PENDAHULUAN
Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi ginjal untuk
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti
air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran
semi permeable sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi
proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi.
Disebut terapi pengganti karena tugasnya hanya menggantikan tugas dari ginjal pasien
yang sudah tidak berfungsi lagi, jadi bukan merupakan alat penyembuh. Tujuan utama dalam
melakukan hemodialisis adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien sehingga dapat
melakukan aktifitas sama seperti mereka yang normal. Beberapa prinsip dasar yang harus
dipenuhi dalam mencapai tujuan tersebut antara lain mengenal proses yang terjadi selama
hemodialisis, mengenal perangkat yang dibutuhkan pada hemodialisis, dan aplikasi
pelaksanaan hemodialisis yang baik.
Pada hemodialisa, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan dipompa ke dalam
mesin yang akan menyaring zat-zat racun keluar dari darah dan kemudian darah yang
sudah bersih dikembalikan lagi ke dalam tubuh penderita. Jumlah total cairan yang
dikembalikan dapat disesuaikan.
Pada dialisa peritoneal, cairan yang mengandung campuran gula dan garam khusus
dimasukkan ke dalam rongga perut dan akan menyerap zat-zat racun dari jaringan.
Cairan tersebut kemudian dikeluarkan lagi dan dibuang.
Dialisa banyak digunakan sebagai pencegahan pada gagal ginjal akut yang
pembentukan kemihnya sangat sedikit dan dilanjutkan sampai pemeriksaan darah
menunjukkan bahwa fungsi ginjal telah kembali. Pada gagal ginjal kronis, dialisa dilakukan
jika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa ginjal tidak mampu membuang limbah metabolik
atau jika penderita tidak dapat lagi melakukan kegiatannya sehari-hari. Frekuensi dialisa
1
bervariasi, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang tersisa, tetapi sebagian besar
penderita menjalani dialisa sebanyak 3 kali/minggu.
Gagal Jantung
2
KEUNGGULAN CAPD
1. Proses dialysis peritoneal ini tidak menimbulkan rasa sakit.
2. Membutuhkan waktu yang singkat, terdiri dari 3 langkah.
Kedua, cairan dibiarkan dalam rongga perut untuk selama periode waktu tertentu (4-6
jam)
3. Ketiga proses diatas dilakukan beberapa kali tergantung kebutuhan dan bisa dilakukan oleh
pasien sendiri secara mandiri setelah dilatih dan tidak perlu ke rumah sakit.
PERMASALAHAN
Penderita yang menjalani dialisa memerlukan makanan dan obat khusus.
Nafsu makan penderita menurun dan terjadi kehilangan protein selama dialisa peritoneal,
karena itu penderita biasanya memerlukan diet tinggi protein (secara kasar sebanyak 1
gram/kg BB). Asupan natrium dan kalium harus dibatasi sampai 2 gram/hari. Asupan
makanan kaya fosfat juga harus dibatasi. Asupan cairan pada penderta yang memiliki kadar
natrium rendah harus dibatasi. Sangat penting untuk melakukan penimbangan berat badan
setiap hari. Penambahan berat badan yang berlebihan menunjukkan terlalu banyaknya asupan
cairan.
Multivitamin dan tambahan zat besi perlu diberikan untuk menggantikan zat gizi yang
hilang pada proses dialisa. Penderita yang menjalani dialisa dan menerima banyak transfusi
darah seringkali mendapatkan terlalu banyak zat besi karena darah mengandung sejumlah
besar zat besi. Karena itu penderita tidak mendapatkan tambahan zat besi. Untuk merangsang
pembentukan se darah merah bisa diberikan hormon (testosteron atau eritropoietin).
Pengikat fosfat (misalnya kalsium karbonat atau kalsium asetat) diberikan untuk membuang
kelebihan fosfat. Kadar kalsium darah yang rendah atau penyakit tulang hiperparatiroid yang
berat diobati dengan kalsitriol (salah satu bentuk vitamin D) dan tambahan kalsium.
Pada penderita gagal ginjal sering dijumpai tekanan darah tinggi. Pada 50% penderita, hal ini
3
bisa diatasi secara sederhana dengan membuang sejumlah cairan selama dialisa. Sedangkan
pada penderita lainnya perlu diberikan obat-obatan untuk menurunkan tekanan darah.
Dialisa bisa digunakan sebagai pengobatan jangka panjang untuk gagal ginjal kronis
atau sebagai pengobatan sementara sebelum penderita menjalani pencangkokan ginjal.
Pada gagal ginjal akut, dialisa dilakukan hanya selama beberapa hari atau beberapa minggu,
sampai fungsi ginjal kembali normal. Dialisa juga bisa digunakan untuk membuang obat
tertentu atau racun dari tubuh.
Pada hemodialisis, sebuah tabung yang kecil yang dapat membawa darah ke dalam
sebuah alat yang disebut dengan dialyzer yang dibuat dari material yang berfungsi sebagai
membran semipermeabel. Pada peritoneal dialisis, membran semipermeabel ini diganti oleh
peritoneal membran pada tubuh yang banyak mengandung pembuluh darah dan dapat
digunakan untuk menyaring darah. Peritoneal ini terletak diperut yang kaya akan pembuluh
darah. Cara kerja dari hemodialisis peritoneal ini adalah dialysate diinfuskan ke dalam cateter
yang akan masuk ke dalam ruangan peritoneal. Ruangan ini merupakan ruang antara
abdomen dekat dengan usus halus. Pada prosedur yang umum digunakan, continous
ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), dialysate masih tertinggal di cavitas peritoneal
selama 4-6 jam dan sesudahnya dihisap dan diganti dengan dialysate yang baru. Secara
umum larutan dialysate diganti 4 kali setiap harinya dan membutuhkan sekitar 30 menit
untuk penghisapan dan penggantian dengan yang baru.
