Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH SEMINAR

KEPRIBADIAN DALAM KINERJA PERAWAT

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kepemimpinan, Manajemen


dan Kewirausahaan dalam Keperawatan

Oleh:

1. Aulia Dian T. 135070200111010


2. Puput Lifvaria Panta A. 135070201111004
3. Hesti Sriwahyuni 135070201111022
4. I Gusti Ayu Debby Tiana H. 135070207111008
5. Nuril Laili Fajriatussholiha 135070207113016
6. Ulfa Fauziyah Hayati 135070218113008
7. Mohamad Salju Bintoro 135070218113020
8. Lintang Diah Yuniarti 135070218113029

Kelompok 6 B

PROGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2017

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam


bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan/ keterampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan. Salah satu tenaga kesehatan adalah keperawatan
( UU Tenkes, 2014). Keperawatan sebagai bentuk pelayanan profesional
merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari upaya pelayanan
kesehatan, selain itu keperawatan merupakan faktor penentu baik buruknya
mutu dan citra institusi pelayanan kesehatan (Afidah dkk, 2011).
Perawat sebagai care provider (pemberi asuhan keperawatan) yang
profesional haruslah memiliki kinerja, keterampilan, sosialisasi dan mampu
bekerja sama dengan tim. Faktor yang mempengaruhuhi kinerja antara lain
kemampuan, kepribadian, minat kerja, kejelasan peran kerja serta motivasi
(Nurachma, 2001 dalam Afidah dkk, 2011). Salah satu yang mempengaruhi
kinerja adalah kepribadian. Berdasarkan penelitian dari Afidah dkk (2011)
kepribadian mempengaruhi kinerja perawat. Dimana semakin ekstrovert tipe
kepribadian seseorang maka semakin baik pula kinerja yang dilakukan
Kepribadian merupakan segala corak perilaku dan sifat khas pada diri seseorang
yang digunakan dalam bereaksi dan menyesuaikan diri terhadap ransangan,
sehingga corak tingkah lakunya merupakan satu kesatuan fungsional yang khas
bagi individu tersebut (USU,2011).
Mardianah (2015) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tipe
kepribadian dengan pengambilan keputusan kepala ruangan keperawatan di
Rumkital dr. Ramelan Surabaya. Selain itu, Efendi (2009) juga menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara tipe kepribadian perawat dengan tingkat
kepuasan pasien dengan pelayanan keperawatan di RSI Surakarta. Oleh karena
itu dapat disimpulkan bahwa kepribadian sangat mempengaruhi perawat dalam
memberikakan asuhan keperawatan.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana hubungan tipe kepribadian dengan kinerja perawat di pelayan


kesehatan?
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Tujuan Umum
1) Mengetahui hubungan antara kepribadian dan kinerja perawat
1.3.2. Tujuan Khusus
1) Mengetahui definisi kepribadian
2) Mengetahui faktor faktor yang mempengaruhi kepribadian
3) Mengetahui tipe tipe dari kepribadian
4) Mengetahui struktur kepribadian manusia
5) Mengetahui tahap tahap perkembangan kepribadian
6) Mengetahui konsistensi kepribadian

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Definisi Kepribadian


Kepribadian adalah pola perilaku dan berhubungan dengan diri sendiri
dan orang lain yang melekat dan terus ada, termaksud persepsi, sikap, dan
emosi diri tentang diri sendiri dan dunia. Individu dikatakan mengalami gangguan
kepribadian menampakkan pola perilaku maladaptif dan telah berlangsung dalam
jangka waktu yang lama. Pola tersebut muncul pada setipa situasi serta
mengganggu fungsi kehidupan sehari-hari. (Purwa A, 2012)
Kepribadian adalah sekumpulan cara bagaimana sesorang individu
bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain. Kepribadian merupakan salah satu
faktor paling penting bagi individu, karena kepribadian menentukan bagaimana
seseorang berpikir, berperilaku dan berperasa dalam berbagai situasi yang
berbeda-beda. Dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah gambaran diri
seorang individu yang dilihat dari cara berpikir, berperilaku, berperasa dan
berinteraksi dengan orang lain (Montolalu et al, 2016).
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepribadian
meliputi segala corak perilaku dan sifat yang khas dan dapat diperkirakan pada
diri seseorang, yang digunakan untuk bereaksi dan menyesuaikan diri terhadap
rangsangan, sehingga corak tingkah lakunya itu merupakan satu kesatuan
fungsional yang khas bagi individu itu.

2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepribadian

Menurut Purwanto (2006) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi


kepribadian antara lain:

1. Faktor Biologis
Faktor biologis merupakan faktor yang berhubungan dengan
keadaan jasmani, atau seringkali pula disebut faktor fisiologis seperti
keadaan genetik, pencernaan, pernafasaan, peredaran darah, kelenjar-
kelenjar, saraf, tinggi badan, berat badan, dan sebagainya. Kita
mengetahui bahwa keadaan jasmani setiap orang sejak dilahirkan telah
menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan. Hal ini dapat kita lihat pada
setiap bayi yang baru lahir. Ini menunjukkan bahwa sifat-sifat jasmani
yang ada pada setiap orang ada yang diperoleh dari keturunan, dan ada
pula yang merupakan pembawaan anak/orang itu masing-masing.
Keadaan fisik tersebut memainkan peranan yang penting pada
kepribadian seseorang.
Perkembangan prenatal menunjukkan bahwa kemampuan
menyesuaikan diri terhadap kehidupan post natal bersumber pada masa
konsepsi. Kepribadian sebenarnya tidak mendapat pengaruh langsung
dari gen dalam pembentukannya, karena yang dipengaruhi gen secara
langsung adalah kualitas sistem saraf dan kesimbangan biokimia tubuh
(Yusuf & Nurihsan, 2005).
2. Faktor Sosial
Faktor sosial yang dimaksud di sini adalah masyarakat; yakni
manusia-manusia lain disekitar individu yang bersangkutan. Termasuk
juga kedalam faktor sosial adalah tradisi-tradisi, adat istiadat, peraturan-
peraturan, bahasa, dan sebagainya yang berlaku dimasyarakat itu. Sejak
dilahirkan, anak telah mulai bergaul dengan orang-orang disekitarnya.
Dengan lingkungan yang pertama adalah keluarga. Dalam perkembangan
anak, peranan keluarga sangat penting dan menentukan bagi
pembentukan kepribadian selanjutnya. Keadaan dan suasana keluarga
yang berlainan memberikan pengaruh yang bermacam-macam pula
terhadap perkembangan kepribadian anak. Pengaruh lingkungan
keluarga terhadap perkembangan anak sejak kecil adalah sangat
mendalam dan menentukan perkembangan pribadi anak selanjutnya. Hal
ini disebabkan karena pengaruh itu merupakan pengalaman yang
pertama, pengaruh yang diterima anak masih terbatas jumlah dan
luasnya, intensitas pengaruh itu sangat tinggi karena berlangsung terus
menerus, serta umumnya pengaruh itu diterima dalam suasana bernada
emosional. Kemudian semakin besar seorang anak maka pengaruh yang
diterima dari lingkungan sosial makin besar dan meluas. Ini dapat
diartikan bahwa faktor sosial mempunyai pengaruh terhadap
perkembangan dan pembentukan kepribadian.

