Anda di halaman 1dari 5

A.

Latar Belakang
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara
tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menuntut antara
lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum Equality Before The
Law, yang diwujudkan melalui catur wangsa penegak hukum yaitu, polisi, hakim, jaksa, dan
advokat. Advokat sebagai salah satu pilar penegak hukum, dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya dibatasi oleh oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
dan diawasi oleh kode etik advokat. Namun demikian dalam kenyataannya, tidak jarang
beberapa advokat lalai dari tugasnya, contohnya ada pada kasus mantan pengacara senior
Hairandha Suryadinata.
Hairandha Suryadinata adalah mantan seorang pengacara senior yang dicabut izinnya
sebagai advokat oleh PERADI terkait kasus penipuan dan rangkap jabatan. Dalam kasus
penipuan, beliau nekat menggelapkan uang sebesar Rp 165 juta milik kliennya (Mulyanto
Wijaya) dengan dalih menjajikan perkara yang dialami korban (klien Hairandha) akan di SP 3
(dihentikan), yaitu mengenai kasus penganiayaan yang menjerat korban. Dalam konsultasi
Hairandha mengatakan kepada korban, bahwa kasus yang membelitnya tersebut dapat
dihentikan, asalkan korban menyediakan uang senilai Rp 100 juta, sebagai rinciannya uang
tersebut akan diberikan kepada Kapolrestabes Surabaya Rp 50 juta, Kanitreskrim Rp 25 juta,
Wakasatreskrim Rp 10 juta, Kanitresmob Rp 5 juta, Propam Polda Jatim Rp 10 juta dan
penyidik Rp 2 juta, tetapi uang tersebut tidak diberikan melainkan dipakai sendiri. Hairandha
meyakinkan korban jika perkara tersebut mulai masuk tahap SP 3 berkat lobinya selama ini,
oleh karena itu Hairandha kembali meminta uang senilai Rp 65 juta.
Masalah ini terbongkar ketika korban (Mulyanto Wijaya) mendatangi penyidik untuk
menayakan proses perkaranya, yang menurut pemaparan Hairandha bakal SP 3. Ternyata
penyidik menjelaskan jika perkara tersebut masih berlanjut, dan korban pun mendatangi
rumah Hairandha, tetapi beliau malah berdalih jika perkaranya masih dalam proses dan justru
meminta uang lagi sebesar Rp 10 juta. Korban pun lantas melaporkan Hairanda ke
Polestasbes dengan dugaan melanggar Pasal 378 KUHP tentang penipuan. Selain itu
Hairandha juga terjerat kasus rangkap jabatan terkait jabatannya sebagai notaris. Perkara
yang menjerat pengacara Hairanda telah diputus oleh Pengadilan Negeri dan hasilnya,
Hairanda terbukti melakukan penipuan yang kemudian diputus 6 bulan penjara pada tahun
2015, lalu pada tahun 2016 beliau diberhentikan secara tetap oleh PERADI karena melanggar
Pasal 6 huruf a Undang-undang No.18 Tahun 2003, melanggar sumpah dan janji advokat
serta kode etik profesi advokat sesuai Pasal 6 huruf f dan larangan rangkap jabatan yang
bertentangan dengan Pasal 3 ayat 1 huruf g UU advokat jo Pasal 3 huruf g UU No 2 Tahun
2014 tentang perubahan atas UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

B. Permasalahan
Berdasarkan hal-hal yang telah di jelaskan, adapun permasalahan yang kami temukan
dan kami angkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peran advokat dalam penegakkan hukum di Indonesia?
2. Bagaimana upaya penegakkan terkait pelanggaran akan kode etik profesi yang
dilakukan oleh seorang advokat?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui peran advokat sebagai alat penegak hukum di Indonesia
2. Mengetahui bagaimana upaya yang dilakukan oleh alat penengak hukum terkait
pelanggaran akan kode etik profesi yang dilakukan oleh seorang advokat yang
notabene adalah salah satu alat penegak hukum.

D. Pembahasan
1. Peran advokat sebagai salah satu alat penegak hukum di Indonesia.
Berdasar Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang advokat, mendefiniskan secara
jelas bahwa advokat adalah suatu profesi yang memberikan jasa hukum, baik di dalam
pengadilan maupun di luar pengadilan sesuai dengan syarat-syarat yang terdapat pasal 3
undang-undang tersebut. Advokat termasuk ke dalam profesi yang luhur, hal ini dikarenakan
advokat lebih mengutamakan public service dibandingkan dengan nafkah. Kemudian dalam
beracara, advokat menjujung tinggi kehormatan, keberanian, komitmen, integritas,
profesional, hukum, dan keadilan.
Advokat dalam menjalankan fungsi dan perannya bergerak secara mandiri dalam
mewakili ataupun menyelesaikan perkara kliennya tanpa intervensi dari kekuasaan negara,
seperti halnya yang terdapat pada hakim, jaksa dan polisi yang dalam hal ini mewakili
kepentingan pemerintah berdasarkan intervensi negara. Dalam beracara, advokat murni
mewakili kepentingan kliennya, dalam rangka menegakkan keadilan, serta disertai dengan
penilaian objektif yang didasarkan pada keahlian yang dimiliki dengan mempertimbangkan
batasan-batasan yang ada tanpa mengesampingkan kode etik. Mekanisme penyelesaian
perkara yang dilakukan oleh advokat sangat tergantung kepada kondisi masyarakat yang
berangkutan, jika mobilitas masyarakat baik dan kompleks, maka seorang advokat harus
mengatahui bagaimana menangani suatu perkara dan paham betul dengan kondisi yang ada di
masyarakat atau dengan kata lain advokat dituntut untuk mengikuti perkembangan
masyarakat dalam kaitannya dengan penyelesaian suatu perkara.
Secara garis besar, advokat memiliki peran untuk medorong terjadinya penerapan
penegakkan keadilan suatu hukum terhadap setiap kasus atau perkara. Kemudian dalam
pelaksaanaan akan penegakkan keadilan tersebut, tidak bertentangan dengan kesusilaan,
ketertiban umum dan rasa keadilan individual dan sosial. Tidak hanya itu seorang advokat
juga ditutut untuk mendorong agar hakim tetap netral dalam memeriksa dan memutus
perkara, bukan sebaliknya menempuh segala cara agar hakim tidak netral dalam menerapkan
hukum.

