Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keragaman etnis dan budaya memiliki potensi besar dalam membangun bangsa
ini, termasuk dalam pembangunan dan pengembangan pendidikan. Keragaman budaya
yang tumbuh dan berkembang pada setiap etnis seharusnya diakui eksistensinya dan
sekaligus dapat dijadikan landasan dalam pembangunan pendidikan. Tilaar
mengemukakan bahwa pendidikan nasional di dalam era reformasi perlu dirumuskan
suatu visi pendidikan yang baru yaitu membangun manusia dan masyarakat madani
Indonesia yang mempunyai identitas berdasarkan kebudayaan nasional. Sedang
kebudayaan nasional sendiri dibangun dari kebudayaan daerah yang tumbuh dan
berkembang di setiap etnis. Dalam kaitannya dengan upaya pembaharuan pendidikan dan
keragaman budaya, maka faktor sosial budaya tidak dapat diabaikan. Sistem pendidikan
yang digunakan di negara maju, sayangnya tidak diciplak secara menyeluruh tanpa
memperhatikan budaya yang berkembang dalam masyarakat. Sistem pendidikan suatu
negara harus sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa sendiri. Indonesia dengan
keanekaragaman budayanya, perlu melakukan kajian tersendiri terhadap sistem
pendidikan yang akan digunakan, termasuk sistem pendidikan yang akan digunakan di
setiap daerah dan setiap etnis, sehingga sistem yang dipakai sesuai dengan kondisi
budaya masyarakat setempat.
Oleh karena itu, perlu ada upaya bagaimana memperhatikan dan
mengungkapkan keterlibatan faktor budaya dalam interaksi tersebut agar
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Siri sebagai inti
budaya Bugis-BOne memiliki potensi untuk dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa, sebab siri merupakan pandangan hidup yang bertujuan untuk
meningkatkan harkat,martabat dan harga diri, baik sebagai individu maupun
sebagai makhluk sosial.
Etnis Bugis dan etnis Makassar adalah dua diantara empat etnis besar
yang berada di Sulawesi Selatan. Pada hakekatnya kebudayaan dan pandangan hidup
orang Bugis pada umumnya sama dan serasi dengan kebudayaan dan pandangan
hidup orang Makassar. Oleh karena itu membahas tentang budaya Bugis sulit

1
dilepaskan dengan pembahasan tentang budaya Makassar. Hal ini sejalan dengan
pandangan Abdullah yang mengatakan bahwa dalam sistem keluarga atau
d a l a m k e k e r a b a t a n k e h i d u p a n m a n u s i a B u g i s d a n m a n u s i a M a k a s s a r,
d a p a t d i k a t a k a n h a m p i r t i d a k terdapat perbedaan. Lebih lanjut dikemukakan
bahwa kedua kelompok suku bangsa ini (suku Bugis dan suku Makassar) pada
hakekatnya merupakan suatu unit budaya. Sebab itu, apa yang berlaku dalam dunia
manusia Bugis, berlaku pula pada manusia Makassar.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Bugis Bone
2. Bagaimana Adat Bugis Bone
3. Agama Apa Yang dianut Bugis Bone

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Kebudayaan Bugis Bone
2. Mengetahui Agama di Bugis Bone

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Penyebaran

Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan.


Penciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang
Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai
tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga
dikategorikan sebagai orang Bugis. Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun
2000, populasi orang Bugis sebanyak sekitar enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis
menyebar pula di berbagai provinsi Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Orang Bugis juga banyak
yang merantau ke mancanegara.

B. Sejarah Awal Mula masyarakat Bone

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero.


Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya
Yunan. Kata Bugis berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan
ugi merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana,
Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi
menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki
dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La
Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari
Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan
beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia
dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang
dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam

3
tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat
Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

C. Perkembangan

Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk


beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa,
aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain
Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski
tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya
pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam
beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru.
Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros,
Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten
Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama
kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian
Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan)

D. Masa Kerajaan Bone

Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian


muncul seorang To Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-
raja kecil melantik Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama
Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah ade
pitue. Manurungnge ri Matajang dikenal juga dengan nama Mata Silompoe. Adapun
ade pitue terdiri dari matoa ta, matoa tibojong, matoa tanete riattang, matoa tanete

4
riawang, matoa macege, matoa ponceng. istilah matoa kemudian menjadi arung.
setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh putranya yaitu La
Ummasa Petta Panre Bessie. Kemudian kemanakan La Ummasa anak dari adiknya
yang menikah raja Palakka lahirlah La Saliyu Kerrempelua. pada masa Arumpone
(gelar raja bone) ketiga ini, secara massif Bone semakin memperluas wilayahnya ke
utara, selatan dan barat

E. Mata Pencaharian

Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir,
maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata
pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat
Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

5
F. Serdadu Bayaran

Selain sebagai perompak, karena jiwa merantau dan loyalitasnya terhadap


persahabatan orang-orang Bugis terkenal sebagai serdadu bayaran. Orang-orang
Bugis sebelum konflik terbuka dengan Belanda mereka salah satu serdadu Belanda
yang setia. Mereka banyak membantu Belanda, yakni saat pengejaran Trunojoyo di
Jawa Timur, penaklukan pedalaman Minangkabau melawan pasukan Paderi, serta
membantu orang-orang Eropa ketika melawan Ayuthaya di Thailand.[5] Orang-orang
Bugis juga terlibat dalam perebutan kekuasaan dan menjadi serdadu bayaran
Kesultanan Johor, ketika terjadi perebutan kekuasaan melawan para pengelana
Minangkabau pimpinan Raja Kecil.

G. Bugis Perantauan

suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah
perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia,
Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika
Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk
setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka.

H. Penyebab Merantau

Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan
Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah
Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama
di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan

6
kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui
kemerdekaan.

I. Bugis di Kalimantan Timur

Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau
tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bongaja, mereka tetap meneruskan
perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah
ke pulau-pulau lainnya diantaranya ada yang hijrah ke daerah Kesultanan Kutai, yaitu
rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang
pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima
dengan baik oleh Sultan Kutai.

Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut


diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik
untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa
orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama di
dalam menghadapi musuh.

Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus


(daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran
karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu
dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).

J. Bugis di Sumatera dan Semenanjung Malaysia

7
Setelah dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC pada pertengahan abad ke-17,
banyak perantau Melayu dan Minangkabau yang menduduki jabatan di kerajaan
Gowa bersama orang Bugis lainnya, ikut serta meninggalkan Sulawesi menuju
kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Disini mereka turut terlibat dalam perebutan
politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini banyak raja-raja di Johor yang
merupakan keturunan Makassar.

K. Kerajaan Bugis

Bugis Makassar memliki lima Kerajaan diantaranya adalah Kerajaan Bone,


Kerajaan Makassar, , Kerajaan Wajo, Kerajaan Soppeng Kerajaan Luwu:

1. Kerajaan Bone

Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian


muncul seorang To Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh
raja-raja kecil melantik Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan
nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah
ade pitue. Manurungnge ri Matajang dikenal juga dengan nama Mata Silompoe.
Adapun ade' pitue terdiri dari matoa ta, matoa tibojong, matoa tanete riattang,
matoa tanete riawang, matoa macege, matoa ponceng. istilah matoa kemudian
menjadi arung. setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh
putranya yaitu La Ummasa' Petta Panre Bessie. Kemudian kemanakan La
Ummasa' anak dari adiknya yang menikah raja Palakka lahirlah La Saliyu
Kerrempelua. pada masa Arumpone (gelar raja bone) ketiga ini, secara massif
Bone semakin memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan barat1[3]

