Anda di halaman 1dari 12

3 Anemia

3.1. Definisi

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah
yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count).1

3.2. Etiologi
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena:

1.Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang

2.Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)

3.Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya

3.3. Kriteria Anemia


Kriteria Anemia menurut WHO

Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dL

Wanita dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dL

Wanita hamil Hb < 11 gr/dL

3.4. Klasifikasi Anemia


Klasifikasi menurut WHO dalam Waryana (2010)

1 Tidak anemia : 11 gr %

2 Anemia ringan : 9-10 gr %

3 Anemia sedang : 7-8 gr %

4 Anemia berat : < 7 gr %

Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis :


A Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang

1 Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit

a Anemia defisiensi besi

b Anemia defisiensi asam folat

c Anemia defisiensi vitamin B12

2 Gangguan penggunaan besi

a Anemia akibat penyakit kronik

b Anemia sideroblastik

3 Kerusakan sumsum tulang

a Anemia aplastik

b Anemia mieloptisik

c Anemia pada keganasan hematologi

d Anemia diseritropoietik

e Anemia pada sindrom mielodisplastik

B Anemia akibat perdarahan

1 Anemia pasca perdarahan akut

2 Anemia akibat perdarahan kronik

C Anemia hemolitik

1 Anemia hemolitik intrakorpuskular

a Gangguan membran eritrosit (membranopati)

b Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi


G6PD

c Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)


- Thalasemia

- Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll

2 Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler

a Anemia hemolitik autoimun

b Anemia hemolitik mikroangiopatik

c Lain-lain

D Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang


kompleks
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi:

I Anemia hipokromik mikrositer

a Anemia defisiensi besi

b Thalasemia major

c Anemia akibat penyakit kronik

d Anemia sideroblastik

II Anemia normokromik normositer

a Anemia pasca perdarahan akut

b Anemia aplastik

c Anemia hemolitik didapat

d Anemia akibat penyakit kronik

e Anemia pada gagal ginjal kronik

f Anemia pada sindrom mielodisplastik

g Anemia pada keganasan hematologik

III Anemia makrositer

a Bentuk megaloblastik
1 Anemia defisiensi asam folat

2 Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa

b Bentuk non-megaloblastik

1 Anemia pada penyakit hati kronik

2 Anemia pada hipotiroidisme

3 Anemia pada sindrom mielodisplastik

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan
melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia menjadi 3
golongan:

1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV <80 fl dan MCH <27 pg

2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg


3. Anemia makrositer bila MCV >95 fl

Gambar 1. Algoritma Pendekatan diagnosa anemia


Gambar 2. Anemia Hipokromik Mikrositer
Gambar 3. Anemia Normokrom Normositer

Gambar 4. Anemia Makrositer

3.5. Anemia akibat penyakit kronik

3.5.1 Definisi

Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun
keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan
berat badan dan disebut anemia pada penyakit kronis. Anemia ini sangat mirip dengan anemia
defisiensi besi tetapi pada anemia ini terjadi sekuestrasi besi di dalam sistem RES karena
inflamasi. Pada anemia jenis ini, terjadi sekuestrasi besi di dalam makrofag. Sekuestrasi ini
berfungsi untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme dependen besi atau untuk
memperkuat aspek imunitas pejamu. Anemia ini ditandai dengan kadar besi serum yang rendah,
kadar transferin yang rendah atau normal, dan kadar feritin yang normal atau tinggi. Disamping
itu, kadar hemoglobin berkisar antara 7-12 g/dL. Anemia jenis ini paling sering ditemukan pada
pasien lupus eritematosus. Kini, anemia pada penyakit kronik disebut pula anemia inflamasi
(AI).12

