3
Tuhan yang dianggap paling mulia (Gerret et al., 2009; Jonsen et al., 2005).
Dalam praktik sehari-hari, pasien mempercayakan dirinya kepada dokter untuk
diperiksa dan diobati. Terjadi suatu hubungan yang khusus antara dokter dan
pasien yang sangat spesifik, yaitu hubungan yang personal, didasari
kepercayaan, karena pasien menyadari bahwa dokter akan menyimpan
rahasianya. Pada umumnya, secara hukum hubungan dokter dengan pasien
merupakan suatu hubungan ikhtiar atau usaha maksimal. Dokter tidak akan
menjanjikan kepastian kesembuhan, akan tetapi berikhtiar sekuatnya untuk
kesembuhan pasiennya (Hanafiah & Amir, 2007 ; Rogers & Braunack-Meyer,
2009).
Hakikat profesi dokter adalah bisikan nurani dan panggilan jiwa untuk
mengabdi diri pada kemanusiaan berlandaskan moralitas yang kental. Prinsip-
prinsip kejujuran, keadilan, empati, keikhlasan, kepedulian terhadap sesame
dalam rasa kemanusiaan, rasa kasih sayang, dan ikut merasakan penderitaan
orang lain yang kurang beruntung. Dengan demikian, seorang dokter tidak boleh
egois, melainkan harus mengutamakan kepentingan orang lain, membantu
mengobati orang sakit. Seorang dokter harus memiliki nilai Intellectual Quotient
(IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ) yang tinggi dan
seimbang.
Sikap mental fundamental yang harus melekat secara mutlak pada pribadi
seorang dokter yang baik dan bijaksana yang mendasari profesi luhur dokter
yaitu: ketuhanan, rasa kemanusiaan, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan
hati, kesungguhan kerja, integritas ilmiah, dan sosial.
4
Profesi dokter, seperti juga profesi ahli hukum merupakan profesi
tertua yang termasuk restricted profession yang memiliki ciri yang lebih
khusus, yaitu pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan dengan penuh
kepercayaan (trust) atau kerahasiaan (confidentially), dan hubungan antara
tenaga profesional tersebut dengan clientnya merupakan hubungan
interpersonal. Kegiatan tenaga profesional tersebut diatur dalam kode etik
profesi yang disusun dan ditetapkan oleh organisasi profesi (Campbell et
al., 2005; Rogers &Braunack-Meyer, 2009; Samir, 2001).
Etik kedokteran mengatur masalah yang berhubungan dengan sikap
para dokter terhadap sejawat, para pembantunya serta terhadap penderita
yang menjadi tanggung jawabnya. Etika kedokteran diperlukan dalam
melaksanakan pelayanan kesehatan, karena itu disebut juga etika klinik.
Filosofi moral dari etika kedokteran tertuang dalam empat Prinsip Dasar
Etika Kedokteran, sebagai berikut:
1. Autonomy
Pasien berhak menentukan apa yang dilakukan terhadap
tubuhnya, artinya pasien berhak untuk mendapat informasi dan
pelayanan yang terbaik, ikut serta pada penentuan tindakan klinik
dalam kedudukan yang setara. Orang dewasa yang kompeten dapat
menolak atau menerima perawatan dan obat-obatan atau tindakan
operasi karena mereka bebas dan rasional. Keputusan itu harus
dihormati, bahkan jika keputusan tersebut tidak dalam kepentingan
yang terbaik untuk pasien.
2. Beneficence
Semua penyedia layanan kesehatan harus berusaha untuk
meningkatkan kesehatan pasien, dengan melakukan yang palik baik
untuk pasien dalam setiap situasi. Walaupun apa yang baik untuk satu
pasien mungkin tidak baik bagi pasien lain, sehingga setiap situasi
harus dipertimbangkan secara individual. Artinya apapun yang
dilakukan oleh seorang dokter kepada pasiennya, hanya demi kebaikan
pasien tersebut.
3. Non malficence
Pertama, tidak membahayakan adalah landasan etika
kedokteran. Dalam setiap situasi, penyedia layanan kesehatan harus
5
menghindari tindakan yang menyebabkan kerugian pada pasien.
Dokter juga harus menyadari doktrin efek ganda, dimana pengobatan
yang ditunjukkan untuk kebaikan, dapat saja secara tidak sengaja
menyebabkan kerugian. Artinya walaupun tindakan yang dilakukan
adalah dengan niat baik, tapi tetap harus dijaga agar tidak merugikan
pasien.
4. Justice
Keadilan pemberian layanan kesehatan.