3. Faktor Kebudayaan
Perkembangan dan pembentukan kepribadian pada diri masing-
masing orang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat di
mana seseorang itu dibesarkan. Beberapa aspek kebudayaan yang
sangat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan kepribadian
antara lain:
a. Nilai-nilai (Values)
Di dalam setiap kebudayaan terdapat nilai-nilai hidup yang dijunjung
tinggi oleh manusia-manusia yang hidup dalam kebudayaan itu.
Untuk dapat diterima sebagai anggota suatu masyarakat, kita harus
memiliki kepribadian yang selaras dengan kebudayaan yang
berlaku di masyarakat itu.
b. Adat dan Tradisi
Adat dan tradisi yang berlaku disuatu daerah, di samping
menentukan nilai-nilai yang harus ditaati oleh anggota-anggotanya,
juga menentukan pula cara-cara bertindak dan bertingkah laku yang
akan berdampak pada kepribadian seseorang.
c. Pengetahuan dan Keterampilan
Tinggi rendahnya pengetahuan dan keterampilan seseorang atau
suatu masyarakat mencerminkan pula tinggi rendahnya
kebudayaan masyarakat itu. Makin tinggi kebudayaan suatu
masyarakat makin berkembang pula sikap hidup dan cara-cara
kehidupannya.
d. Bahasa
Di samping faktor-faktor kebudayaan yang telah diuraikan di atas,
bahasa merupakan salah satu faktor yang turut menentukan cirri-ciri
khas dari suatu kebudayaan. Betapa erat hubungan bahasa dengan
kepribadian manusia yang memiliki bahasa itu. Karena bahasa
merupakan alat komunikasi dan alat berpikir yang dapat
menunukkan bagaimana seseorang itu bersikap, bertindak dan
bereaksi serta bergaul dengan orang lain.
e. Milik Kebendaan (material possessions)
Semakin maju kebudayaan suatu masyarakat/bangsa, makin maju
dan modern pula alat-alat yang dipergunakan bagi keperluan
hidupnya. Hal itu semua sangat mempengaruhi kepribadian
manusia yang memiliki kebudayaan itu.

