PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keragaman etnis dan budaya memiliki potensi besar dalam membangun bangsa
ini, termasuk dalam pembangunan dan pengembangan pendidikan. Keragaman budaya
yang tumbuh dan berkembang pada setiap etnis seharusnya diakui eksistensinya dan
sekaligus dapat dijadikan landasan dalam pembangunan pendidikan. Tilaar
mengemukakan bahwa pendidikan nasional di dalam era reformasi perlu dirumuskan
suatu visi pendidikan yang baru yaitu membangun manusia dan masyarakat madani
Indonesia yang mempunyai identitas berdasarkan kebudayaan nasional. Sedang
kebudayaan nasional sendiri dibangun dari kebudayaan daerah yang tumbuh dan
berkembang di setiap etnis. Dalam kaitannya dengan upaya pembaharuan pendidikan dan
keragaman budaya, maka faktor sosial budaya tidak dapat diabaikan. Sistem pendidikan
yang digunakan di negara maju, sayangnya tidak diciplak secara menyeluruh tanpa
memperhatikan budaya yang berkembang dalam masyarakat. Sistem pendidikan suatu
negara harus sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa sendiri. Indonesia dengan
keanekaragaman budayanya, perlu melakukan kajian tersendiri terhadap sistem
pendidikan yang akan digunakan, termasuk sistem pendidikan yang akan digunakan di
setiap daerah dan setiap etnis, sehingga sistem yang dipakai sesuai dengan kondisi
budaya masyarakat setempat.
Oleh karena itu, perlu ada upaya bagaimana memperhatikan dan
mengungkapkan keterlibatan faktor budaya dalam interaksi tersebut agar
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Siri sebagai inti
budaya Bugis-BOne memiliki potensi untuk dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa, sebab siri merupakan pandangan hidup yang bertujuan untuk
meningkatkan harkat,martabat dan harga diri, baik sebagai individu maupun
sebagai makhluk sosial.
Etnis Bugis dan etnis Makassar adalah dua diantara empat etnis besar
yang berada di Sulawesi Selatan. Pada hakekatnya kebudayaan dan pandangan hidup
orang Bugis pada umumnya sama dan serasi dengan kebudayaan dan pandangan
hidup orang Makassar. Oleh karena itu membahas tentang budaya Bugis sulit
1
dilepaskan dengan pembahasan tentang budaya Makassar. Hal ini sejalan dengan
pandangan Abdullah yang mengatakan bahwa dalam sistem keluarga atau
d a l a m k e k e r a b a t a n k e h i d u p a n m a n u s i a B u g i s d a n m a n u s i a M a k a s s a r,
d a p a t d i k a t a k a n h a m p i r t i d a k terdapat perbedaan. Lebih lanjut dikemukakan
bahwa kedua kelompok suku bangsa ini (suku Bugis dan suku Makassar) pada
hakekatnya merupakan suatu unit budaya. Sebab itu, apa yang berlaku dalam dunia
manusia Bugis, berlaku pula pada manusia Makassar.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Bugis Bone
2. Bagaimana Adat Bugis Bone
3. Agama Apa Yang dianut Bugis Bone
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Kebudayaan Bugis Bone
2. Mengetahui Agama di Bugis Bone
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyebaran
3
tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat
Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
C. Perkembangan
4
riawang, matoa macege, matoa ponceng. istilah matoa kemudian menjadi arung.
setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh putranya yaitu La
Ummasa Petta Panre Bessie. Kemudian kemanakan La Ummasa anak dari adiknya
yang menikah raja Palakka lahirlah La Saliyu Kerrempelua. pada masa Arumpone
(gelar raja bone) ketiga ini, secara massif Bone semakin memperluas wilayahnya ke
utara, selatan dan barat
E. Mata Pencaharian
Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir,
maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata
pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat
Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.
5
F. Serdadu Bayaran
G. Bugis Perantauan
suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah
perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia,
Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika
Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk
setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka.
H. Penyebab Merantau
Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan
Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah
Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama
di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan
6
kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui
kemerdekaan.
Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau
tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bongaja, mereka tetap meneruskan
perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah
ke pulau-pulau lainnya diantaranya ada yang hijrah ke daerah Kesultanan Kutai, yaitu
rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang
pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima
dengan baik oleh Sultan Kutai.
7
Setelah dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC pada pertengahan abad ke-17,
banyak perantau Melayu dan Minangkabau yang menduduki jabatan di kerajaan
Gowa bersama orang Bugis lainnya, ikut serta meninggalkan Sulawesi menuju
kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Disini mereka turut terlibat dalam perebutan
politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini banyak raja-raja di Johor yang
merupakan keturunan Makassar.
