Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi Taeniasis sp.


Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat
dengan tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada statistika yaitu
daerah dengan standar kehidupan yang rendah. Beberapa negara maju seperti
Amerika Serikat, masyarakatnya juga dapat terinfeksi Taenia sp. akibat perjalanan
yang dilakukan di daerah endemis. Menurut Tolan (2011), semua usia rentan
terhadap infeksi taeniasis. Usia di mana konsumsi daging mentah dimulai adalah
faktor yang menentukan usia infeksi. Taeniasis solium dilaporkan terjadi pada
anak usia 2 tahun di Mexico (Yanez, 2001).

Taeniasis dan sistiserkosis merupakan infeksi parasit yang umum dan dapat
ditemukan pada seluruh bagian dunia (CFSPH, 2005). Sekitar 50 juta orang di
seluruh dunia terinfeksi Taenia saginata dan Taenia solium. Sekitar 2-3 juta orang
terinfeksi cacing Taenia solium (White, 1997; CFSPH, 2005), 45 juta orang
terinfeksi Taenia saginata, dan sekitar 50 juta orang mengidap sistiserkosis dari
Taenia solium (CFSPH, 2005).

Taenia solium merupakan infeksi yang endemik pada Amerika Tengah dan
Selatan serta beberapa negara di Asia Tenggara seperti Korea (Lee et al., 2010),
Thailand (Anantaphruti et al., 2007), India, Filipina, Indonesia, Afrika (Carabin et
al., 2009), Eropa Timur, Nepal, Bhutan, dan China (Rajshekhar et al., 2003;
WHO, 2009). Prevalensi tertinggi ditemukan pada Amerika Latin dan Afrika.
Bahkan, prevalensi beberapa daerah di Mexico dapat mencapai 3,6% dari
populasi umum (Tolan, 2011). Bolivia merupakan salah satu negara dengan
prevalensi tertinggi selain Brazil, Ekuador, Mexico, dan Peru di America Latin
(sesuai dengan kriteria Pan American Health Organization, negara-negara dengan
tingkat lebih dari 1% dianggap memiliki tingkat prevalensi tinggi) (Yanez, 2001).

Negara Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk merupakan


masyarakat beragama muslim dan tidak mengkonsumsi daging babi. Namun, ada
beberapa daerah, seperti Bali dan Papua, yang banyak mengkonsumsi daging
babi. Sampai saat ini, Papua masih menjadi daerah endemik taeniasis dan
sistiserkosis (Handojo dan Margono, 2008b).

Provinsi Papua, tepatnya di Kabupaten Jayawijaya, memiliki prevalensi taeniasis


solium sebesar 15% (Subahar et al., 2005). Sedangkan di Bali, dahulu merupakan
daerah endemis bagi taeniasis dan sistiserkosis, telah dilakukan penghentian
transmisi dari sistiserkosis (WHO, 2009).

Prevalensi infeksi Taenia saginata berbeda dengan Taenia solium, infeksi


tertinggi Taenia saginata terdapat pada Asia Tengah, sekitar Asia Timur, Afrika
Tengah, dan Afrika Timur (lebih dari 10%). Daerah dengan prevalensi infeksi

0,1% hingga 10% seperti negara pada daerah Asia Tenggara seperti Thailand,
India, Vietnam, dan Filipina. Daerah dengan prevalensi rendah (sekitar 1%
penderita) seperti beberapa negara di Asia Tenggara, Eropa, serta Amerika Tengah
dan Selatan (Sheikh, et al., 2008; Del Brutto, 2005).

Epidemiologi sistiserkosis tidak jauh berbeda dengan epidemiologi dari Taenia


sp.. Distribusi geografis sistiserkosis di dunia sangat luas. Lebih dari 50 juta orang
menderita sistiserkosis, namun jumlah ini masih diyakini melebihi jumlah yang
sebenarnya (White, 1997; Wiria, 2008). Sekitar 50.000 ribu orang meninggal per
tahun akibat komplikasi sistiserkosis pada jantung dan otak (CFSPH, 2005; Tolan,
2011). Prevalensi sistiserkosis akibat Taenia solium paling sering terjadi di
Amerika Latin, Amerika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika Sub
Sahara (CFSPH, 2005; Garcia et al., 1999; WHO, 2009). Pada orang dewasa yang
menderita kejang di Negara seperti Meksiko, setengahnya merupakan penderita
neurosistiserkosis. Keadaan serupa ditemukan juga di Afrika, India, dan China
bahwa sebagian besar penyakit parasit otak disebabkan oleh neurosistiserkosis
(CFSPH, 2005; Garcia et al., 1999). Telah diketahui bahwa prevalensi
neurosistiserkosis di antara penderita kejang pada daerah endemis lebih dari 29%
(WHO, 2009).

Sistiserkosis dan taeniasis pada Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa
merupakan penyakit yang jarang. Prevalensi di Amerika Serikat kurang dari 1%
karena kebanyakan ternak pada Amerika Serikat bebas dari parasit (Tolan, 2011).
Insidens sistiserkosis pada Amerika Serikat diperkirakan hanya
1.000 kasus setiap tahunnya (Tolan, 2011; CFSPH, 2005; Subahar et al., 2005).
Adanya insidens pada Amerika Serikat diduga karena peningkatan jumlah imigran
dari Meksiko dan negara berkembang lain yang datang ke negara tersebut (White,
1997).