2.3. Tipe-Tipe Kepribadian


Dalam dunia psikologi, terdapat 4 tipe kepribadian, yang diperkenalkan
pertama kali oleh Hippocrates (460-370 SM). Hal ini dipengaruhi oleh anggapan
bahwa alam semesta beserta isinya tersusun dari empat unsur dasar yaitu:
kering, basah, dingin, dan panas. Dengan demikian dalam diri seseorang
terdapat empat macam sifat yang didukung oleh keadaan konstitusional berupa
cairan-cairan yang ada di dalam tubuhnya, yaitu: sifat kering terdapat dalam
chole (empedu kuning), sifat basah terdapat dalam melanchole (empedu hitam),
sifat dingin terdapat dalam phlegma (lendir), dan sifat panas terdapat dalam
sanguis (darah). Keempat cairan tersebut terdapat di dalam tubuh dengan
proporsi tertentu. Jika proporsi cairan-cairan tersebut di dalam tubuh berada
dalam keadaan normal, maka individu akan normal atau sehat, namun apabila
keselarasan proporsi tersebut terganggu maka individu akan menyimpang dari
keadaan normal atau sakit (Suryabrata, 2007).
Pendapat Hippocrates disempurnakan oleh Galenus (129-200 SM) yang
mengatakan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat 4 macam cairan tersebut
dalam proporsi tertentu. Apabila suatu cairan terdapat di dalam tubuh melebihi
proporsi yang seharusnya (dominan) maka akan menimbulkan adanya sifat-sifat
kejiwaan yang khas. Sifat-sifat kejiwaan yang khas ada pada seseorang sebagai
akibat dari dominannya salah satu cairan tersebut yang oleh Galenus sehingga
menggolongkan manusia menjadi empat tipe berdasarkan temperamennya, yaitu
Koleris, Melankolis, Phlegmatis, dan Sanguinis (Suryabrata, 2007).
1. Sanguin
Seorang sanguinis pada dasarnya mempunyai sifat ekstrovert,
membicara dan optimis. Dari segi emosi, ciri seorang sanguinis yaitu
kepribadian yang menarik, suka bicara, menghidupkan pesta, rasa humor
yang hebat, ingatan kuat untuk warna, secara fisik memukau pendengar,
emosional dan demonstrative, antusias dan ekspresif, periang dan penuh
semangat, penuh rasa ingin tahu, baik dipanggung, lugu dan polos, hidup
dimasa sekarang, mudah diubah, berhati tulus, selalu kekanak-kanakan.
Dari segi pekerjaan, sifat seorang sanguinis yaitu sukarelawan untuk
tugas, memikirkan kegiatan baru, tampak hebat dipermukaan, kreatif dan
inovatif, punya energi dan antusiasme, mulai dengan cara cemerlang,
mengilhami orang lain untuk ikut dan mempesona orang lain untuk bekerja.
Seorang sanguinis sebagai teman mempunyai sifat mudah berteman,
mencintai orang, suka dipuji, tampak menyenangkan, disukai anak-anak,
bukan pendendam, mencegah suasana membosankan, suka kegiatan
spontan. Kelemahan dari sanguinis yaitu terlalu banyak bicara,
mementingkan diri sendiri, orang yang suka pamer, terlalu bersuara, orang
yang kurang disiplin, senang menceritakan kejadian berulang kali, lemah
dalam ingatan, tidak dewasa, tidak tetap pendirian.
2. Melankolis
Seorang melankolis pada dasarnya mempunyai sifat introvert, pemikir
dan pesimis. Dari segi emosi, ciri seorang melankolis yaitu mendalam dan
penuh pemikiran, analitis, serius dan tekun, cenderung jenius, berbakat dan
kreatif, artistic atau musikal, filosofis dan puitis, menghargai keindahan,
perasa terhadap orang lain, suka berkorban, penuh kesadaran, idealis. Dari
segi pekerjaan, sifat seorang melankolis yaitu berorientasi jadwal,
perfeksionis, standar tinggi, sadar perincian, gigih dan cermat, tertib
terorganisir, teratur dan rapi, ekonomis, melihat masalah, mendapat
pemecahan kreatif, perlu menyelesaikan apa yang dimulai, suka diagram,
grafik, bagan dan daftar.
Dari segi pertemanan atau sosialisasi seorang melankolis mempunyai
sifat hati-hati dalam berteman, menetapkan standar tinggi, ingin segalanya
dilakukan dengan benar, mengorbankan keinginan sendiri untuk orang lain,
menghindari perhatian, setia dan berbakti, mau mendengarkan keluhan, bisa
memecahkan masalah orang lain, sangat memperhatikan orang lain,
mencari teman hidup ideal. Kelemahan dari melankolis yaitu mudah
tertekan, punya citra diri rendah, mengajukan tuntutan yang tidak realistis
kepada orang lain, sulit memaafkan dan melupakan sakit hati, sering merasa
sedih atau kurang kepercayaan, suka mengasingkan diri, suka menunda-
nunda sesuatu.
3. Koleris
Seorang koleris pada dasarnya mempunyai sifat ekstrovert, pelaku dan
optimis. Dari segi emosi, ciri seorang koleris yaitu berbakat pemimpin,
dinamis dan aktif, sangat memerlukan perubahan, harus memperbaiki
kesalahan, berkemauan kuat dan tegas, memiliki motivasi berprestasi, tidak
emosional bertindak, tidak mudah patah semangat, bebas dan mandiri,
memancarkan keyakinan, bisa menjalankan apa saja. Dari segi pekerjaan,
sifat seorang koleris yaitu berorientasi target, melihat seluruh gambaran,
terorganisasi dengan baik, mencari pemecahan praktis, bergerak cepat
untuk bertindak, mendelegasikan pekerjaan, menekankan pada hasil,
membuat target, merangsang kegiatan, berkembang karena saingan.
Dari segi pertemanan atau sosialisasi koleris mempunyai sifat tidak terlalu
perlu teman, mau memimpin dan mengorganisasi, biasanya selalu benar,
unggul dalam keadaan darurat, mau bekerja untuk kegiatan, memberikan
kepemimpinan yang kuat, menetapkan tujuan. Kelemahan dari koleris yaitu
pekerja keras, suka memerintah, mendominasi, tidak peka terhadap
perasaan orang lain, tidak sabar, merasa selalu benar, merasa sulit secara
lisan atau fisik memperlihatkan kasih sayang dengan terbuka, keras kepala,
tampaknya tidak bisa tahan atau menerima sikap, pandangan, atau cara
orang lain.
4. Plegmatis
Seorang phlegmatis pada dasarnya mempunyai sifat introvert,
pengamat dan pesimis. Dari segi emosi, ciri seorang phlegmatis yaitu
kepribadian rendah hati, mudah bergaul dan santai, diam, tenang, sabar,
baik keseimbangannya, hidup konsisten, tenang tetapi cerdas, simpatik dan
baik hati, menyembunyikan emosi, bahagia menerima kehidupan, serba
guna. Dari segi pekerjaan, sifat seorang phlegmatis yaitu cakap dan mantap,
damai dan mudah sepakat, punya kemampuan administrative, menjadi
penengah masalah, menghindari konflik, baik di bawah tekanan,
menemukan cara yang mudah.
Dari segi pertemanan/ sosialisasi plegmatis mempunyai sifat mudah
diajak bergaul, menyenangkan, tidak suka meninggung, pendengar yang
baik, punya banyak teman, punya belas kasihan dan perhatian, tidak
tergesa-gesa, bisa mengambil hal baik dari yang buruk, tidak mudah marah.
Kelemahan dari phlegmatis yaitu cenderung tidak bergairah dalam hidup,
sering mengalami perasaan sangat khawatir, sedih atau gelisah, orang yang
merasa sulit membuat keputusan, tidak mempunyai keinginan untuk
mendengarkan atau tertarik pada perkumpulan, tampak malas, lambat dalam
bergerak, mundur dari situasi sulit.
Setiap individu dilengkapi dengan kepribadian. Kepribadian tersebut
juga erat kaitannnya dengan pengaruh lingkungan yang kita terima atau kita
alami pada masa pertumbuhan kita. Terdapat beberapa ahli yang
beranggapan bahwa segalanya telah diprogram dalam genetik. Beberapa
ahli lain menyatakan bahwa faktor belajar dan lingkungan memegang
peranan yang sangat menentukan. Perpaduan kedua faktor itu dinamakan
Anna Anastasia, dimana keduanya membentuk kepribadian manusia.
John L Holland, seorang praktisi yang mempelajari hubungan antara
kepribadian dan minat pekerjaan, mengemukakan bahwa ada enam tipe
atau orientasi kepribadian pada manusia.
1 Tipe realistik .
Menyukai pekerjaan yang sifatnya konkret, yang melibatkan kegiatan
sistematis, seperti mengoperasikan mesin, peralatan. Tipe seperti ini
tidak hanya membutuhkan keterampilan, komunikasi, atau hubungan
dengan orang lain, tetapi memiliki fisik yang kuat. Bidang karier yang
cocok, yaitu perburuhan, pertanian, barber shop, dan konstruski.
2 Tipe intelektual/investigative .
Menyukai hal-hal yang teoritis dan konseptual, cenderung pemikir
daripada pelaku tindakan, senangmelakukan menganalisis, dan
memahami sesuatu. Biasanya menghindari hubungan sosial yang
akrab. Tipe ini cocok bekerja di laboratorium penelitian, seperti peneliti,
ilmuwan, ahli matematika.
3 Tipe sosial.
Senang membantu atau bekerja dengan orang lain. Dia menyenangi
kegiatan yang melibatkan kemampuan berkomunikasi dan ketrampilan
berhubungan dengan orang lain, tetapi umumnya kurang dalam
kemampuan mekanikal dan sains. Pekerjaan yang sesuai, yaitu
guru/pengajar, konselor, pekerja sosial, dan guide
4 Tipe konvensional.
Menyukai pekerjaan yang terstruktur atau jelas urutannya, mengolah
data dengan aturan tertentu. Pekerjaan yang sesuai, yaitu sekretaris,
teller, filing, serta akuntan.
5 Tipe usaha/enterprising.
Tipe ini seringkali mempunyai kemampuan verbal atau komunikasi
yang baik dan menggunakannya untuk memimpin orang lain,
mengatur, mengarahkan, dan mempromosikan produk atau gagasan.
Tipe ini sesuai bekerja sebagai sales, politikus, manajer, pengacara
atau agensi iklan.
6 Tipe artistik .
Tipe ini seringkali ingin mengekspresikan dirinya, tidak menyukai
struktur atau aturan, lebih menyukai tugas-tugas yang memungkinkan
dia mengekspresikan diri. Karier yang sesuai, yaitu sebagai musisi,
seniman, dekorator, penari, dan penulis.