Beneficence dan non malficence bila dilaksanakan dengan benar
sudah menggambarkan kompetensi klinik, sedangkan autonomy dan
justice adalah gambaran niat, sikap, dan perilaku dokter dalam
menyampaikan kompetensi klinis tersebut secara manusiawi, yang
merupakan ciri kompetensi etik. Autonomy atau hak penentuan nasib
sendiri diaplikasikan dalam praktik kedokteran sebagai persetujuan atas
dasar informasi atau dikenal dengan istilah Informed Consent untuk setiap
tindakan, baik yang bersifat diagnostik maupun terapeutik. Pasal 2
Peraturan Menteri Kesehatan No.585/Men.Kes/Per/IX/1989 menyatakan
bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan. Persetujuan dimaksud diberikan setelah pasien
mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang
akan dilakukan serta risiko yang dapat ditimbulkannya.
Pada saat pasien datang ke dokter untuk mendapatkan pelayanan
medis, dimana dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
tindakan, dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut
melalui isyarat dari pasien misalnya dengan menurunkan celananya pada
saat akan dilakukan injeksi. Persetujuan ini merupakan persetujuan tersirat
dan disebut sebagai implied consent. Persetujuan yang dinyatakan baik
secara lisan maupun tertulis disebut sebagai expressed consent. Namun
dalam tindakan medis invasive dan mengandung risiko, dokter sebaiknya
mendapatkan persetujuan tindakan medis secara tertulis. Penandatanganan
expressed informed consent adalah pasien sendiri yang sudah dewasa
(diatas 21 tahun atau telah menikah) dan dalam keadaan sehat mental.
Untuk pasien dibawah 21 tahun atau pasien penderita gangguan jiwa, yang
6
menandatanganinya adalah orangtua/wali/keluarga terdekat. Untuk pasien
dalam keadaan tidak sadar, tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan
secara medis dalam keadaan gawat atau darurat yang memerlukan
tindakan medis segera, maka tidak diperlukan persetujuan medis dari
siapapun (pasal 11 BAB IV PerMenKes No. 585). Namun untuk
keamanan, diperlukan dua orang saksi, untuk mewakili pihak pasien dan
mewakili pihak dokter atau rumah sakit.
Pada hakekatnya informed consent adalah untuk melindungi pasien
dari segala kemungkinan tindakan medis yang tidak disetujui atau tidak
diizinkan oleh pasien tersebut, sekaligus melindungi dokter (secara
hukum) terhadap kemungkinan akibat yang tak terduka atau bersifat
negatif. Informasi diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan
medis tertentu, sebab hanya ia sendiri tahu persis mengenai kondisi pasien
dan segala seluk-beluk dari tindakan medis yang akan dilakukan.
Kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian dalam penerapan standar prosedur
profesi medis untuk melakukan suatu tindakan medis tertentu merupakan
turunan dari empat prinsip etika profesi kedokteran.
Profesi kedokteran merupakan profesi yang luhur karena tugas
utamanya dalah memberikan pelayanan untuk memenuhi salah satu
kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan kesehatan. Dalam
menjalankan tugas profesionalnya sebagai dokter, selain terkait oleh norma
etika dan norma hukum, profesi dokter juga terkait dengan norma disiplin
kedokteran, yang bila ditegakkan akan menjamin mutu pelayanan sehingga
terjaga martabat dan keluhuran profesinya. Namun pada dekade terakhir
tidak sedikit masalah yang muncul di masyarakat pada saat dokter
menjalankan tindakan profesinya yaitu praktik kedokteran. Oleh karena itu
agar masyarakat memperoleh pelayanan medik secara profesional, maka
dibuat suatu undang-undang yang menjadi acuan kepada setiap dokter
dalam menyelenggarakan praktik kedokteran, yaitu Undang-undang nomor
29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-undang tersebut
mengatur praktik kedokteran agar kualitasnya dan mutu pelayanan tetap
terpelihara.
7
Dokter sebagai tenaga profesional bertanggung jawab dalam setiap
tindakan mendis yang dilakukan terhadap pasien. Dalam menjalankann
tugas profesionalnya didasarkan pada niat baik yaitu berupaya dengan
sungguh-sungguh berdasarkan pengetahuannya dilandasi dengan sumpah
dokter, kode etik kkedokteran dan standar profesinya untuk
menyembuhkan dan menolong pasien.
2.2. Pengertian dan Standar Praktik Dokter yang Profesional dan Islami
B. Pertanggungjawaban
8
Hadis di atas juga memberikan pengertian lain yang tidak kalah
pentingya dengan diktum pertama, yaitu pertanggungjawaban terhadap
kesalahan pelayanan pengobatan.