K. Kerajaan Bugis
1. Kerajaan Bone
2. Kerajaan Makassar
8
menjadi mangku bumi. Bersatunya kedua kerajaan tersebut bersamaan dengan
tersebarnya agama Islam ke Sulawesi Selatan. Pusat pemerintahan dari Kerajaan
Makassar terletak di Sombaopu. Letak kerajaan Makassar sangat strategis karena
berada di jalur lalu lintas pelayaran antara Malak dan Maluku. Letaknya yang
sangat strategis itu menarik minat para pedagang untuk singgah di pelabuhan
Sombaopu. Dalam waktu singkat, Makassar berkembang menjadi salah satu
Bandar penting di wilayah timur Indonesia.2[4]
3. Kerajaan Wajo
4. Kerajaan Soppeng
Pada suatu masa ketika terjadi kekacauan di Soppeng, muncul dua orang
To Manurung. Yang pertama adalah seorang wanita yang dikenal dengan nama
Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. Yang kedua
adalah seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri
Sekkanyili yang kemudian memerintah Soppeng ri Lau. Pada akhirnya kedua
kerajaan kembar tersebut menyatu menjadi Kerajaaan Soppeng.
2
9
5. Kerajaan Luwu
Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Luwu, Soppeng, Bone, dan
Wajo, yang diawali dengan krisis sosial dimana orang saling memangsa laksana
ikan. Kerajaan Luwu kemudian mendirikan kerajaan pendamping, yaitu kerajaan
Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar ini (Gowa dan Tallo)
akhirnya kembali menyatu menjadi satu kerajaan yaitu Luwu.
10
Istilah Dewata SeuwaE itu dalam aksara lontara, dibaca dengan berbagai
macam ucapan, misalnya : Dewata, Dewangta, dan Dewatangna yang mana
mencerminkan sifat dan esensi Tuhan dalam pandangan teologi orang Bugis.
Dewatangna berarti yang tidak punya wujud, Dewatangna atau Debatang
berarti yang tidak bertubuh atau yang tidak mempunyai wujud. De artinya tidak,
sedangkan watang (batang) berarti tubuh atau wujud. Naiyya Dewata SeuwaE
Tekkeinnang, artinya Adapun Tuhan Yang Maha Esa itu tidak beribu dan tidak
berayah. Sedang dalam Lontara Sangkuru Patau Mulajaji sering juga digunakan
istilah Puang SeuwaE To PalanroE, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta.
Istilah lain, Puang MappancajiE. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Konsep Dewata SeuwaE merupakan nama Tuhan yang dikenal etnik Bugis
Makassar. (Abidin, 1979 : 12 dan 59).
11
sesuai disimpan lambang-lambang Matahari dan Bulan. Tempat ini dibuat dari
tembikar, tembaga, bahkan juga dari emas (Pelras, 1981 : 169).
Selain menganggap Matahari dan Bulan itu sebagai Dewa, orang Bugis pra-
Islam juga melakukan pemujaan terhadap kalompoang atau arajang. Kata Arajang
bagi orang Bugis atau Kalompoang atau Gaukang bagi orang Makassar berarti
kebesaran. Yang dimaksudkan ialah benda-benda yang dianggap sakti, keramat dan
memiliki nilai magis. Benda-benda tersebut adalah milik raja yang berkuasa atau
yang memerintah dalam negeri. Benda-benda tersebut berwujud tombak, keris, badik,
perisai, payung, patung dari emas dan perak, kalung, piring, jala ikan, gulungan
rambut, dan lain sebagainya. (Martinus Nijhoff, 1929, 365-366).
Rasanya, hampir semua orang bila mendengar nama bugis pikirannya langsung
tertuju pada salah satu makanan khas Indonesia berbahan dasar tepung ketan dengan
isian kelapa dan gula di dalamnya. Namun, Bugis juga merupakan nama sebuah suku
yang ada di Indonesia.
Suku Bugis adalah masyarakat asli dari Provinsi Sulawesi Selatan. Jumlah
masyarakat suku Bugis di tahun 2000 mencapai angka enam juta jiwa. Suku Bugis
tersebar di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, seperti Kabupaten Luwu, Bone,
Wajo, Pinrang, Barru, dan Sidrap. Salah satu ciri khasnya adalah sistem kepercayaan
suku Bugis.
Para pesyiar tersebut membagi wilayah penyebaran agama Islam menjadi tiga
wilayah. Di wilayah Gowa dan Tallo, penyiar yang ditugaskan adalah Abdul Makmur.
Di wilayah Luwu, yang diperintahkan untuk menyiarkan ajaran Islam adalah
12
Suleiman. Untuk wilayah Bulukumba, Nurdin Ariyani yang ditugaskan untuk
bersyiar. Sistem Kepercayaan To Lotang
Kitab suci bagi penganut sistem kepercayaan ini adalah La Galigo. Isi yang
terkandung dalam kitab tersebut diamalkan turun-menurun secara lisan dari seorang
uwak atau tokoh agama kepada para pengikutnya.
Sistem kepercayaan ini memiliki tujuh orang tokoh agama, yang diketuai oleh
seorang Uwak Battoa. Sementara itu, tokoh agama yang lain mengurusi hal-hal
mengenai masalah sosial, usaha tanam, dan penyelenggaraan upacara ritual.
To Lotang menurut bahasa Bugis artinya adalah 'orang selatan'. Zaman dulu,
masyarakat ini sering mengungsi dari satu daerah ke daerah lain di Sulawesi Selatan.