3.5.2. Etiologi dan patogenesa

Laporan/data penyakit tuberkulosis, abses paru, endokarditis bakteri subakut,


osteomielitis dan infeksi jamur kronis serta HIV membuktikan bahwa hampir semua infeksi
supuratif kronis berkaitan dengan anemia. Derajat anemia sebanding dengan berat ringannya
gejala, seperti demam, penurunan berat badan dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia
memerlukan waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan
antara produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil.
a Pemendekan Masa Hidup Eritrosit
Anemia pada penyakit kronis diduga merupakan suatu sindrom stres hematologik,
yang terjadi karena diproduksinya sitokin secara berlebihan. Sitokin yang berlebihan ini yang
akan menyebabkan sekuestrasi makrofag. Produksi sitokin yang berlebihan terjadi karena
kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi, atau kanker. Sindrom stres hematologik ini terdiri
dari peningkatan destruksi eritrosit di limpa, peningkatan ambilan besi oleh makrofag yang
tersekuestrasi, penurunanan produksi eritropoietin di ginjal, dan penurunan respon eritropoiesis
di sumsum tulang. Selain menyebabkan sekuestrasi makrofag, sitokin yang berlebihan juga akan
menyebabkan peningkatan aktivitas fagositosis makrofag dan sebagai bagian dari filter limpa
menjadi kurang toleran terhadap kerusakan minor eritrosit. Pada keadaan malnutrisi, terjadi
penurunan transformasi T4 menjadi T3 yang mengakibatkan terjadinya hipotiroid fungsional.
Hipotiroid fungsional menyebabkan penurunan kebutuhan terhadap hemoglobin yang
mengangkut besi sehingga produksi eritropoietin berkurang.
b Penghancuran eritrosit
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa masa hidup eritrosit pada sekitar 20-30% pasien. Defek
ini terjadi di ekstrakorpuskular, karena bila eritrosit pasien ditransfusikan keresipien
normal , maka dapat hidup normal. Aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan
peningkatan daya fagosistosis makrofag dan sebagai bagian dari filter limpa kurang toleran
terhadap perubahan atau kerusakan minor dari eritrosit.
c. Gangguan Produksi Eritrosit
1. Gangguan metabolisme besi.
Pada anemia jenis ini cadangan besi normal tetapi kadar besi rendah. Jadi, anemia
disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe dalam sintesis Hb. Pada umumnya terdapat gangguan
absorpsi Fe walaupun ringan. Ambilan Fe oleh sel sel usus dan pengikatan apoferitin intrasel
masih normal sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa defek yang terjadi pada anemia ini
yaitu gangguan pembebasan Fe dari makrofag dan sel- sel hepar pada pasien.

2. Gangguan fungsi sumsum tulang.


Yaitu respon eritropoietin terhadap anemia yang inadekuat. Hal ini terkait dengan sitokin-
sitokin yang dikeluarkan oleh sel yang cedera yaitu IL-1, TNF-, dan IFN-gamma. Kadar IFN-
gamma berhubungan langsung dengan beratnya anemia. TNF yang dihasilkan oleh makrofag
aktif akan menekan eritropoiesis pada pembentukan BFU-E dan CFU-E. IL-1 akan menekan
CFU-E pada kultur sumsum tulang manusia.12

3.5.3 Gejala Klinis

Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, sering kali gejalanya
tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-11 g/dL umumnya
asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam atau debilitas fisik meningkat, pengurangan
kapasitas transpor O2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan
sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat tanpa
kelainan yang khas dari anemia jenis ini dan diagnosis biasanya tergantung dari hasil
pemeriksaan laboratorium.12

3.5.4. Pemeriksaan laboratorium


Anemia umumnya adalah normokrom-normositer, meskipun banyak pasien mempunyai
gambaran hipokrom dengan MCHC <31 beberapa mempunyai gambaran hipokrom dengan
MCV <80 fL.Nilai retikulosit absolut dalam batas normal atau sedikit meningkat. Perubahan
pada leukosit dan trombosit tidak konsisten, tergantung dari penyakit dasarnya.
Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi sine qua non untuk diagnosis
anemia penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah onset suatu infeksi atau inflamasi dan
mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein pengikat Fe (transferin) menurun
menyebabkan saturasi Fe yang lebih tinggi daripada anemia defisiensi besi. Proteksi saturasi Fe
ini relatif mungkin mencukupi dengan meningkatkan transfer Fe dari suatu persediaan yang
kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid imatur.
Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat daripada penurunan
kadar Fe serum, disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama (8-12 hari) dibandingkan
dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi metabolik yang berbeda.