Undang-Undang juga melindungi kesalahan dokter jika kesalahan
itu tidak terbukti ada unsur kesengajaannya atau keteledorannya. Hadis
di atas hanya membatasi pertanggungjawaban atas orang yang
melakukan praktik tanpa izin praktik sebelumnya.
D. Spesialisasi
Islam mendorong spesialisasi (keahlian khusus) dalam pelayanan
kesehatan. Hal ini dimaksudkan agar setiap dokter benar-benar ahli
dalam bidang yang ditekuninya. Itulah sebabnya maka setiap kali
Rasulullah melihat beberapa dokter yang merawat pasien beliau
bertanya: Siapakah di antara kalian yang lebih menguasai spesialisasi
tentang penyakit ini.
Apabila beliau melihat seorang di antara mereka yang lebih
mengetahui (ahli), maka beliau mendahulukan di antara yang lainnya.
9
2.3. Prinsip-prinsip Legal Dalam Praktik Kedokteran Berdasarkan
Hukum dan Agama
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya
kesehatan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan
didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan,
keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien.
Pasal 3
Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk :
a. Memberikan perlindungan kepada pasien;
10
b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang
diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan
c. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter
gigi.
BAB VII
PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEDOKTERAN
Bagian Kesatu
Surat Izin Praktik
Pasal 36
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran
di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik.
Pasal 37
1. Surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikeluarkan
oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat
praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan.
2. Surat izin praktik dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat.
3. Satu surat izin praktik hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.
Pasal 38
1. Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36, dokter atau dokter gigi harus :
a. Memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi
dokter gigi yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29, Pasal 31, dan Pasal 32;
b. Mempunyai tempat praktik; dan
c. Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
2. Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang :
a. Surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi
masih berlaku; dan
b. Tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam surat
izin praktik.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai surat izin praktik diatur dengan
Peraturan Menteri. 14
Bagian Kedua
Pelaksanaan Praktik
11
Pasal 39
Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan
antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk
pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Pasal 40
1. Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik
kedokteran harus membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau
dokter gigi pengganti.
2. Dokter atau dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dokter atau dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik.
Pasal 41
1. Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan
menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 wajib memasang papan nama praktik kedokteran.
2. Dalam hal dokter atau dokter gigi berpraktik di sarana pelayanan
kesehatan, pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat
daftar dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran.
Pasal 42
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter
atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan
praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan tersebut.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan praktik kedokteran
diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pemberian Pelayanan
Paragraf 1
Standar Pelayanan
Pasal 44
1. Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran
wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.
12
2. Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan
menurut jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan. 15
3. Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 2
Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi
Pasal 45
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup :
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan.
5. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung
risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
6. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Rekam Medis
Pasal 46
1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran
wajib membuat rekam medis.
2. Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera
dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
13
3. Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda
tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan. 16
Pasal 47
1. Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan,
sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien.
2. Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan
dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan
sarana pelayanan kesehatan.
3. Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 4
Rahasia Kedokteran
Pasal 48
1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
wajib menyimpan rahasia kedokteran.
2. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan
pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan
ketentuan perundang-undangan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan
Peraturan Menteri.
Paragraf 5
Kendali Mutu dan Kendali Biaya
Pasal 49
1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
atau kedokteran gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan
kendali biaya.
2. Dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diselenggarakan audit medis.
3. Pembinaan dan pengawasan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh organisasi profesi.
14
Paragraf 6
Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai hak :
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional; 17
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya; dan
d. Menerima imbalan jasa.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai kewajiban :
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali
bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya;
dan
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
Paragraf 7
Hak dan Kewajiban Pasien
Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
15
d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapatkan isi rekam medis.
Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai kewajiban :
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya;
b. Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Paragraf 8
Pembinaan
Pasal 54
1. Dalam rangka terselenggaranya praktik kedokteran yang bermutu dan
melindungi masyarakat sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini, perlu dilakukan pembinaan
terhadap dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran.
18
2. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Konsil Kedokteran Indonesia bersama-sama dengan organisasi
profesi.
16
dalam menghadapi penyakit setelah berharap rahmat dan kesembuhan dari
Allah Azza wa Jalla.
17
. :
. .
18
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga mengingatkan bahwa
yang berhak mengobati adalah ahli profesi kedokteran dengan standar
kedokteran. Beliau bersabda:
)(
. )(
19
Secara global mereka (para dokter) jika bertindak sesuai yang
diperintahkan tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan
dengan 2 syarat:
:
. .
