Disusun Oleh:
SRI DAYATI NIM. 166020310111006
MUHAMMAD RUSYDI AZIZ NIM. 166020310111022
GATRA BAGUS SANUBARI NIM. 166020310111028
Dosen:
AYU FURY PUSPITA, MSA., Ak..
B. Leasing
Dari sisi perpajakan
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang
Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing), kegiatan sewa guna usaha dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Sewa guna usaha dengan hak opsi (finance/capital lease),
2. Sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease).
Pada Pasal 3 (tiga), KMK 1169 tahun 1991, dijelaskan bahwa syarat suatu sewa guna usaha
menjadi finance lease, yaitu apabila memenuhi syarat sebagai berikut.
1. Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama ditambah
dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal
dan keuntungan lessor,
2. Masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang
modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh)
tahun untuk Golongan bangunan,
3. Terdapat perjanjian atas sewa guna usaha tersebut yang memuat ketentuan hak opsi
bagi lesee.
Sedangkan operating lease atau yang biasa dikenal sebagai sewa guna usaha tanpa hak
opsi adalah termasuk sewa guna usaha yang memiliki ciri sebagai berikut (Pasal 4 KMK
1169/1991).
1. Jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama tidak
dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa-guna-usahakan ditambah
keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor,
2. Perjanjian sewa guna usaha tidak memuat hak opsi kepemilikan bagi lesee.
Lebih jauh, dalam Pengumuman Direktur Jenderal Moneter No. Peng-
307/DJM/III.1/7/1974, pemerintah mengatur barang-barang yang boleh dijadikan objek leasing
yaitu:
1. Barang yang dijadikan objek leasing harus dimiliki oleh perusahaan leasing di Indonesia
dan diambil dari produksi dalam negeri,
2. Apabila barang yang menjadi objek leasing berasal dari luar negeri, maka barang
tersebut dapat diekspor kembali setelah jangka waktu berahir dengan syarta-syarat
tersendiri.
Terkait dengan unsur perpajakan yang harus dipenuhi, beberapa peraturan yang telah
ditetapkan adalah sebagai berikut.
Bagi Lessor
1. Pajak Penghasilan (PPh), dikenakan kepada lessor atassebagian imbalan jasa sewa
guna usaha dengan hak opsi dan seluruh pembayaran jasa bagi sewa guna usaha tanpa
hak opsi.
2. PPh tidak boleh dikurangkan dengan biaya penyusutan atas barang yang menjadi
objek leasing dengan hak opsi, namun boleh dikurangkan apabila objek leasing
merupakan objek sewa guna usaha tanpa hak opsi.
3. Lessor dapat membentuk cadangan atas piutang ragu-ragu sewa guna usaha dengan
hak opsi paling tinggi 2,5% dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang leasing
dan dapat dikurangkan dalam perhitungan penghasilan kena pajak (pasal 9, UU no 36
tahun 2008)
4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikecualikan atas penyerahan objek leasing dengan hak
opsi.
Bagi Lesse
1. Lesee tidak boleh mengakui penyusutan atas objek leasing sampai saat lesee
menggunakan hak opsi untuk membeli.
2. Pembayaran leasing dapat dikurangkan sebagai biaya, baik dalam perjanjian sewa
guna usaha dengan atau tanpa hak opsi. (Pasal 6, UU no 36 tahun 2008)
3. Apabila masa leasing lebih pendek dari masa yang sudah ditentukan, maka harus
dilakukan koreksi atas pembebanan biaya leasing dengan hak opsi menjadi tanpa
hak opsi (SE-29/PJ.42/1992).
4. Lesee tidak memotong PPh pasal 23 atas pembayaran sewa guna usaha yang dibayar
dalam perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi, namun untuk perjanjian tanpa hak
opsi tetap dipotong.
