Anda di halaman 1dari 13

KARBON DAN HUTAN KOTA

JUWITA F. RUMAMBI / 13031107008

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar belakang

Meningkatnya kadar CO di atmosfer akibat aktivitas manusia dan pembangunan fisik di


perkotaan meningkatkan konsumsi bahan bakar fosil serta perubahan penggunaan lahan. Gas
karbondioksida yang terlalu banyak menyebabkan udara panas di bumi terperangkap dan
akhirnya suhu bumi meningkat dan lingkungan menjadi panas. Penyusutan lapisan ozon juga
menyebabkan kejadian pemanasan global. Pemanasan global merupakan proses peningkatan
suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan di bumi disebabkan bentuk ketidakseimbangan
ekosistem bumi dengan suhu rata-rata global pada permukaan bumi meningkat 0.74 0.18C
selama seratus tahun terakhir (Kusminingrum,2008).
Polusi CO merupakan pencemaran udara yang terjadi di perkotaan padat penduduk.
Pertumbuhan penduduk mendorong kegiatan pembangunan kota kearah fisik dan prasarana
dengan bertambahnya kawasan pemukiman, pembangunan industri, pembabakan lahan
pertanian, prasarana jalan dan kegiatan fisik lain yang mengakibatkan ketersediaan kawasan
hijau menjadi sedikit atau tidak tersedia. Pembangunan fisik di perkotaan perkembangannya
telah menimbulkan permasalahan yang menyebabkan kerusakan lingkungan akibat perencanaan
yang kurang memadai yang diharapkan pembangunan fisik dapat mensejahterahkan masyarakat.
Target mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dengan mengurangi peningkatan polusi
karbondioksida. Dalam skala kecil, mitigasi bisa berupa gerakan cinta lingkungan seperti
pengelolaan sampah, bike to work, mengurangi penggunaan plastik, menggunakan AC yang non
CFC, hemat energi dan lain sebagainya. Adapun beradaptasi dapat dilakukan dengan melakukan
penataan lansekap lingkungan, penghijauan, menjaga daerah resapan, re-use, recycling, dan lain-
lain.
*) Materi ini dibawakan dalam forum Seminar 1 Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sam
Ratulangi pada hari Jumat, 4 November 2016.
**) Mahasiswa Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi dengan dosen pembimbing Dr. Ir. Johny S.
Tasirin, MScF.

1
Pelestarian dan pengembangan hutan kota dapat menjadi salah satu upaya strategis
dalam mengurangi pencemaran lingkungan perkotaan, karena pohon secara alami dapat
menyerap gas CO yang disimpan dalam bentuk senyawa karbon dan dikeluarkan dalam bentuk
oksigen, sekaligus menyerap panas sehingga menurunkan suhu udara sekitar dan wahana
konservasi flora dan fauna. Peran vegetasi sangat penting dalam penyerapan karbondioksida

untuk mengatasi pemanasan global yang disebabkan oleh efek rumah kaca dan CO2 di

atmosfer (Adinugroho, 2013).


Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No.63 Tahun 2002, persentase luas hutan kota paling
sedikit 10 % dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat.

I.2. Tujuan Penulisan


Peranan hutan kota dalam pengendalian polusi CO

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemanasan Global


Pemanasan global adalah fenomena naiknya suhu permukaan bumi karena meningkatnya
efek rumah kaca yang mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut.
Menurut Rahmayanti (2007), efek rumah kaca merupakan suatu peristiwa tertahannya sinar
inframerah yang dipantulkan bumi oleh gas-gas rumah kaca yang terdiri dari karbondioksida,
metana, ozon, dinitrogen oksida, sulfutdioksida dan klorofluorokarbon. Gas rumah kaca ini
terbentuk secara alami maupun sebagai akibat pencemaran.

Peningkatan suhu permukaan bumi dihasilkan oleh adanya radiasi sinar matahari menuju
ke atmosfer bumi, kemudian sebagian sinar ini berubah menjadi energi panas dalam bentuk sinar
inframerah yang diserap oleh udara dan permukaan bumi. Sebagian sinar inframerah dipantulkan
kembali ke atmosfer dan ditangkap oleh gas-gas rumah kaca yang kemudian menyebabkan suhu
bumi meningkat. Gas-gas rumah kaca terutama berupa karbon dioksida, metana dan nitrogen
oksida. Kontribusi besar yang mengakibatkan akumulasi gas-gas kimia ini di atmosfer adalah
aktivitas manusia. Hasil pengamatan Sodiq (2013), menunjukkan bahwa telah terjadi kenaikan
suhu rata-rata 0,72C pada negara tropis, sedangkan negara Jepang (temperatur) terjadi sampai
dengan 1C kejadian tersebut disebabkan semakin bertambahnya gas rumah kaca.