2. Kerajaan Makassar

Sejarah Kerajaan Makassar sebenarnya terdiri atas 2 kerajaan yakni


kerajaan Gowa dan Tallo. Kemudian, kerajaan itu bersatu dibawah pimpinan raja
Gowa yaitu Daeng Manrabba. Setelah menganut agama Islam, Ia bergelar Sultan
Alauddin. Raja Tallo, yaitu Karaeng Mattoaya yang bergelar Sultan Abdullah,
1

8
menjadi mangku bumi. Bersatunya kedua kerajaan tersebut bersamaan dengan
tersebarnya agama Islam ke Sulawesi Selatan. Pusat pemerintahan dari Kerajaan
Makassar terletak di Sombaopu. Letak kerajaan Makassar sangat strategis karena
berada di jalur lalu lintas pelayaran antara Malak dan Maluku. Letaknya yang
sangat strategis itu menarik minat para pedagang untuk singgah di pelabuhan
Sombaopu. Dalam waktu singkat, Makassar berkembang menjadi salah satu
Bandar penting di wilayah timur Indonesia.2[4]

3. Kerajaan Wajo

Kerajaan Wajo terbentuk dari komune-komune atau komunitas yang


terdiri dari berbagai arah yang berada di sekitar Tappareng Karaja. Terbetuknya
kerajaan wajo berawal dari danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang
memiliki kemampuan supranatural yang disebut puangnge ri lampulungeng.
setelah puangnge ri lampulungeng, komune lampulungeng berpindah ke Boli
yang kemudian dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan
supranatural. kedatangan Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan Cina
(Pammana) adalah pendiri (Founding Father) kerajaan Cinnongtabi ,Kerajaan ini
terbentuk dari banyaknya komunitas di sekitar tappareng karaja. Selama lima
generasi kerajaan Cinnongtabi Berdaulat,yang kemudian kerajaan ini bubar dan
terbentuk Kerajaan Wajo.

4. Kerajaan Soppeng

Pada suatu masa ketika terjadi kekacauan di Soppeng, muncul dua orang
To Manurung. Yang pertama adalah seorang wanita yang dikenal dengan nama
Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. Yang kedua
adalah seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri
Sekkanyili yang kemudian memerintah Soppeng ri Lau. Pada akhirnya kedua
kerajaan kembar tersebut menyatu menjadi Kerajaaan Soppeng.
2

9
5. Kerajaan Luwu

Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Luwu, Soppeng, Bone, dan
Wajo, yang diawali dengan krisis sosial dimana orang saling memangsa laksana
ikan. Kerajaan Luwu kemudian mendirikan kerajaan pendamping, yaitu kerajaan
Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar ini (Gowa dan Tallo)
akhirnya kembali menyatu menjadi satu kerajaan yaitu Luwu.

L. Kepercayaan orang Bugis Kuno Sebelum Mengenal Islam

Kepercayaan Bugis Kuno Sebelum Mengenal Islam Sebelum masyarakat bugis


mengenal islam mereka sudah mempunyai kepercayaan asli (ancestor belief) dan
menyebut Tuhan dengan sebutan Dewata SeuwaE, yang berarti Tuhan kita yang
satu. Bahasa yang digunakan untuk menyebut nama Tuhan itu menunjukkan bahwa
orang Bugis memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa secara monoteistis.
Menurut Mattulada, religi orang Bugis masa Pra-Islam seperti tergambar dalam Sure
La Galigo, sejak awal telah memiliki suatu kepercayaan kepada suatu Dewa (Tuhan)
yang tunggal, yang disebut dengan beberapa nama : PatotoE (Dia yang menentukan
Nasib), Dewata SeuwaE (Dewa yang tunggal), To-Palanroe (sang pencipta) dan lain-
lain.