Negara-negara di benua Asia, Bhutan, India, Nepal, Thailand, dan beberapa


bagian di Indonesia merupakan daerah endemis sistiserkosis (WHO, 2009).
Daerah Korea dan Myanmar diduga juga merupakan daerah endemik, namun
tidak ada data yang mendukung (WHO, 2009). Prevalensi sistiserkosis pada
Papua, di daerah pedesaan Kabupaten Jayawijaya sebesar 41,3-66,7% (Subahar et
al., 2005) sedangkan di Sumatera Utara, prevalensi taeniasis dan sistiserkosis
sejak tahun 1972-2000 dilaporkan berkisar antara 1,9% sampai 2,29%
(Simanjuntak dan Widarso, 2004). Pada penelitian epidemiologi yang diadakan
tahun 2003 sampai 2006 oleh Wandra, dari 240 orang menunjukkan 2,5% positif
terinfeksi Taenia asiatica. Pada tahun 2003, dijumpai 2 orang positif dari 58 orang
(3,4%), sedangkan pada tahun 2005 ditemukan 4 dari 182 orang positif (2,2%)
(Wandra et al., 2007).

2.2. Epidemiologi Sistiserkosis pada Babi dan Sapi


Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Unger et al. (2008) dengan
menggunakan metode inspeksi daging di Gambia, diketahui bahwa temuan
sistiserkus dari Taenia saginata mencapai 0.75% dari 1.595 ternak yang diperiksa.
Sementara penelitian Kebede et al. (2009) dengan sampel sebanyak 11.227 ternak
menunjukkan 7,5% ternak terinfeksi sistiserkus Taenia saginata. Tabel berikut
merupakan angka temuan sistiserkus pada sapi pada penelitian lainnya.
Tabel 2.1 Angka Temuan C. bovis pada Penelitian di Negara Lain
Gambia 0,75 Inspeksi daging ELISAUnger et al., 2008
19,2
Ethiopia Inspeksi Kebede et al., 2009
7,5 dan Insisi daging
Ethiopia 4,4 Inspeksi daging Megersa et al., 2010.
Kenya 2,5 Inspeksi daging ELISAAsaava et al., 2010
16,7
Nigeria (Makurdi) 9,2 Inspeksi daging Ofukwu et al., 2009
Jerman 15,6 ELISA Abuseir et al., 2006
Negara/Lokasi % Metode Sumber

Penelitian mengenai sistiserkus Taenia solium di tahun 2002, didapatkan


prevalensi sistiserkosis pada babi di China, India, dan Nepal adalah 5,4, 9,3, dan
32,5% (Rajshekhar et al., 2003). Pada penelitian Vazquez-Florez et al. (2001)
memeriksa 53 babi dengan metode palpasi lidah dan serologis dengan hasil
penelitian tidak ditemukan adanya sistiserkus (0%). Penelitian oleh Gweba et al.
(2010) di Itali, memeriksa babi hidup dengan palpasi lidah dan juga pemeriksaan
inspeksi daging. Dari penelitian tersebut, didapatkan angka temuan sistiserkus
sebesar 5,85% dan 14,4% dari masing-masing pemeriksaan. Penelitian
sistiserkosis pada babi yang dilakukan oleh Maitindom (2008) pada Kabupaten
Jayawijaya, Papua didapatkan angka prevalensi 77,1%. Selain itu, penelitian
lainnya seperti penelitian Suweta (1991) di Bali menunjukkan angka sistiserkosis
pada babi sebanyak 0,15%. Pada tabel berikut dapat dilihat angka kejadian
sistiserkus pada babi pada penelitian lain.

Tabel 2.2 Angka Temuan C. cellulosae pada Penelitian di Negara Lain


Negara/Lokasi % Metode Sumber

Zambia 18,5 Inspeksi daging Phiri et al., 2006


56,6 ELISA Phiri et al., 2003
India 22,5
20,6 Serologis Inspeksi daging Selvam et al., 2004
(Indirect Hemmaglutinnin test)
4,41 Inspeksi daging
Brazil 23,5 EITB Sakai et al., 2001
Zambia
Nigeria 20,5 Inspeksi daging Zoli et al., 2003
2.3. Biologi dan Morfologi Taenia sp.
2.3.1. Biologi dan Morfologi Taenia solium
Taksonomi dari Taenia solium (Keas, 1999; CFSPH, 2005; Ideham dan
Pusarawati, 2007):
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoidea
Ordo : Cyclophyllidea
Famili : Taeniidae
Genus : Taenia
Spesies : solium
Taenia solium (cacing pita babi) merupakan infeksi cacing yang distribusinya
kosmopolit. Cacing ini menginfeksi baik manusia dan babi. Manusia biasanya
sebagai hospes definitif atau hospes perantara (CFSPH, 2005), sedangkan babi
sebagai hospes perantara. Habitat cacing yang telah dewasa di dalam usus halus
(jejunum bagian atas) manusia, sedangkan larvanya terdapat di dalam jaringan
organ tubuh babi (CFSPH, 2005; Handojo dan Margono, 2008b). Cacing dewasa
dari Taenia solium berukuran panjang antara 2-4 meter, dan dapat hidup sampai
25 tahun lamanya (Soedarto, 2008; Garcia et al., 2002). Bentuk dari cacing
dewasa seperti pipa, pipih dorsoventral, dan tubuhnya terdiri atas skoleks
(kepala), leher, dan strobila yang terdiri dari segmen proglotid (Ideham dan
Pusarawati, 2007). Setiap cacing Taenia solium mempunyai segmen yang
berjumlah kurang dari 1000 buah (Soedarto, 2008).

Skoleks Taenia solium berbentuk bulat, dengan garis tengah 1 mm, mempunyai 4
buah batil isap dengan rostelum yang dilengkapi dengan 2 deret kait yang
melingkar dan berdiameter 5 mm, masing-masing sebanyak 25-30 buah (Handojo
dan Margono, 2008b).

