Anda di halaman 1dari 3

Harapan

Kukenakan seragam sekolah dengan nametag Danviarta, gesper, dasi, topi, dengan kaos
kaki putih serta sepatu hitam. Tak lupa untuk menyisir rapih rambut, aku pun bergegas
berangkat ke sekolah. Kuhentakkan kaki dengan tegas untuk melangkah ke sekolah sebagai
bentuk semangatku pagi ini. Sepanjang jalan, kulihat matahari tampak dengan berhias langit
biru, burung-burung juga berkicau sangat indah. Oh, sungguh indah duniaku.
Setiba di halte bus, aku menunggu angkutan umum, dengan penuh harap angkot yang
kutunggu datang. Badanku yang cukup gemuk membuat diriku sulit menaiki angkot tersebut.
Tetapi aku tetap bersyukur memiliki badan sehat seperti yang kumiliki saat ini. Di perjalanan,
angkot yang kunaiki menginjak kubangan air, hal tersebut membuat celana abu-abuku sedikit
basah. Ku seka celanaku sesaat aku kembali meneruskan langkahku ke sekolah.
Sesampai di sekolah, aku bersikap biasa saja seperti tidak ada masalah. Ya.. Hari ini aku
biasa saja, tak ada satupun yang membuatku cemas, dulu aku mencemaskan hari seperti ini.
Hari dimana rapor dibagikan serta orangtua datang ke sekolah untuk menerima hasil belajar
selama 6 bulan kemarin dan orangtua mendengarkan penjelasan dari wali kelas. Kemudian
murid akan dipanggil oleh wali kelas dan diberitahu apa saja yang harus diperbaiki. Agak
menyeramkan jika dibayangkan, namun ku yakinkan diriku bahwa semua akan baik-baik
saja.
Sejujurnya bulan Juni tahun lalu, perasaan cemasku akan pembagian rapor sempurna
sudah hilang. Aku persis sekali mengetahui mengapa demikian. Kekecewaanku yang sangat
besar saat melihat pengumuman di papan tulis tidak tertuliskan namaku di sana. Seketika hati
menjadi kelabu, langit juga kelabu, mulut juga tak bisa berkata apa-apa. Sungguh kecewa
hatiku saat melihatnya. Harapanku bagai pecah berkeping-keping, retak di semua bagian, ia
terbang dengan kosongnya meninggalkanku pergi jauh. Hatiku semakin kelabu ketika
temanku bertanya.
Dan, bagaimana rapornya? tegas Indra.
Biasa saja, Ndra seruku.
Ah, kamu bercanda ya gurau Indra tidak percaya. Saat itu Indra memang belum
melihat tulisan yang ada di papan tulis.
Enggak Ndra, aku serius
Bohong ah bohong
Serius Ndra kataku sambil melengkungkan bibir ke atas.
Sehari-hari aku tidak jarang bergurau, tetapi untuk saat ini, aku sedang tidak ingin
bergurau. Selepas berbicara dengan Indra, aku segera pulang ke rumah bersama Papa. Di
perjalanan Papaku tidak marah kepadaku, ia tetap menyemangati dan memberiku nasihat agar
aku selalu berusaha berikan yang terbaik. Walaupun untuk rapor kali ini, nilaiku turun. Setiba
di rumah, aku hanya mengurung diri di kamar, menatap layar handphone, kemudian aku
bercerita hal ini kepada sahabatku.
Ah, sudah tidak apa-apa, Dan, nilai bukan segalanya. Nilai di rapor memang penting
tetapi nilai kejujuran dalam rapor, itu jauh lebih penting. Orang pintar di dunia sudah
banyak, namun hanya sedikit yang memiliki kejujuran. Dari ceritamu, aku paham betul
usahamu sudah maksimal, dan kamu tidak usah bersedih seperti ini. sahut Tito,
sahabatku.
Iya, kamu betul, To. Tetapi aku kecewa mengapa aku tidak bisa mempertahankan apa
yang aku dapatkan kemarin. Kataku
Aku mengerti apa yang kamu rasakan, Dan, sejak kecil kamu selalu jadi juara kelas,
namun untuk pembagian rapor kali ini kau bukanlah bintangnya. Jika aku di posisimu,
aku pasti merasakan pedih sepertimu. Tapi sudahlah Dan, tidak baik kau sedih
berkepanjangan. Lebih baik kita membahas hal lain saja, mungkin lebih menyenangkan
dan tidak membuatmu sedih lagi.
Oke, aku tidak akan bersedih lagi. Janji. Ayo kita main seruku dengan tersenyum.
Benar kata Tito, bahwa nilai bukan segalanya namun nilai kejujuranlah yang sangat
terpenting. Lagipula, aku sudah bekerja keras untuk raporku itu. Jadi aku tidak usah merasa
sangat kecewa seperti ini. Kuputuskan untuk mengubur harapanku dalam-dalam.
Namun hari ini, harapan kosong yang kupendam itu seakan hadir lagi, menyapaku
dengan ramah, memeluk kembali sangat erat. Ketika aku membuat nomor urut, dari arah
berlawanan Indra teriak-teriak memanggil namaku.
Dan Danviarta
Ada apa sih Ndra? sambil membuat nomor urut
Ayo sekarang kamu liat papan tulis!
Iya nanti aku lihat setelah membuat nomor urut
Betapa mengejutkannya ketika membaca tulisan di papan tulis. Melihat namaku tertera
di papan tulis, aku kembali menjadi bintangnya lagi, dan aku juga membuat senyum di bibir
kedua orangtuaku. Mataku berkaca-kaca, hari ini bagai sebuah keajaiban. Benih-benih
harapan itu muncul lagi secara tanpa aku sadari, rambutku yang panjang, sedang dibelai-belai
oleh temanku. Lantas saat aku tersadar, ia mengucapkan selamat kepadaku, tertegun ku
mendengarnya. Sungguh luar biasa, hal yang tidak kubayangkan lagi, hal yang sudah
kukubur dalam-dalam, kini ia kembali menggenggamku erat-erat, mencoba memberikan
amanahnya kepadaku serta menjadi tamparan bagiku yang merasa pesimis dan putus asa.
Sekarang aku yakin, bahwa proses tidak akan pernah mengkhianati hasilnya. Ikuti prosesnya,
nikmati hasilnya. Jika prosesnya benar maka hasilnya juga benar.

Anda mungkin juga menyukai