Kepercayaan dengan konsep dewa tertinggi To-Palanroe atau PatotoE,


diyakini pula mempunyai anggota keluarga dewata lain dengan beragam tugas. Untuk
memuja dewadewa ini tidak bisa langsung, melainkan lewat dewa pembantunya.
Konsep deisme ini disebut dalam attoriolong, yang secara harfiah berarti mengikuti
tata cara leluhur. Lewat atturiolong juga diwariskan petunjukpetunjuk normatif
dalam kehidupan bermasyarakat. Raja atau penguasa seluruh negeri Bugis mengklaim
dirinya mempunyai garis keturunan dengan Dewadewa ini melalui Tomanurung
(orang yang dianggap turun dari langit/kayangan), yang menjadi penguasa pertama
seluruh dinasti kerajaan yang ada. (kambie, 2003)

10
Istilah Dewata SeuwaE itu dalam aksara lontara, dibaca dengan berbagai
macam ucapan, misalnya : Dewata, Dewangta, dan Dewatangna yang mana
mencerminkan sifat dan esensi Tuhan dalam pandangan teologi orang Bugis.
Dewatangna berarti yang tidak punya wujud, Dewatangna atau Debatang
berarti yang tidak bertubuh atau yang tidak mempunyai wujud. De artinya tidak,
sedangkan watang (batang) berarti tubuh atau wujud. Naiyya Dewata SeuwaE
Tekkeinnang, artinya Adapun Tuhan Yang Maha Esa itu tidak beribu dan tidak
berayah. Sedang dalam Lontara Sangkuru Patau Mulajaji sering juga digunakan
istilah Puang SeuwaE To PalanroE, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta.
Istilah lain, Puang MappancajiE. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Konsep Dewata SeuwaE merupakan nama Tuhan yang dikenal etnik Bugis
Makassar. (Abidin, 1979 : 12 dan 59).

Kepercayaan orang Bugis kepada Dewata SeuwaE dan PatotoE serta


kepercayaan Patuntung orang Bugis sampai saat ini masih ada saja bekas-bekasnya
dalam bentuk tradisi dan upacara adat. Kedua kepercayaan asli tersebut mempunyai
konsep tentang alam semesta yang diyakini oleh masyarakat pendukungnya terdiri
atas tiga dunia, yaitu dunia atas (boting langi), dunia tengah (lino atau ale kawa) yang
didiami manusia, dan dunia bawah (peretiwi). Tiap-tiap dunia mempunyai penghuni
masing-masing yang satu sama lain saling mempengaruhi dan pengaruh itu berakibat
pula terhadap kelangsungan kehidupan manusia.

Gervaise dalam Description Historique du Royaume de Macacar


sebagaimana dikutip Pelras (1981 : 168) memberikan uraian tentang agama tua di
Makassar. Menurut Gervaise orang-orang Makassar zaman dahulu menyembah Dewa
Matahari dan Dewa Bulan yang disembah pada waktu terbit dan terbenamnya
Matahari atau pada saat Bulan tampak pada malam hari. Mereka tidak mempunyai
rumah suci atau kuil. Upacara sembahyang dan Kurbankurban (Bugis : karoba)
khususnya diadakan di tempat terbuka. Matahari dan Bulan diberi kedudukan yang
penting pada hari-hari kurban (esso akkarobang) yang selalu ditetapkan pada waktu
Bulan Purnama dan pada waktu Bulan mati, karena itu pada beberapa tempat yang

11
sesuai disimpan lambang-lambang Matahari dan Bulan. Tempat ini dibuat dari
tembikar, tembaga, bahkan juga dari emas (Pelras, 1981 : 169).

Selain menganggap Matahari dan Bulan itu sebagai Dewa, orang Bugis pra-
Islam juga melakukan pemujaan terhadap kalompoang atau arajang. Kata Arajang
bagi orang Bugis atau Kalompoang atau Gaukang bagi orang Makassar berarti
kebesaran. Yang dimaksudkan ialah benda-benda yang dianggap sakti, keramat dan
memiliki nilai magis. Benda-benda tersebut adalah milik raja yang berkuasa atau
yang memerintah dalam negeri. Benda-benda tersebut berwujud tombak, keris, badik,
perisai, payung, patung dari emas dan perak, kalung, piring, jala ikan, gulungan
rambut, dan lain sebagainya. (Martinus Nijhoff, 1929, 365-366).