Menurut Wardhana (2010) pemanasan global yang akan menimpa bumi sebagai berikut :
(1)Panas matahari sebagian diserap bumi sebesar 160 watt/m; (2)Panas matahari sebagian
dipantulkan kembali oleh atmosfer dan memanasi bumi; (3)Panas matahari sebagian dipantulkan
oleh bumi dan diteruskan oleh atmosfer; (4)Panas matahari sebagian dipantulkan kembali oleh
Gas Rumah Kaca sebesar 30 watt/m ke bumi dan menjadikan bumi, atmosfer dan lingkungan
menjadi panas. Pengaruh masing-masing gas rumah kaca terhadap terjadinya efek rumah kaca
tergantung pada besarnya kadar gas rumah kaca di atmosfer, waktu tinggal di atmosfer dan
kemampuan penyerapan energi (Rahmayanti,2007).

Gas CO memberi kontribusi terbesar dalam pemanasan global dengan presentase 50%
yang merupakan hasil aktivitas manusia berupa kegiatan industri dan kegiatan lain yang
menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber energi (Cahyono,2010).

3
2.2. Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim
2.2.1. Mitigasi terhadap perubahan iklim

Menurut Butabutar (2009), mitigasi perubahan iklim adalah pencegahan dan pengurangan
pengaruh perubahan iklim melalui pencegahan emisi gas rumah kaca. Pencegahan emisi gas
rumah kaca di sektor kehutanan dapat dilakukan dengan substitusi kayu, substitusi biomassa,
modifikasi kebakaran alam, dan menghindari konversi lahan. Sedangkan pengurangan gas rumah
kaca di atmosfir dapat dilakukan melalui penyerapan vegetasi hutan, penyimpanan dalam
produksi kayu. Khusus untuk penyerapan karbon di atmosfir melalui vegetasi hutan merupakan
fungsi dari produktivitas hutan dalam tapak baik dalam bentuk penyimpanan dalam (pool) tanah,
serasah, bahan kayu yang jatuh, kayu mati yang masih tegak, batang hidup, cabang dan dedaunan
hidup. Dua pendekatan pengelolaan hutan untuk mencegah perubahann iklim dapat dilakukan
melalui mitigasi dengan cara hutan dan produk hutan digunakan untuk menyerap karbon,
menyediakan energi melalui biomassa dan menghindarkan pelepasan karbon. Pengelolaan hutan
yang berkontribusi terhadap perubahan iklim dapat dilakukan dengan 3 strategi (Maness, 2007).
Strategi pertama adalah strategi perlindungan stok dengan mencegah emisi (mitigasi) melalui 3
cara yaitu: menghindarkan konversi lahan yang secara permanen menjadi penggunaan lain;
menunda waktu panen dan mengurangi gangguan kebakaran dan hama penyakit. Strategi kedua
adalah strategi penyerapan, yaitu hutan menyerap CO 2 dari udara melalui tiga cara juga yaitu:
penanaman hutan yang baru pada lahan yang sebelumnya tidak berhutan; penerapan manajemen
tegakan yang dapat menambah karbon dan menghasilkan produksi dan penggunaan produksi
kayu yang lebih awet. Strategi yang ketiga adalah strategi penggunaan energi yang dapat
diperbaharui.

2.2.2. Adaptasi terhadap perubahan iklim

Adaptasi adalah pendekatan strategi respon yang penting dalam upaya meminimalkan
bahaya akibat perubahan iklim (Setiawan, 2010). Dalam artian luas, adaptasi merupakan setiap
modifikasi dalam system alami atau kehidupan manusia yang bereaksi terhadap stimulus atau
efek iklim saat ini. Strategi adaptasi dapat dilakukan melalui peningkatan ketahanan (resistance)
terhadap hama dan penyakit, ketahanan terhadap kebakaran, peningkatan ketahanan kalau ada
gangguan (resilience) dan mengarahkan migrasi (assist migration) pohon/kelompok vegetasi,
memfasilitasi transisi ke lingkungan yang baru dengan mengintroduksi jenis-jenis yang
mempunyai kemampuan beradaptasi yang lebih tinggi, memperluas keragaman genetik,
mendorong pencampuran jenis dan menyediakan refugia (perlindungan untuk konservasi ).
4
Teknik silvikultur tradisional yang difokuskan untuk tujuan menghasilkan kayu, air, kehidupan
liar dan nilai-nilai keindahan semuanya menghasilkan penyerapan karbon yang lebih tinggi dan
mengurangi emisi dari pengelolaan hutan. Salah satu teknik silvikultur tersebut adalah
pengaturan distribusi umur dan toleransi/naungan terhadap penyerapan karbon, dimana jenis
tahan naungan memproduksi karbon lebih banyak dibandingkan dengan jenis intoleran
(Butarbutar, 2009).

