapt latar belakang penyakit paru. Pneumotoraks traumatik dibagi
menjadi pneumotoraks traumatik iatrogenik dan bukan iatrogenik.2 Berdasarkan jenis
fistulanya pneumotoraks dapat dibagi menjadi pneumotoraks tertutup (simple
pneumothorax), pneumotoraks terbuka (open pneumothorax), tension pneumotoraks.
PRESENTASI KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AA
Umur : 34 tahun
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Kabila
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku Bangsa : Gorontalo
Pendidikan : SMA
Status : Belum Menikah
Tanggal Masuk : 17 Desember 2016

2. ANAMNESIS
Diambil dari : G4 MDR PRIA RSAS
Keluhan Utama : Batuk berdahak, sesak , mudah lelah dan berat menurun.
Nyeri dada kanan menjalar sampai ke punggung belakang
Keluhan Tambahan :

3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien datang dengan keluhan nyeri dada yang menjalar sampai dengan ke punggung
belakang pasien sejak 1 minggu SMRS. Keluhan ini sudah dirasakan kurang lebih satu bulan
yang lalu, namun sekarang keluhan terasa lebih berat dan sangat mengganggu aktivitas
pasien. Selain itu, pasien mengeluh batuk berdahak sejak 2 bulan yang lalu SMRS. Dahaknya
berwarna putih, kental dan jumlahnya sekarang lebih berkurang dibandingkan 2 bulan yang
lalu. Sesak napas juga dirasakan oleh pasien, sesak tersebut dirasakan bertambah berat apabila
pasien melakukan aktivitas fisik yang ringan. Pasien mengakui bahwa nafsu makan pasien
berkurang dan berat badan pasien menurun dari berat bedan awal 58 kg dan kini turun
menjadi 47 kg, selama kurang lebih 5 bulan terakhir ini.

4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat merokok diakui
Riwayat alergi disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat pengobatan selama 6 bulan diakui
Riwayat batuk lama dan kekambuhan diakui

5. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Riwayat asma pada keluarga disangkal
Riwayat hipertensi pada keluarga disangkal
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat alergi disangkal

6. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Pasien tinggal bersama orang tua dan seorang adik perempuan di rumahberukuran
10x5 m2 dan memiliki 2 kamar. Kondisi rumah memiliki ventilasi udara yang baik
pada setiap ruangan namun sinar matahari kurang masuk. Di lingkungan pasien tidak
terdapat orang yang memiliki gejala yang sama dengan pasien.

7. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
- Keadaan Umum : Sedang
- Kesadaran : Compos Mentis
- Berat Badan : 47 kg
- Tinggi Badan : 168 cm
- Tanda Vital :
o Tekanan Darah : 80/60 mmHg
o Nadi : 82x/ menit
o Pernapasan : 20x/ menit
o Suhu : 37,1 C

Kepala

Inspeksi Umum

- Rambut tidak mudah dicabut


- Palpebra tidak oedem
- Konjuctiva anemis
- Sklera tidak ikterik

Telinga

Letak simetris, bentuk normal, ukuran normal, tidak ada tanda radang, tidak ada discharge,
sedikit serumen, pendengaran baik, tidak terdapat benjolan dan tidak ada nyeri tekan.
Hidung

Tidak ada tanda-tanda peradangan, tidak ada discharge, sekret, epitaksis, tidak ada deformitas
dan tidak nampak napas cuping hidung.

Mulut

Bibir tidak kering, tidak terdapat sianosis, lidah tidak kotor, tepi tidak hiperemis, tidak
terdapat tremor dan mukosa mulut basah, serta mulut tidak berbau amoniak.

Leher

- Inpeksi : tidak terlihat benjolan atau massa


- Palpasi : kelenjar getah bening tak teraba membesar, tidak nampak spider navi
dan Jugular Venous Pressure tidak meningkat

Aksila

Kelenjar getah bening tidak teraba membesar

Thoraks

Inspeksi Umum

- Tampak lubang sikatris pada ics ke di dada kiri, terdapat angin yang keluar dari
lubang tersebut setiap kali bernapas
- Hiperpigmentasi tidak ada
- Spider naevi tidak ada

Paru

Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris, pergerakan nafas dada kanan tampak sedikit
tertinggal, tidak terlihat jejas atau venektasi, tidak terlihat adanya massa.

Palpasi : Tidak teraba deviasi trakea, tidak teraba adanya massa pada dinding dada
kanan dan kiri atau depan dan belakang. Vokal fremitus kanan melemah
sedangkan kiri normal. Terdapat nyeri tekan pada dada kanan.

Perkusi : Suara hipersonor pada lapang paru kiri, sonor pada lapang paru kanan
hanya sampai dengan SIC IV lalu beralih ke redup pada bagian basal. Batas
paru hepar pada intercostal space V LMCD
Auskultasi : Suara dasar paru vesikuler, terdapat ronkhi basah kasar pada seluruh lapang
paru kanan maupun kiri. Tidak terdapat wheezing pada lapang paru kanan
maupun kiri.