Leher cacing Taenia solium pendek, berukuran panjang antara 5-10 milimeter
(Soedarto, 2008). Strobila terdiri dari proglotid yang imatur, matur, dan gravid.
Proglotid imatur ukurannya lebih lebar daripada panjangnya, sedangkan proglotid
matang berbentuk hampir persegi empat (Ideham dan Pusarawati, 2007) dan
berukuran 12 mm x 6 mm (Soedarto, 2008).

Dalam proglotid yang matang terdapat testis berupa folikel yang tersebar di
seluruh dorsal tubuh dan jumlahnya mencapai 150-200. Proglotid matang juga
mempunyai lubang genital yang terletak di dekat pertengahan segmen. Ovarium
terletak di bagian posterior, berbentuk 2 lobus yang simetris dan uterus terletak di
tengah seperti gada (Ideham dan Pusarawati, 2007).

Pada proglotid gravid, terdapat 5-10 cabang lateral dari uterus di tiap sisi segmen.
Segmen gravid dilepaskan dalam bentuk rantai yang terdiri atas 5-6 segmen setiap
kali dilepaskan (Soedarto, 2008).

2.3.2. Biologi dan Morfologi Taenia saginata


Taksonomi dari Taenia saginata (Keas, 1999, Ideham dan Pusarawati,
2007):
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoidea
Ordo : Cyclophyllidea
Famili : Taeniidae
Genus : Taenia
Spesies : saginata
Habitat cacing ini dalam tubuh manusia terletak pada usus halus bagian atas.
Cacing dewasa dapat hidup di dalam usus manusia sampai 10 tahun lamanya
(Soedarto, 2008). Morfologi cacing dewasa berwarna putih, tembus sinar, dan
panjangnya dapat mencapai 4-25 meter, walaupun kebanyakan 5 meter atau
kurang. Mereka dapat hidup 5 sampai dengan 20 tahun, bahkan lebih (CFSPH,
2005).

Skoleks berbentuk segiempat, dengan garis tengah 1-2 milimeter, dan


mempunyai 4 alat isap (sucker). Tidak ada rostelum maupun kait pada skoleks.
Leher Taenia saginata berbentuk sempit memanjang, dengan lebar sekitar 0,5
milimeter. Ruas-ruas tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat struktur (Handojo
dan Margono, 2008a).

Segmen cacing ini dapat mencapai 2000 buah. Segmen matur mempunyai
ukuran panjang 3-4 kali ukuran lebar. Segmen gravid paling ujung berukuran 0,5
cm x 2 cm. Lubang genital terletak di dekat ujung posterior segmen. Uterus pada
segmen gravid uterus berbentuk batang memanjang di pertengahan segmen,
mempunyai 1530 cabang di setiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan satu
demi satu, dan tiap segmen gravid dapat bergerak sendiri di luar anus. Segmen
gravid Taenia saginata lebih cenderung untuk bergerak dibandingkan dengan
segmen gravid cacing pita babi (CFSPH, 2005).

2.3.3. Biologi dan Morfologi Sistiserkus


Sistiserkus adalah fase istirahat larva Cestoda yang terdapat di dalam tubuh
hospes perantara, dan terdiri atas kantung tipis yang dindingnya mengandung
skoleks, dan rongga di tengahnya berisi sedikit cairan jernih (Soedarto, 2008;
Garcia et al., 2002).

Sistiserkosis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh sistiserkus,


yaitu larva atau fase metacestoda cacing pita. Sistiserkus atau larva Taenia solium
biasanya ditemukan pada ternak babi (Cysticercus cellulosae), sapi (Cysticercus
bovis) dan kadang-kadang ditemukan pada manusia (C. cellulosae). Sistiserkosis
ditandai dengan adanya kista pada otot skeletal dari hospes. Sistiserkosis juga
dapat terjadi pada sistem saraf pusat (neurosistiserkosis) (CFSPH, 2005).

Kista Cysticercus bovis panjangnya berukuran 6 sampai 9 mm, dan


diameternya sekitar 5 mm ketika sudah berkembang sempurna. Kista paling
sering dijumpai pada otot masseter, jantung, dan pillar dari diafragma, walaupun
mungkin pada hewan yang berat terinfeksi mungkin ditemukan pada otot skeletal
(Soedarto, 2008).

Kista Cysticercus cellulosae memiliki skoleks terletak di satu sisi kista,


terinvaginasi, dan terlihat sebagai nodul opak dengan diameter 4-5 mm (Handojo
dan Margono, 2008b). Menurut Garcia et al. (2002), diameter kista hidup
berukuran 10-20 mm. Kista Cysticercus cellulosae mempunyai ukuran dan bentuk
sesuai jaringan sekitarnya. Kista ini biasanya ditemukan pada otot lidah,
punggung, dan pundak babi (Handojo dan Margono, 2008b). Di otak, kista
berbentuk bundar dengan diameter 1 cm. Dapat pula ditemukan kapsul dengan
ketebalan bervariasi yang terdiri atas astrosit dan serat kolagen, tetapi kapsul di
SSP (Sistem Saraf Pusat) dan mata kurang tebal (Wiria, 2008). Dinding kantong
terdiri atas tiga lapis: lapisan kutikula yang terdiri microtriches (lapisan
glikokaliks karbohidrat), pseudoepitel dan muskularis, jaringan penghubung
longgar, dan jaringan kanalikuli (Wiria, 2008).

