TINJAUAN PUSTAKA
Taeniasis dan sistiserkosis merupakan infeksi parasit yang umum dan dapat
ditemukan pada seluruh bagian dunia (CFSPH, 2005). Sekitar 50 juta orang di
seluruh dunia terinfeksi Taenia saginata dan Taenia solium. Sekitar 2-3 juta orang
terinfeksi cacing Taenia solium (White, 1997; CFSPH, 2005), 45 juta orang
terinfeksi Taenia saginata, dan sekitar 50 juta orang mengidap sistiserkosis dari
Taenia solium (CFSPH, 2005).
Taenia solium merupakan infeksi yang endemik pada Amerika Tengah dan
Selatan serta beberapa negara di Asia Tenggara seperti Korea (Lee et al., 2010),
Thailand (Anantaphruti et al., 2007), India, Filipina, Indonesia, Afrika (Carabin et
al., 2009), Eropa Timur, Nepal, Bhutan, dan China (Rajshekhar et al., 2003;
WHO, 2009). Prevalensi tertinggi ditemukan pada Amerika Latin dan Afrika.
Bahkan, prevalensi beberapa daerah di Mexico dapat mencapai 3,6% dari
populasi umum (Tolan, 2011). Bolivia merupakan salah satu negara dengan
prevalensi tertinggi selain Brazil, Ekuador, Mexico, dan Peru di America Latin
(sesuai dengan kriteria Pan American Health Organization, negara-negara dengan
tingkat lebih dari 1% dianggap memiliki tingkat prevalensi tinggi) (Yanez, 2001).
0,1% hingga 10% seperti negara pada daerah Asia Tenggara seperti Thailand,
India, Vietnam, dan Filipina. Daerah dengan prevalensi rendah (sekitar 1%
penderita) seperti beberapa negara di Asia Tenggara, Eropa, serta Amerika Tengah
dan Selatan (Sheikh, et al., 2008; Del Brutto, 2005).
Sistiserkosis dan taeniasis pada Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa
merupakan penyakit yang jarang. Prevalensi di Amerika Serikat kurang dari 1%
karena kebanyakan ternak pada Amerika Serikat bebas dari parasit (Tolan, 2011).
Insidens sistiserkosis pada Amerika Serikat diperkirakan hanya
1.000 kasus setiap tahunnya (Tolan, 2011; CFSPH, 2005; Subahar et al., 2005).
Adanya insidens pada Amerika Serikat diduga karena peningkatan jumlah imigran
dari Meksiko dan negara berkembang lain yang datang ke negara tersebut (White,
1997).
Skoleks Taenia solium berbentuk bulat, dengan garis tengah 1 mm, mempunyai 4
buah batil isap dengan rostelum yang dilengkapi dengan 2 deret kait yang
melingkar dan berdiameter 5 mm, masing-masing sebanyak 25-30 buah (Handojo
dan Margono, 2008b).
Leher cacing Taenia solium pendek, berukuran panjang antara 5-10 milimeter
(Soedarto, 2008). Strobila terdiri dari proglotid yang imatur, matur, dan gravid.
Proglotid imatur ukurannya lebih lebar daripada panjangnya, sedangkan proglotid
matang berbentuk hampir persegi empat (Ideham dan Pusarawati, 2007) dan
berukuran 12 mm x 6 mm (Soedarto, 2008).
Dalam proglotid yang matang terdapat testis berupa folikel yang tersebar di
seluruh dorsal tubuh dan jumlahnya mencapai 150-200. Proglotid matang juga
mempunyai lubang genital yang terletak di dekat pertengahan segmen. Ovarium
terletak di bagian posterior, berbentuk 2 lobus yang simetris dan uterus terletak di
tengah seperti gada (Ideham dan Pusarawati, 2007).
Pada proglotid gravid, terdapat 5-10 cabang lateral dari uterus di tiap sisi segmen.