Tabel 5. Perbedaan parameter Fe pada orang normal, anemia defisiensi Fe, dan anemia pada
penyakit kronis12
Normal Anemia Anemia
defisiensi besi penyakit kronis
Fe plasma 70-90 30 30
(mg/dL)
TIBC 250-400 >450 <200
Persen saturasi 30 7 15
Kandungan Fe di ++ - +++
makrofag
Feritin serum 20-200 10 150
Reseptor 8-28 >28 8-28
transferin serum

3.5.5 Diagnosa

Banyak pasien dengan infeksi kronik, inflamasi, dan keganasan mengalami anemia, tetapi
anemia yang terjadi pada pasien tersebut dapat disebut sebagai anemia pada penyakit kronis jika
memenuhi ciri- ciri sebagai berikut: anemia sedang, selularitas sumsum tulang normal, kadar Fe
serum dan TIBC rendah, kadar Fe dalam makrofag yang terdapat dalam sumsum tulang normal
atau meningkat, serta feritin serum yang meningkat. 12
3.5.6. Diagnosa Banding
Diagnosa banding anemia pada penyakit kronis:
1 Anemia dilusional, pada keganasan stadium lanjut
2 Drug- induced marrow supression atau drug induced hemolisis. Pada penekanan
sumsum tulang akibat obat, kada besi serum tinggi. Pemeriksaan hitung
retikulosit, bilirubin LDH dan ts Coombs harus dilakukan untuk menyingkirkan
hemolisis
3 Perdarahan kronis
4 Thalasemia minor
5 Gangguan ginjal. Eritrosit memendek dan kegagalan relatif sumsum tulang 12

3.5.7. Penatalaksanaan

Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit dasarnya. Terdapat
beberapa pilihan dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain:
a Transfusi
Merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai gangguan hemodinamik. Tidak ada batasan
yang pasti pada kadar hemoglobin berapa kita harus memberi transfusi. Beberapa literatur
disebutkan bahwa pasien anemia penyakit kronik yang terkena infark miokard, transfusi dapat
menurunkan angka kematian secara bermakna. Demikian juga pada pasien anemia akibat kanker,
sebaiknya kadar Hb dipertahankan 10-11 g/dL.
b Preparat Besi
Pemberian preparat besi pada anemia penyakit kronik masih terus dalam perdebatan. Sebagian
pakar masih memberikan preparat besi dengan alasan besi dapat mencegah pembentukan TNF-.
Alasan lain, pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat besi terbukti dapat
meningkatkan kadar hemoglobin. Terlepas dari adanya pro dan kontra, sampai saat ini pemberian
preparat besi masih belum direkomendasikan untuk diberikan pada anemia pada penyakit kronis.
c Eritropoietin
Data penelitan menunjukkan bahwa pemberian eritropoietin bermanfaat dan sudah
disepakati untuk diberikan pada pasien anemia akibat kanker, gagal ginjal, mieloma multipel,
artritis reumatoid dan pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi beserta efek sampingnya,
pemberian eritropoietin mempunyai beberapa keuntungan, yakni mempunyai efek anti inflamasi
dengan cara menekan produksi TNF- dan IFN-. Dilain pihak, pemberian eritropoietin akan
menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan
leher.
Saat ini terdapat 3 jenis eritropoietin, yakni eritropoietin alfa, beta dan darbopoietin.
Masing-masing berbeda struktur kimiawi, afinitas terhadap reseptor dan waktu paruhnya
sehingga memungkinkan kita memilih mana yang lebih tepat untuk suatu kasus.12

Anda mungkin juga menyukai