Hehe

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 6

Masalah Sosial dan Penegakan Hukum

1. Kondisi Riil Penegakan Hukum di Indonesia

Saat ini, Indonesia belum dapat mengatasi seluruh persoalan kebangsaan


untuk mencapai kemajuan dan kemakmuran masyarakat. Hal tersebut salah
satunya disebabkan oleh lembaga-lembaga pemerintahan seperti DPR dan Partai
Politik belum berperan sebagaimana mestinya. Seakan-akan Negara tidak dapat
dirasakan kehadirannya oleh masyarakat. Rakyat berjuang sendiri demi
mendapatkan hak-hak untuk melindungi diri dan bertahan hidup.

Keadaan politik Indonesia sekarang ini hanyalah mementingkan citra dan


popularitas untuk menarik simpati rakyat. Kemunafikan sudah menjadi makanan
sehari-hari rakyat Indonesia. Dalam situasi-situasi krisis, rakyat justeru tidak
merasakan adanya kehadiran Negara. Para Elit Politik yang telah diberikan
tanggung jawab untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat malah
mengurus kepentingannya masing-masing. Hal tersebut dikarenakan di
Indonesia saat ini, DPR dan Partai Politik sangatlah dominan dalam system
bernegara di Indonesia. Dengan dominannya ParPol tersebut, wakil rakyat
bahkan tidak mau mendengar suara-suara dari rakyatnya sendiri.

Kondisi persatuan Indonesia sedang dicabik-cabik oleh berbagai


permasalahan seperti konflik dan kekerasan, intoleransi keagamaan, kelompok-
kelompok tertentu menyebarluaskan eksklusifisme yang membenarkan
kekerasan terhadap hal yang tidak sesuai dengan kelompok tersebut. Lebih
parah lagi, moral bangsa telah dibusukkan oleh korupsi yang merajalela dimana-
mana. Kebangkrutan yang terjadi tidak hanya kebangkrutan secara ekonomi,
melainkan juga kebangkrutas kualitas moral, solidaritas kebangsaan dan
kemerosotan penegak hukum. Elit politik saat ini lebih mementingkan ego
pribadi atau kelompok masing-masing dibandingkan kepentingan rakyat.

Konstitusi menyatakan bahwa kekayaan alam Negara dikuasai oleh Negara


namun pada kenyataanya kekayaan alam Indonesia lebih banyak dikuasai oleh
asing. Kondisi Indonesia semakin buruk ditambah semakin banyak peristiwa
yang tidak habis-habis muncul di Republik ini. Kepercayaan rakyat menurun
drastic karena kesenjangan luar biasa antara Pancasila dan aturan-aturan
dibawahnya sangtlah terlihat. Hal ini mengingatkan kita pada tulisan Mahatma
Gandhi yang intinya Politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras,
perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa
karakter, sains tanpa humanitas, dan peribadatan tanpa pengorbanan.

Baik rezim Soekarno maupun Soeharto belum dapat ditemukan solusi


implementasi pembangunan yang terbaik. Zaman Soekarno, nasionalisme dan
karakter kuat didengungkan namun soal keterampilan dan sumber daya masih
belum dapat tertata dengan baik. Sebaliknya zaman soeharto. Zaman orde lama
relative bersih namun kurang efektif, sedangkan Orde baru kurang bersih namun
cukup efektif.