Secara umum adaptasi dapat dilakukan dengan: 1) Peningkatan daya tahan (increasing
resistance). Ketahanan adalah kapasitas ekosistem untuk menghindarkan atau bertahan terhadap
gangguan seperti serangan hama dan penyakit dan kebakaran. Kegiatan manajemen ditujukan
pada perlindungan hutan dan nilai lain seperti air, spesies langka dan menghindarkan area
pemukiman yang berimpit dengan hutan (interface) dan mempertahankan tegakan hutan spesifik;
2) Peningkatan daya lentur (resilience), kapasitas ekosistem untuk kembali setelah ada gangguan,
dapat dilakukan dengan keragaman jenis dan keragaman kelas umur, memperlebar variasi
genetik dari mulai dari tingkat anakan, mendukung komunitas hutan yang dapat menjadi
komunitas hutan yang baru, identifikasi dan penguatan tempat perlindungan jenis atau kelompok
jenis sebelum ada gangguan, penguatan keterhubungan landskap sehingga pergerakan ekologis
dapat terjadi sepanjang landskap tanpa gangguan, pencegahan fragmentasi hutan. Intinya adalah
pengaturan atau pengembangan jenis yang sesuai dengan lingkungan yang berubah karena ada
gangguan; dan 3) Assist migration (mendorong migrasi), manajemen yang bertujuan untuk atau
memfasilitasi perubahan atau transisi suatu ekosistim kepada suatu kondisi lingkungan yang baru
dengan mempersiapkan jenis yang dapat beradaptasi lebih baik, perluasan keragaman genetik,
mendorong campuran jenis dan menyediakan tempat perlindungan (refugia).

Adaptasi tidak dapat menggantikan mitigasi walaupun adaptasi memiliki beberapa


kelebihan dibandingkan mitigasi karena tanpa komitmen mitigasi yang kuat maka akan terjadi
peningkatan biaya adaptasi disertai berkurangnya kapasitas inividu ataupun pemerintah.

2.3. Ekologi Hutan dalam Fungsi Fotosintesis


Hutan memiliki fungsi ekologis yang sangat berperan dalam menjaga keseimbangan
ekosistem. Salah satu diantaranya adalah fungsi hutan dalam menjaga iklim. Hal ini terkait
dengan kemampuan tegakan hutan untuk menyerap karbondioksida (CO) dan melepaskan
oksigen (O) dalam proses fotosintesis. Semakin banyak CO yang diserap oleh tumbuhan dan

5
disimpan dalam bentuk biomassa karbon maka semakin besar pengaruh buruk efek rumah kaca
dapat dikendalikan (Samsoedin dkk, 2009).
Vegetasi hutan merupakan tumbuhan yang memiliki berbagai fungsi, selain menghasilkan
kayu juga mampu menyerap karbon dari udara. Hal ini berkaitan dengan kemampuan vegetasi
hutan untuk menyerap CO yang diserap lalu dimanfaatkan untuk proses fotosintesis dan
disimpan dalam bentuk biomassa. Hutan dapat menjadi sumber CO2 dan dapat juga menjadi
penyerap CO. Apabila terjadi degradasi dan deforestasi maka hutan akan menjadi sumber CO,
namun bila terjaga maka tumbuhan yang tumbuh di dalam hutan akan menyerap CO2 tersebut
sebagai bahan dasar proses fotosintesis, sehingga keberadaan hutan harus dijaga dan dilindungi
agar tidak menjadi sumber CO. secara sederhana fotosintesis :
Cahaya
6 CO2 +6 H 2 OC 6 H 12 O6+ 6 O2
Matahari
Klorofil