4
Tidak seperti hemodialisis dengan menggunakan alat (hemodializer), dialisis
peritoneal harus menggunakan konsentrasi glukosa yang tinggi akibat tekanan onkotik yang
rendah pada cavitas peritoneal. Akibatnya, glukosa yang tinggi akan terserap ke dalam tubuh
menimbulkan hiperglikemia dan hipertrigliserida. Selain itu, kelemahan dari metode ini
adalah infeksi pada cavitas peritoneal akibat dari kateter (peritonitis), penjendalan darah pada
kateter sehingga dapat menghambat kateter, perpindahan kateter dan abdominal hernia akibat
dari volume dialysat. Akan tetapi kelebihan dari metode ini adalah pengambilan darah
melalui pembuluh darah tidak dilakukan serta pembatasan diet tidak terlalu ketat.
Pada dialisis dengan menggunakan dialyzer, efek merugikan yang dapat ditimbulkan
antara lain infeksi pada pembuluh darah, penjendalan darah, hipotensi akibat aliran darah
ditarik keluar menuju dialyzer, kram pada otot terutama pada tangan, kaki dan lutut. Selain
itu, anemia juga dapat terjadi pada pasien dengan hemodialisis akibat hilangnya darah di
dalam dialyzer. Efek merugikan lainnya adalah beberapa pasien merasa pusing, lemah,
nausea, vomiting dan berkunang-kunang.
5
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita
dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut dialyzer.
Prosedur ini memerlukan jalan masuk ke aliran darah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka
dibuat suatu hubungan buatan diantara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui
pembedahan. Pada hemodialisa, darah penderita mengalir melalui suatu selang yang
dihubungkan ke fistula arteriovenosa dan dipompa ke dalam dialyzer.
Untuk mencegah pembekuan darah selama berada dalam dialyzer maka diberikan heparin.
Di dalam dialyzer, suatu selaput buatan yang memiliki pori-pori memisahkan darah
dari suatu cairan (dialisat) yang memiliki komposisi kimia yang menyerupai cairan tubuh
normal. Tekanan di dalam ruang dialisat lebih rendah dibandingkan dengan tekanan di dalam
darah, sehingga cairan, limbah metabolik dan zat-zat racun di dalam darah disaring melalui
selaput dan masuk ke dalam dialisat. Tetapi sel darah dan protein yang besar tidak dapat
menembus pori-pori selaput buatan ini. Darah yang telah dicuci lalu dikembalikan ke dalam
tubuh penderita. Dialyzer memiliki ukuran dan tingkat efisiensi yang berbeda-beda.
Mesin yang lebih baru sangat efisien, darah mengalir lebih cepat dan masa dialisa lebih
pendek (2-3 jam, sedangkan mesin yang lama memerlukan waktu 3-5 jam).
Sebagian besar penderita gagal ginjal kronis perlu menjalani dialisa sebanyak 3 kali/minggu.
6
Komplikasi Hemodialisa
Komplikasi Penyebab
7
DIALISA PERITONEAL
Pada peritoneal dialisa, yang bertindak sebagai penyaring adalah peritoneum (selaput
yang melapisi perut dan membungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan
yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring
melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil
yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu
tertentu sehingga limbah metabolik dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan
tersebut. Kemudian cairan dikeluarkan, dibuang dan diganti dengan cairan yang baru.
Biasanya digunakan selang karet silikon yang lembut atau selang poliuretan yang berpori
pori, sehingga cairan mengalir secara perlahan dan tidak terjadi kerusakan.
8
3. Dialisa peritoneal berpindah-pindah yang berkesinambungan.
Cairan dibiarkan di dalam perut dalam waktu yang lama, dan dikeluarkan serta
dimasukkan lagi sebanyak 4-5 kali/hari. Cairan dikemas dalam kantong polivinil
klorida yang dapat dikembangkempiskan. Jika kosong, kantong ini bisa dilipat tanpa
harus melepaskannya dari selang. Biasanya cairan harus diganti sebanyak 3 kali,
dengan selang waktu 4 jam atau lebih. Setiap pergantian memerlukan waktu 30-45
menit.
5. Infeksi, baik pada peritoneum maupun di kulit tempat selang terpasang (menyebabkan
terbentuknya abses). Infeksi biasanya terjadi karena prosedur dialisa yang kurang
steril. Untuk mengatasi infeksi diberikan antibiotik.
6. Hipoalbuminemia
8. Hipotiroidisme
9
11. Sembelit.
10
B. PRINSIP HEMODIALISIS
Hemodialisis merupakan salah satu dari 3 modalitas terapi pengganti pada Penyakit
Ginjal Kronik (PGK) stadiumV. Tiga modalitas terapi pengganti tersebut adalah
Hemodialisis, Dialisis Peritoneal, dan Cangkok atau Transplantasi Ginjal. Disebut terapi
pengganti karena tugasnya hanya menggantikan tugas dari ginjal pasien yang sudah tidak
berfungsi lagi, jadi bukan merupakan alat penyembuh. Definisi, PGK adalah kerusakan ginjal
(kidney damage) dengan disertai penurunan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG) lebih dari 3 bulan atau penurunan LFG kurang dari 60 mL/menit/1,73 m2 luas
permukaan tubuh tanpa kerusakan ginjal (kidney damage) lebih dari 3 bulan.1Penurunan LFG
atau kerusakan ginjal berlangsung progresif dari mulai stadiumI sampai dengan stadiumV.