2. Masalah Sosial dan Praktek Penegakan Hukum di Indonesia


Sarjana hukum dididik secara intelektualitas dan pengetahuannya
dengan sudut pandang normative, yaitu cenderung memandang segala
sesuatu dengan konstruksi hukum mengenai yang mana yang benar yang
mana yang salah. Mereka dibekali dengan bahan0bahan hukum positif yang
akan dapat digunakan pada kasus konkrit dengan menggunakan metode
prespektif, yaitu dengan hukum positif dapat diterapkan pada kasus tertentu.
Hukum positif dapat dikategorikan sebagai das sollen yaitu, sesuatu yang
mengharuskan kita untuk berpikir dan bersikap tindak secara tertentu dalam
menghadapi pekerjaan atau masalah tertentu pula. Pemahaman tersebut
merupakan penerapan ilmu hukum sebagai ilu terapan(applied science).
Sarjana hukum model ini diibaratkan seperti seorang dokter atau tukang
hukum yang hanya melakukan suatu hal yang pasti. Oleh karena itu, pola
pendidikan hukum seperti itu tidak lagi relevan dalam memecahkan kondisi
pembangunan dan perkembangan masyarakat sekarang ini.
Pemahaman dan penguasan sarjana hukum haruslah diutuhkan yakni
selain menguasai norma hukum positif, juga harus dibekali dengan
penguasaan untuk melakukukan pendeekatan-pendekatan perilaku dan
kenyataan yang meliput aspek sosiologis, antropologis, historis, psikologis,
termasuk juga studi perbandingan. Hal tersebut ditujukan agar ahli hukum
pada prakteknya tidak bersikap kaku, tidak sempit, picik dan juga sembrono.
Sebagai Negara hukum (rechststaat), Negara akan dihadapkan dengan
masalah hukum dan keadilan yang cukup serius. Hukum dan keadilan
diibaratkan dua kutub yang terpisah dan saling menjauh. Hal ini sesuai
dengan filosofis tujuan hukum yaitu hukum diciptakan bukan hanya untuk
membuat tertib social (social order), namun lebih dari, yakni bagaimana
dibentuknya hukum itu adalah untuk mewujudkan rasa keadilan bagi
masyarakat.. Cara pandang (paradigm) sebagian besar penegak huum saat
ini masih terlalu konservatif dan berkutat pada aspek positif-normatif-
legalistis dan mengabaikan akal sehat dan hati nurani. Padahal, seharusnya
kajian hukum tidak hanya bersifat normative-legalistis namun juga harus
bersifat sosiologis.
Menurut Prof Soetandyo (2002:160), masyarakat mulai mengalami
perubahan transformative yang sangat cepat, oleh karena itu hukum (positif)
tidak lagi efektif untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan
perkembangan masyarakat. Hukum substansial bukanlah hukum yang kaku
dan eksklusif. Oleh karena itu, mekanisme sosiologis dapat dijadikan sebagai
alternative untuk menjelaskan solusi atas masalah-masalah hukum dan social
yang ada termasuk menyelesaikan masalah-masalah sepele.
Hukum dalam perspektif sosiologis adalah hukum yang berkiprah dan
bergerak atau beroperasi dalam suasana yang actual dan factual dalam
jaringan social kemasyarakatan. Hukum bersifat sosiologis ini lahir, hidup dan
berkembang dalam suasana social masyarakat yang kompleks serta memiliki
varian mekanisme sosio-yuridis dalam menyelesaikan berbagai konflik social
yang ada di masyarakat. Menurut Sosiolog Hukum, Eugene Erilicht (1862-
1922), hukum yang sosiologis adalah hukum kebiasaan, yaitu berupa seluruh
keteraturan perilaku warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari secara
nyata dan telah menjadi tradisi (Soetandyo, 2008:13).