Segmen gravid dilepaskan dalam bentuk rantai yang terdiri atas 5-6 segmen setiap
kali dilepaskan (Soedarto, 2008).
Segmen cacing ini dapat mencapai 2000 buah. Segmen matur mempunyai
ukuran panjang 3-4 kali ukuran lebar. Segmen gravid paling ujung berukuran 0,5
cm x 2 cm. Lubang genital terletak di dekat ujung posterior segmen. Uterus pada
segmen gravid uterus berbentuk batang memanjang di pertengahan segmen,
mempunyai 1530 cabang di setiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan satu
demi satu, dan tiap segmen gravid dapat bergerak sendiri di luar anus. Segmen
gravid Taenia saginata lebih cenderung untuk bergerak dibandingkan dengan
segmen gravid cacing pita babi (CFSPH, 2005).
Manusia terinfeksi dengan cara makan daging babi mentah atau kurang
masak, yang mengandung larva sistiserkus (Ideham dan Pusarawati, 2007;
Wandra et al., 2007; Tolan, 2011). Di dalam usus manusia, skoleks akan
mengadakan eksvaginasi dan melekatkan diri dengan alat isapnya pada dinding
usus, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian membentuk strobila.
Dalam waktu 5-12 minggu atau 3 bulan, cacing Taenia solium menjadi dewasa
dan mampu memproduksi telur. Seekor cacing Taenia solium dapat memproduksi
50.000 sampai 60.000 telur setiap hari (Tolan, 2011; Garcia et al., 2003; Garcia et
al., 2002; Ideham dan Pusarawati, 2007).
Proglotid yang telah lepas, telur atau keduanya akan dilepaskan dari
hospes definitif (manusia) dalam bentuk feses. Kemudian babi akan terinfeksi jika
pada makanannya telah terkontaminasi dengan telur yang berembrio atau
proglotid gravid (Pearson, 2009a; Wandra et al., 2007).
Taeniastatin dan molekul parasit juga dapat menekan respon imun seluler
dengan menghambat proliferasi limfosit dan fungsi makrofag. Gejala akan muncul
ketika kista tidak dapat lagi memodulasi respons penjamu (White, 1997).
2.6. Gejala Klinik Taeniasis sp
2.6.1. Gejala Klinik Taeniasis solium
Kait-kait pada skoleks Taenia solium umunya tidak banyak menimbulkan
gangguan pada dinding usus tempatnya melekat (Handojo dan Margono, 2008b).
Penderita taeniasis umumnya asimptomatik (Pearson, 2009a; Tolan, 2011;
Handojo dan Margono, 2008b) atau mempunyai keluhan yang umumnya ringan,
berupa rasa tidak enak di perut, gangguan pencernaan, diare, konstipasi, sakit
kepala, anemia (Soedarto, 2008), nyeri abdomen, kehilangan berat badan, malaise,
anoreksia (Tolan, 2011), peningkatan nafsu makan (CFSPH, 2005), rasa sakit
ketika lapar (hunger pain), indigesti kronik, dan hiperestesia (Ideham dan
Pusarawati, 2007). Sangat jarang terjadi komplikasi peritonitis akibat kait yang
menembus dinding usus (Soedarto, 2008). Sering dijumpai kalsifikasi pada
sistiserkus namun tidak menimbulkan gejala, akan tetapi sewaktu-waktu terdapat
pseudohipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi, dan eosinofilia
(Handojo dan Margono, 2008b).
Gejala klinik yang berhubungan dengan abdomen lebih umum terjadi pada
anak-anak dan umumnya akan berkurang dengan mengkonsumsi sedikit makanan.
Pada anak-anak, juga dapat terjadi muntah, diare, demam, kehilangan berat badan,
dan mudah marah. Gejala lainnya yang pernah dilaporkan adalah insomnia,
malaise, dan kegugupan (CFSPH, 2005).