Penurunan ini dapat berlangsung lambat atau cepat tergantung pada etiologi serta penanganan
yang dilakukan dalam menghambat progresi. Rincian mengenai stadium, PGK dan kaitannya
dengan LFG dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :
11
permukaan tubuh Ringan
III 3060 mL/menit/1,73 m2 luas Penurunan Fungsi
permukaan tubuh Sedang
IV 1530 mL/menit/1,73 m2 luas Penurunan Fungsi
permukaan tubuh Berat
V < 15 mL/menit/1,73 m2 luas Gagal Ginjal
permukaan tubuh
Terapi pengganti dilakukan pada stadiumV atau Gagal Ginjal. Terapi pengganti juga
dilakukan pada keempat stadium yang lain bila ada indikasi khusus seperti hiperkalemia,
edema paru akibat kelebihan cairan ekstrasel, asidosis metabolik berat sukar dikendalikan,
penurunan kesadaran, dan persiapan bedah bila terdapat gangguan elektrolit, peningkatan
ureum lebih dari 200 mg/dL, atau gangguan hemostasis.
PERSIAPAN
Persiapan perlu dilakukan sebelum tindakan hemodialisis dijalankan agar perlakuan
ini dapat berjalan dengan baik dan optimal. Persiapan ini dapat berupa nonmedik maupun
medik.
Persiapan NonMedik
Persiapan ini hanya dapat dilakukan bila pasien sudah diketahui menderita PGK
sebelum mencapai PGK stadiumV. Makna dari PGK perlu dijelaskan kepada pasien secara
bijak agar mereka mengerti bahwa PGK bersifat progresi menuju PGK stadiumV.
Persiapan Medik
Pengobatan anemia predialisis perlu dilakukan agar pada saat dilakukan
hemodialisis, perlakuan dialisis ini dapat dimulai dengan baik dan aman. Risiko kematian
pada pasien dalam dialisis ternyata menjadi lebih rendah terutama dalam 19 bulan pertama
bila pada masa predialisis sudah diberikan eritropoetin, makin tinggi hematokrit pada saat
dialisis dimulai makin rendah risiko kematian.2 Anemia pada PGK sudah mulai terlihat pada
stadiumIII. Menurut data dari NAHNESIII dalam populasi Amerika, diketahui bahwa
frekuensi anemia meningkat seiring meningkatnya stadium PGK: 1% pada PGK stadiumIII,
9% pada stadiumIV, dan 33% pada lakilaki atau 67% pada perempuan setelah mencapai
stadiumV.3
12
Setelah mencapai stadiumIV, perlu diberitahukan kepada pasien prediksi waktu
dalam mencapai stadiumV. Pada stadiumIV ini pasien diberitahu untuk melakukan
pemasangan shunt arterivena (Cimino) sebagai persiapan bila stadiumV tercapai untuk
keperluan hemodialisis.
Sebelum kita membicarakan ketiga proses ini perlu kita ketahui perangkat apa saja
terlibat dalam proses hemodialisis. Perangkat perangkat yang terlibat dan bahan bahan
yang digunakan adalah mesin hemodialisis, membran dialiser, pipa yang mengalirkan darah
dari pasien ke dialiser (pipaarteri) serta yang mengalirkannya kembali ke pasien (pipavena),
air bersih olahan, dan cairan dialisat.
13
Membran dialiser merupakan membran yang semi permeabel berupa membran yang
tidak membatasi pergerakan air dari kompartemen darah dialiser ke kompartemen
dialisat dialiser atau sebaliknya, akan tetapi membatasi pergerakan solut dari
kompartemen darah kekompartemen dialisat atau sebaliknya sesuai besarnya diameter
pori membran dialiser. Solut yang lebih besar dari diameter pori tidak bisa melakukan
pergerakan diantara kedua kompertemen tersebut. Berdasarkan pergerakan solut,
membran dialiser diklasifikasikan dalam low atau highflux dan low atau high
efficiency. Highefficiency ditujukan kepada membran selulose standar dengan luas
permukaan membran yang besar, dan lowefficiency adalah sebaliknya. Highflux
ditujukan kepada membran sintetik dengan pori yang besar sehingga memungkinkan
solut berdiameter besar dapat melaluinya, demikian sebaliknya pada lowflux. Jenis
membran dialiser dapat diklasifikasi juga atas membran terbuat dari selulose, selulose
yang diperkaya, dan membran sintetik. Membran yang terbuat dari selulose atau
disebut cuprophane merupakan membran generasi pertama. Membran yang terbuat
dari selulose diperkaya misalnya seluloseasetat atau selulosetriasetat ditujukan
untuk membuat membran tersebut lebih kompatibel dengan darah. Membran sintetik
merupakan membran yang kompatibel dengan darah dengan pori lebih besar dari
membran selulose. Ada lagi membran yang merupakan gabungan dari selulose dengan
sintetik. Luas permukaan membran juga ada beberapa jenis mulai dari ukuran 0,9 m2
hingga 1,6 m2.
