Anda di halaman 1dari 12

TIKET MASUK PRAKTIKUM IMUNOLOGI

Injeksi Antigen Escherichia coli pada Mencit (Mus


musculus), Booster Isolasi Sel Limfosit dan Analisis
Flowcytometry

Disusun oleh:

Nur Maya Sinta Risqiyah

125090101111013

Kelompok 3

LABORATORIUM FISIOLOGI HEWAN

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS METAMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Dasar Teori

Antigen merupakan suatu substansi yang asing bagi


tubuh sehingga mampu merespon sistem imun. Antigen dibagi
menjadi imunogen yang akan direspon sistem imun dan hapten
yang akan bereaksi dengan antibodi. Epitop merupakan area
yang dikenal atau dilihat oleh antibodi, sedangkan paratop yaitu
area antibodi yang mengenal sisi antigen. Sistem imun dapat
merespon antigen melalui dua cara yaitu imunitas sel perantara
(cell mediated immunity: CMI) dan imunitas humoral (produksi
antibodi). CMI ditandai dengan sel limfosit-T (thymus-dependent),
karena limfosit atau bentuk sebelumnya (prekursor) menjadi
matang dalam lingkungan timus. Limfosit-T mempunyai reseptor
antigen pada permukaannya. Limfosit-T mengenali antigen
dengan mengalami proliferasi untuk membentuk klon limfosit-T
primer yang spesifik. Limfosit yang berperan dalam produksi
antibodi (imunitas humoral) dikenal sebagai limfosit-B. Saat
distimulasi oleh antigen yang reaktif, limfosit-B mengalami
proliferasi dan membentuk klon yang mampu bereaksi terhadap
antigen (Underwood, 1996).
Menurut Rifai (2000), bahwa imunitas dalam tubuh
terdapat tiga fase yaitu imunitas inate spontan (berlangsung
cepat: 0-4 jam), imunitas inate tidak spontan (berlangsung
segera: 4-96 jam), dan imunitas adaptive (berlangsung lambat: >
96 jam). Imunitas inate merupakan pertahanan pertama bagi
tubuh karena dapat bekerja secara langsung nonspesifik.
Imunitas inate kemampuannya tidak berubah saat terinfeksi
patogen di waktu lain karena tidak memiliki memori. Makrofag
dan Neutrofil merupakan komponen seluler imunitas inate yang
bersifat fagosit. Makrofag mempunyai reseptor pada permukaan
yang dapat mengikat dan memfagosit bermacam-macam
patogen maupun antigen. Imunitas adaptive akan bekerja setelah
imunitas inate bekerja karena imunitas membutuhkan reseptor
spesifik yang terbentuk dari gene rearrangement. Sel limfosit-B
berperan dalam imunitas adaptive karena memiliki banyak klon
109 sehingga mampu bekerja secara spesifik. Saat sel limfosit-B
berproliferasi akan membentuk sel plasma dan sel memori. Sel
plasma yang akan memproduksi antigen, sedangkan sel memori
yang mengingat antigen yang pernah masuk dalam tubuh,
sehingga jika di lain waktu jenis antigen tersebut masuk dalam
tubuh, maka reaksi imunitas berlangsung cepat.
Antibodi merupakan molekul yang terlibat dalam
pengenalan antigen secara spesifik. Molekul antibodi memiliki
dua peranan yaitu mengikat molekul patogen atau antigen untuk
meningkatkan respon imun dan untuk merekrut sel-sel
imunokompeten dan molekul efektor lain ketika antibodi telah
berikatan dengan targetnya. Molekul antibodi secara garis besar
digambarkan seperti huruf Y. Terdapat 2 jenis antibodi yaitu
antibodi poliklonal dan monoklonal. Produksi antibodi dilakukan
oleh sel plasma di dalam kelenjar limfe, limpa, dan sumsum
tulang. Semua antibodi disusun dari pasangan polipeptida rantai
berat dan ringan dan dikenal sebagai imunoglobulin. Ada lima
kelas imunoglobulin yaitu IgG, IgM, IgA, IgD dan IgE, yang
masing-masing mempunyai struktur yang berbeda. Masing-
masing rantai beratnya ditandai dengan simbol berturut-turut (,
, , , dan ).