Jantung

Inspeksi : Tidak terlihat pulsasi iktus kordis

Palpasi : Teraba Iktus kordis di SIC V 2 cm medial linea mid klavikula sinistra, tidak
kuat angkat

Perkusi :

- Batas kiri atas : SIC II linea parasternal sinistra


- Batas kanan atas : SIC II linea parasternal dextra
- Batas kiri bawah : SIC V 2 cm medial linea midclavikula sinistra
- Batas kanan bawah: SIC IV linea parasternal dekstra

Auskultasi : S1 > S2 , Reguler, murmur (-), Gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar, ikterik (-), umbilikus tidak menonjol, hiperpigmentasi (-)

Auskultasi : bunyi usus (+) normal

Palpasi : Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba, Nyeri tekan (-) undulasi (-)

Perkusi : Timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)

Kulit

Kulit seluruh tubuh tidak nampak pucat, tidak kekuningan, tidak ada pengelupasan kulit,
turgor kulit pasien kembali dalam waktu kurang dari 1 detik.

Syaraf dan otot

Pada ektremitas superior dextra dan sinistra tidak terdapat tremor. Tidak ditemukan
penurunan tonus otot, eutrofi untuk ekstremitas superior inferior bagian dextra dan sinistra.

Ekstremitas

Superior : - dextra : tidak oedem, sianosis (-), clubbing (-), flapping tremor (-) baal (-)
- Sinistra : Tidak oedem, sianosis (-),clubbing (-), flepping tremor (-) baal
(-)

Inferior : - Dextra : Tidak oedem, sianotik (-), baal (-)

- Sinistra : Tidak oedem, sianotik (-) baal (-)

8. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan Laboratorium : Tanggal 14 11- 2012
Pemeriksaan darah lengkap
Hemoglobin ( Hb ) : 11,3 g/dl Normal : 13-16 g/dl
Leukosit : 9740/uL Normal : 5000-10000/ul
Hematokrit : 35 % Normal : P 40-48 ; W 37-43 %
Eritrosit : 4,8 jt/uL Normal : P 4,5-5,5 ; W 4-5 jt/uL
Trombosit : 379,000/uL Normal : 15000-400000/ul
MCV : 72,7 fl Normal : 80-97 fl
MCH : 23,4 pgr Normal : 26 32 pgr
MCHC : 32,7 % Normal : 31-36 %
RDW : 14,6 %
MPV : 9,3 fL
Hitung jenis
o Basofil : 0,2 Normal : 0-1 %
o Eosinofil : 6,8 Normal : 1-4%
o Batang : 0,00 Normal : 2-5%
o Segmen : 57,7 Normal : 40-70%
o Limfosit : 18,2 Normal : 19 48%
o Monosit : 17,1 Normal : 3-9 %

Pemeriksaan Kimia Klinik

SGOT : 21 U/L

SGPT : 21 U/L

Kolesterol total : 131 mg/dL

Trigliserid : 129 mg/dL

Ureum darah : 20,3 mg/dL

Kreatinin darah : 0,62 mg/dL

Asam urat : 14,1 mg/dL

Glukosa sewaktu : 79 mg/dL

Natrium : 133 mmol/L


Kalium : 3,6 mmol/L

Klorida : 96 mmol/L

Pemeriksaan Sputum

Tanggal 16 november 2012

Pewarnaan Zn 1x : BTA I : +3 , leukosit +, epitel +

Pewarnaan Zn 2x : BTA II : +1, leukosit +, epitel +

Pewarnaan zn 3x : BTA III : +1, leukosit +, epitel +

Foto thoraks :

- Gambaran cor tampak normal, tidak ada pembesaran


- Gambaran paru lama aktif ( TB )
- Suspect localized pleural efusi kanan

9. KESIMPULAN PEMERIKSAAN
1. Anamnesis :
- Nyeri dada kanan menjalar hingga ke punggung pasien sejak 1 minggu SMRS
- Batuk berdahak muncul 2 bulan SMRS dengan dahak berwarna putih dan kental
- Sesak nafas yang timbul seiring dengan batuk, dan sekarang bertambah berat sejak
timbul nyeri dada
- Pada saat nyeri dan sesak terjadi mengakibatkan aktivitas sehari-hari pasien
terganggu
- Nafsu makan berkurang dan berat badan pasien menurun dalam waktu 5 bulan
terakhir

2. Pemeriksaan fisik :
- Konjuctiva anemis
- Pada pemeriksaan paru kanan di temukan gerak napas tertinggal, vokal fremitus
menurun, dan adanya peralihan suara perkusi paru dari sonor ke redup pada sela
iga ke 4-5.
- Pada pemeriksaan kedua lapang paru ditemukan suara dasar vesikular disertai
dengan adanya ronkhi basah kasar

3. Pemeriksaan Penunjang :
a. Lab
- Hb :
-
b. Foto thoraks
- (+) gambaran TB paru lama aktif
- Efusi pleura dekstra

c. Pemeriksaan sputum

10. DIAGNOSA KERJA



11. USULAN PEMERIKSAAN
12. TERAPI
13. PROGNOSIS
14. EDUKASI

Anda mungkin juga menyukai