Keputusan perusahaan dalam menentukan sumber dana yang akan digunakan akan
menghasilkan dampak bagi perusahaan tersebut. Ketika sumber pendanaan internal
digunakan, maka akan timbul opportunity cost, dan ketika dana eksternal digunakan, maka
akan timbul biaya modal sebesar biaya bunga yang dibebankan kreditor. Dalam hal ini,
fungsi keuangan utama yang dilakukan oleh manajer keuangan dalam membuat keputusan
yang berkaitan dengan aktivitas pencarian dana perlu mempertimbangkan hal-hal dalam
pemenuhan
kebutuhan dana perusahaan.
Menurut pernyataan Standar Skuntansi Keuangan (2009), dividen yang dibayar dapat
diklafikasikan sebgai arus kas pendanaan karena merupakan biaya perolehan sumber daya
keuangan. Sebagai alternative, dividen yang dibayar dapat diklafikasikan sebagai komponen arus
kas dari aktivitas operasi dengan maksud membantu para pengguna laporan kas dari aktivitas
operasi dalam menilai kemampuan perusahaan membayar dividen dari arus kas operasi.
Laba ditahan (retained earning) merupakan salah satu sumber dana paling penting untuk
membiayai pertumbuhan perusahaan. Apabila perusahaan memilih untuk membagikan laba
sebagai dividen, maka akan mengurangi laba yang ditahan dan selanjutnya mengurangi total
sumber dana intern atau internal financing, sebaliknya, jika perusahaan memilih untuk menahan
laba yang diperoleh, maka kemampuan pembentukan dana intern akan semakin besar. Besar
kecilnya dividen yang dibagikan kepada pemegang saham tergantung dari kebijakan dividen
masing-masing perusahaan, karena tidak ada suatu ukuran tertentu dalam menentukan
pembayaran dividen.
Ada tiga alasan yang berkaitan dengan pajak untuk beranggapan bahwa investor mungkin
lebih menyukai pembagian dividen yang rendah daripada yang tinggi.
2. Pajak atas keuntungan tidak dibayarkan sampai saham terjual. Karena adanya efek nilai
waktu, satu dolar pajak yang dibayarkan di masa mendatang mempunyai biaya efektif
yang lebih rendah daripada satu dolar yang dibayarkan hari ini.
3. Jika selembar saham dimiliki seseorang sampai meninggal sama sekali tidak ada pajak
keuntungan modal yang terutang, ahli waris yang menerima saham itu dapat
menggunakan nilai saham pada hari kematian sebagai dasar biaya mereka, dengan
demikian mereka terhindar dari pajak keuntungan modal.
Karena adanya keuntungan keuntungan pajak ini, para investor mungkin lebih suka perusahaan
menahan sebagian besar laba perusahaan. Jika demikian maka para investor akan mau
membayar lebih tinggi untuk perusahaan yang pembagian dividennya rendah daripada
perusahaan sejenis yang pembagian dividennya tinggi.
Selain itu, dengan menjual saham untuk merealisir keuntungan modal, pemodal membayar
biaya transaksi tertentu dan (seharusnya) membayar pajak. Tetapi dengan menerima dividen
(tidak perlu membayar biaya transaksi), pemodal justru hanya membayar pajak. Hal ini dapat
menyebabkan pajak atas keuntungan modallebih kecil dari dividen (Husnan dan Pudjiastuti,
2004).
Terdapat dua sumber pendanaan eksternal yaitu investor ekuitas (disebut juga pemilik
atau pemegang saham) dan kreditor (pemberi pinjaman). Investor ekuitas merupakan sumber
utama pendanaan. Investor menyediakan pendanaan dengan harapan untuk
mendapatkan pengembalian atas investasi mereka. Setelah mempertimbangkan pengembalian
yang diharapkan (expected return) dan resiko pengembalian adalah bagian investor ekuitas atas
laba perusahaan dalam bentuk distribusi laba atau reinvestasi laba. Distribusi laba adalah
pembayaran dividen kepada pemegang saham. Dividen dapat dibayar langsung dalam bentuk
tunai atau deviden saham, atau secara tidak langsung melalui pembelian kembali saham.