Menurut Mansur (2011), hutan menduduki 21% dari daratan, 76% dari total biomassa
terestrial. Jadi vegetasi dalam hutan memiliki bagian yang esensial dari fungsi biosfer terestrial,
terutama dalam siklus karbon. Walaupun demikian fotosintesis tumbuhan di hutan masih sangat
sedikit dipelajari dibandingkan fotosintesis tanaman pertanian karena beberapa kendala,
diantaranya ukuran dari pohon dewasa yang terlalu besar, menyebabkan pengukuran sulit
dilakukan, jumlah spesies yang terlampau banyak dan sulitnya mengukur fotosintesis dari
keseluruhan pohon pada seluruh wilayah hutan.
Fotosintesis merupakan proses pembentukan bahan organik (karbohidrat) dengan bantuan
sinar matahari. Fotosintesis in terjadi pada sel-sel yang mempunyai klorofil, yaitu pada bakteri
dan tumbuhan. Fotosintesis terjadi di bagian mesofil daun. Selama proses fotosintesis,
karbondioksida dan air diubah menjadi glukosa dan oksigen. Oksigen yang terbentuk kemudian
dilepaskan ke atmosfer. Glukosa yang terbentuk, di ubah menjadi senyawa-senyawa penyusun
sel seperti karbohidrat , protein, asam nukleat, lemak dan senyawa lainnya melalui proses
metabolisme. Senyawa-senyawa tersebut digunakan untuk membentuk sel, jaringan dan organ
tubuh. Fotosintesis dapat terjadi pada batang dan daun yang mengandung klorofil. Sebagian
besar fotosintesis terjadi pada daun karena di daun terdapat banyak kloroplas yang mengandung
klorofil. Bagian daun yang paling banyak mengandung klorofil adalah mesofil.

Proses fotosintesis berlangsung dalam dua tahap, yaitu reaksi terang dan gelap
(Rochmatino,2016). Kedua tahap tersebut terjadi di kloroplas. Pada tahap reaksi terang energi
matahari diserap oleh klorofil untuk diubah menjadi energi kimia dan terjadi pemecahan air

6
menjadi ion hidrogen dan oksigen. lon hidrogen diperlukan untuk berikatan dengan karbon
dioksida menjadi glukosa. oksigen yang terbentuk, akan dilepaskan ke atmosfer. Reaksi terang
terjadi di grana kloroplas. Pada reaksi gelap, karbon dioksida dan ion hidrogen akan berikatan
dengan bantuan energi kimia yang dihasilkan pada reaksi terang, menjadi glukosa. Glukosa akan
digunakan untuk membentuk senyawa-senyawa, seperti protein, asam nukleat, lemak, dan
karbohidrat struktural, yang berperan penting dalam metabolisme tubuh tumbuhan.
Untuk mengetahui jumlah karbon yan terserap dan tersimpan pada suatu jaringan
tumbuhan dapat dilakukan estimasi penyerapan CO dengan melalui beberapa tahap yaitu berat
jenis, biomasa, karbon yang tersimpan, massa CO dan kemampuan penyerapan setiap jenis
tumbuhan (Amin dkk, 2014).

2.4. Hutan kota


Definisi hutan kota sesuai dengan PP No. 63/2002 yaitu suatu hamparan lahan yang
bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah
negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.
Menurut Hardiatmi (2009), Hutan kota merupakan suatu areal lahan perkotaan yang terdiri atas
beberapa komponen fisik dan vegetasi pohon-pohon, sebagai kesatuan ekosistem yang berperan
dan berfungsi untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup.

Menurut Sundari (2005), hutan kota dapat dikelompokkan berdasarkan kepada bentuk
dan strukturnya. Bentuk hutan kota dapat dikelompokkan menjadi 3 bentuk, yaitu :
a. Bergerombol atau menumpuk, yaitu hutan kota dengan komunitas vegetasinya
terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah vegetasinya minimal 100 pohon dengan
jarak tanam rapat yang tidak beraturan.
b. Menyebar yaitu hutan kota yang tidak komunitas vegetasinya tumbuh menyebar
terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil.
c. Berbentuk jalur, yaitu komunitas vegetasinya tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur
lurus atau melengkung, mengikuti bentukan sungai, jalan pantai, saluran dan sebagainya.

Struktur hutan kota ditentukan oleh keanekaragaman vegetasi yang ditanam sehingga
terbangun hutan kota yang berlapis-lapis dan berstrata baik secara vertikal maupun horizontal
yang meniru hutan alam. Struktur hutan kota, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan yang
menyusun hutan kota. Dapat diklasifikasikan menjadi hutan kota yang :

a. berstrata dua, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan hutan kota hanya terdiri dari pepohonan
dan rumput atau penutup tanah lainnya.