Air bersih olahan merupakan air tanah yang dipakai untuk mengencerkan konsentrat
cairan dialisat. Air tanah tersebut harus diolah dengan memakai alat dan bahan
tertentu sehingga memenuhi persyaratan untuk dipakai. Persyaratan yang dibutuhkan
adalah sama dengan persyaratan air minum yaitu persyaratan fisik, mikrobiologi,
kimiawi, dan radioaktip. Pengolahan air sampai bisa digunakan melalui beberapa
tahapan yaitu saringan kasar, karbon, pelunak air, reverseosmosis, deioniser, dan
saringan ultra (Gambar 1).5 Fungsi masing-masing tahapan itu adalah : (1) saringan
kasar untuk menahan pasir; (2) karbon untuk mengeliminasi chloramin yang sangat
toksik; (3) pelunak air atau water softener digunakan untuk mengganti ionkalsium
dan magnesium dengan natrium; (4) reverseosmosis atau RO digunakan untuk
menyaring kontaminan bakteri, virus, dan endotoksin; (5) deioniser untuk menukar
kation dengan ionH dan anion dengan ionOH sehingga membentuk air yang sangat
14
murni; dan (6) saringanultra untuk menyaring bakteri atau virus yang masih
tertinggal.
Gambar 1. Bagan tahap pengolahan air untuk hemodialisis mulai dari air tanah hingga masuk
ke dalam bak penampung air siap pakai.5
1. Difusi
Difusi adalah berpindahnya solut melewati membran semipermeabel dari
kompartemen cairan dengan kadar solut yang tinggi ke dalam kompartemen cairan dengan
kadar solut yang lebih rendah. Dalam hal hemodialisis, berpindahnya solut dari kompartemen
dialisat ke kompartemen darah dan demikian sebaliknya. Efisiensi gerakan solut ini makin
tinggi dengan makin luasnya permukaan membran semipermeabel tersebut yang disebut
dengan istilah highefficient. Besarnya jumlah solut dengan berbagai ukuran bergerak melalui
membran semipermeabel tergantung kepada diameter pori pada membran. Makin besar
diameter pori makin banyak jumlah solut yang dapat berpindah atau disebut dengan istilah
highflux. Membran yang terbuat dari selulose memiliki diameter pori lebih kecil
dibandingkan dengan membran yang sintetik. Kemampuan perpindahan solut ini juga
dipengaruhi oleh cepatnya aliran darah dalam kompartemen darah dan aliran dialisat dalam
kompartemen dialisat. Pada proses hemodialisis, arah aliran darah dan arah aliran cairan
dialisat adalah berlawanan. Makin cepat aliran darah maupun aliran dialisat, perpindahan
solut makin lebih efisien.
15
2. Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi adalah berpindahnya air dari kompartemen darah ke kompartemen
dialisat. Mesin hemodialisis mampu menciptakan tekanan negatif dalam kompartemen
dialisat, dialiser tipe hollowfiber, sehingga air dari kompartemen darah akan bergerak menuju
kompartemen dialisat. Perbedaan tekanan dalam kedua kompartemen tersebut disebut dengan
istilah transmembrane pressure (TMP). Makin tinggi TMP, makin besar volume air yang
bergerak ke kompartemen dialisat. Besarnya TMP dapat diatur pada skala ultrafiltrasi pada
mesin hemodialisis. Dengan demikian besarnya volume air yang akan dikurangi dari tubuh
pasien dapat diatur sesuai dengan yang dinginkan.
3. Konveksi
Konveksi adalah bergeraknya solut dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat
dengan mengikuti pergerakan air. Dapat dianalogikan dengan bergeraknya sampah mengikuti
gerakan air sungai.
Sebagai kesimpulan dari ketiga proses ini maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kliren atau bersihan dialiser terhadap toksin uremik terutama dipengaruhi oleh proses
difusi, lalu ditambah oleh proses konveksi. Jenis dan luas permukaan membran,
kecepatan aliran darah dan dialisat berpengaruh pada kliren.
2. Pergerakan besaran volume air dari kompartemen darah dipengaruhi oleh tingginya
TMP.
APLIKASI
Aplikasi ketiga proses difusi, konfeksi, dan ultrafiltrasi pada pasien yang menjalani
hemodialisis dapat diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan keluaran yang baik.
Keluaran yang baik ini juga dipengaruhi oleh kemampuan sumber daya manusia (SDM)
dalam bentuk tim yaitu Dokter, Perawat Dialisis, Ahli Nutrisi, dan Teknisi Mesin. Edukasi
yang baik pada pasien akan menghasilkan kerjasama yang baik sehingga tujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien akan tercapai. Beberapa hal yang harus diperhatikan
untuk mencapai tujuan ini adalah:
16
Penetapan berat badan perlu dilakukan untuk mencegah masalah kelebihan cairan ini. Proses
ultrafiltrasi untuk mengurangi cairan ekstrasel pada hemodialisis sangat berperan dalam
penetapan berat badan kering.