Pembayaran dividen mengacu pada proporsi laba yang didistribusikan, yang sering
dinyatakan dalam ratio atau presentase yaitu ratio, pembayaran dividen reinvestasi laba atau laba
ditahan mengacu pada penahanan laba dalam perusahaan untuk digunakan dalam bisinis
perusahaan: yang disebut pula pendanaan internal. Reinvestasi laba sering diukur dengan ratio
penahanan. Reinvestasi laba juga diukur dengan pertumbuhan ekuitas. Earning retention ratio.
(Sering diukur dengan rasio penahanan/rasio laba di tahan= 1- dividen payout rasio)
Investor memberikan pendanaan dengan harapan mendapatkan pengembalian atas investasi
mereka, setelah mempertimbangkan pengembalian yang di harapkan dan resiko.
Hybrid financial instruments dapat didefinisikan sebagai instrumen keuangan yang memiliki
karakteristik ekonomi yang tidak konsisten, baik secara parsial maupun secara keseluruhan
terhadap bentuk legalnya. Sementara itu, OECD mendifinisikan hybrid financial instrument
sebagai instrumen keuangan yang diklasifikasikan berbeda diantara negara-negara yang terlibat
dalam transaksi instrumen tersebut, misalnya sebagai pinjaman di satu negara dan sebagai modal
di negara lainnya. Contoh hybrid financial instruments yang sering ditemui antara lain: saham
preferen (preference shares), silent partnership, shareholder loan, participation bonds,
convertible bonds, warrant bonds, dan profit participation loans.
Dalam aspek pajaknya, hybrid financial instrument seringkali digunakan dalam perencanaan
pajak pada tingkat internasional karena terdapat perbedaan dalam pengklasifikasian dan
perlakuan pajak di beberapa negara yang mengakibatkan peluang tax arbitrage meningkat.
Hybrid financial instruments sering digunakan untuk tujuan penghindaran pajak (tax avoidance)
melalui profit shifting yang mengakibatkan dasar pengenaan pajak dalam negeri suatu negara
bisa terkikis (Base Erosion Effect). Isu ini membuat OECD membahas secara mendetail dalam
laporannya yang berjudul Addressing BEPS (Base Erosion Profit Sharing). Dalam laporan
tersebut, OECD memaparkan bagaimana BEPS menjadi ancaman serius terhadap penerimaan,
kedaulatan, dan keadilan dalam sistem perpajakan. Hal ini menandakan bahwa isu BEPS ini
tidak hanya dihadapi oleh negara-negara berkembang saja, melainkan juga negara-negara maju
yang merupakan negara asal dari perusahaan multinasional.
Ketentuan di Indonesia lebih menekankan pembedaan antara penghasilan dan biaya dalam
menghitung penghasilan kena pajak bukan pada pembedaan antara utang dan ekuitas secara
eksplisit. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 18 ayat 3 UU PPh yang berbunyi:
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Waib Paak lainnya
sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa
dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak independen, metode harga
penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya
Dalam penjelasan Pasal 18 ayat 1 UU PPh dijelaskan bahwa apabila pebandingan antara
utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya perusahaan
tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena
Pajak, Undang-Undang ini menentukan adanya modal terselubung. Terkait dengan modal
terselubung yang imbal hasilnya dikategorikan dividen ketentuan perpajakan Indonesia tidak
mendefinisikan istilah modal terselubung, sehingga tidak menutup kemungkinan akan
diinterpretasikan berbeda dan tentunya hal ini tidak memenuhi prinsip kepastian.
Tujuan perpajakan yang dapat dicapai dengan menggunakan hybrid financial instruments
dalam perencanaan pajak adalah sebagai berikut:
a. Memperoleh pengurangan ganda (double dipping) atas pembayaran bunga.
b. Perusahaan yang memungkinkan pembebanan bunga pada suatu negara dan tidak dikenakan
pajak di negara lainnya.
c. Mengatasi tax avoidance rule dengan struktur pembiayaan yang mengindari permasalahn
thin-capitalization rule atau aturan back-to-back loan.
d. Menghindari atau mengurangi tarif pemotongan pajak penghasilan dan pajak atas laba
pengalihan harta.
e. Menunda penerimaan penghasilan atau mendapatkan pengurangan pajak secara dini.