2.4. Siklus Hidup Taenia sp.


2.4.1. Siklus Hidup Taenia solium
Cacing dewasa hidup di dalam tubuh manusia pada usus halus (CFSPH,
2005; Handojo dan Margono, 2008b). Cacing dewasa melepaskan segmen gravid
paling ujung yang akan pecah di dalam usus sehingga telur cacing dapat dijumpai
pada feses penderita (Wandra et al., 2007; Soedarto, 2008; Tolan, 2011). Apabila
telur cacing yang matur mengkontaminasi tanaman rumput atau pun peternakan
dan termakan oleh ternak seperti babi, telur akan pecah di dalam usus hospes
perantara dan mengakibatkan lepasnya onkosfer (Pearson, 2009a; Handojo dan
Margono, 2008b). Dengan bantuan kait, onkosfer menembus dinding usus, masuk
ke dalam aliran darah, lalu menyebar ke organ-organ tubuh babi, terutama otot
lidah, leher, otot jantung, dan otot gerak (Ideham dan Pusarawati, 2007; Handojo
dan Margono, 2008b; Tolan, 2011). Dalam waktu 60-70 hari pasca infeksi,
onkosfer berubah menjadi larva sistiserkus yang infeksius (Soedarto, 2008;
Tolan, 2011).

Manusia terinfeksi dengan cara makan daging babi mentah atau kurang
masak, yang mengandung larva sistiserkus (Ideham dan Pusarawati, 2007;
Wandra et al., 2007; Tolan, 2011). Di dalam usus manusia, skoleks akan
mengadakan eksvaginasi dan melekatkan diri dengan alat isapnya pada dinding
usus, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian membentuk strobila.
Dalam waktu 5-12 minggu atau 3 bulan, cacing Taenia solium menjadi dewasa
dan mampu memproduksi telur. Seekor cacing Taenia solium dapat memproduksi
50.000 sampai 60.000 telur setiap hari (Tolan, 2011; Garcia et al., 2003; Garcia et
al., 2002; Ideham dan Pusarawati, 2007).

Proglotid yang telah lepas, telur atau keduanya akan dilepaskan dari
hospes definitif (manusia) dalam bentuk feses. Kemudian babi akan terinfeksi jika
pada makanannya telah terkontaminasi dengan telur yang berembrio atau
proglotid gravid (Pearson, 2009a; Wandra et al., 2007).

Manusia juga dapat menjadi hospes perantara untuk Taenia solium


(sistiserkorsis) (Pearson, 2009a; Wandra et al., 2007; Tolan, 2011). Hal ini dapat
terjadi apabila manusia termakan telur dari cacing tersebut dari hasil ekskresi
manusia. Teori lainnya adalah autoinfeksi (Tolan, 2011). Namun, teori ini belum
dibuktikan (CFSPH, 2005). Jika terdapat cacing pita dewasa pada usus, peristaltik
yang berlawanan pada gravid proglotid akan menyebabkan proglotid bergerak
secara retrograd dari usus ke lambung (CFSPH, 2005; Ideham dan Pusarawati,
2007). Telur hanya dapat menetas apabila terpapar dengan sekresi gaster diikuti
dengan sekresi usus (CFSPH, 2005) sehingga setelah terjadi peristaltik yang
bersifat retrograd, onkosfer akan menetas dan menembus dinding usus, mengikuti
aliran kelenjar getah bening atau aliran darah (Soedarto, 2008). Larva selanjutnya
akan bermigrasi ke jaringan subkutan, otot, organ viseral, dan sistem saraf pusat
dan membentuk sistiserkus (Pearson, 2009a; Ideham dan Pusarawati, 2007).
Sistiserkosis dapat terjadi pada berbagai organ dan gejala yang timbul tergantung
dari lokasi sistiserkus (Tolan, 2011). Proglotid dari Taenia solium kurang aktif
dibandingkan dengan Taenia saginata sehingga kemungkinan untuk ditemukan
pada lokasi yang tidak seharusnya lebih jarang (CFSPH, 2005).

2.4.2. Siklus Hidup Taenia saginata


Siklus hidup cacing ini hampir sama seperti cacing pita babi. Hospes
definitif Taenia saginata adalah manusia, yang berlaku sebagai hospes perantara
adalah sapi atau kerbau. Cacing Taenia saginata menjadi dewasa setelah 10-12
minggu (sekitar 2 bulan) (CFSPH, 2005; Pearson, 2009b).

2.5. Patogenesis dan Patofisiologi Sistiserkosis


Sistiserkus hidup hanya menimbulkan sedikit peradangan jaringan sekitar
dan hanya sedikit mononuklear serta jumlah eosinofil yang bervariasi. Untuk
melengkapi siklus hidupnya, sistiserkus harus mampu hidup dalam otot hospes
selama berminggu-minggu sampai bulanan. Oleh karena itu, kista akan
mengembangkan mekanisme untuk mengatasi respon imun penjamu. Pada hewan
yang telah terinfeksi sebelumnya dengan stadium kista kebal terhadap reinfeksi
onkosfer. Imunitas ini dimediasi oleh antibodi dan komplemen. Meskipun begitu
dalam infeksi alami, respons antibodi dibangun hanya setelah parasit berubah
menjadi bentuk metacestoda yang lebih resisten (Wiria, 2008).

Metacestoda dapat mengembangkan sebuah mekanisme untuk


memproteksi diri dari destruksi yang dimediasi komplemen dengan menghasilkan
paramiosin. Paramiosin akan mengikat C1q dan menghambat jalur klasik aktivasi
komplemen. Parasit juga akan mensekresikan inhibitor protease serin yang disebut
taeniastatin. Taeniastatin dapat menghambat jalur aktivasi klasik atau alternatif,
berintegrasi dengan kemotaksis leukosit, dan menghambat produksi sitokin.
Sedangkan polisakarida sulfa, yang melapisi dinding kista, mengaktivasi
komplemen untuk menjauhi parasit, menurunkan deposisi komplemen, dan
membatasi jumlah sel radang yang menuju parasit. Antibodi saja tidak dapat
membunuh metacestoda matang. Kista yang hidup juga dapat menstimulasi
produksi sitokin yang dibutuhkan untuk menghasilkan imunoglobulin yang
kemudian diambil oleh kista dan diperkirakan ini merupakan sumber protein
(CFSPH, 2005; White, 1997).