7
b. berstrata banyak, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan hutan kota selain terdiri dari
pepohonan dan rumput juga terdapat semak, terna, liana, epifit, ditumbuhi banyak anakan
dan penutup tanah, jarak tanam rapat tidak beraturan dengan strata, serta komposisi
mengarah meniru komunitas tumbuh-tumbuhan hutan alam

Menurut Alfian dan Kurniawan (2010) fungsi hutan kota dibagi menjadi tiga fungsi sebagai
berikut:

1. Fungsi lansekap.

Vegetasi sebagai unsur struktural berfungsi untuk perlindungan terhadap kondisi fisik
alami sekitarnya seperti angina, sinar matahari, pemandangan yang kurang bagus dan terhadap
bau, penggunaan dalam unsur struktur ini ditentukan oleh ukuran dan dalam bentuk kerapatan
vegetasi. Dari segi sosial, penataan vegetasi dalam hutan kota yang baik akan memberikan
tempat interaksi sosial yang sangat produktif. Hutan kota dengan aneka vegetasinya mengundang
nilai - nilai ilmiah yang dapat menjadi laboratorium hidup untuk sarana pendidikan dan
penelitian. Dalam segi kesehatan, yaitu terapi mata dan mental serta fungsi rekreasi, olahraga,
dan sebagai tempat interaksi sosial lainnya.

2. Fungsi pelestarian lingkungan (ekologi).

Sebagai paru-paru kota untuk menyegarkan udara. Menyerap karbondioksida dalam


proses fotosintesis dengan mengasilkan oksigen yang sangat diperlukan bagi makhluk hidup
untuk pernapasan; Menurunkan suhu kota dan meningkatkan kelembaban udara yang
berhubungan dengan keseimbangan energi danmerupakan ukuran banyaknya energi radiasi
berupa panas laten yang dipakai untuk menguapkan air yang terdapat dipermukaan yang
menerima radiasi; Sebagai tempat hidup (habitat) bagi satwa seperti burung sebagai komponen
ekosistem mempunyai peran penting dalam mengontrol populasi seranggga, membantu
penyerbukan bunga dan peyebaran biji yang dapat membantu proses regenrasi hutan;
Penyanggah dan perlindungan permukaan tanah dari erosi serta air hujan dan angin unutk
ketersediaan air tanah; Pengendaliandan mengurangi polusi udara dan limbah untuk
mengendalikan atau mengurangi polusi udara, limbah dan menyaring debu; Peredam kebisingan;
Tempat pelestarian plasma nuftah dan bioindikator.

3. Fungsi Estetika.

8
Faktor yang mempengaruhi estetika ukuran, bentuk, warna dan tekstur serta unsur komposisi
dan hubungannya dengan lingkungan sekitar. Karakteristik visual dan estetika erat kaitannya
dengan rekreasi.

Manfaat hutan kota dan RTH yang tercantum dalam berbagai peraturan perundangan
yang berlaku dan juga beberapa publikasi terkait sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Manfaat Hutan Kota dan RTH

Sumber : Permen PU No. 05/PRT/M/2008; Wirakusumah (1987) dalam Subarudi dkk (2014)

2.5. Faktor yang Memengaruhi HutanKota

Berdasarkan responden dari penelitian Suryandari dan Alviya (2015), Faktor-faktor yang
memengaruhi penyelenggaraan hutan kota ditinjau dengan pembobotan kriteria dalam aspek.
Bobot kriteria dalam aspek biofisik dan sosial ekonomi dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar
2
Gambar 1. Kriteria Aspek Biofisik Gambar 2. Kriteria Aspek Sosial-Ekonomi
9
Sumber: Suryandari dan Alviya (2015)

Kriteria aspek biofisik yang paling berpengaruh yaitu alokasi RTH dan Hutan kota
dengan nilai 0.173 dan penggunaan lahan terkait RTRWK dengan nilai 0.171. Keterbatasan
penyediaan lahan dan alih fungsi hutan kota menjadi alih fungsi lain. Kriteria aspek sosial-
ekonomi berpengaruh pada jumlah penduduk dengan nilai 0.276 dan peran masyarakat dengan
nilai 0.265 dalam pengembangan hutan kota.

Gambar 3. Kriteria Aspek Organisasi Gambar 4. Kriteria Aspek Kebijakan

Sumber: Suryandari dan Alviya (2015)

Kriteria aspek organisasi yang memegaruhi adalah pendanaan (0.231) dan koordinasi antar
stakeholder (0.212), hal ini menjelaskan faktor pengelolaan sangat diperlukan dalam
mensinkronisasi kinerja pemerintah, partisipasi masyarakat dan swasta dalam pembangunan
RTH untuk hutan kota. Kriteria aspek kebijakan memengaruhi pada peraturan pusat dan
implementasi peraturan dan Undang Undang yang menjamin keberadaan dan pengeolaan hutan
kota sebagai salah satu fungsi penting di wilayah perkotaan.