Menurut Eysenck dalam Feist dan Feist tahun 2010, kepribadian dibagi
menjadi Ektrovert dan Introvert. Eysenck memiliki konsep tentang kepribadian
ekstrovert dan introvert yang lebih popular dibanding dengan tokoh-tokoh
lainnya. Eysenck menyatakan bahwa ekstrovert ditandai terutama oleh
keakraban dan impulsif, tetapi juga oleh kelucuan, keceriaan, optimis, kecakapan
yang cepat, dan trait lainnnya menunjukkan orangorang yang dihargai karena
hubungan mereka dengan orang lain. Sedangkan introvert ditandai dengan trait
yang bertolak belakang dengan ekstrovert. Trait tersebut seperti tenang, pasif,
tidak ramah, hatihati, pendiam, bijaksana, damai, tenang dan terkendali.
Eysenck mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki tipe
kecenderungan ektrovert akan memiliki karateristik sabagai berikut: mereka
tergolong orang yang ramah, suka bergaul, menyukai pesta, memiliki banyak
teman, selalu membutuhkan orang lain untuk diajak berbicara, dan menyukai
segala bentuk kerjasama. Mereka tidak jarang selalu mengambil kesempatan
yang datang pada mereka, tidak jarang menonjolkan diri, dan sering kali
bertindak tanpa berfikir terlebih dahulu, secara umum termasuk individu yang
meledak-ledak. Orang ektrovert cenderung dipengaruhi oleh dunia obyektif diluar
dirinya. Orientasi tertuju pada pikirian, perasaan terdasarnya terutama ditentukan
oleh lingkungan.
Karakteristik orang introvert adalah mereka tidak banyak bicara, malu
malu, mawas diri, suka membaca dibanding bergaul dengan orang lain. Mereka
cenderung menjaga jarak kecuali dengan teman dekat. Memliki rencanan
sebelum melakukan sesuatu serta tidak percaya faktor kebetulan. Meraka tidak
menyukai suasana kermaian, selalu memikirkan masalah seharihari secara
serius serta menyukai keteraturan dalam hidup. Individu introvert dapat
mengontrol perasaan merakadengan baik, jarang berperilaku agresif, tidak
mudah hilang kesabaran. Meraka merupakan orang yang bisa dipercay, sedikit
pesimistis dan menetapkan standar etis yang tinggi dalam hidup. Orientasi
individu introvert tertuju dalam pikiran, perasaan terdasarnya ditentukan dari
dalam dirinya sendiri bukan ditentukan oleh lingkungan.
Menurut Eysenck perbedaan utama atara entrovert dan ekstrovert bukan
terletak pada perilaku melainkan pada faktor biologis dan genetik secara
alami.perbedaan terletak pada cortical arousal, yaitu sebuah kondisi yang
didapat dari pewarisan genetik yang terkait dengan stimulasi sensorik. Ekstrovert
memiliki cortical arousal lebih rendah dibanding introvert. Jadi untuk
mempertahankan cortical arousal, ektrovert akan mencari stimulasi sensori
berupa aktif dalam kegiatan menarik dan merangsang. Sedangkan introvert akan
bersifat sebaliknya karna memiliki cortical arousal yang tinggi.