Taeniastatin dan molekul parasit juga dapat menekan respon imun seluler
dengan menghambat proliferasi limfosit dan fungsi makrofag. Gejala akan muncul
ketika kista tidak dapat lagi memodulasi respons penjamu (White, 1997).
2.6. Gejala Klinik Taeniasis sp
2.6.1. Gejala Klinik Taeniasis solium
Kait-kait pada skoleks Taenia solium umunya tidak banyak menimbulkan
gangguan pada dinding usus tempatnya melekat (Handojo dan Margono, 2008b).
Penderita taeniasis umumnya asimptomatik (Pearson, 2009a; Tolan, 2011;
Handojo dan Margono, 2008b) atau mempunyai keluhan yang umumnya ringan,
berupa rasa tidak enak di perut, gangguan pencernaan, diare, konstipasi, sakit
kepala, anemia (Soedarto, 2008), nyeri abdomen, kehilangan berat badan, malaise,
anoreksia (Tolan, 2011), peningkatan nafsu makan (CFSPH, 2005), rasa sakit
ketika lapar (hunger pain), indigesti kronik, dan hiperestesia (Ideham dan
Pusarawati, 2007). Sangat jarang terjadi komplikasi peritonitis akibat kait yang
menembus dinding usus (Soedarto, 2008). Sering dijumpai kalsifikasi pada
sistiserkus namun tidak menimbulkan gejala, akan tetapi sewaktu-waktu terdapat
pseudohipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi, dan eosinofilia
(Handojo dan Margono, 2008b).

Gejala klinik yang berhubungan dengan abdomen lebih umum terjadi pada
anak-anak dan umumnya akan berkurang dengan mengkonsumsi sedikit makanan.
Pada anak-anak, juga dapat terjadi muntah, diare, demam, kehilangan berat badan,
dan mudah marah. Gejala lainnya yang pernah dilaporkan adalah insomnia,
malaise, dan kegugupan (CFSPH, 2005).

Adapun gejala yang muncul disebabkan oleh karena adanya iritasi pada
tempat perlekatan skoleks serta sisa metabolisme cacing yang terabsorpsi yang
menyebabkan gejala sistemik dan intoksikasi ringan sampai berat (Ideham dan
Pusarawati, 2007).

2.6.2. Gejala Klinik Taeniasis saginata


Gambaran klinik dan diagnosa Taeniasis saginata pada usus hampir serupa
dengan infeksi Taeniasis solium (Pearson, 2009b). Pada taeniasis saginata terjadi
inflamasi sub-akut pada mukosa usus (Ideham dan Pusarawati, 2007)
Proglotid dari Taenia saginata dapat bermigrasi ke berbagai organ seperti
apendiks, uterus, duktus biliaris, dan nasofaring sehingga menyebabkan
appendisitis, kholangitis, kolesistitis dan sindrom lainnya. Pada kasus yang
langka, dapat ditemukan obstruksi usus atau perforasi (CFSPH, 2005; Ideham
dan Pusarawati, 2007).
Kelainan patologis yang tampak pada penderita umumnya tidak jelas.
Namun dapat timbul gejala seperti rasa tidak enak pada perut, mual, muntah, dan
diare. Gejala lainnya berupa ileus yang dapat ditimbulkan oleh adanya obstruksi
usus karena banyaknya jumlah cacing (Handojo dan Margono, 2008a).

2.6.3. Gejala Klinik Sistiserkosis


Sistiserkus pada kebanyakan organ biasanya tidak atau sedikit
menimbulkan reaksi jaringan (Pearson, 2009a). Suatu penelitian post mortem
menyebutkan bahwa 80% dari seluruh kasus sistiserkosis asimptomatik (CFSPH,
2005). Akan tetapi, kista yang telah mati pada sistem saraf pusat dapat
menimbulkan respon jaringan yang berat. Infeksi pada otak (sistiserkosis serebri)
dapat menimbulkan gejala yang berat, akibat dari efek massa dan inflamasi yang
disebabkan oleh degenerasi sistiserkus dan pelepasan antigen (Pearson, 2009a).
Sistiserkus dapat juga menginfeksi sumsum tulang belakang, otot, jaringan
subkutan, dan mata (Pearson, 2009a).

Perubahan yang terjadi berhubungan dengan stadium peradangan. Dalam stadium


koloidal, kista terlihat sama dengan kista koloid dengan materi gelatin dalam
cairan kisat dan degenerasi hialin dari larva. Dalam stadium granularnodular, kista
mulai berkontraksi dan dindingnya digantikan dengan nodul fokal limfoid serta
nekrosis. Akhirnya, pada stadium kalsifikasi nodular jaringan granulasi digantikan
oleh struktur kolagen dan kalsifikasi (Wiria, 2008).