M. Kepercayaan Bugis antara Islam dan To Lotang

Rasanya, hampir semua orang bila mendengar nama bugis pikirannya langsung
tertuju pada salah satu makanan khas Indonesia berbahan dasar tepung ketan dengan
isian kelapa dan gula di dalamnya. Namun, Bugis juga merupakan nama sebuah suku
yang ada di Indonesia.

Suku Bugis adalah masyarakat asli dari Provinsi Sulawesi Selatan. Jumlah
masyarakat suku Bugis di tahun 2000 mencapai angka enam juta jiwa. Suku Bugis
tersebar di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, seperti Kabupaten Luwu, Bone,
Wajo, Pinrang, Barru, dan Sidrap. Salah satu ciri khasnya adalah sistem kepercayaan
suku Bugis.

Sistem Kepercayaan Agama Islam Masyarakat suku Bugis dengan segala


kebudayaan dan adat istiadat juga memiliki sistem kepercayaan. Kepercayaan suku
Bugis yang banyak dianut sejak abad ke-17 adalah Islam. Islam dibawa oleh para
pesyiar dari daerah Minangkabau.

Para pesyiar tersebut membagi wilayah penyebaran agama Islam menjadi tiga
wilayah. Di wilayah Gowa dan Tallo, penyiar yang ditugaskan adalah Abdul Makmur.
Di wilayah Luwu, yang diperintahkan untuk menyiarkan ajaran Islam adalah

12
Suleiman. Untuk wilayah Bulukumba, Nurdin Ariyani yang ditugaskan untuk
bersyiar. Sistem Kepercayaan To Lotang

Selain Islam, kepercayaan suku Bugis lainnya adalah sistem kepercayaan To


Lotang. Sistem kepercayaan To Lotang memiliki penganut sebanyak 15 ribu jiwa.
Masyarakat yang menganut sistem kepercayaan To Lotang tinggal di wilayah
Amparita, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sidenreng Rappang. Sistem
kepercayaan To Lotang didirikan oleh La Panaungi. Kepercayaan ini ada karena
pendirinya mendapatkan ilham dari Sawerigading. Sawerigading adalah jenis
kepercayaan yang memuja Dewata SawwaE.

Kitab suci bagi penganut sistem kepercayaan ini adalah La Galigo. Isi yang
terkandung dalam kitab tersebut diamalkan turun-menurun secara lisan dari seorang
uwak atau tokoh agama kepada para pengikutnya.

Sistem kepercayaan ini memiliki tujuh orang tokoh agama, yang diketuai oleh
seorang Uwak Battoa. Sementara itu, tokoh agama yang lain mengurusi hal-hal
mengenai masalah sosial, usaha tanam, dan penyelenggaraan upacara ritual.

To Lotang menurut bahasa Bugis artinya adalah 'orang selatan'. Zaman dulu,
masyarakat ini sering mengungsi dari satu daerah ke daerah lain di Sulawesi Selatan.
Setelah berkali-kali mengungsi, pada 1609, masyarakat dengan sistem kepercayaan
ini menetap di Amparita berkat perintah dari Raja Sidendreng.

Suku Bugis memiliki beberapa kerajaan, di antaranya Kerajaan Wajo,


Kerajaan Soppeng, Kerajaan Makassar, dan Kerajaan Bone. Kerajaan yang terdapat di
sekitar suku Bugis sering mengalami konflik. Biasanya, konflik di antara mereka
terjadi akibat perebutan daerah kekuasaan.