Suatu instrumen keuangan hybrid yang bertujuan memanfaatkan perbedaan sistem
perpajakan diantara 2 negara tidak memiliki tujuan yang bonafide mengakibatkan dasar
pengenaan pajak dalam negeri suatu negara bisa terkikis sehingga hal ini dianggap sebagai
bentuk penghindaran pajak yang menjadi ancaman serius berbagai negara. Saat ini, Indonesia
masih belum memiliki ketentuan pencegahan penghindaran pajak baik secara khusus maupun
umum yang dapat menangkal praktik penghindaran pajak melalui penggunaan instrumen
keuangan hybrid. Walaupun otoritas pajak Indonesia memiliki wewenang untuk
merekarakterisasi transaksi utang sebagai modal, namun dengan tidak adanya peraturan yang
dapat digunakan sebagai batasan antara utang dan modal menjadi kendala bagi kepastian hukum
untuk menjustifikasi wewenang otoritas pajak tersebut.
STUDI KASUS
PT XYZ adalah perusahaan manufaktur, yang mempunyai kerjasama dengan perusahaan
(PT ABC) pembangkit listrik swasta untuk memberikan pasokan listrik ke PT XYZ. Jenis
supply yang diberikan ada 3, yaitu:
1. Electric Power
2. Facility Charge
3. Steam
Pada tahun 2008 PT XYZ mengadakan perjanjian dengan PT ABC bahwa untuk
meningkatkan kapasitas supply listrik nya , maka perlu di bangun suatu alat di PT. ABC.
Setiap bulan PT XYS membayar 3 biaya tersebut di atas kepada PT ABC.
Maka biaya perbulannya dipotongkan dari Facility charge bulanan yang dibayarkan oleh PTS.
Selama ini pada saat pemeriksaan pajak, tidak pernah terjadi koreksi atas perlakuan hal tersebut
di atas, namun ketika pemeriksaan pajak untuk tahun 2015, maka DJP merasa keberatan atas
pemotongan pembebanan biaya financial lease pada biaya listrik bulanan. DJP mengeluarkan
SPHP (Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan) dimana menurut pajak biaya negative tidak
diakui oleh pajak.
Jawab:
1 Initial Journal
Account Number Account Description Debet Cre
Principle recognition of
asset
1,1219 FA/ Contract Under Financial Lease 25.000.0
00,00
1,2351 Financial Lease Longterm Liability
00,0
Accrue of Interest
1,1219 FA/ Contract Under Financial Lease 32.901.2
97,74
1.2192.054 AccrExpns/AccExpInterestExp-Lease
97,7
Monthly Charge
1,2351 LsOblLgTm/ObliationUnderCapital 175.150,5
1
1,2351 LsOblLgTm/ObliationUnderCapital 66.104,9
0
760.5611.01 ElctrcPwr/FAS CHRG FAUCL
1
Interest Expense
2,9295 IntrExpns/INTERESTOFFINANCIALL 175.150,5
1
1.2192.054 AccrExpns/AccExpInterestExp-Lease
1
Monthly Charge
1,2351 LsOblLgTm/ObliationUnderCapital 1.748.270,7
9
1,2351 LsOblLgTm/ObliationUnderCapital 4.041.859,0
8
760.5611.01 ElctrcPwr/FAS CHRG FAUCL
7
Interest Expense
2,9295 IntrExpns/INTERESTOFFINANCIALL 4.041.859,0
8
1.2192.054 AccrExpns/AccExpInterestExp-Lease
8
Monthly Depreciation
760,5419 DeprExpns/DEPREOFFINANCELEASE 2.500.000,0
0
1,1239 AcDpMcnEq/ContractasFinanceLease
0