Gejala timbul tergantung dari jumlah dan lokasi larva (CFSPH, 2005).
Neurosistiserkosis merupakan bentuk sistiserkosis yang menyerang sistem saraf
pusat (Tenzer, 2009; CFSPH, 2005; Garcia et al., 2002) dan paling
membahayakan. Pada kasus tertentu, gejala yang timbul mungkin timbul sangat
lambat, tetapi progresif. Namun, dapat juga gejala timbul secara tiba-tiba akibat
obstruksi cairan serebrospinal akibat adanya sistiserkus yang melayang-layang di
dalam cairan (CFSPH, 2005). Gejala yang paling sering adalah sakit kepala
kronik dan kejang atau epilepsi (70-90%) (Wiria, 2008; CFSPH, 2005; Tenzer,
2009; WHO, 2009; Gracia et al., 2002; Del Brutto, 2005). Gejala lainnya yang
mungkin timbul adalah peningkatan tekanan intrakranial, hidrosefalus, tanda
neurologis fokal, perubahan status mental (Pearson, 2009a; Tenzer, 2009), mual,
muntah (CFSPH, 2005; Tenzer, 2009), vertigo, ataxia, bingung, gangguan
perilaku, dan demensia progresif (CFSPH, 2005), dan sakit kepala kronik (Tenzer,
2009). Sedangkan apabila neurosistiserkosis menyerang sumsum tulang belakang
dapat menyebabkan kompresi, transverse myelitis, dan meningitis. Namun kasus
ini jarang (CFSPH, 2005).

Adapun bentuk manifestasi klinis dari sistiserkosis terbagi atas 4 (Wiria,


2008):

a. Infeksi inaktif, ditandai dengan penemuan residu infeksi aktif sebelumnya


(kalsifikasi intraparenkimal). Gejala yang timbul: sakit kepala, kejang, psikosis.

b. Infeksi aktif, terdiri atas neurosistiserkosis parenkim aktif dan ensefalitis


sistiserkal.

c. Neurosistiserkosis ekstraparenkimal yang memiliki bentuk


neurosistiserkosis ventrikular.

d. Bentuk lain: sistiserkosis spinal, sistiserkosis oftalmika, penyakit serebrovaskular,


dan lain-lain.

Pada mata (sistiserkosis oftalmika), sistiserkus paling sering ditemukan


pada vitreous humor, rongga subretina dan konjungtiva. Gejala yang umum
adalah kaburnya penglihatan atau berkurangnya visus, rasa sakit yang berat,
sampai buta. Sistiserkus di otot biasanya asimptomatik. Namun, dalam jumlah
banyak dapat menimbulkan pseudohipertrofi, miositis, nyeri otot, kram, dan
kelelahan. Larva di jantung menimbulkan gangguan konduksi dan miokarditis
(CFSPH, 2005).
Pada kulit, sistiserkus mungkin dapat terlihat sebagai nodul subkutan. Larva juga
dapat menyebabkan vaskulitis atau obstruksi arteri kecil yang menimbulkan
stroke. Akan tetapi, hal ini jarang terjadi (CFSPH, 2005).

2.7. Diagnosa Taeniasis sp


2.7.1. Diagnosa Taeniasis solium
Diagnosis pasti Taeniasis solium ditegakkan jika ditemukan cacing dewasa
(segmen atau skoleks yang khas bentuknya) pada tinja penderita atau pada
pemeriksaan daerah perianal. Namun, telur dan proglotid tidak akan ditemukan
pada feses selama 2-3 bulan setelah cacing dewasa mencapai bagian atas jejunum.
Pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa 3 sampel yang disarankan untuk
dikumpulkan pada hari yang berbeda (CDC, 2010). Telur cacing yang ditemukan
tidak dapat dibedakan dengan Echinococcus (Soedarto, 2008; CFSPH, 2005),
penentuan mungkin dapat dilakukan apabila ditemukan proglotid yang matang
atau gravid dengan menghitung percabangan uterus (CDC, 2010; Ideham dan
Pusarawati, 2007).

Cara lain untuk mendiagnosa taeniasis adalah dengan menemukan


proglotid atau telur dalam feses. Telur juga dapat ditemukan dengan
menggunakan pita adhesif yang ditempelkan pada daerah sekitar anus (CFSPH,
2005).

Tabel 2.3 Perbedaan Morfologi Spesies Taenia sp.

Karakteristik Taenia solium Taenia asiatica Taenia saginata


Sistiserkus
Hospes perantara Babi, manusia, Babi, hewan ternak, Hewan ternak, rusa.
anjing, babi hutan kambing, monyet, babi
hutan
Lokalisasi Otot, otak, kulit, Organ viseral, terutama Otot, organ viseral,
mata, lidah hati otak
Ukuran (mm) 5-8 x 3-6 2x2 7-10 x 4-6
Skoleks Rostelum dengan Rostelum dengan kait Tidak ada rostelum
kait yang belum sempurna dan kait
Cacing dewasa
Skoleks Rostelum dengan Rostelum tanpa kait Tanpa rostelum,
kait tanpa kait
Jumlah cabang 7-12 16-21 18-32
uterus pada
proglottid gravid
Ekspulsi dari Terutama dalam Hanya satu, aktif Hanya satu, aktif
manusia kelompok, secara
pasif
(Sumber: Ito et al., 2003)
Adapun pemeriksaan coproantigen dan molekuler yang mempunyai
sensitivitas yang lebih tinggi daripada pemeriksaan feses. Namun, pemeriksaan
ini belum tersedia pada luar laboratorium penelitian. Metode serologis juga hanya
tersedia pada lingkungan penelitian. Dengan metode serologis seperti ELISA dan
PCR, dapat dibedakan spesies dari Taenia (CFSPH, 2005).

2.7.2. Diagnosa Taeniasis saginata


Diagnosa Taenia saginata dapat menggunakan pita perekat (tes Graham).
Untuk Taenia saginata test ini sangat sensitif, namun tidak pada Taenia solium
(Garcia et al., 2003). Pemeriksaan diagnostik terbaik untuk taeniasis intestinal
adalah deteksi koproantigen ELISA yang dapat mendeteksi molekul spesifik dari
taenia pada sampel feses yang menunjukkan adanya infeksi cacing pita.
Sensitivitas dari ELISA sekitar 95% dan efektivitasnya sekitar 99% (Garcia et al.,
2003; WHO, 2009).