Definisi umum berat badan kering adalah berat badan terendah yang dapat dicapai
setelah proses ultrafiltrasi dimana bila berat badan diturunkan lagi akan menimbulkan gejala
hipovolemia. Proses penetapan berat badan kering harus dilakukan secara bertahap oleh
karena penurunan berat badan yang terlalu besar pada saat hemodialisis akan menimbulkan
gejala hipovolemia walaupun berat badan kering belum tercapai. Setiap perlakuan
hemodialisis dianjurkan tidak melakukan ultrafiltrasi lebih dari 10% berat badan, yang
terbaik adalah antara 510%. Bila dilakukan edukasi yang baik pada pasien dalam hal
mengasup air berlebihan, penetapan berat badan kering tidak membutuhkan waktu yang
lama. Penetapan berat badan kering juga sangat penting untuk mencegah beban jantung yang
berlebihan sehingga merupakan bagian dari pencegahan komplikasi kardiovaskuler. Bila
berat badan kering sudah tercapai, maka dianjurkan berat badan badan pasien tidak
meningkat lebih dari 5% berat badan kering pada hemodialisis berikutnya.
Sindrom Disekuilibrium
Sindrom ini merupakan komplikasi lain yang harus diperhatikan, khususnya bagi
pasien yang baru pertama kali menjalani hemodialisis. Keadaan ini dapat terjadi oleh karena
adanya perbedaan osmolalitas antara cairan ekstrasel dan cairan sel otak. Bila urea cairan
ekstrasel diturunkan secara cepat, maka urea di dalam cairan sel otak tidak dapat segera
mengikuti penurunan ini, sehingga osmolalitas cairan sel otak lebih tinggi. Osmolalitas cairan
sel otak yang tinggi akan mengerakkan air dari ekstrasel menuju intrasel sehingga terjadi
edema sel otak. Edema sel otak inilah yang menimbulkan gejala sindrom disekuilibrium
berupa sakit kepala hingga kesadaran menurun bahkan kematian. Penelitian yang dilakukan
Silver SM et al pada tikus, menunjukkan penurunan 53% urea dalam plasma hanya diikuti
oleh penurunan urea dalam otak sebesar 13%.6 Pada pasien yang baru dianjurkan pada
awalnya melakukan hemodialisis selama 2 jam setiap hari hingga 34 hari dengan aliran
darah 150200 mL/menit memakai dialiser dengan luas permukaan membran 0,91,2 m2.
Bila tidak ada tanda disekuilibrium, kecepatan aliran darah kemudian dapat ditingkatkan
secara perlahan yaitu dinaikkan 50 mL/menit setiap sesi hemodialisis hingga target 250300
mL/menit tercapai dengan frekuensi hemodialisis 2 kali @ 5 jam atau 3 kali @ 4 jam
seminggu serta luas permukaan membran dialiser yang lebih besar.
17
Adekuasi Hemodialisis
Adekuasi hemodialisis memiliki peran yang sentral atau merupakan tujuan utama
dalam melaksanakan dialisis disemua pusat dialisis.7 Tanpa memiliki tujuan seperti ini adalah
suatu pekerjaan yang siasia bagi pusat dialisis tersebut. Tercapainya dialisis yang adekuat
sudah tentu menuntut berbagai faktor antara lain sumber daya manusia yang trampil dan baik,
dialisis masih merupakan pengobatan biaya tinggi, ketersediaan dialiser yang cukup dalam
berbagai luas permukaan membran, pemeriksaan laboratorium yang teratur, dan waktu
dialisis yang cukup yaitu minimal 3 kali seminggu @ 4 jam. Bila seluruh faktor ini tidak
terpenuhi, tidaklah mungkin bagi pusat dialisis tersebut mengharapkan seluruh pasiennya
mencapai dialisis yang adekuat.
Penilaian adekuasi hemodialisis dapat diukur secara klinis yaitu dengan melihat
gejalagejala akibat uremia yang ada pada pasien atau dapat diukur secara matematik. Kedua
pengukuran ini tidak bisa saling berdiri sendiri. Pengukuran dengan melihat gejala dapat
memberikan hasil yang keliru karena banyak pasien sekarang sudah memakai ESA
(Erythropoiesisstimulating agents) yang dapat menutupi gejala uremia akibat tidak ada
anemia lagi, demikian juga pengukuran secara matematis tidak dapat memberi kesimpulan
yang sempurna. Penilaian adekuasi hemodialisis sebaiknya menggunakan kedua parameter
ini.
Parameter Klinis
Gejala uremia yang timbul akibat PGK (Penyakit Ginjal Kronik) Stadium V
merupakan gambaran klinis yang diamati pada pasien yang menjalani dialisis kronik. Secara
ideal seluruh gejala tersebut menghilang selama program dialisis berlangsung. Bila gejala
tersebut masih ada yang terlihat, ini menunjukkan bahwa dialisis yang dilakukan belum
adekuat. Anemia yang teratasi dengan pemberian ESA dapat menghilangkan sebagian gejala
akibat uremia seperti gangguan kognitif membaik, perasaan lemah dan sesak napas hilang
yang menyebabkan penilaian adekuasi menjadi tersamar.
Gejala uremia yang terlihat pada PGK lanjut antara lain anoreksia, nausea, muntah,
insomnia, kelebihan air, hiperkalemia, asidosis metabolik, hipertensi, anemia, perikarditis,
pruritus, neuropati perifer, gangguan kognitif, gangguan tulang, penyakit pembuluh darah
perifer, kejang, dan koma. Dialisis disebut adekuat bila seluruh gejala uremia ini dapat
dicegah atau dihilangkan.
18
Parameter Matematik
Laporan dari The National Cooperative Dialysis Study (NCDS) tahun 1981
menjelaskan bahwa timed average urea concentration (TACurea) dan the protein catabolic
rate (PCR) merupakan penanda yang penting terhadap morbiditas dan mortalitas pasien
hemodialisis.8 TACurea = {Td (C1+C2) + Id (C2+C3)} /2(Td+Id) dimana Td adalah waktu
dialisis, C1 adalah BUN predialisis pertama, C2 adalah BUN posdialisis pertama, C3
adalah predialisis BUN dialisis berikutnya, dan Id adalah interval waktu antara 2 dialisis.