Tabel 1. Sifat Kelas Imunoglobulin yang Berbeda-beda

Pengenalan antigen dilakukan oleh sistem imun adaptif


karena sistem imun ini memiliki sel memori yang dapat bertahan
dalam waktu yang cukup lama terhadap antigen spesifik,
sehingga untuk mengenali dan melawan patogen yang memiliki
diversitas tinggi. Limfosit sebagai komponen imunitas adaptif
terus berkembang dan dapat mengenali diversitas antigen
bakteri, virus, dan organisme penyebab penyakit lain. Molekul
pengenalan sel B adalah imunoglobulin (Ig). Ig diproduksi oleh
sel B dalam kondisi yang sangat beragam sesuai keragaman
antigen. Setiap sel B memproduksi imunoglobulin tunggal.
Imunoglobulin yang berada pada permukaan sel berperan
sebagai reseptor sel untuk suatu antigen yang disebut B-cell
receptor (BCR).
Respons imun tubuh dipicu oleh masuknya antigen atau
mikroorganisme ke dalam tubuh dan dihadapi oleh sel makrofag
yang selanjutnya akan berperan sebagai antigen presenting cell
(APC). Sel ini akan menangkap sejumlah kecil antigen dan
diekspresikan ke permukaan sel yang dapat dikenali oleh sel
limfosit T penolong (Th atau T helper). Sel Th ini akan teraktivasi
dan (selanjutnya sel Th ini) akan mengaktivasi limfosit lain seperti
sel limfosit B atau sel limfosit T sitotoksik. Sel T sitotoksik ini
kemudian berpoliferasi dan mempunyai fungsi efektor untuk
mengeliminasi antigen (Munasir, 2001).
Escherichia coli adalah bakteri anaerob fakultatif yang
termasuk golongan coliform termostabil dan bersifat tidak
patogen dalam usus besar manusia atau disebut sebagai flora
normal. Namun, jika bakteri ini di luar saluran pencernaan akan
bersifat patogen. Escherichia coli mempunyai bentuk batang
pendek, Gram negatif, tidak berspora, berukuran 0,4-0,7 mikron,
sebagian besar bergerak positif dengan flagel peritrich, dan
mempunyai kapsul (Hayhurst, 2002).
Escherichia coli memiliki beberapa antigen yaitu antigen O
(somatik). antigen H (flagel), dan antigen K (kapsul). Antigen O
terdiri dari lipopolisakarida yang mengandung glukosamin dan
terdapat pada dinding sel bakteri Gram negatif selain itu, bersifat
tahan panas atau termostabil. Antigen H bersifat tidak tahan
panas atau termolabil dan akan rusak pada suhu 100 C. Antigen
K atau envelop antigen terdapat pada permukaan luar sel bakteri
yang terdiri dari polisakarida dan bersifat tidak tahan panas
(Hayhurst, 2002).
Injeksi merupakan suatu metode untuk memasukkan liquid ke
dalam tubuh dengan menggunakan spuit jaru, melalui kedalaman
lapisan kulit tertentu. Beberapa teknik-teknik injeksi yaitu injeksi
intramuscular, injeksi subcutan, injeksi intradermal, injeksi
intraperitoneal, dan injeksi intratekal (Joyce dan Evelyn, 1994).
1. Injeksi intramuscular
Injeksi intramuscular yaitu menyuntikkan obat ke dalam
otot yang terperfusi baik, sehingga mampu memberikan
efek sistemik dalam waktu singkat dan biasanya mampu
menyerap dosis yang besar. Lokasi penyuntikan harus
dipertimbangkan kondisi fisik, usia pasien, dan jumlah
obat yang akan diberikan. Terdapat lima lokasi injeksi
intramuscular yaitu pada daerah lengan atas (Deltoid),
daerah dorsogluteal (Gluteus Maximus), daerah
ventragluteal (Gluteus Medius), daerah paha bagian luar
(Vastus Lateralis), dan daerah paha bagian depan
(Rectus Femoris).
2. Injeksi subkutan
Injeksi subkutan yaitu teknik injeksi yang digunakan
apabila menginginkan obat yang disuntikkan akan
diabsorpsi oleh tubuh dengan pelan dan berdurasi
panjang (slow and sustained absorption). Biasanya
volume obat yang disuntikkan terbatas pada 1-2 ml per
sekali suntik.
3. Injeksi intradermal (intrakutan)
Injeksi intradermal adalah suatu prosedur pemberian
cairan secara parenteral dengan menyuntikkannya ke
dalam lapisan dermis (kulit). Injeksi intradermal sering
digunakan untuk prosedur diagnostik seperti pada tes
alergi/tes sensitivitas (skin test), atau uji tuberculin
(misalnya Mantoux test). Selain itu digunakan pula untuk
pemberian imunisasi (misalnya imunisasi BCG dan
Rabies) dan anestesi lokal.
4. Injeksi Intraperitoneal
Merupakan injeksi di bagian kuadran bawah abdomen
untuk memasukkan substansi ke dalam rongga peritoneal
(rongga abdomen). Injeksi ini dilakukan satu kali pada
penelitian dengan volume pemberian sebesar 0,5 mL.
5. Injeksi Intratekal
Merupakan injeksi yang berkemampuan untuk
mempercepat efek obat setempat pada selaput otak atau
sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP
yang akut.
Gambar 1. Teknik Injeksi Intramuscular, Subkutan, dan
Intradermal
(Joyce dan Evelyn, 1994).