2.7.3. Diagnosa Sistiserkosis


Pencitraan merupakan metode utama untuk neurosistiserkosis (Wiria,
2008). Untuk mendiagnosa neurosistiserkosis dan mengevaluasi gejala neurologis
dapat dipakai CT scan dan MRI (CFSPH, 2005). CT scan adalah metode terbaik
untuk mendeteksi kalsifikasi yang merupakan infeksi inaktif. CT lebih unggul
daripada MRI, sebaliknya MRI lebih sensitif untuk menemukan kista di parenkim
dan ekstraparenkim otak, termasuk dalam mendeteksi reaksi peradangan (Wiria,
2008). Pada hasil dari pemeriksaan CT scan atau MRI, mungkin dijumpai nodul
padat, kista, kista yang telah terkalsifikasi, lesi cincin, atau hidrosefalus (Pearson,
2009a).

Pada pemeriksaan radiologis, apabila dijumpai kista yang hidup, dinding


kista tidak terlihat dan cairan sistiserkus memiliki kepadatan yang sama dengan
cairan serebrospinal. Ketika parasit mulai kehilangan kemampuan untuk
memodulasi respon imun, pada awalnya, akan terlihat peningkatan kontras sekitar
kista. Pada akhirnya, akan terlihat gambaran peningkatan kontras seperti cincin
atau nodul (Garcia et al., 2002).
Kista yang tidak aktif (terkalsifikasi) pada berbagai bagian tubuh,
termasuk otak dan otot, mungkin dapat terlihat pada foto X-ray. Biopsi dapat
dilakukan untuk nodul subkutan dan larva di mata dapat ditemukan pada
pemeriksaan mata. Spesies dari larva dapat diidentifikasi setelah operasi (CFSPH,
2005).

Tes serologi kebanyakan menggunakan antigen yang tidak terfraksi yang


menyebabkan positif dan negatif palsu. Hal ini diperkirakan karena aviditas kista
dengan immunoglobulin yang menyebabkan positif palsu (White, 1997). Pada
manusia ada beberapa jenis pemeriksaan serologis termasuk enzyme-linked
immunoelectrotransfer blot (EITB), ELISA, fiksasi komplemen, dan
hemaglutinasi (CFSPH, 2005). Antibodi mungkin ditemukan pada serum atau
cairan serebrospinal (CFSPH, 2005). Namun, immunoblot assay CDC, yang
menggunakan serum spesimen, sangat spesifik dan lebih sensitif dibandingkan
pemeriksaan enzim immunoassay lainnya (umumnya ketika terdapat lebih dari 2
lesi sistem saraf pusat, sensitivitas lebih rendah daripada hanya ada satu kista)
(Pearson, 2009a). Dekade terakhir pemeriksaan standar dengan metode serologis
untuk diagnosa sistiserkosis adalah immunoblot yang dibantu dengan pemeriksaan
spesifik ELISA (Garcia et al., 1999; Margono et al., 2003).

Pemeriksaan EITB telah terbukti spesifik untuk infeksi T.solium. EITB


sensitif pada kista parenkim aktif multipel atau neurosistiserkosis ekstraparenkim.
Meskipun demikian sensitivitasnya rendah pada pasien dengan kista parenkimal
atau kalsifikasi sehingga pada infeksi inaktif pemeriksaan serologi seringkali
negatif. Pemeriksaan serologi berperan penting di daerah yang belum memiliki
fasilitas CT dan MRI (White, 1997). Pemeriksaan EITB menunjukkan spesifisitas
dan sensitivitas yang masing-masing bernilai mendekati 100% dan 98% apabila
pemeriksaan dilakukan pada neurosistiserkosis dengan 2 kista atau lebih yang
masih hidup (WHO, 2009). Pemeriksaan ELISA dengan menggunakan antigen
rekombinan memiliki sensitivitas 90% dan spesifisitas 100%. Namun, kelemahan
ELISA adalah tidak dapat mendeteksi kista yang telah berdegenerasi (WHO,
2009).
Untuk menyatakan seseorang menderita sistiserkosis diperlukan beberapa
kriteria, antara lain (Wiria, 2008):

Kriteria Mayor:
a. Penemuan berdasarkan pemeriksaan pencitraan, di mana ditemukan sistiserkus
berukuran 0,52 cm.

b. Ditemukannya antibodi spesifik antisistiserkal menggunakan EITB.


Kriteria Minor:
a. Kejang.
b. Peningkatan tekanan intrakranial.
c. Kalsifikasi intraserebral pungtata.
d. Nodul subkutan atau hilangnya lesi setelah pengobatan dengan anti parasit.
Diagnosa dapat ditegakkan apabila dijumpai dua kriteria mayor, atau satu
kriteria mayor dan dua kriteria minor, ditambah riwayat pajanan (White, 1997).