20
Dan diambil dalil dari hadits ini bahwa profesi kedokteran termasuk
ilmu yang bermanfaat secara syari dan akal. Wallahu alam. (Bahjatu
Qulubil Abrar wa Qurratu Uyunil Akhyar: 159).
21
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi rahimahullahu berkata,
.
Tidak boleh bagi seseorang melakukan suatu praktik pekerjaan dimana
ia tidak mumpuni dalam hal tersebut. Demikian juga dengan praktik
kedokteran dan lainnya. Barangsiapa lancang melanggar maka ia
berdosa. Dan apa yang ditimbulkan dari perbuatannya berupa
hilangnya nyawa dan kerusakan anggota tubuh atau sejenisnya, maka ia
harus bertanggung jawab. [Bahjah Qulubil Abrar hal. 155, Dar Kutub
Al-Ilmiyah, Beirut, cet-ke-1, 1423 H]
22
Maka hal ini juga sudah ditegaskan dalam Islam, Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sadi rahimahullahu berkata,
.
Dokter yang mahir, jika melakukan [praktik kedokteran] dan tidak
melakukan kesalahan, kemudian terjadi dalam praktiknya
kerusakan/bahaya. Maka ia tidak harus mengganti rugi. Karena ia
mendapat izin dari pasien atau wali pasien. Dan segala kerusakan yang
timbul dalam perbuatan yang mendapat izin, maka tidak harus
mengganti rugi. [Bahjah Qulubil Abrar hal. 156, Dar Kutub
Al-Ilmiyah, Beirut, cet-ke-1, 1423 H]
Maksud mendapat izin, yaitu ada ridha dari pasien bahwa ia mau
diobati oleh dokter, atau ia meminta dokter untuk melakukan pengobatan
padanya. Hal ini diperkuat dengan kaidah fiqhiyah.
,
Apa-apa [kerusakan] yang timbul dari sesuatu yang mendapat izin,
maka tidak harus mengganti rugi, dan kebalikannya [Al-Qawaaidul
Ushuul Jaamiah hal. 21, Darul Wathan, Riyadh, cet. Ke-2, 1422 H]
Rincian malpraktik
23
Bahkan kesalahan dan ganti rugi dengan rinci dijelaskan oleh
ulama Islam. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu merincinya ada
lima pembagian:
1. Dokter yang mahir, melakukan praktik sesuai standar dan tidak
melakukan kecerobohan.
Kemudian terjadi efek yang kurang baik bagi pasien, maka ia
tidak harus bertanggung jawab dengan mengganti.
Kami [penulis] beri contoh kasus disaat ini, misalnya pasien
mendapat obat dari dokter, kemudian dokter sudah bertanya apakah
ia mempunyai alergi dengan obat tertentu, maka pasien menjawab
tidak tahu, kemudian dokter menjelaskan bisa jadi terjadi alergi.
Kemudian pasien memilih menggunakan obat tersebut. Kemudian
terjadi alergi berupa gatal-gatal pada pasien tersebut. Maka dokter
tidak wajib mengganti kerugian. Alasan lainnya juga karena kita
tidak tahu apakah ia alergi obat apa tidak, karena ketahuan hanya jika
sudah dicoba mengkonsumsi.
2. Dokter yang bodoh dan melakukan praktik kedokteran.
Kemudian terjadi bahaya bagi pasien, maka dokter wajib
bertanggung jawab atau ganti rugi berupa diyat.
Kami [penulis] beri contoh kasus disaat ini, misalnya mahasiswa
kedokteran yang masih belajar [co-aas] melakukan praktik kemudian
terjadi kesalahan yang merugikan pasien maka ia wajib bertaggung
jawab.
3. Dokter yang mahir, mendapatkan izin, kemudian melakukan
kecerobohan.
Maka ia wajib bertanggung jawab, akan tetapi ada perselisihan
dalam penggantian diyat, bisa jadi dari harta dokter ataupun dari
baitul mal [kas negara].
Kami [penulis] beri contoh kasus disaat ini, misalnya dokter
bedah ketika membedah, pisau bedah tertinggal diperut pasien,
kemudian perut pasien rusak, maka dokter bedah wajib bertanggung
jawab.
24
4. Dokter yang mahir, berijtihad memberikan suatu resep obat,
kemudian ia salah dalam ijtihadnya.
Maka ia wajib bertanggung jawab dan ada dua pendapat tentang
harta pengganti, bisa dari baitul mal [kas negara] atau harta
keluarganya.