TAC yang rendah pada pasien dialisis dengan gizi yang baik memberikan hasil yang baik.
PCR merupakan penjumlahan urea, protein, dan asam amino dalam feses dengan dalam
dialisat. Pada pasien yang adekuat dialisisnya, PCR (gram/hari) sama dengan asupan protein
sehari. PCR yang disebut juga sebagai protein equivalent of nitrogen appearance (PNA)
dipakai untuk mengkaji asupan protein pasien dialisis. Rumusnya adalah 0,22 + {(0,036 x
peningkatan BUN interdialisis x 24)} / jam interval interdialisis. Bila pasien masih
mengeluarkan urin maka rumus di atas ditambahkan lagi dengan (gram Ureanitrogen urin x
150) / (jam interval interdialisis X berat badan dalam kg). Satuan dari PCR adalah gram/hari.
Target PCR adalah 11,2 gram/hari, sesuai rekomendasi dari American dan European
Hemodialysis Guidelines.
Gotch FA dan Sargent JA pada tahun 1985 mengusulkan pemakaian Kliren Dialiser
terhadap urea dengan rumus Kt/V untuk menilai adekuasi hemodialisis.9 K merupakan nilai
kliren terhadap urea yang diberikan oleh pabrik pembuat dialiser, t adalah waktu lamanya
dialisis, dan V adalah volume distribusi urea dalam tubuh yang sama dengan volume total air
dalam tubuh. Secara matematik, Kt/V dapat dihitung dengan rumus: ln (R 0.03) + [(4
3.5R) x (UF W)]. R adalah rasio BUN posdialisis dan BUN predialisis, UF adalah volume
ultrafiltrasi dalam liter, dan W adalah berat badan posdialisis.
Cara sederhana lain yang digunakan untuk menilai adekuasi hemodialisis adalah
menghitung apa yang disebut dengan urea reduction ratio (URR). URR = (1 [BUN
posdialisis BUN predialisis]). Para pakar lain ada juga yang memakai apa yang disebut
dengan percent reduction in urea (PRU) yaitu hasil URR dikalikan dengan 100 untuk
memperoleh nilai dalam persen.
Menghitung Kt/V dapat juga dilakukan dengan memakai PRU yaitu:
19
atau Kt/V = (0.024 x PRU) 0.276
Pengambilan contoh darah untuk mengukur BUN posdialisis sangat penting karena
akan mempengaruhi hasil. Cara yang banyak dipakai adalah dengan mengambil sampel darah
pada saat detik ke15 setelah aliran darah dilambatkan (Qb 100 ml/menit) pada akhir dialisis.
Kerugian cara ini adalah bahwa kadar urea dalam sampel ini bukan merupakan urea yang
sudah terbagi seimbang di dalam maupun di luar sel sehingga menghasilkan perhitungan
melebihi 0,2 kali dari yang sebenarnya. Berdasarkan penelitian yang kemudian dilakukan,
sampel darah yang diambil pada menit ke30 posdialisis (equilibrated postdialysis BUN)
akan memberikan hasil yang akurat.
Target Kt/V yang dianjurkan oleh K/DOQI tahun 2006 (singlepool Kt/V) pada pasien
hemodialisis 3 kali seminggu, 4 jam per sesi, dengan sisa fungsi ginjal yang minimal (GFR <
2 mL/menit) adalah 1,4 atau PRU 70% dan paling sedikit 1,2 atau PRU 65%.10 Pengukuran
Kt/V dianjurkan dilakukan setiap satu bulan. Bila resep yang diberikan untuk mendapatkan
dialisis yang adekuat tidak sama dengan hasil penghitungan adekuasi hemodialisis setelah
dialisis dilakukan, maka perlu dilakukan evaluasi untuk mendapatkan penyebab ketidak
berhasilan tersebut. KDOQI 2000, menganjurkan langkah yang harus ditempuh antara lain:11
Integritas fistula
Evaluasi lama waktu dialisis apakah sesuai dengan yang direncanakan.
Teknik pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan BUN
Mesin dialisis tidak bekerja sesuai dengan yang diharapkan misalnya kalibrasi mesin
tidak baik, Qb yang rendah.
Adanya episode hipotensi pada pasien sehingga waktu lama dialisis tak sesuai
rencana.
Kliren dialiser yang tak sesuai
Antikoagulan
Pemberian antikoagulan berperan penting dalam proses hemodialisis agar tidak terjadi
bekuan darah pada aparatus hemodialisis. Heparin merupakan antikoagulan yang paling
sering diberikan. Dosis heparin yang diberikan secara ideal dimonitor dengan pemeriksaan
APTT. APTT diharap sebesar 2 kali APTT kontrol. Dalam prakteknya, APTT jarang diperiksa
kecuali pada kasus dengan potensial berdarah atau riwayat perdarahan pada hemodialisis
sebelumnya.12 Protokol yang biasa dilakukan pada hampir seluruh unit dialisis adalah:
20
I. Antikoagulan standar.
Diberikan bolus heparin 2500 unit pada awal hemodialisis lalu dilanjutkan dengan pemberian
1000 unit per jam secara kontinyu selama hemodialisis berjalan.