Fenomena Hukum dalam Masyarakat


Hukum (law) hanyalah salah satu unsur dan norma yang ada di masyarakat
(bisa terdiri dari habit/usage, folkways, custom dan mores). Norma tidak
tertulis selalu terjadi dari system nilai yang hidup dalam masyarakat. Hukum
yang merupakan norma tertulis adalah buatan pemerintah atas nama rakyat,
oleh karena hukum harus disosialisasikan terlebih dahulu sebelum
diimplementasikan karena ada kemungkinan tidak mengatasnamakan rakyat.
Sosialisasi tersebut tidak hanya secara pengumuman melainkan juga
penanaman nilai dan norma agar melekat di keperibadian setiap orang.
Profesional hukum sering mendapat sindiran maju tak gentar
membela yang bayar. Mengingat penegakan hukum dapat diatur oleh
penguasa hukum yang biasanya tergabung dalam suatu mafia yang
canggih, sebenarnya hukum yang paling supreme (tinggi) adalah nilai atau
rasa keadilan karena secara sosiologis, norma adlah pengejawantahan dari
nilai, apabila hukum tidak berdasarkan cerminan dari hidup masyarakat maka
hukum akan lebih banyak merugikan, menyulitkan, dan mengecewakan
daripada menciptakan keadilan dan kesejahteraan.
Partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum sudah sering terjadi
namun sering tidak tepat. Permasalahannya terdapat pada menemukan
kesepakatan antara pemerintah dan rakyat tentang hukum yang diharapkan.
Pemerintah dan seluruh aparat hukum harus melakukan introspeksi
mendalam yang menyeluruh. Dengan kesepakatan dan kesepahaman antar
masyarakat dan pemerintah, tujuan terwujudnya keteraturan social akan
tercapai.

Analogi jalan raya

Keteraturan social di Indonesia dapat dianalogikan dengan jalan raya.


Masalah ketertiban lalu lintah bukan lagi masalah individu atau kelompok
tertentu melainkan masalah social. Keteraturan social merupakan hasil dari
negosiasi antara masyarakat (social order is negotiated order). Jadi undang-
undang ketertiban belum efektif apabila tidak terjadi negosiasi (secara tidak
formal) antara penegak hukum dan masyarakat. Seringkali penegak hukum
(termasuk polisi) terlibat negosiasi informal. Keteraturan social yang terus
menerus terjadi akan menjadi sebuah pola piker dan menjadi cara pandang
dan cara bertindak anggota masyarakat.

Tertib lalu lintas yang diciptakan oleh Perda tidak selalu sama dengan
keteraturan social yang merupakan hasil negosiasi dengan masyarakat hal
tersebut menyebabkan keteraturan Sosial Menyimpang (KSM). KSM tidak
terjadi karena kebudayaan masyarakat buruk melainkan karena system
transportasi yang mengandung kesalahan contoh:

1. Penggunaan jalan yang lebih diprioritaskan adalah kendaraan pribadi


2. MRT bukan prioritas
3. Kendaraan umum sebagian besar diserahkan pada swasta dengan system
setoran yang menyebabkan sopir yang berperilaku brutal
4. Jumlah kendaraan umum tidak memadai sehingga banyak warga yang
tidak mendapatkan tempat dan dapat merusak budaya antri.
Jalanan di Indonesia atau khususnya Jakarta bersifat anomik yaitu tidak
jelas siapa yang berkuasa. Apabila system transportasi mengutamakan
kendaraan pribadi hasilnya akan menjadikan masyarakat yang individualis
(egois). Namun apabila mendahulukan kendaraan umum yang bersifat
sharing, masyarakat akan lebih dapat bertemu antara kelas social yang
berbeda dan dapat mendidik satu sama lain. Oleh karena itu perbaikan
budaya lalu lintas Jakarta harus dimulai dengan pembenahan structural
seperti penambahan jalan untuk kendaraan umum, menambah sarana
angkutan umum, dan menegakkan aturan secara berwibawa dan adil.

Krisis Hukum: Masalah Struktur atau kultur?


Struktur merupakan segala kekuatan yang dapat memaksa manusia
(kebijakan, UU, peraturan, pengaruh masyarakat luas dsb) yang belum
terinternalisasi (menjadi bagian dari keperibadian anggota masyarakat)
namun dapat memberi kendala bagi masyarakat. Sedangkan Kultur adalah
segalau sesuatu (termasuk struktur) yang telah terinternalisasi pada system
keperibadian anggota masyarakat. Jadi keteraturan dan ketidakaturan yang
terjadi di masyarakat bukan semua menjadi masalah kultur namun sebagian
juga masalah structural. Namun apabila didiamkan terlalu lama struktur
dapat menjadi kultur.