10
BAB III
PENUTUP

Hutan kota merupakan salah satu faktor penting dalam pengendalian polusi CO kawasan
perkotaan dan sebagai pendekatan dan penerapan beberapa fungsi hutan dalam kelompok
vegetasi di perkotaan untuk mencapai tujuan troteksi, lansekap, estetika, ekologi dan fungsi
lainnya bagi kepentingan masyarakat perkotaan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho, W.C., A. Indrawan, Supriyanto, H.S. Arifin. 2013. Kontribusi Sistem Agroforestri
Terhadap Cadangan Karbon di Hulu DAS Kali Bekasi. Jurnal Hutan Tropis, 1(3): 242-
249.

Alfian, R., dan H. Kurniawan. 2010. Identifikasi Bentuk,Struktur dan Peranan Hutan Kota
Malabar Malang. Buana Sains, 10(2):195-201.

Amin, N., Hasanuddin, dan Djufri. 2014. Potensi Jenis Tumbuhan di Hutan Kota Banda Aceh
Dalam Mereduksi Emisi CO. Jurnal EduBio Tropika, 2(2):187-250.

Butarbutar, T.. 2009. Inovasi Menejemen Kehutanan Untuk Solusi Perubahan Iklim di Indonesia.
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 6(2):121-129.

Cahyono, W.E. 2010. Pengaruh Pemanasan Global Terhadap Lingkungan Bumi. Penelitian
Bidang Pengkajian Ozon dan Polusi Udara. LAPAN.

Hardiatmi, J.M.. 2009. Kendala Serta Faktor Pendukung Keberhasilan Pembangunan Hutan
Kota. Jurnal Inovasi Pertanian, 8(1):1-7.

Maness, T.C.. 2009. Forest Management and Climate Change Mitigation: Good Policy Requires
Careful Thought. Journal of Forestry 107(3):119-123. A Society of American Foresters.
Grosvernor Lane, Bethesda, Maryland, USA.

Mansur, M., N. Hidayati, dan T. Juhaeti. 2011. Struktur dan Komposisi Vegetasi Pohon Serta
Estimasi Biomassa, Kandungan Karbon dan Laju Fotosintesis di Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak. Jurnal Teknik Lingkungan, 12(2):161-169.

Muhi, A.H.. 2011. Pemanasan Global (Global Warming). Institut Pemerintahan Dalam Negeri
(IPDN), Jatinangor. Jawa Barat.

Rahmayanti, M.. 2007. Kontribusi Kebakaran Lahan Gambut Terhadap Pemanasan Global.
Kaunia, 3(2):101-117.

Rochmatino. 2016. Proses Fotosintesis pada Tanaman. Lokasi: Lab. Fisiologi Tumbuhan Fak.
Biologi Unsoed. Penyuluhan SD IT Alam Harapan Umat Purbalingga. Purwekerto.

12
Samsoedin, I., I.W.S Dharmawan, A. Siregar. 2009. Potensi Biomassa Karbon Hutan Alam dan
Hutan Bekas Tebangan Setelah 30 Tahun di Hutan Penelitian Malinau, Kalimantan
Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 4(1):47-56.

Sodiq, M.. 2013. Pemanasan Global Dampak Terhadap Kehidupan Manusia dan Usaha
Penanggulangannya. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Subarudi., I. Samsoedin, Sylviani, E. Syahadat, K. Ariawan, E.Y. Suryandari, J.H. Panjaitan.
2014. Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Hutan Kota pada Lanskap Perkotaan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan - Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bogor.

Sundari, E.S.. 2007. Studi Untuk Menentukan Fungsi Hutan Kota Dalam Masalah Lingkungan
Perkotaan. Jurnal PWK Unisba, 7(2):68-83.

Suryandari, E.Y., dan I. Alviya. 2015. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Penyelenggaraan Hutan
Kota: Studi Kasus Kota Medan Deli Serdang dan Palangkaraya. Jurnal Sosial dan
Ekonomi Kehutanan, 12(1):13-30.

Wardhana, W. A.. 2010. Dampak Pemanasan Global. Penerbit Andi. Yogyakarta.

13

Anda mungkin juga menyukai