2.8. Pencegahan Taeniasis sp


Untuk mencegah terjadinya penularan taeniasis, dilakukan
tindakantindakan sebagai berikut (Soedarto, 2008; CFSPH, 2005):

a. Mengobati penderita, untuk mengurangi sumber infeksi, dan mencegah terjadinya


autoinfeksi dengan larva cacing (Soedarto, 2008).

b. Peningkatan kinerja pengawasan daging yang dijual, agar bebas larva cacing
(sistiserkus). Pengawasan yang dilakukan pada negara endemis biasanya adalah
inspeksi yang dilakukan di rumah potong. Namun, inspeksi yang dilakukan tidak
dapat menyaring semua kasus yang sangat ringan (Garcia et al., 2003; Soedarto,
2008; Ideham dan Pusarawati, 2007).

c. Memasak daging sampai di atas 50 oC selama 30 menit, untuk membunuh kista


cacing, membekukan daging (Soedarto, 2008).

d. Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak memberikan tinja manusia sebagai


makanan babi, tidak membuang tinja di sembarang tempat (Ideham dan
Pusarawati, 2007; WHO, 2009).

e. Pada daerah endemik, sebaiknya tidak memakan buah dan sayur yang tidak
dimasak yang tidak dapat dikupas (Soedarto, 2008).
f. Hanya meminum air yang telah dikemas dalam botol, air yang disaring, atau air
yang dididihkan selama 1 menit (Soedarto, 2008).

g. Dapat dilakukan pemberian pendidikan mengenai kesehatan (Garcia et al., 2003).

h. Pada babi, dapat dilakukan pemberian oxfendazole oral (30 mg/kg BB). Bila
perlu, vaksinasi dengan TSOL18, setelah dilakukan eliminasi parasit dengan
kemoterapi (WHO, 2009).

i. Meningkatkan pendidikan komunitas dalam kesehatan (kebersihan,


mempersiapkan makanan, dan sebagainya) (WHO, 2009).

2.9. Daging
Daging adalah semua bagian dari hewan yang diinginkan atau telah
ditetapkan aman dan sesuai dengan konsumsi manusia. Daging terdiri dari air,
sedikit karbohidrat, protein dan asam amino, mineral, lemak, vitamin dan
komponen bioaktif lainnya (FAO, 2009b, Heinz dan Hauzinger, 2007).

2.9.1. Ciri-ciri Daging Babi


Kualitas daging bergantung pada perubahan fisik dan kimia yang terjadi
pada daging sebelum, ketika, dan setelah hewan dipotong. Konversi glikogen
menjadi asam laktat yang terjadi setelah hewan dipotong menjadi satu hal yang
penting dalam kualitas daging karena asam laktat akan mengakibatkan penurunan
pH daging sehingga akan mempengaruhi warna daging yang menjadi salah satu
penilaian kualitas daging (Prieto, 2007).

Warna dari daging babi yang segar berbeda-beda pada beberapa negara.
Banyak faktor intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi warna daging babi
seperti genetik, asupan makanan, prosedur pemotongan, pH, penyimpanan dan
sebagainya. Jenis otot yang diambil juga dapat membedakan warna. Jenis otot
glikolitik berwarna putih, dan oksidatif berwarna merah. Kedua jenis otot ini
berbeda dari dominasi metabolisme energi (Lindahl, 2005). Mioglobin salah satu
komponen yang memberikan warna daging. Bentuk mioglobin yang berbeda akan
memberi warna yang berbeda juga, ungu (deoksimioglobin), merah

(oksimioglobin), dan coklat (metmioglobin) (Hunt dan Zenger, 1998) .


Ciri-ciri daging babi segar bervariasi dengan berwarna merah muda
keabuan sampai merah (Singhal et al., 1997). Menurut Buege (1998), terdapat 4
jenis daging babi berdasarkan warna, tekstur, dan basahnya daging, antara lain
PSE (pucat, lembut, dan eksudatif), DFD (gelap, keras, dan agak kering), RFN
(merah, keras, tidak mengeluarkan eksudat), dan RSE (merah, lembut, dan
eksudatif). Kemudian, menurut RFN merupakan daging babi yang kualitas baik,
sedangkan PSE merupakan daging dengan kualitas yang sangat buruk. DFD dan
RSE merupakan daging yang kurang baik. Insidens daging DFD dan PSE adalah
6% dan 5% (Schilling, 2002; Singhal et al., 1997).

Tabel 2.4 Perbandingan Jenis Kesegaran Daging dari Segi Warna,


Terangnya Warna secara Kuantitatif, Kemampuan
Menampung Air pada Daging (Dihitung dengan Jumlah Cairan
yang Hilang), dan pH Akhir
Kualitas Warna Nilai L Tetesan % pH
DFD Gelap <52 <5.0 Tinggi pada
akhir (> 6.0)
RFN Merah 52 58 <5.0 Normal
PFN Pucat >58 <5.0
RSE Merah 52 58 >5.0
PSE Pucat >58 >5.0 Penurunan pH
cepat
Sumber: Lindhal, 2005
2.9.2. Ciri-ciri Daging Sapi
Ciri-ciri daging sapi mirip dengan daging babi, hanya daging sapi
memiliki lebih banyak mioglobin sehingga warnanya lebih merah. Karena
memiliki mioglobin, warna daging sapi juga dapat berubah menjadi ungu atau
coklat (Schilling, 2002; Singhal et al., 1997).
Tabel 2.5 Perbandingan Stadium Kesegaran Daging Sapi berdasarkan
Penampakan Luar Daging

(Sumber: Canadian Beef Export Federation, 2009)

2.9.3. Kandungan Daging Babi dan Sapi


Adapun kandungan daging sapi dan babi dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.6 Perkiraan Kandungan Air, Protein, Lemak, Mineral (dalam %),
dan Kalori (dalam kilojoule) dalam Daging per 100 gram
Produk Air Protein Lemak Mineral Kalori
Daging sapi (kurus) 75,0 22,3 1,8 1,2 116 Daging sapi 54,7 16,5 28,0 0,8 323
Daging sapi berlemak 4,0 1,5 94,0 0,1 854
(subkutan)
Daging babi (kurus) 75,1 22,8 1,2 1,0 112
Daging babi Daging babi 41,1 11,2 47,0 0,6 472
berlemak (lemak pada 7,7 2,9 88,7 0,7 812
punggung)
Sumber: Heinz dan Hauzinger, 2007

Anda mungkin juga menyukai