Telah dibahas dalam artikel yang lalu bahwa suku Bugis adalah suku yang
mendiami daerah Sulawesi Selatan. Namun karena akar suku Bugis adalah Melayu
dan Minangkabau, maka kegiatan merantau tidak dapat dipisahkan dari suku ini.
Maka tidak heran jika suku Bugis tersebar di berbagai wilayah di Nusantara ini.
Menurut sensus penduduk pada tahun 2000, masyarakat Bugis jumlahnya mencapai

13
enam juta jiwa. Suku Bugis yang ada di Indonesia mayorita mendiami Sulawesi
Selatan, yang mencakup kabupaten Luwu, Bone, Wajo, Barru, Pinrang dan Sidrap.
kepercayaan masyarakat Bugis

Selain memiliki adat istiadat masa lalu yang erat kaitannya dengan animisme
dan dinamisme atau penyembahan roh dan berhala, namun ada juga sistem
kepercayaan masyarakat Bugis. Pada umumnya sistem kepercayaan suku Bugis
terbagi menjadi dua, yakni sistem kepercayaan To Lotang dan Agama Islam. Kami
akan membahas keduanya satu persatu. Sistem Kepercayaan To Lotang

To Lotang dalam bahasa Bugis artinya orang selatan. Kepercayaan To


Lotang adalah kepercayaan yang menyembah Dewata SawwaE sebagai Tuhan.
Kepercayaan ini ada dikarenakan pendirinya mendapatkan ilham dari Sawerigading.
Sawerigading inilah yang pertama kali memuja Dewata SawwaE. Sistem kepercayaan
ini memiliki penganut kurang lebih 15 ribu jiwa. Persebaran masyarakat yang
menganut sistem kepercayaan ini ada di wilayah Amparita, Kecamatan Tellu Limpoe,
Kabupaten Sindendreng Rappang.

Kepercayaan ini memiiki sebuah kita suci yang diberi nama La Galigo. Isi
yang ada dalam kitab ini diamalkan secara turun temurun dan ditularkan secara lisan
oleh uwak atau tokoh agama kepada para pengikutnya. Dalam sistem kepercayaan ini
ada tujuh tokoh agama yang diketuai oleh soerang Uwak Battoa. Dari tujuh tokoh
agama tersebut, enam tokoh diantaranya mengurusi permasalahan seperti masalah
sosial, usaha tanam dan penyelenggaraan ritual kepercayaan. Pada zaman dulu,
masyarakat ini sering mengungsi ke daerah lain di Sumatera Selatan, namun pada
tahun 1609, masyarakat ini diberikan tempat oleh Rja Sindendreng di Amparita
hingga saat ini. Agama Islam dalam masyarakat Bugis

Agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bugis sejak abad ke-17 adalah
Islam. Adalah masyarakat Minangkabau yang membawa Islam ke tanah Bugis,
utamanya pada dai dari daerah Sumatera Barat. Pesyiar atau para dai membagi
wilayah penyebaran Islam dalam tiga wilayah yang berbeda. Ada Abdul Makmur
yang ditugaskan untuk menyiarkan Agama Islam di tanah Gowa dan Tallo. Suleiman

14
diperintah untuk mengajarkan Islam di daerah Luwu, sedangkan untuk daerah
Bulukumba, Nurdin Ariyani terpilih untuk bersyiar disana.

Pada masa itu suku Bugis memiliki banyak kerajaan, diantaranya Wajo,
Soppeng, Makassar dan Bone. Hal ini mengakibatkan seringnya terjadi konflik di
masa lalu yang umumnya dipicu oleh perebutan daerah kekuasaan dan sumber daya
alam. Pada masa itu Islam datang yang memicu kebesaran kerajaan Gowa dan Tallo
untuk menyingkirkan konflik yang ada. Kerajaan inilah yang menghasilkan pahlawan
terkenal, Sultan Hasanudin. Kepercayaan Masyarakat Bugis Terhadap Sawerigading