2. Penegakkan hukum terkait pelanggaran akan kode etik profesi yang dilakukan oleh
seorang advokat yang notabene adalah salah satu alat penegak hukum.
Berkaitan dengan kasus yang telah dipaparkan di atas, kasus yang menjerat mantan
pengacara senior Hairandha Suryadinata pada 2015 tentang penipuan dalam putusan PN

SURABAYA Nomor 3121/Pid.B/2014/PN.Sby Tahun 2015, menyatakan bahwa Hairandha terbukti


secara sah melakukan tindakan penipuan dengan putusan 6 bulan penjara. Di dalam putusan
tersebut tidak terdapat tudingan yang berkaitan dengan pelanggaran kode etik advokat, hal ini
dikarenakan, suatu gugatan yang kaitanya kode etik baru akan dikeluarkan apabila perkara
ataupun kasus yang menjerat terdakwa dalam hal ini advokat yang melanggar kode etiknya,
telah terdapat putusan hakim yang mengikat atau dengan kata lain status terdakwa telah
menjadi terpidana (dalam hal ini adalah kasus penipuan).
Terkait kasus penipuan yang jika ditinjau berdasarkan undang-undang advokat no.18
tahun 2003, Hairandha melanggar Pasal 6 ayat (1) yaitu mengabaikan/ menelantarkan
kepentingan klien, karena kasusnya tidak diselesaikan sebagaimana proses yang seharusnya
dilakukan oleh seorang advokat, selain itu Hairandha juga melanggar Pasal 378 KUHP
tentang penipuan dengan ancaman pidana penjara 4 tahun, yang jika dikaitkan dengan
undang-undang advokat, maka melanggar Pasal 3 ayat (1) butir b, yang menyatakan bahwa
advokat dapat diberhentikan apabila dijatuhi pidana yang diancam dengan hukuman 4 tahun
atau lebih.
Pada tahun 2016, barulah Hairandha dicabut izinnya sebagai seorang advokat oleh
PERADI. Keputusan yang dikeluarkan PERADI tersebut lantaran Hairandha Suryadinata
dinilai tidak menjalankan tugasnya sebagai seorang advokat secara baik atau dengan kata lain
telah melanggar kode etik sebagai advokat saat menangani kasus Mulyanto Wijaya terkait
perkara penganiayaan di Polrestabes Surabaya. Hairandha terbukti telah melanggar:
1. Pasal 6 huruf a UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
2. Melanggar sumpah dan janji advokat serta kode etik profesi advokat sesuai Pasal 6
huruf F
3. Larangan rangkap jabatan yang bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1) UU No.18
Tahun 2003 tentang Advokat jo Pasal 3 huruf g UU No. 2 Tahun 2014 tentang
perubahan atas UU No.30 tahun 2004 tentang jabatan notaris.
Profesi advokat melarang secara tegas terkait dengan rangkap jabatan, hal ini
dikarenakan advokat sendiri merupakan profesi luhur yang lebih mengutamakan public
service daripada nafkah. Dengan demikian, penegakkan kasus ataupun perkara pidana akan
suatu profesi yang memiliki kode etik memiliki konsekuensi serta sanksi yang lebih berat
dibandingkan dengan pekerjaan yang tidak terdapat suatu kode etik yang berfungsi mengatur
dan mengawasi. Karena selain mendapat sanksi umum pidana juga terdapat sanksi dari kode
etik profesi yang bersangkutan.

E. Kesimpulan
Profesi advokat adalah profesi luhur yang menegakkan keadilan hukum bagi setiap
individu. Yang dalam melakukan tugasnya dilakukan tanpa melihat intervensi ras, suku,
agama, dan gender serta tanpa tekanan dari pihak manapun. Dengan adanya kode etik,
tanggung jawab profesi akan menetapkan hitam atas putih berkaitan dengan niat untuk
mewujudkan nilai-nilai moral. Hal ini tidak akan pernah bisa dipaksakan dari luar artinya,
hanya dapat berfungsi secara optimal jika ditanamkan dalam diri masing-masing pelaku
profesi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kode etik profesi advokat sangat melekat
dan menjadi pedoman bagi masing-masing pelaku profesi advokat dalam rangka menjalankan
profesinya tersebut.

Anda mungkin juga menyukai