Regional heparinisasi
Rejimen ini memakai protamin diberikan pada pipa vena dialiser untuk menetralkan
heparin.
KESIMPULAN
1. Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti pada PGK stadiumV.
21
2. Proses yang terjadi selama hemodialisis serta aplikasinya perlu dipahami untuk
memperoleh tujuan utama hemodialisis yaitu peningkatan kualitas hidup pasien.
PENDAHULUAN(1,2)
Gagal ginjal kronik adalah penyakit ginjal yang berlangsung lama, progresif dan
irreversible dan disertai anemia dan hipertensi. Gagal ginjal dapat diklasifikasikan dalam lima
tingkatan, adapun pembagianya berdasarkan penurunan nilai GFR (Glomerular Filtration
Rate). Semakin rendah nilai GFR maka tingkat kerusakan ginjal akan semakin tinggi,
sehingga usaha usaha pengobatan konservatif yang berupa diet, pembatasan minum, dan
obat-obatan tidak memberi pertolongan yang berarti. Sehingga dibutuhkan suatu terapi
pengganti dalam penatalaksanaanya.
Terapi pengganti adalah metoda pengobatan yang diberikan kepada pasien gagal
ginjal yang tidak mungkin lagi diobati secara konservatif. Terapi pengganti ginjal dapat
berupa dialysis dan transplantasi ginjal. Dialisis dapat dilakukan dalam bentuk hemodialisis
dan peritoneal dialysis. Sayangnya pengobatan dialysis hanya dapat menggantikan sebagian
fungsi ginjal, sedangkan pengobatan dengan transplantasi ginjal dapat menggantikan seluruh
fungsi ginjal.
22
Gagal ginjal kronik yang mulai perlu dialysis adalah penyakit ginjal kronik yang
megalami penurunan fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 15
ml/menit. Pada keadaan ini fungsi ginjal sudah sangat menurun sehingga terjadi akumulasi
toksin dalam tubuh yang disebut uremia. Pada keadaan uremia dibutuhkan terapi pengganti
ginjal untuk mengambil alih fungsi ginjal dalam mengeliminasi toksin tubuh sehingga tidak
terjadi gejala yang berat.
Hemodialisis di Indonesia mulai tahun 1970 dan sampai sekarang telah dapat
dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan
panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun .Indonesia termasuk Negara dengan
tingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi.Saat ini jumlah penderita gagal ginjal
mencapai 4500 orang. Dari jumlah itu banyak penderita yang meninggal dunia akibat tidak
mampu berobat atau cuci darah (hemodialisis) karena biaya yang sangat mahal.
HEMODIALISIS(1)
Pada GGT, hemodialisa dilakukan dengan mengalirkan darah kedalam suatu tabung
ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah.Darah pasien di
pompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan
(artificial)dengan kompartemen dialisat.Kompartemen dialisat dialiri cairan cairan dialisis
yang bebas pirogen ,berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak
mengandung sisa metabolisme nitrogen.Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan
mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi
kearah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama dikedua kompartemen.
Menurut Price dan Wilson (1995) dialisa adalah suatu proses dimana solute dan air
mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju
kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik utama yang
digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air
dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan
tertentu.
23
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan sebagai
pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel (dializer) ke
dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar volume
cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik
menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui
membran. Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi
dializer yang dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang dominan
dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox, 1997).
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang
dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk membersihkan
darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh.
Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan
antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan (NKF, 2006).
b. Indikasi
Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus dimulai.
Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan penderita yang terus
diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila
penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau
memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar
kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro
filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus
berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.
24
Kemudian Thiser dan Wilcox (1997) menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya
dimulai ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan kadar
kreatinin serum 810 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia dan secara mental
dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan hemodialisa. Selanjutnya Thiser dan
Wilcox (1997) juga menyebutkan bahwa indikasi relatif dari hemodialisa adalah azotemia
simtomatis berupa ensefalopati, dan toksin yang dapat didialisis. Sedangkan indikasi khusus
adalah perikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik (oedem pulmonum), dan asidosis yang tidak dapat diatasi.
c. Kontra Indikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi
yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik.
Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak
mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas
hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah
penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan
ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).
d. Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
e. Proses Hemodialisa
25
Komposisi dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan
aliran darah dan larutan mempengaruhi pemindahan larutan (Tisher & Wilcox, 1997).
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu saringan
sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk menyaring dan
membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa metabolisme yang tidak
diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai
tempat suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin hemodialisa (NKF, 2006).
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran semipermeabel
yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain untuk dialisat. Darah
mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah dialisat ataupun dalam arah yang sama
dengan arah aliran darah. Dializer merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang
terdiri dari ribuan serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian
tengah tabung-tabung kecil ini, dan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat
kecil dan kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler
(Price & Wilson, 1995).
Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh.
Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk ke dalam
sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran semipermeabel (dializer) yang
terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan
dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh
dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt).
Selanjutnya Price dan Wilson (1995) juga menyebutkan bahwa suatu sistem dialisa
terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk dialisat. Darah mengalir dari
pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line), melalui dializer hollow fiber dan
kembali ke pasien melalui jalur vena. Dialisat membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi
dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat
dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa.
Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut
berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi
sepanjang membran semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi, osmosis, dan
ultrafiltrasi.