Dengan adanya kisah yang unik mengenai Sawerigading, maka muncullah


berbagai kepercayaan bagi masyarakat Bugis, khususnya yang berkenaan dengan
aspek religius. Menurut kepercayaan sebagian masyarakat Bugis, Sawerigading
memiliki kekuatan supranatural, karena ia merupakan keturunan dewa (to manurung).
Bahkan ada yang menganggapnya sebagai Nabi yang diturunkan ke bumi.
Dari kisah perjalanan Sawerigading ke berbagai negara, muncul anggapan bahwa ia
pernah bertemu dengan Nabi Muhammad. Dalam pertemuannya itu, ia sempat
melakukan diskusi dan mengadakan adu ketangkasan. Dalam adu ketangkasan itu,
sempat draw (seri) sebanyak dua kali, dan barulah pada pertandingan terakhir,
Sawerigading mengakui kehebatan Nabi Muhammad. Menurut kepercayaan tersebut,
Sawerigading mempunyai ajaran yang mirip dengan ajaran Islam, yaitu salat dan naik
haji. Perbedaannya hanya dari segi pelaksanaannya, yaitu salatnya hanya melalui
batinnya. Selain itu, Sawerigading menganjurkan anak cucunya untuk mengunjungi
Mekah, karena di sisi Kabah terdapat nama Sawerigading.
Bahkan ada paham yang berkembang bahwa mengunjungi puncak gunung
Pensemeuni, di tepi Sungai Cerekang (Malili), sama halnya dengan menunaikan
ibadah haji. Sebab, di tempat itulah turunnya Batara Guru ke dunia.
Yang lebih unik lagi adalah kepercayaan masyarakat Towani-Tolotang yang ada di
Kabupaten Sidrap. Mereka beranggapan bahwa Sawerigading kembali ke Mekah dan
mendampingi Nabi Muhammad dalam setiap pertempuran. Di tangan Sawerigading
terdapat satu juz al-Quran, yang belum ikut terkodifikasikan bersama 30 juz lainnya.
Karenanya, mereka tidak mengakui keberadaan al-Quran mushaf Usmani, karena

15
belum lengkap. Sampai sekarang, mereka tetap menunggu kedatangan Sawerigading
untuk membawa 1 juz al-Quran itu kepadanya.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kebudayaan Bugis adalah kebudayaan dari suku bangsa Bugis yang mendiami
bagian terbesar dari Jazirah selatan dari Pulau Sulawesi. Seacara garis besar penduduk
provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku bangsa yaitu suku bugis, suku Makssar,
Suku, Toraja Dan suku Mandar.Kebudayaan Bugis Makassar dari segi Kependudukan
mendiami Kabupaten-Kabupaten diataranya adalah Sinjai, Bone, soppeng, Wajo,
Sidenreng-Rappang, Pinrang, Polewali-Mamasa, Enrekang, Luwu, Pare-Pare,
Pangkajenne Kepulauan dan Maros.
Kebudayaan Bugis juga memliki beberapa kerajaan diantaranya yaitu kerajaan
Bone, kerajaan Makassar, kerajaan Soppeng, kerajaan Luwu dan kerajaan Wajo. Adapun
bahasa orang Bugis adalah Bahasa Ugi, sedangkan orang Makassar adalah
MANGKASA, Hurup yang dipakai adalah naskah-naskah Bugis Makassar kuno adalah
AKSARA LONTARA.

17
DAFTAR PUSTAKA

Kamri, Ahmad, (1997) BUDAYA S1R1' BUGIS-MAKASSAR Pembunuhan dan


Pencemaran Nama Balk Orang Lain. Masters thesis, PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO

makassar ciri-khas-masyarakat-bugis-dengan-gelar-andi

http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Suku_Bugis&veaction=edit&vesection=5

http://tendasejarah sejarah-kerajaan-makassaR

Asram Muzharath.K, Sejarah KerajaanMakassar,2002, Bulan Bintang, Makassar

Sarita Pawiloi, Sejarah Pendidikan di Sulawesi Selatan, Jakarta : IDKD Depdikbud,


1982.

H.D.Mangemba, Sawerigading ke Cina, Ujungpandang : Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1987.

Sumange Alam Tjahra, Beberapa Pandangan tentang Isi Sure I La Galigo, Ujungpandang
: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987

18

Anda mungkin juga menyukai