2.4. Struktur Kepribadian Manusia


Struktur kepribadian merupakan unsur-unsur atau komponen yang
membentuk diri seseorang secara psikologis. Salah satu contoh struktur
kepribadian yang paling tua gagasannya adalah menurut Sigmund Frued tokoh
psikoanalisa. Berdasarkan beberapa penelitian pada klien yang mengalami
masalah kejiwaan. Sigmund Frued menyimpulkan bahwa diri manusia dalam
membentuk kepribadianya terdiri atas 3 komponen utama yaitu Das es, das ich,
das Uber Ich istilah lainnya id, ego, super ego. Dimana makna id adalah nafsu
atau dorongan-dorongan kenikmatan yang harus dipuaskan, bersifat alamiah
pada manusia. Ego seringkali dianalogikan sebagai kemampuan otak atau akal
yang membimbing manusia untuk mencari jalan keluar terhadap masalah melalui
penalarannya. Super Ego seringkali dianalogikan sebagai norma, aturan,
agama, norma sosial.
2.5. Tahap-Tahap Perkembangan Kepribadian
1. Perkembangan kepribadian menurut Sigmund Freud
Perkembangan manusia dalam psikoanalitik merupakan suatu gambaran
yang sangat teliti dari proses perkembangan psikososial dan
psikoseksual, mulai dari lahir sampai dewasa. Dalam teori Freud setiap
manusia harus melewati serangkaian tahap perkembangan dalam proses
menjadi dewasa. Tahap-tahap ini sangat penting bagi pembentukan sifat-
sifat kepribadian yang bersifat menetap. Menurut Freud, kepribadian
orang terbentuk pada usia sekitar 5-6 tahun yaitu:
a. Tahap oral,
Mouth rule (menghisap, menggigit, mengunyah), Lima mode pada
tahap oral yang masing-masing membentuk suatu prototipe
karakteristik kepribadian tertentu di kemudian hari, yaitu mode :
mengambil, memeluk, menggigit, meludah dan membungkam.
Mengambil : menjadi petunjuk tingkah laku rakus, Memeluk : menjadi
petunjuk dalam mengambil keputusan dan tingkah laku keras kepala.
Menggigit : menjadi petunjuk tingkah laku destruktif; sarkasme, sinis
& mendominasi, Meludah : prototipe tingkah laku reject,
Membungkam: tingkah laku reject, introvert
b. Tahap anal: 1-3 tahun,
Akhir tahap oral bayi dianggap telah dapat membentuk kerangka
kasar kepribadian, meliputi : sikap, mekanisme untuk memenuhi
tuntutan id dan realita, dan ketertarikan pada suatu aktivitas atau
objek. Kebutuhan menyangkut pemuasan anak terhadap kontrol
mengenai hal-hal yang menyangkut anal, misalnya bagaimana anak
mengontrol keinginan untuk BAK dan bagaimana beradaptasi dengan
toilet. Tujuan tahap ini: terpenuhinya pemuasan anak dengan tidak
berlebihan akan membentuk self control yang adekuat.
c. Tahap Phalic: 3-6 tahun,
Solusi permasalahan pada fase oral & anal membentuk pola
kerangka yang mendasar tahap berikutnya yaitu phalik. Pada tahap
ini kesenangan dan permasalahan berpusat sekitar alat kelamin.
Stimulasi pada alat genital menimbulkan dorongan biologi dorongan
dikurangi timbul kepuasan. Permasalah yang timbul : oedipus
compleks
d. Tahap laten: 6-12 tahun,
Periode lambat , dimana desakan seksual mengendur. Sebaiknya
digunakan untuk mencari keterampilan kognitif/pengetahuan dan
mengasimilasi nilai-nilai budaya. Pada periode ini ego & superego
terus dikembangkan
e. Tahap genital: 12-18 tahun
Dorongan/impuls-impuls menguat lagi dengan drastis. Pecapaian ego
ideal sudah tercapai pada tahap ini
f. Tahap dewasa
Terbagi dalam dewasa awal, usia setengah baya dan usia senja.
Konsep psikolanalisis menekankan pengaruh masa lalu (masa kecil)
terhadap perjalanan
manusia. Walaupun banyak para ahli yang mengkritik, namun dalam
beberapa hal konsep ini sesuai dengan konsep pembinaan dini bagi
anak-anak dalam pembentukan moral individual. Dalam sistem
pembinaan akhlak individual, Islam menganjurkan agar keluarga
dapat melatih dan membiasakan anak-anaknya agar dapat tumbuh
berkembang sesuai dengan norma agama dan sosial. Norma-norma
ini tidak bisa datang sendiri, akan tetapi melalui proses interaksi yang
panjang dari dalam lingkungannya. Bila sebuah keluarga mampu
memberikan bimbingan yang baik, maka kelak anak itu diharapkan
akan tumbuh menjadi manusia yang baik.
Konsep Freud tentang kepribadian manusia yang disimpulkannya
sangat tergantung pada apa yang diterimanya ketika ia masih kecil.
Namun tentu saja terdapat sisi-sisi yang tidak begitu dapat diaplikasikan,
karena pada hakikatnya manusia itu juga bersifat baharu. Terdapat
beberapa macam pendekatan tentang hal ini, yaitu pendekatan
psikoanalisis klasik yang meliputi pendekatan Freudian maupun neo-
Freudian. Pendekatan psikoanalisis klasik ini lebih menekankan pada
aspek psikoseksual seorang individu, di mana perkembangan yang terjadi
digerakkan oleh libido yang mempengaruhi tiga komponen kepribadian
yaitu ego, id dan superego. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan
interpersonal, di mana individu dilihat sebagai suatu makhluk sosial yang
dibentuk oleh lingkungan budaya dan interpersonal. Perkembangan
kepribadian seseorang dilihat pada interaksi yang terjadi antara individu
yang sedang berkembang dengan teman sebaya, orang tua, sahabat,
musuh, dan masyarakat sekitar.
Interaksi yang terjadi merupakan suatu pertukaran cinta, kasih
sayang dan perhatian. Pendekatan yang ketiga adalah pendekatan
epigenesis, di mana tahapan perkembangan yang terjadi tidak berdiri
sendiri-sendiri, namun tahapan perkembangan sebelumnya menjadi
pondasi bagi tahapan perkembangan berikutnya. Salah satu teori besar
yang didasarkan pada pendekatan epigenesis ini adalah teori
perkembangan menurut Erikson.
2. Perkembangan kepribadian Menurut Erikson
Menurut Erikson, perkembangan manusia melewati suatu proses
dialektik yang harus dilalui dan hasil dari proses dialektik ini adalah salah
satu dari kekuatan dasar manusia yaitu harapan, kemauan, hasrat,
kompetensi, cinta, perhatian, kesetiaan dan kebijaksanaan. Perjuangan di
antara dua kutub ini meliputi proses di dalam diri individu (psikologis) dan
proses di luar diri individu (sosial). Dengan demikian, perkembangan yang
terjadi adalah suatu proses adaptasi aktif.
Remaja menurut Erikson, memiliki dua kutub dialektik yaitu
identitas dan kebingungan. Salah satu dari pencarian individu dalam
tahapan ini yaitu pencarian identitas dirinya. Bila individu berhasil
menjawabnya akan menjadi basis bagi perkembangan ke tahap
selanjutnya. Namun, apabila gagal, maka akan menimbulkan
kebingungan identitas di mana individu tidak berhasil menjawab siapa
dirinya yang sebenarnya. Apabila seorang individu tidak berhasil
menemukan identitas dirinya, maka ia akan sulit sekali mengembangkan
keintiman dengan orang lain terutama dalam hubungan heteroseksual
dan pembentukan komitmen seperti yang terdapat dalam pernikahan.
Perkembangan kepribadian dalam teori psikoanalisis Erickson adalah
sebagi berikut:
a. Trust VS Mistrust (0-1/1,5 tahun).
Perkembangan basic trust, essensial. Dalam derajat tertentu
diperlukan juga perkembangan ketidakpercayaan (mistrust) untuk
mendeteksi suatu bahaya atau suatu yang tidak menyenangkan &
membedakan orang-orang yang dapat dipercaya atau tidak.
b. Otonomi VS Rasa Malu dan Ragu ( early chilhood : 1/1,5-3 tahun).
Mulai mengembangkan kemandirian. Bisa timbul kegelisahan,
ketakutan dan kehilangan rasa pencaya diri apabila suatu
kegagalan terjadi.
c. Inisiatif VS Rasa Bersalah (late chilhood:3-6th).
Komponen positif adalah berkembangnya inisiatif. Modalitas dasar
psikososialnya : membuat, campur tangan, mengambil
inisiatif , membentuk, melaksanakan pencapaian tujuan dan
berkompetisi
d. Industri VS Inferiority ( usia sekolah:6-12 tahun).
Dimulai industrial age. Pengalaman berhasil memberikan rasa
produktif, menguasai dan kompetitif. Kegagalan menimbulkan
perasaan tidak adekuat & inferioritas merasa diri tidak tidak
berguna.
e. Identitas dan Penolakan VS difusi Identitas ( masa remaja: 12-20
tahun).
Tahap perkembangan sebelumnya memberi kontribusi yang
berarti pada pembentukkan Identitas dapat terjadi krisis identitas.
Fungsi dasar remaja : mengintegrasikan berbagai identifikasi yang
mereka dapat pada masa kanak-kanak untuk melengkapi proses
pencarian identitas
f. Intimasi dan Solidaritas VS Isolasi (Early adulthood : 20-35 th).
Perkembangan identitas mendasari perkembangan keakraban
indvidu dengan orang lain. Kemampuan mengembangkan
hubungan dengan sejenis/lawan jenis. Salah satu aspek keintiman
adalah solidaritas. Jika keintiman gagal dicapai, individu
cenderung menutup diri.
g. Generativitas VS Stagnasi/ mandeg ( middle adulthood : 35-65
th ).
Generativitas bertitik tolak pada pentingnya dan pengarahan
generasi berikutnya. Penting menumbuhkan upaya-upaya kreatif
dan produktif . Bila generativitas gagal,terjadi stagnasi.
h. Integritas VS Keputusasaan (later years: diatas 65 th).
ideal telah mencapai integritas Integritas : menerima keterbatasan
hidup, merasa menjadi bagian dari generasi sebelumnya, memiliki
rasa kearifan sesuai bertambahnya usia, merupakan integrasi
akhir dari tahap-tahap sebelumnya. Bila integritas gagal : timbul
keputusasaan, penyesalan terhadap apa yang telah dan belum
dilakukannya, ketakutan dalam menghadapi kematian
3. Perkembangan Kepribadian ( Harry Stack Sullivan)
Harry membagi perkembangan kepribadian menjadi beberapa masa.
a. Masa bayi : Kebutuhan akan rasa aman dalam mengembangkan rasa
percaya yang mendasar (basic trust).
b. Masa kanak-kanak awal: belajar berkomunikasi
c. Pra sekolah : mengembangkan body image
d. Usia sekolah : mengembangkan hubungan dengan sebaya, melalui
kompetisi, kompromi dan kooperatif
e. Remaja : mengembangkan kemandirian,melakukan hubungan
dengan jenis kelamin yang berbeda
f. Dewasa : belajar untuk saling tergantung, tanggung jawab terhadap
orang lain.
4. Perkembangan kepribadian menurut Jean Jacques Rousseau
Menurut Jean Jacques Rousseau dalam Yulianto Presetio pada tahun
2012 berlangsung dalam beberapa tahap yaitu:
a. Tahap perkembangan masa bayi (sejak lahir- 2 tahun)
Tahap ini didominasi oleh perasaan. Perasaan ini tidak tumbuh
dengan sendiri melainkan berkembang sebagai akibat dari adanya
reaksi-reaksi bayi terhadap stimulus lingkungan.
b. Tahap perkembangan masa kanak-kanak (umur 2-12 tahun)
Pada tahap ini perkembangan kepribadian dimulai dengan makin
berkembangnya fungsi indra anak dalam mengadakan pengamatan.
c. Tahap perkembangan pada masa preadolesen (umur 12- 15 tahun)
Pada tahap ini perkembangan fungsi penalaran intelektual pada anak
sangat dominan. Anak mulai kritis dalam menanggapi ide orang lain.
anak juga mulai belajar menentukan tujuan serta keinginan yang
dapat membahagiakannya.
d. Tahap perkembangan masa adolesen (umur 15- 20 tahun)
Pada masa ini kualitas hidup manusia diwarnai oleh dorongan
seksualitas yang kuat, di samping itu mulai mengembangkan
pengertian tentang kenyataan hidup serta mulai memikirkan tingkah
laku yang bernilai moral.
e. Tahap pematangan diri (setelah umur 20 tahun)
Pada tahap ini perkembangan fungsi kehendak mulai dominan. Mulai
dapat membedakan tujuan hidup pribadi, yakni pemuasan keinginan
pribadi, pemuasan keinginan kelompok, serta pemuasan keinginan
masyarakat. Pada masa ini terjadi pula transisi peran social, seperti
dalam menindaklanjuti hubungan lawan jenis, pekerjaan, dan peranan
dalam keluarga, masyarakat maupun Negara. Realisasi setiap
keinginan menggunakan fungsi penalaran, sehingga dalam masa ini
orang mulai mampu melakukan self direction dan self control.
Dengan kemampuan inilah manusia mulai tumbuh dan berkembang
menuju kematangan pribadi untuk hidup mandiri dan bertanggung
jawab