26
Kemudian menurut Price dan Wilson (1995) komposisi dialisat diatur sedemikian
rupa sehingga mendekati komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar dapat
memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur
yang umum terdiri dari Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl- , asetat dan glukosa. Urea, kreatinin,
asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke dalam dialisat karena unsur-
unsur ini tidak terdapat dalam dialisat. Natrium asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam
dialisat, akan berdifusi ke dalam darah. Tujuan menambahkan asetat adalah untuk
mengoreksi asidosis penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh pasien menjadi
bikarbonat. Glukosa dalam konsentrasi yang rendah ditambahkan ke dalam dialisat untuk
mencegah difusi glukosa ke dalam dialisat yang dapat menyebabkan kehilangan kalori dan
hipoglikemia. Pada hemodialisa tidak dibutuhkan glukosa dalam konsentrasi yang tinggi,
karena pembuangan cairan dapat dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik
antara darah dengan dialisat.
Tekanan darah pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit
ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk
membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit) merupakan
aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan pada jalur arteri
melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah. Perangkap bekuan darah atau
gelembung udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke
dalam aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern
dilengkapi dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (Price &
Wilson, 1995).
27
Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan waktu 35 jam dan dilakukan 3
kali seminggu. Pada akhir interval 23 hari diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air,
dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena
sebagian sel darah merah rusak dalam proses hemodialisa.
Price dan Wilson (1995) menjelaskan bahwa dialisat pada suhu tubuh akan
meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan hemolisis sel-sel
darah merah sehingga dapat menyebabkan pasien meninggal. Robekan pada membran
dializer yang mengakibatkan kebocoran kecil atau masif dapat dideteksi oleh fotosel pada
aliran keluar dialisat. Hemodialisa rumatan biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan lama
pengobatan berkisar dari 4 sampai 6 jam, tergantung dari jenis sistem dialisa yang digunakan
dan keadaan pasien.
Gambar 2.1
Skema proses hemodialisa
f. Komplikasi Hemodialisa
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan
hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain :
1) Kram otot
28
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa
sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali
terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang
tinggi.
2) Hipotensi
3) Aritmia
5) Hipoksemia
6) Perdarahan
29
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat
dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama
hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
7) Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan
sakit kepala.
30
PENATALAKSANAAN HEMODIALISIS
Indikasi hemodialisis(1,4)
Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulusnya sudah
kurang dari 5ml /menit,yang didalam praktek dianggap demikian bila(TKK) < 5ml
/menit.Keadaan pasien yang hanya menpunyai TKK<5ml/menit tidak selalu sama ,sehingga
dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut dibawah :
-
LFG 10ml /menit/1,73m2
Indikasi absolut untuk dimulainya hemodialisis:
-Perikarditis
-Uremic Bleeding
31
a.Tentukan tinggi badan dan berat badan pasien untuk mengukur volume
c.Lihat koefisien urea dari dializer yang dipakai sesuai dengan laju aliran darah
diinginkan (200-300).
3.Target Kt/V yang ideal adalah 1,2 (URR 65%),untuk HD 3 x perminggu selama 4 jam
perkali .
Keterangan:
Ln = Logaritma natural
BB pasca dialisis
tiap bulan)
32
Durasi HD (2)
Durasi HD disesuaikan dengan kebutuhan individu .Tiap HD dilakukan 4-5 jam dengan
frekuensi 2x perminggu.Frekuensi HD dapat diberikan 3x perminggu dengan durasi Selama
4 jam .Idealnya 10-15 jam /minggu
Komplikasi HD
A.Selama HD
1.Yang sering
- Hipotensi :20-30%
- Crams :5-20%
- Mual / muntah :5-15%
- Sakit kepala :5%
- Chest pain :2-5%
- Back pain :2-5%
- Gatal-gatal :5%
- Panas :<1%
2.Kurang sering tapi serius
33
udara.
4.Hipoksemia
Komplikasi Penyebab
34
Kadar kalium & zat lainnya yg abnormal dalam
Gangguan irama jantung
darah
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr.dr. Parlindungan Siregar SpPD, KGH, FINASIM, Editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid 1, Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal. 579-589.
2. http://b11nk.wordpress.com/hemodialisa
3. http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/09/perawatan-hemodialisa
4. http://www.suryahusadha.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=71&Itemid=104
5. http://annurhospital.com/web/index.php?
option=com_content&view=article&id=55&Itemid=84
6. http://medicastore.com/penyakit/105/Dialisa.html
7. Burnama, Erawati F. 2007, Protap Perawatan Klien Haemodialisa. Instalasi Dialisis
RSUD Dr. Doris Sylvanus. Palangka Raya.
8. Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Ed.3. Jakarta : EGC.
9. http://medicastore.com/penyakit_subkategori/9/index.html
10. Nursalam, M.Nurs, DR (Hons). 2006. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika.
11. Burgess DN, Bakris GL. Renal and electrolyte disorders. In : Stein JH (ed). Internal
Medicine. Diagnosis and Therapy. Norwalk : Appleton and Lange; 1993. p. 134-6.
12. Fauci, A. S., Kasper, D. L., Longo, D. L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J.L.,
et al. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17 th ed. New York: The McGraw-Hill
Companies, 2008
13. harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/.../gagal-ginjal-kronik
35
14. Nahas AM. Chronic Kidney Disease: the global challenge. Lancet 2005, p. 365:331-
340.
15. tsuki.files.wordpress.com/2007/01/nefrologi-6-ggapgk.ppt
16. www.ygdi.org/kidney-diseases/.../diet-rendah-protein.html
36