Setelah berkali-kali mengungsi, pada 1609, masyarakat dengan sistem kepercayaan
ini menetap di Amparita berkat perintah dari Raja Sidendreng.
Telah dibahas dalam artikel yang lalu bahwa suku Bugis adalah suku yang
mendiami daerah Sulawesi Selatan. Namun karena akar suku Bugis adalah Melayu
dan Minangkabau, maka kegiatan merantau tidak dapat dipisahkan dari suku ini.
Maka tidak heran jika suku Bugis tersebar di berbagai wilayah di Nusantara ini.
Menurut sensus penduduk pada tahun 2000, masyarakat Bugis jumlahnya mencapai
13
enam juta jiwa. Suku Bugis yang ada di Indonesia mayorita mendiami Sulawesi
Selatan, yang mencakup kabupaten Luwu, Bone, Wajo, Barru, Pinrang dan Sidrap.
kepercayaan masyarakat Bugis
Selain memiliki adat istiadat masa lalu yang erat kaitannya dengan animisme
dan dinamisme atau penyembahan roh dan berhala, namun ada juga sistem
kepercayaan masyarakat Bugis. Pada umumnya sistem kepercayaan suku Bugis
terbagi menjadi dua, yakni sistem kepercayaan To Lotang dan Agama Islam. Kami
akan membahas keduanya satu persatu. Sistem Kepercayaan To Lotang
Kepercayaan ini memiiki sebuah kita suci yang diberi nama La Galigo. Isi
yang ada dalam kitab ini diamalkan secara turun temurun dan ditularkan secara lisan
oleh uwak atau tokoh agama kepada para pengikutnya. Dalam sistem kepercayaan ini
ada tujuh tokoh agama yang diketuai oleh soerang Uwak Battoa. Dari tujuh tokoh
agama tersebut, enam tokoh diantaranya mengurusi permasalahan seperti masalah
sosial, usaha tanam dan penyelenggaraan ritual kepercayaan. Pada zaman dulu,
masyarakat ini sering mengungsi ke daerah lain di Sumatera Selatan, namun pada
tahun 1609, masyarakat ini diberikan tempat oleh Rja Sindendreng di Amparita
hingga saat ini. Agama Islam dalam masyarakat Bugis
Agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bugis sejak abad ke-17 adalah
Islam. Adalah masyarakat Minangkabau yang membawa Islam ke tanah Bugis,
utamanya pada dai dari daerah Sumatera Barat. Pesyiar atau para dai membagi
wilayah penyebaran Islam dalam tiga wilayah yang berbeda. Ada Abdul Makmur
yang ditugaskan untuk menyiarkan Agama Islam di tanah Gowa dan Tallo. Suleiman
14
diperintah untuk mengajarkan Islam di daerah Luwu, sedangkan untuk daerah
Bulukumba, Nurdin Ariyani terpilih untuk bersyiar disana.
Pada masa itu suku Bugis memiliki banyak kerajaan, diantaranya Wajo,
Soppeng, Makassar dan Bone. Hal ini mengakibatkan seringnya terjadi konflik di
masa lalu yang umumnya dipicu oleh perebutan daerah kekuasaan dan sumber daya
alam. Pada masa itu Islam datang yang memicu kebesaran kerajaan Gowa dan Tallo
untuk menyingkirkan konflik yang ada. Kerajaan inilah yang menghasilkan pahlawan
terkenal, Sultan Hasanudin. Kepercayaan Masyarakat Bugis Terhadap Sawerigading
15
belum lengkap. Sampai sekarang, mereka tetap menunggu kedatangan Sawerigading
untuk membawa 1 juz al-Quran itu kepadanya.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebudayaan Bugis adalah kebudayaan dari suku bangsa Bugis yang mendiami
bagian terbesar dari Jazirah selatan dari Pulau Sulawesi. Seacara garis besar penduduk
provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku bangsa yaitu suku bugis, suku Makssar,
Suku, Toraja Dan suku Mandar.Kebudayaan Bugis Makassar dari segi Kependudukan
mendiami Kabupaten-Kabupaten diataranya adalah Sinjai, Bone, soppeng, Wajo,
Sidenreng-Rappang, Pinrang, Polewali-Mamasa, Enrekang, Luwu, Pare-Pare,
Pangkajenne Kepulauan dan Maros.
Kebudayaan Bugis juga memliki beberapa kerajaan diantaranya yaitu kerajaan
Bone, kerajaan Makassar, kerajaan Soppeng, kerajaan Luwu dan kerajaan Wajo. Adapun
bahasa orang Bugis adalah Bahasa Ugi, sedangkan orang Makassar adalah
MANGKASA, Hurup yang dipakai adalah naskah-naskah Bugis Makassar kuno adalah
AKSARA LONTARA.
17
DAFTAR PUSTAKA
makassar ciri-khas-masyarakat-bugis-dengan-gelar-andi
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Suku_Bugis&veaction=edit&vesection=5
http://tendasejarah sejarah-kerajaan-makassaR
Sumange Alam Tjahra, Beberapa Pandangan tentang Isi Sure I La Galigo, Ujungpandang
: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987
18