Krisis Kepercayaan
Masyarakat Indonesia tidak hanya mengalami krisis hukum melainkan juga
krisis kepercayaan. Hukum dan norma-norma lainnya adalah suatu
perjanjian aturan yang harus dipatuhi (kontrak social) namun kepercayaan
merupakan sesuatu yang lebih mendasar yaitu landasan berpijak dari
kontrak social itu (precontractual element of social order). Tanpa adanya
trust antara anggota masyarakat, hukum dan norma-norma lainnya tidak
akan memiliki nilai sama sekali. Oleh karena itu trust harus dipelihara dalam
kehidupan social dan budaya masyarakat. Biasanya, hukum yang dikuasai
oleh mafia merupakan sumber distrust masyarakat luar terhadap para
penegak hukum. Selanjutnya akan disusul dengan civil disobedience atau
apatisme terhadap hukum.
Tingkatan Distrust
a. Individual Distrust: masyarakat tidak percaya terhadap individu tertentu
seperti polisi tertentu (oknum)
b. Positional distrust: masyarakat tidak percaya pada siapa saja yang
berprofesi polisi
c. Organizational Distrust: masyarakat tidak percaya terhadap organisasi
kepolisian
d. Institutional Distrust: masyarakat tidak percaya pada pranata kepolisian
dan menganggap kepolisian sebagai alat represi pemerintah bukan
pelindung masyarakat
e. Ontological Distrust: tidak percaya apakah kelangsungan hidup
masyarakat bisa terjamin

Politisasi hukum

Hukum dapat menjadi sangat politis sehingga tidak mencerminkan nilai,


keinginan dan kebutuhan masyarakat melainkan lebih disesuaikan dengan
agenda partai politik dalam parlemen yang merupakan hasil lobby antara
partai dan pemerintah. Hukum pada implementasinya sangat rawan dengan
orang orang yang memiliki privilege untuk tidak transparan.

Krisis nilai dalam masyarakat

Negara tidak dapat mengembangkan hukum yang benar-benar adil apabila


tidak memiliki nilai yang kuat untuk menegakkan keadilan tersebut. Saat ini
bangsa Indonesia mengalami krisis nilai. Indonesia memang kaya akan nilai
nilai luhur (ideal values) yang dijunjung tinggi namun dalam kehidupan sehari
hari masyarakat digerakkan oleh nilai yang lain yang lebih menguntungkan
atau sesuai dengan kondisi yang ada. Yang berbahaya adalah apabila
kesenjangan keduanya sangat lebar, bangsa dapat menjadi hipokrit atau
munafik.

Community Policing

Community policing bukanlah usaha pemerintah untuk mengawasi rakyatnya


(seperti orde baru) melainkan mengembalikan polisi pada rakyat agar dapat
membantu rakyat mengamaknan dirinya sendiri, pendekatannya adalah
pemberdayaan masyarakat.

Kepercayaan masyarakat pada polisi sangatlah menurun, seringkali


masyarakat menggunakan peran polisi untuk kepentingan sendiri. Contoh:
Pak Ogah yang mengatur lalu lintas, massa yang menghukum maling dan
sebagainya. Hal-hal tersebut merupakan bentuk pemolisian masyarakat
namun dalam bentuk yang salah kaprah karena bersifak anarkis dan hanya
mementingkan diri sendiri. Apabila konsep Community Policing tidak
disosialisasikan secara jelas, masyarakat akan semakin anarkis karena
merasa diberikan legalitas.

Pilihan pendekatan yang dapat dilakukan untuk pelanggaran hukum di


Indonesia dapat ditekankan melalui

1. Rasa bersalah
2. Rasa malu
3. Rasa takut

Anda mungkin juga menyukai