5. Dokter yang mahir, melakukan pengobatan kepada anak kecil atau
orang gila tanpa izinnya tetapi mendapat izin walinya.
Kemudian terjadi kerusakan/bahaya bagi pasien maka ganti rugi
dirinci, jika ia melakukan kecorobohan, maka ia wajib mengganti
jika tidak maka tidak perlu mengganti.
[lihat Thibbun Nabawi hal. 88-90, Al-Maktab Ats-Tsaqafi, Koiro]
25
kata consentyang bermakna persetujuan atau memberi izin.
Dengan demikian Informed Consent mengandung pengertian suatu
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah
mendapat informasi tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
dirinya serta segala resikonya.1
b) Rekam Medik
Selain Informed Consent, dokter juga berkewajiban
membuat Rekam Medik dalam setiap kegiatan pelayanan
kesehatan terhadap pasiennya. Pengaturan rekam medis terdapat
dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Praktik Kedokteran.
Rekam medis merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan
pelayanan yang diberikan kepada pasien. Rekam medis dibuat
dengan berbagai manfaat, yaitu untuk pengobatan pasien,
peningkatan kualitas pelayanan, pendidikan dan penelitian,
pembiayaan, statistik kesehatan serta pembuktian masalah hukum,
disiplin dan etik.2
1
Veronika Komalasari, Black Law Dictionary, dalam Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan
Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, KDP,
Bandung, 2012. hal. 85
2
Ibid. hal. 219
26
Respon imun tubuh yang berlebihan terhadap masuknya
benda asing (obat) sering tidak dapat diperkirakan terlebih
dahulu.
3) Komplikasi yang terjadi tiba-tiba dan tidak bisa diduga
sebelumnya.
Seringkali terjadi bahwa prognosis pasien tampak sudah
baik, tetapi tiba-tiba keadaan pasien memburuk bahkan
meninggal tanpa diketahui penyebabnya. Misalnya terjadinya
emboli air ketuban.
b.) Kecelakaan Medik
Kecelakaan medik sering dianggap sama dengan
malpraktek medik, karena keadaan tersebut menimbulkan kerugian
terhadap pasien. Dua keadaan tersebut seharusnya dibedakan,
karena dalam dunia medis dokter berupaya untuk menyembuhkan
bukannya merugikan pasien. Apabila terjadi kecelakaan medik,
pertanggungjawaban dokter mengarah kepada cara bagaimana
kecelakaan tersebut terjadi atau dokter harus membuktikan
terjadinya kecelakaan tersebut.4
27
Bidang kedokteran merupakan suatu bidang yang sangat komplek,
seperti dalam suatu upaya pengobatan sering terjadi
ketidaksepakatan atau pendapat yang sama tentang terapi yang
cocok terhadap suatu situasi medis khusus. Ilmu medis adalah
suatu seni dan sains disamping teknologi yang dimatangkan dalam
pengalaman. Maka dapat saja cara pendekatan terhadap suatu
penyakit berlainan bagi dokter yang satu dengan yang lain. Namun
tetap harus berdasarkan ilmu pengetahuan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Berdasarkan keadaan diatas munculah
suatu teori hukum oleh pengadilan yang disebut respectable
minority rule, yaitu seorang dokter tidak dianggap berbuat lalai
apabila ia memilih dari salah satu dari sekian banyak cara
pengobatan yang diakui.6
3
Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta, 1996. hal.
107
4
Ibid. hal. 108
5
Syahrul Machmud, Op Cit. hal. 283
6
Ibid hal. 284.
28
sebelumnya, maka dokter tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakan medisnya. Selain itu doktrin ini dapat juga diterapkan
pada kasus pulang paksa (pulang atas kehendak sendiri walaupun
dokter belum mengizinkan), maka hal semacam itu membebaskan
dokter dan rumah sakit dari tuntutan hukum.8
f.) Res Ipsa Loquitur
Doktrin res ipsa loquitur ini berkaitan secara langsung
dengan beban pembuktian (onus, burden of proof), yaitu
pemindahan beban pembuktian dari penggugat (pasien atau
keluarganya) kepada tergugat (tenaga medis). Terhadap kelalaian
tertentu yang sudah nyata, jelas sehingga dapat diketahui seorang
awam atau menurut pengetahuan umum antara orang awam atau
profesi medis atau kedua-duanya, bahwa cacat, luka, cedera atau
fakta sudah jelas nyata dari akibat
7
Ibid
8
Ibid hal. 285
9
Ibid. hal. 287
29