2.6. Konsistensi Kepribadian


Menurut teori trait, kepribadian dasar tertentu menentukan karakteristik
seseorang dalam berbagai situasi, dari hari ke hari, sampai tahap tertentu dalam
hidupnya. Penelitian longitudinal Block tentang individu menunjukkan konsistensi
karakteristik kepribadian yang cukup tinggi. Dari penelitian tersebut didapati
adanya korelasi yang signifikan yang menggambarkan adanya konsistensi
kepribadian, khususnya pada karakteristik kepribadian tertentu. Meskipun
memang ditemukan juga adanya individu yang memperlihatkan perubahan
kepribadian yang cukup dramatis, perubahan tersebut didorong oleh kenyataan
bahwa hidup adalah perjuangan sehingga banyak orang berusaha
mengembangkan potensi dengan cara menjejaki peran dan perilaku yang baru
(Atkinson, 2006).
Block menemukan adanya perbedaan tingkat konsistensi pada masing-
masing individu, beberapa individu mencapai kestabilan kepribadian pada awal
kehidupannya., individu yang lain mengalami perubahan besar pada masa
sekolah lanjutan sampai masa dewasa tengah terutama remaja yang memiliki
konflik dan ketegangan, baik dalam dirinya sendiri maupun dalam hubungannya
dengan orang lain sehingga belum memiliki kestabilan kepribadian. Di samping
itu, situasi pada saat penilaian kepribadian juga sangat mempengaruhi
konsistensi kepribadian (Atkinson, 2006).

BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Dampak Kepribadian terhadap Kinerja Perawat Berdasarkan Teori