Sistem imun terdiri dari organ limfoid spesifik, massa jaringan


limfoid dalam organ tubuh, sel-sel limfoid dan limfosit yang
beredar dalam darah dan limfe. Terdapat organ limfoid periferal
dan central. Organ limfoid periferal yaitu adenoid, tonsil,
appendix, lymph nodes, spleen, peyers patch, GALT (gut-
associated lymphoid tissue) sedangkan organ limfoid central
terdiri dari sumsum tulang dan timus. Sel limfosit-B maturasi
pada sumsum tulang, sedangkan sel limfosit-T maturasi pada
timus. Timus adalah satu-satunya organ limfoid primer yang telah
teridentifikasi secara tuntas pada mamalia. Timus terletak di
mediastinum superior, anterior terhadap keluarnya pembuluh
besar dari jantung. Unsur sel utama timus adalah limfosit, sel
epitelial dan sejumlah makrofag (Bloom dan Fawcett, 1994).
Gambar 2. Organ Limfoid
(Campbell et al., 2008).

Flow cytometry merupakan teknik yang digunakan untuk


menganalisa dan menghitung partikel mikroskopis yang
tersuspensi dalam aliran fluida (Cytopathol, 2009). Prinsip kerja
flow cytometry berdasarkan flourosensi. Suspensi sel atau
partikel yang akan dianalisa dialirkan. Aliran dikelilingi oleh fluida
sempit, kemudian sel akan melewati satu demi satu melalui sinar
laser terfokus. Sinar laser akan mengenai sel tersebut. Sel yang
sesuai dengan cahaya laser dan panjang gelombang yang tepat
dapat dipancarkan kembali sebagai fluoresensi jika sel
mengandung zat alami fluorescent satu atau lebih fluorochrome-
label antibodi melekat pada permukaan atau struktur internal sel.
Penyerapan cahaya tergantung pada struktur internal sel dan
ukuran serta bentuknya. Cahaya fluoresensi terdeteksi oleh
serangkaian dioda. Filter optik berfungsi untuk memblokir cahaya
yang tidak diinginkan. Selanjutnya, hasil data akan disimpan
melalui komputer (Ulfah, 2010).

Flow cytometry memiliki kelebihan dan kekurangan.


Menurut Davey dan Douglas (1996) bahwa kelebihan flow
cytometry terdiri dari tiga faktor yaitu multiparameter akuisisi data
dan analisis data multivariate, kecepatan analisis sel, dan
kemampuan dalam penyortiran sel. Adapun kelemahan flow
cytometry ada dua yaitu biaya yang besar dan dibutuhkan
operator yang terampil untuk mendapatkan kinerja yang optimal
(Davey dan Douglas, 1996). Selain itu, menurut Hite dan Ann
(2001) kelemahan flow cytometry yaitu pengujian secara
subyektif karena adanya operator yang dapat menginterpretasi
data dengan beberapa cara yang berbeda.

Gambar 3. Alat dan prinsip kerja Flow cytometry


(Ulfah, 2010).
1.2 Tujuan
Praktikum ini memiliki tujuan yaitu mengetahui respon
antibodi terhadap antigen yang masuk secara in vivo,
mengetahui cara isolasi sel limfosit dan analisis flow cytometry.
DAFTAR PUSTAKA

Bloom and Fawcett. 1994. A Textbook of Histology. Chapman &


Hall, Inc. USA

Cytopathol, D. 2009. Evaluation of Flow Cytometric


Immunophenotyping and DNA Analysis for Detection of
Malignant Cells in Serosal Cavity Fluids. Juli 37 (7): 498-
504.

Campbell, Neil A., J.B. Reece, L.A. Urry, M.L. Cain, S.A.
Wasserman, P.V. Minorsky, and R.B. Jackson. 2008.
Biology Eighth Edition. Pearson Education, Inc. San
Fransisco

Davey, H. And Douglas K. 1996. Flow Cytometry and Cell Sorting


of Heterogeneous Microbial opulations : the Importance of
Single-Cell Analyses. Microbiological Reviews 60 (4) : 641-
696.

Joyce L. Kee and Evelyn R. Hayes. 1994. Pharmacology : A


Nursing Process Approach. Saunders Company. USA

Hayhurst, Chris. 2002. E. coli. The Rosen Publishing Group. New


York

Munasir, Zakiudin. 2001. Respons Imun Terhadap Infeksi Bakteri.


Sari Pediatri, Vol. 2 No. 4 : 193-197.

Underwood, J.C.E. 1996. General And Systematic Pathology.


Pearson Professional. London

Ulfah, Maria. 2010. Flow cytometry untuk Evaluasi Aktifitas Obat


Antiplasmodial pada Gametosit Plasmodium falciparum..
Malaria Journal 9:49.

Anda mungkin juga menyukai