Adapun gejala yang muncul disebabkan oleh karena adanya iritasi pada
tempat perlekatan skoleks serta sisa metabolisme cacing yang terabsorpsi yang
menyebabkan gejala sistemik dan intoksikasi ringan sampai berat (Ideham dan
Pusarawati, 2007).
Gejala timbul tergantung dari jumlah dan lokasi larva (CFSPH, 2005).
Neurosistiserkosis merupakan bentuk sistiserkosis yang menyerang sistem saraf
pusat (Tenzer, 2009; CFSPH, 2005; Garcia et al., 2002) dan paling
membahayakan. Pada kasus tertentu, gejala yang timbul mungkin timbul sangat
lambat, tetapi progresif. Namun, dapat juga gejala timbul secara tiba-tiba akibat
obstruksi cairan serebrospinal akibat adanya sistiserkus yang melayang-layang di
dalam cairan (CFSPH, 2005). Gejala yang paling sering adalah sakit kepala
kronik dan kejang atau epilepsi (70-90%) (Wiria, 2008; CFSPH, 2005; Tenzer,
2009; WHO, 2009; Gracia et al., 2002; Del Brutto, 2005). Gejala lainnya yang
mungkin timbul adalah peningkatan tekanan intrakranial, hidrosefalus, tanda
neurologis fokal, perubahan status mental (Pearson, 2009a; Tenzer, 2009), mual,
muntah (CFSPH, 2005; Tenzer, 2009), vertigo, ataxia, bingung, gangguan
perilaku, dan demensia progresif (CFSPH, 2005), dan sakit kepala kronik (Tenzer,
2009). Sedangkan apabila neurosistiserkosis menyerang sumsum tulang belakang
dapat menyebabkan kompresi, transverse myelitis, dan meningitis. Namun kasus
ini jarang (CFSPH, 2005).
Kriteria Mayor:
a. Penemuan berdasarkan pemeriksaan pencitraan, di mana ditemukan sistiserkus
berukuran 0,52 cm.
b. Peningkatan kinerja pengawasan daging yang dijual, agar bebas larva cacing
(sistiserkus). Pengawasan yang dilakukan pada negara endemis biasanya adalah
inspeksi yang dilakukan di rumah potong. Namun, inspeksi yang dilakukan tidak
dapat menyaring semua kasus yang sangat ringan (Garcia et al., 2003; Soedarto,
2008; Ideham dan Pusarawati, 2007).
e. Pada daerah endemik, sebaiknya tidak memakan buah dan sayur yang tidak
dimasak yang tidak dapat dikupas (Soedarto, 2008).
f. Hanya meminum air yang telah dikemas dalam botol, air yang disaring, atau air
yang dididihkan selama 1 menit (Soedarto, 2008).
h. Pada babi, dapat dilakukan pemberian oxfendazole oral (30 mg/kg BB). Bila
perlu, vaksinasi dengan TSOL18, setelah dilakukan eliminasi parasit dengan
kemoterapi (WHO, 2009).
2.9. Daging
Daging adalah semua bagian dari hewan yang diinginkan atau telah
ditetapkan aman dan sesuai dengan konsumsi manusia. Daging terdiri dari air,
sedikit karbohidrat, protein dan asam amino, mineral, lemak, vitamin dan
komponen bioaktif lainnya (FAO, 2009b, Heinz dan Hauzinger, 2007).
Warna dari daging babi yang segar berbeda-beda pada beberapa negara.
Banyak faktor intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi warna daging babi
seperti genetik, asupan makanan, prosedur pemotongan, pH, penyimpanan dan
sebagainya. Jenis otot yang diambil juga dapat membedakan warna. Jenis otot
glikolitik berwarna putih, dan oksidatif berwarna merah. Kedua jenis otot ini
berbeda dari dominasi metabolisme energi (Lindahl, 2005). Mioglobin salah satu
komponen yang memberikan warna daging. Bentuk mioglobin yang berbeda akan
memberi warna yang berbeda juga, ungu (deoksimioglobin), merah