Kepribadian

Dalam penjelasan Purwa (2012), menyebutkan bahwa kepribadian adalah


pola perilaku dan berhubungan dengan diri sendiri dan orang lain yang melekat
dan terus ada, termasuk persepsi, sikap, dan emosi diri tentang diri sendiri dan
dunia. Dalam penelitian Mardianah (2015), menghubungkan antara tipe
kepribadian dengan gaya pengambilan keputusan kepala ruangan keperawatan
hasilnya menyebutkan bahwa tipe kepribadian memiliki hubungan dengan gaya
pengambilan keputusan kepala ruangan keperawatan.
Kepribadian merupakan suatu sistem yang relative stabil mengenai
karakteristik individu yang bersifat internal, yang berkontribusi terhadap
pemikiran, perasaan, dan tingkah laku yang konsisten (Friedman, 2008). Dalam
sebuah organisasi yang normal, seseorang tidak akan mencapai keberhasilan
yang sangat jauh dalam hal apapun tanpa kerjasama sukarela dengan rekan
sejawatnya, dan kuantitas serta kualitas kerja sama seperti itu ditentukan oleh
faktor kepribadian (King, 2009). Hal ini berarti bahwa kualitas dan kuantitas dari
kinerja seseorang tidak luput dari tipe kepribadian seseorang. Semakin baik
kepribadian yang dimiliki seseorang, maka kenerja yang dilakukannya akan
semakin baik pula.
Suryabrata (2008) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif
antara motivasi berprestasi dengan pencapaian prestasi. Artinya, seseorang
yang memiliki motivasi berprestasi tinggi cenderung memiliki prestasi kerja yang
tinggi. Motivasi berprestasi seseorang sangat berhubungan dengan kepribadian,
yang merupakan kemampuan seseorang untuk mengintegrasikan fungsi
psikofisiknya yang sangat menentukan dirinya dalam menyesuaikan diri terhadap
lingkungan. Artinya, seseorang akan mempunyai motivasi berprestasi tinggi bila
memiliki kecerdasan yang memadai dan kepribadian yang dewasa. Sehingga
seseorang akan mampu mencapai prestasi maksimal.
Hasil dari penelitian Desi Natalia (2015) mengenai pengaruh the Big five
personality terhadap kinerja perawat dengan hasil positif yang berarti lima ciri
kepribadian utama pada individu dan manusia cenderung memiliki salah satu
faktor kepribadian sebagai faktor yang dominan berpengaruh terhadap kinerja
perawat di ruamh sakit. (Gibson, 2008) yang menyatakan bahwa kinerja
dipengaruhi oleh variable psikologis dan kepribadian merupakan variabel
psikologis. Perawat dengan karateristik tinggi mampu menunjukkan kinerja yang
tinggi pula. Dalam hasil penelitian Desi Natalia, 2015 nilai rata-rata the bis five
personality menunjukkan bahwa perawat memiliki nilai yang tinggi sehingga
kinerja perawat tersebut dalam sebuah tim juga akan semakin tinggi, dimana nilai
rata-rata dimensi kinerja, yakni kedisiplinan dan kerjasama memiliki nilai sangat
tinggi. Perawat dalam menyelesaikan tugasnya dituntut untuk berkerjasama
dalam sebuah tim dan memiliki kedisiplinan sehingga kepribadian yang dimiliki
seseorang perawat sangat mempengaruhi kinerjanya, baik secara individu
maupun secara tim.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dampak dari tipe
kepribadian dengan kinerja perawat adalah:
1. Motivasi perawat, dimana semakin baik kepribadian yang dimiliki oleh
seseorang maka motivasi seseorang akan semakin tinggi.
2. Kualitas dan kuantitas perawat, dimana kualitas dan kuantitas dari
kinerja seseorang tidak luput dari tipe kepribadian seseorang.
Semakin baik kepribadian yang dimiliki seseorang, maka kenerja yang
dilakukannya akan semakin baik pula.
3. Gaya dalam pengambilan keputusan, karena tipe kepribadian tertentu
akan menimbulkan gaya pengambilan keputusan tertentu pula
4. Kedisiplinan dan kerjasama, karena perawat dalam menyelesaikan
tugasnya dituntut untuk berkerjasama dalam sebuah tim dan memiliki
kedisiplinan sehingga kepribadian yang dimiliki seseorang perawat
sangat mempengaruhi kinerjanya, baik secara individu maupun
secara tim.

3.2. Cara Meningkatkan Kinerja Perawat Berdasarkan Teori Kepribadian

Meningkatkan Kemampuan Pribadi

a. Meningkatkan kemampuan pribadi dengan menyadari bahwa introvert


bukan pilihan, bukan gaya, namun merupakan suatu orientasi
kehidupan.
b. Belajar dalam mengembangkan skill keberanian bersosialisasi
dengan orang lain.
c. Belajar mengembangkan hubungan timbal balik dengan orang lain
(take and gift).
d. Bergabung dalam suatu komunitas untuk mengasah komunikasi
dengan orang lain.

Kemampuan ini terkait dengan apa yang biasanya disebut sebagai inner
self (diri terdalam, batiniah). Dunia intrapribadi menentukan seberapa
mendalamnya perasaan kita, seberapa puas kita terhadap diri sendiri dan
prestasi kita dalam hidup. Sukses dalam kemampuan ini mengandung arti bahwa
kita bisa mengungkapkan perasaan kita, bisa hidup dan bekerja secara mandiri,
tegar, dan memiliki rasa percaya diri dalam mengemukakan gagasan dan
keyakinan.
Sikap perawat yang senantiasa harus dapat menunjukkan pribadi sebagai
tanpa harus dibantah era globalisasi dan perkembangan ilmu dan teknologi
memang menuntut perawat, sebagai suatu profesi harus memberi pelayanan
kesehatan yang optimal, tidak menutup kemungkinan perawat luar juga akan ikut
berkompetisi mengisi rumah sakit-rumah sakit berstandar internasional, yang
saat ini sudah banyak berdiri di Indonesia. Bisa dibayangkan alangkah ruginya
bagi perawat Indonesia, bila ternyata pasien lebih memilih dirawat oleh perawat
luar, hanya karena mereka lebih ramah, sopan, peduli, lebih terampil dari
perawat Indonesia itu sendiri.

3.3. Hubungan Tipe Kepribadian terhadap Kinerja Perawat di Pelayanan


Kesehatan

Perawat sebagai orang yang memberikan asuhan keperawatan yang


professional harus memiliki kinerja, ketrampilan, sosialisasi, dan mampu bekerja
sama dalam satu tim secara utuh dengan baik. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja anatara lain kemampuan, kepribadian, dan minat kerja,
kejelasan peran seorang pekerja, serta tingkat motivasi pekerja (Nurachmah,
2001).

Salah satu yang mempengaruhi kinerja adalah kencenderungan tipe


kepribadian. Perawat dengan pekerjaanya yang berat mungkin saja menemukan
masalah yang berkaitan dengan fisik maupun psikis. Tentu saja keduanya akan
berakibat pada kinerjnya. Dengan tipe kepribadian yang berbeda, tentu cara
menyelesaikan masalahnya juga berbeda.
Perawat sebagai ujung tombak pelayanan rumah sakit tentu memiliki
kualitas kepribadian yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh berbagai faktor
baik internal maupun eksternal. Perbedaan kualitas kepribadian perawat akan
mempengaruhi cara perawat dalam berinteraksi memberikan pelayanan, dimana
akan berdampak pada tingkat kepuasan pasien (Suryawati, Darminto, dan
Shaluhiyah, 2006).
Berdasarkan penelitian Afidah dan Pratiwi (2012) menyatakan semakin
ekstrovet tipe kepribadian seseorang, maka semakin baik pula kinerja yang
dilakukan. Demikian sebaliknya, semakin introvert tipe kepribadian seseorang,
maka semakin buruk pula kinerja perawat pelaksana. Terkait dengan kinerja,
terdapat bukti yang impresif bahwa individu yang memiliki sikap ekstrovert dan
stabilitas emosi yang baik, cenderung merupakan karyawan yang bermotivasi
tinggi dan berprestasi tinggi (Robbins, 2008)
Berdasarkan teori kepribadian yang telah dibahas pada bab 2,
kepribadian yang cenderung memiliki sifat ekstrovert yaitu sanguinis dan koleris,
sedangkan kepribadian yang cenderung memiliki sifat introvert yaitu melankolis
dan plegmatis.
Dari segi pekerjaan, sifat seorang sanguinis yaitu sukarelawan untuk
melaksanakan tugas, memikirkan kegiatan baru, tampak hebat saat tampil,
kreatif dan inovatif, punya energi dan antusiasme, dan memiliki banyak ide
cemerlang. Sifat seorang koleris yaitu berorientasi pada target, melihat seluruh
gambaran, terorganisasi dengan baik, mencari pemecahan praktis, bergerak
cepat untuk bertindak, mendelegasikan pekerjaan, menekankan pada hasil,
membuat target, merangsang kegiatan, dan berkembang karena saingan. Sifat
yang dimiliki kedua tipe tersebut sangat mempengaruhi kinerja perawat dimana
perawat dituntut memberikan asuhan keperawatan yang professional harus
memiliki ketrampilan, sosialisasi, dan mampu bekerja sama dalam satu tim
secara utuh dengan baik.
Sedangkan sifat seorang melankolis dari segi pekerjaan yaitu berorientasi
jadwal, perfeksionis, standar tinggi, sadar perincian, gigih dan cermat, tertib
terorganisir, teratur dan rapi, ekonomis, melihat masalah, mendapat pemecahan
kreatif, perlu menyelesaikan apa yang dimulai, suka diagram, grafik, bagan dan
daftar. Sifat yang dimiliki seorang melankolis menunjukkan bahwa seorang yang
melankolis susah diajak untuk bekerjasama dalam satu tim sehingga akan
berpengaruh pula terhadap kinerja perawat. Sedangkan seorang yang plegmatis
memiliki sikap yang cenderung pesimis walaupun dari segi pekerjaan seorang
yang plegmatis cakap dan mantap, damai dan mudah sepakat, punya
kemampuan administrative, menjadi penengah masalah, menghindari konflik,
baik di bawah tekanan, menemukan cara yang mudah. Sifat yang dimiliki
seorang plegmatis juga mempengaruhi kinerja perawat pelaksana.
Sehingga seseorang yang memiliki kepribadian sanguinis dan koleris
cenderung memiliki kinerja lebih baik dibandingkan dengan seseorang yang
memiliki kepribadian melankolis dan plegmatis sebagai perawat pelaksana.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Kepribadian merupakan pola perilaku dan sifat khas yang melekat pada
diri seseorang dan merupakan satu kesatuan fungsional yang khas bagi individu
tersebut. Sehingga kepribadian dapat menentukan bagaimana seseorang
berpikir, berperilaku, berperasaan, dan berinteraksi dengan orang lain.
Kepribadian seorang perawat dapat mempengaruhi kinerja perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien. Dampak dari tipe kepribadian
yang dapat mempengaruhi kinerja perawat meliputi: motivasi perawat, kualitas
dan kuantitas perawat, gaya dalam pengambilan keputusan, kedisiplinan, dan
kerjasama dengan tim. Sangat penting bagi perawat untuk meningkatkan
kemampuan pribadi, mengembangkan skill bersosialisasi dan berkomunikasi,
serta mengembangkan hubungan timbal balik dengan orang lain untuk
mengembangkan kepribadian yang lebih baik. Sehingga semakin baik
kepribadian perawat, maka kinerja dari perawat akan semakin baik pula yang
berdampak pada meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan dan kepuasan
pasien terhadap pelayanan yang diberikan.

4.2. Saran

Untuk mencapai kinerja yang baik, hendaknya setiap perawat menyadari


tipe kepribadian yang dimiliki serta terus meningkatkan kemampuan pribadi.
Kepribadian yang dimiliki oleh perawat akan mempengaruhi cara perawat dalam
berinteraksi dengan pasien. Cara untuk meningkatkan kepribadian tersebut
dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kemampuan bersosialisasi,
berkomunikasi, dan bekerjasama dengan orang lain. Dengan terus
mengembangkan kepribadian yang baik maka akan sangat mempengaruhi
kinerja perawat dimana perawat dituntut untuk memberikan asuhan keperawatan
yang professional, memiliki ketrampilan, sosialisasi, dan mampu bekerja sama
dalam satu tim secara utuh dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Afidah Nisa. 2011. Hubungan Antara Tipe Kepribadian dengan Kinerja Perawat di
Rumah Sakit PKU Muhamadiyah Surakarta. Jurnal Ilmu Kesehatan
Universitas Muhamadiyah Surakarta.

Atkinson, R.L. 2006. Pengantar Psikologi. 11th ed. Jakarta : Interaksara.


Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Efensi, AF. 2009. Hubungan tipe kepribadian perawat dengan tingkat kepuasan
pasien terhadap pelayanan keperawatan di RSI Surakarta. pdf
Faziaul mardianal, setiadi. 2015. Hubungan tipe kepribadian dengan gaya
pengambilan keputusan kepala ruangan keperawatan di rumkital dr.
Ramelan Surabaya. Manuscript.pdf
Feist, J., & Feist, G., J. 2010. Teori Kepribadian Jilid 1. Jakarta: Salemba
Humanika.
Friedman, Howard and Schustack, Miriam W. 2008. Kepribadian Teori Klasik dan
Riset Modern. edisi ketiga jilid 1. Jakarta: Airlangga.
Iyus, Yosep. 2007. Keperawatan Jiwa, Edisi 1. Jakarta : Refika Aditama.
King, W. J. 2009. The uniwritter laws of business. Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta.
Montolalu R., Kawet L., Nelwan O., 2016. Pengaruh Kepribadian, Orientasi Kerja
Dan Penempatan Pegawai Terhadap Kinerja Pegaiwai Pada Dinas
Kebudayaan Dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Utara. Universitas Sam
Ratulangi: Manado.
Prasetio, Yulianto 2012. Pemikiran Jean Jacques Rousseau. Universitas
Pendidikan Indonesia.
Prawira, Purwa Atmaja. 2012. Psikologi Pendidikan: Dalam Perspektif Baru.
Purwanto M. Ngalim. 2006. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Roesdakarya.
Robbins, Stephen P. 2008. Perilaku Organisasi Edisi XII. Jakarta: Penerbit
Selemba Empat.
Soepono Desi. 2015. Analisis Pengaruh Big Five Personality terhadap
Organizational Citizenship Behavior (OCB) dan Kinerja Perawat di RS
Santa Clara Madiun. Jurnal Managemen Indonesia. Vol 15. No. 1
Suryabrata, Sumadi. 2007. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014.pdf
Yusuf, Syamsu dan A. Juntika Nurihsan. 2008. Landasan Bimbingan dan
Konseling. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai