Anda di halaman 1dari 35

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Preeklampsia adalah kelainan pada multisistem yang dapat mengakibatkan

munculnya manifestasi klinik dengan hipertensi dan proteinuria dengan atau tanpa

disertai simptomatik, hasil tes labor ibu yang tidak normal, pertumbuhan dalam rahim

yang terhambat (intauterine growth restriction /iugr) atau menurunnya volume cairan

amnion.1
1.2 Epidemiologi
Insiden preeklampsia berat berkisar antara 0,6-1,2% dari jumlah kehamilan di

negara barat. Preeklampsia pada usia kehamilan < 37 minggu terjadi pada 0,6-1,5%

kehamilan dan preeklampsia berat dengan usia kehamilan < 34 minggu terjadi pada

0,3% kehamilan. Kemungkinan preeklampsia berat dan preeklampsia preterm pada

dasarnya meningkat pada wanita dengan riwayat preeklampsia dan pada wanita yang

memilki penyakit diabetes mellitius, hipertensi kronik, dan gamelli.1


1.3 Faktor Risiko
Dari Analisis Sekunder WHO Global Survey pada Kesehatan Maternal dan

Perinatal, faktor risiko terjadinya preeklampsia pada ibu hamil yaitu Indek Massa

Tubuh (IMT) yang tinggi, primipara, tidak melakukan antenatal care (ANC),

hipertensi kronik, diabetes gestasional, penyakit jantung dan ginjal, pielonefritis atau

infeksi traktus urinaria, anemia berat.2


Pada penelitian Ali et al (2011), wanita dengan anemia berat memiliki resiko

lebih tinggi 3,6 kali lipat dibandingkan wanita yang tidak anemia. Dari observasi

17,7% wanita dengan anemia berat memilki mengalami hipertensi gestasional atau

preeklampsia dan eklampsia. Kerentanan wanita dengan anemia berat untuk


mengalami preeklampsia bisa diakibatkan defisiensi mikronutrien dan antioksidan.

Berkurangnya kandungan kalsium serum, magnesium dan zinc selama kehamilan

memungkinkan terjadi preeklampsia.3


Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya

preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang

mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi:4


1. Usia
Insiden tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua.

Pada wanita hamil usia kurang dari 25 tahun insiden > 3 kali lipat. Pada

wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi yang

menetap.
2. Paritas
angka kejadian tinggi pda primigravida, muda maupun tua, primigravida tua

risiko lebh tinggi untuk preeklampsia berat.


3. Faktor genetik
Jika ada riwayat preklampsia/eklampsia pada ibu/nnek penderita, faktor risiko

menigkat sampai 25%. Diduga adanya suatu resesif (recessive trait), yang

ditentukan genotip ibu dan janin. terdapat bukti bahwa preeklampsia

merupakan penyakit yang diturunkan. Penyakit ini lebih sering pada anak

wanita dari ibu penderita preeklampsia.


4. Diet/gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO).

Penelitain lain menyatakan kekurangan kalsium berhubungan dengn angka

kejadian yang tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang

obes/overweight.
5. Tingkah laku/sosioekonomi
Kebiasaan merokok: insidens pada ibu perokok lebih rendah. Namun merokok

selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin


terhambat yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau istirahat

baring yang cukup selama hamil mengirangi kemungkinan insidens hipertensi

dalam kehamilan
6. Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,

dizigotik lebih tinggi dari pada monozigotik.


7. Mola hidatidosa
8. Degenerasi trofoblas berlebihan
Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada

kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan

muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada

preeklampsia.

9. Obesitas
Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya

preeklampsia jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pda

wanita dengan Body Mass Index (BMI) <20 kg/m3 menjadi 13,3% pada

wanita dengan BMI >35 kg/m3.


10. Kehamilan multiple
Preeklampsia dan eklampsi 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda

dari 105 kasus kembar dan didapat 28,6% preeklampsi dan satu kematian ibu

karena eklampsia. Dari penelitian Agung Supriandono dan Sulchan Scfoewan

menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus preklampsia berat mempunyai jumlah janin

lebih dari satu sedangkan pada kelompok kontrol, 2 (1,2%) kasus mempunyai

jumlah janin lebih dari satu.


1.4 Etiologi

Etiologi preeklampsia secara pasti belum dapat ditentukan, namun terdapat teori-

teori mengenai penyebab dari penyakit ini. Invasi tropoblast yang abnormal dianggap
sebagai penyebab kausatif. Invasi tropoblast yang tidak sempurna terhadap arteri

spiralis pada awal trimester satu dan dua sehingga menyebabkan arteri spiralis tidak

dapat berdilatasi dengan sempurna dan mengakibatkan turunya aliran darah di

plasenta. Kemudian akan terjadi stress oksidatif, peningkatan radikal bebas, disfungsi

endotel, agregasi dan penumpukan trombosit yang dapat terjadi di berbagai organ.5,6,7

Hipotesis lain yang berkembang terkait penyebab preeklampsia adalah adanya

faktor imunologi. Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karna pada

masa ini terjadi mungkin terjadi blocking antibodies yang tidak sempurna terhadap

antigen plasenta sehingga timbul respon imun yang tidak menguntungkan. Respon ini

diduga berkontribusi menyebabkan pembentukan vaskularisasi plasenta yang tidak

sempurna sehingga nantinya dapat menyebabkan stres oksidatif pada plasenta.5,6

Faktor genetik juga diduga memiliki peran dimana resiko kejadian preeklampsia

diteliti oleh Ward and Lindheimer (2009) 20-40% pada perempuan dari ibu yang

pernah menderita preeklampsia dan 11-37 % pada pada perempuan dengan saudara

wanita yang memiliki riwayat preeklampsia serta risiko 22-47 % pada wanita dengan

saudara kembar memiliki riwayat preeklampsia. Ward and Lindheimer (2009)

menemukan lebih dari 70 gen yang telah diteliti memiliki keterkaitan dengan

preeklamsia. Tujuh diantaranya telah diteliti lebih dari 100 penelitian dan hampir
setengahnya dilaporkan memiliki keterkaitan yang signifikan. 5,8

Tabel 1.1 Gen terkait kejadian preeklampsi

Faktor nutrisi juga diduga menjadi penyebab terjadinya preeklampsia.

Penelitian John et al (2002) didapatkan pada populasi dengan konsumsi buah dan

sayur yang tinggi memiliki aktivitas antioksidan yang terkait dengan penurunan

tekanan darah. Pada penelitian Zhang et al (2002) didapatkan insiden dua kali lebih

tinggi preeklamsia pada wanita yang mengonsumsi vitamin C kurang dari 85 mg.4,8
Gambar 1.1 Invasi tropoblast inkomplit sebagai etiologi preeklampsi5

1.5 Klasifikasi Preeklampsia

Preeklampsia terbagi atas 2 berdasarkan tingkat keparahan penyakit yaitu

preeklampsia ringan dan preeklampsia berat. Tingkat keparahan penyakit ini

dinyatakan atas manifestasi klinis yang ada.7

Tabel1.2 Klasifikasi preeklamsia berdasarkan manifestasi klinis7


1.5 Patofisiologi

Sebagai konsekuensi dari vasospasme, disfungsi endotel, dan iskemia pada

patologi dari preeklampsia, terdapat banyak pengaruh terhadap multi organ

maternalyang secara klinis saling tumpang tindih.

a. Sistem Kardiovaskular
Gangguan kardiovaskular sering didapati pada preeklampsia dan eklampsia.

Hal ini dihubungkan dengan; 1)Peningkatan beban afterload jantung dikarenakan

hipertensi,2) Kardiak preload, 3) Aktivasi endotel dengan ekstravasasi cairan

intravaskular ke dalam ruang ekstraselular, terutama ke dalam paru. Ada keamilan

normal, terdapat peningkatan dari massa ventrikel kanan, tetapi disini tidak ada

bukti yang meyakinkan bahwa terdapat peruhan struktur anatomi lainnya yang

terjadi dikarenakan preeklampsia.5


b. Darah
Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang

normal. Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan

destruksi eritrosit (lebih jarang) sering dijumpai pada preeklampsia menurut

Baker (1999) dalam Cunningham (2005). Trombositopenia merupakan kelainan

yang sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/l yang ditemukan

pada 15-20% pasien. Level fibrinogen meningkat sangat aktual pada pasien

preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal.

Level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia biasanya berhubungan

dengan terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption). Pada 10 %

pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan terjadinya HELLP


syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik, peningkatan enzim hati

dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak jauh dengan waktu

kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi peningkatan tekanan

darah. Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke normal dalam dua

hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa menetap selama

seminggu.5
c. Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasme setempat atau menyeluruh

pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasme

arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat,

tetapi bukan berarti spasme yang ringan adalah preeklampsia yang ringan. Pada

preeklampsia dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan edema intraokuler dan

merupakan indikasi untuk dilakukannya terminasi kehamilan. Ablasio retina ini

biasanya disertai kehilangan penglihatan. Skotoma, diplopia dan ambliopia pada

penderita preeklampsia merupakan gejala yang menunjukan akan terjadinya

eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah dalam pusat

penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.5


d. Paru
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia

dan merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa diakibatkan oleh

kardiogenik ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah melahirkan. Pada

beberapa kasus terjadinya edema paru berhubungan dengan adanya peningkatan

cairan yang sangat banyak. Hal ini juga dapat berhubungan dengan penurunan

tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai

pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang dihasilkan oleh hati.5
e. Hati
Pada preeklampsia berat kadang terdapat perubahan fungsi dan integritas

hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar

aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali

serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta.

Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan besar

penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum. Perdarahan pada lesi

ini dapat menyebabkan ruptur hepar, atau dapat meluas di bawah kapsul hepar

dan membentuk hematom subkapsular.5


f. Ginjal
Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus meningkat

cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi

glomerulus menurun. Lesi karakteristik dari preeklampsia, glomeruloendoteliosis,

adalah pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan

penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam urat plasma biasanya

meningkat, terutama pada wanita dengan penyakit berat.


Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan

sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya

volume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat

dibandingkan dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada

beberapa kasus preeklampsia berat, keterlibatan ginjal menonjol dan kreatinin

plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau

berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan

intrinsik ginjal yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat. Penurunan filtrasi


glomerulus akibat spasme arteriol ginjal mengakibatkan filtrasi natrium melalui

glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam dan juga retensi air.5
Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat proteinuria.

Namun, karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita mungkin sudah

melahirkan sebelum gejala ini dijumpai. Meyer (1994) menekankan bahwa yang

diukur adalah ekskresi urin 24 jam. Mereka mendapatkan bahwa proteinuria +1

atau lebih dengan dipstick memperkirakan minimal terdapat 300 mg protein per

24 jam pada 92% kasus. Sebaliknya, proteinuria yang samar (trace) atau negatif

memiliki nilai prediktif negatif hanya 34% pada wanita hipertensif. Kadar

dipstick urin +3 atau +4 hanya bersifat Prediktif positif untuk preeklampsia berat

pada 36% kasus. Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan

permeabilitas terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka

ekskresi Filtrasi yang menurun hingga 50% dari normal dapat menyebabkan

diuresis turun, bahkan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan oligouria

ataupun anuria.
Lee dalam Cunningham melaporkan tekanan pengisian ventrikel normal pada

tujuh wanita dengan preeklampsia berat yang mengalami oligouria dan

menyimpulkan bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme intrarenal. Protein

albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin, globulin dan

transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh glomerulus

dan kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya proses

glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi kemudian

direabsorpsi juga terdeksi di dalam urin.Cidera pada podosit dan specific Podoit

Protein Expression memegang peranan penting dalam proteinuria pada


preeklampsia. Hali ini dibuktikan dengan meningkatnyaprotein spesifik podosit,

yaitu podocalyxin, nephrin, dan Big-h3 pada eksresi urin wanita dengan

preeklampsia.5,10

g. Sistem Endokrin dan Metabolism Air dan Elektrolit


Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II dan aldosterone

meningkat. Pada preeklampsia menyebabkan kadar berbagai zat ini menurun ke

kisaran normal pada ibu tidak hamil. Pada retensi natrium dan atau hipertensi,

sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang sehingga proses

penghasilan aldosteron pun terhambat dan menurunkan kadar aldosteron dalam

darah.
Pada ibu hamil dengan preeklampsiaterdapat peningkaan kadar peptide

natriuretik atrium Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan

meningkatnya curah jantung dan menurunnya resistensi vaskular perifer baik pada

normotensif maupun preeklamptik. Hal ini menjelaskan temuan turunnya

resistensi vaskular perifer setelah ekspansi volume pada pasien preeklampsia.

Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum diketahui

penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke

ruang interstisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan hematokrit, peningkatan

protein serum, edema yang dapat menyebabkan berkurangnya volume plasma,

viskositas darah meningkat dan waktu peredaran darah tepi meningkat. Hal

tersebut mengakibatkan aliran darah ke jaringanberkurang dan terjadi hipoksia.

Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air dalam tubuh lebih banyak

dibandingkan pada ibu hamil normal. Penderita preeklampsia tidak dapat

mengeluarkan air dan garam dengan sempurna. Hal ini disebabkan terjadinya
penurunan filtrasi glomerulus namun penyerapan kembali oleh tubulus ginjal

tidak mengalami perubahan.5


h. Otak
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak berfungsi.

Pada saat autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, jembatan penguat

endotel akan terbuka dan dapat menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah

keluar ke ruang ekstravaskular. Hal ini akan menimbulkan perdarahan petekie

atau perdarahan intrakranial yang sangat banyak. Pada penyakit yangbelum

berlanjut hanya ditemukan edema dan iskemia pada korteks serebri. Diaporkan

bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien hipertensi dalam

kehamilan lebih meninggi pada eklampsia. Pada pasien preeklampsia, aliran darah

ke otak dan penggunaan oksigen otak masih dalam batas normal. Pemakaian

oksigen pada otak menurun pada pasien eklampsia.5


i. Plasenta dan Uterus
Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi

plasenta. Pada hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin terganggu dan pada

hipertensi yang singkat dapat terjadi gawat janin hingga kematian janin akibat

kurangnya oksigenisasi untuk janin. Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan

terhadap perangsangan sering terjadi pada preeklampsia. Hal ini menyebabkan

sering terjadinya partus prematurus pada pasien preeklampsia. Pada pasien

preeklampsia terjadi dua masalah, yaitu arteri spiralis di miometrium gagal untuk

tidak dapat mempertahankan struktur muskuloelastisitasnya dan atheroma akut

berkembang pada segmen miometrium dari arteri spiralis. Atheroma akut adalah

nekrosis arteriopati pada ujung-ujung plasenta yang mirip dengan lesi pada

hipertensi malignan. Atheroma akut juga dapat menyebabkan penyempitan kaliber


dari lumen vaskular. Lesi ini dapat menjadi pengangkatan lengkap dari pembuluh

darah yang bertanggung jawab terhadap terjadinya infark plasenta.5


1.6 Diagnosis
a. Anamnesa

Bagian dari penilaian awal prenatal, wanita hamil harus ditanyakan

kemungkinan faktor risiko preeklamsia. Tanyakan juga tentang riwayat

obstertrik, khususnya riwayat terjadinya hipertensi atau preeklampsia selama

kehamilan sebelumnya. Selama kunjungan prenatal setelah kehamilan 20

minggu, wanita hamil harus ditanyakan tentang gejala spesifik, termasuk

gangguan visual, sakit kepala persisten, nyeri epigastrium atau kuadran kanan

atas dan edema.11

b. Pemeriksaan fisik

Tekanan darah harus dihitung setiap kali melakukan kunjungan

prenatal. Tekanan darah diukur setelah istirahat selam 10 menit atau lebih dan

menggunakan manset sesuai dengan ukuran. Selama pemeriksaan tekanan

darah, pasien harus dalam posisi tegak atau berbaring dengan lengan sejajar

jantung.11

Tinggi fundus harus diukur pada setiap kunjungan prenatal karena

ukuran kurang dari usia kehamilan mungkin menunjukkan hambatan

pertumbuhan dalam kandungan atau oligohidramnion. Kondisi ini dapat

menjadi jelas jauh sebelum kriteria diagnostik untuk preeklamsia terpenuhi.


Peningkatan edema pada wajah dan kenaikan berat badan yang cepat juga

harus dicatat karena retensi cairan sering dikaitkan dengan preeklamsia.11

c. Pemeriksaan penunjang

Evaluasi laboratorium awal harus dilakukan di awal kehamilan pada

wanita yang berisiko tinggi untuk preeklamsia. Tes harus mencakup tingkat

hati enzim, jumlah trombosit, tingkat kreatinin serum, dan urin 12 hingga 24

jam untuk pengukuran protein total . pada preeklampsia berat kadar protein

urin mencapai 500mg/ L dalam 24 jam atau secara kualitatif +3.pada

pemeriksaan darah, hemoglobin dan hematokrit akan meningkat akibat

hemokonsentrasi. Trombositopenia dapat terjadi mencapai < 100.000/mm3.

Penurunan produksi benang fibrin dapat terjadi dan terjadi peningkatan

kreatinin serum.5

Menurut American College of Obstetricians and Gynecologist, yaitu:5

Kriteria minimal :

a. tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110 mmHg

minimal pengukuran dengan jarak 6 jam


b. proteinuria 5 gram atau lebih tinggi pada sampel urin 24 jam atau 3+ atau

lebih pada 2 kali pemeriksaan sampel urin dengan jarak paling sedikit 4 jam

Dapat disertai :

c. oliguria <500 c dalam 24 jam


d. trombositopenia (> 100.000 sel/ mm3)
e. peningkatan pada pemeriksaan faal hepar disertai rasa nyeri di epigastrium

atau nyeri kuadran kanan atas


f. adanya gangguan serebral atau gangguan penglihatan
g. terdapat edema paru dan sianosis
h. kenaikan kadar serum kreatinin
i. pertumbuhan janin terhambat
1.7 Manajemen preeklampsia berat

Tatalaksana preeklampsia berat tergantung dari penilaian , stabilisasi,

monitoring, dan persalinan dengan waktu yang optimal untuk ibu maupun

janinnya.12

a. Kontrol tekanan darah

Pengobatan antihipertensi harus diberikan pada wanita dengan SBP lebih dari

160 mmHg atau DBP lebih dari 110 mmHg. Obat yang dianjurkan adalah

labetalol , nifedipin atau hydralazine. Labetalol memiliki keuntungan yaitu dapat

diberikan secara oral pada awal tatalaksana hipertensi berat dan jika dibutuhkan

dapat dilanjutkan melalui intravena. hydralazine mungkin kurang disukai,

meskipun bukti tersebut tidak cukup kuat untuk menghalangi penggunaannya.

konsensus menyebutkan bahwa, jika tekanan darah di bawah 160/100 mmHg,

tidak mendesak untuk diberikan terapi antihipertensi. Pengecualian jika penyakit

berpotensi lebih parah, seperti proteinuria berat atau gangguan pemeriksaan faal

hepar atau hasil tes hematologi. Jika terdapat tanda-tanda tersebut tekanan darah

yang tinggi harus diantisipasi, pengobatan anti-hipertensi pada tingkat tekanan

darah yang lebih rendah dapat dibenarkan. Atenolol, ACE inhibitors, ARB dan

diuretic harus dihindari. Penggunan antihipertensi labetalol harus dihindari pada

wanita hamil dengan riwayat asma.12


Metildopa dan labetalol adalah terapi yang biasa digunakan di Inggris.

Metildopa terbukti aman pada tindaklanjut jangka panjang pada janin, sementara

beberapa penelitian menyarankan labetalol. Dokter harus mengguanakn obat yang

dikenalinya. Atenolol berhubungan dengan peningkatan pertumbuhan janin

terhambat. ACE inhibitor dan ARB merupakan kontraindikasi karena

mengakibatkan efek yang buruk terhadap janin.12

b. Cegah kejang

Magnesium sulfat harus diberikan pada wanita dengan preeklampsia yang

dikhawatirkan berisiko terjadi eklampsia. Magnesium sulfat diberikan pada

keadaan preeklampsia berat yang akan dilakukan persalinan sampai postpartum.

Studi MAGPIE telah menunjukkan bahwa pemberian magnesium sulfat untuk

wanita dengan pre-eklampsia dapat mengurangi risiko kejang eklampsia. wanita

hamil yang menggunakan magnesium sulfat memiliki risiko 58% lebih rendah

terjadinya kejang eklampsia, (95% CI 40-71%). Jika magnesium sulfat diberikan,

terapi dilanjutkan selama 24 jam setelah persalinan atau 24 jam setelah kejang

terakhir. Ketika magnesium sulfat diberikan, penilaian rutin terhadap output urine,

reflex patella, laju pernapasan dan saturasi oksigen penting untuk dilakukan.12

Cara pemberian MgSO4 :6

a. Loading dose
4 gr MgSO4 diberikan selama 5-10 menit lalu dilanjutkan dengan dosis

maintainance
b. Maintainance dose
1 gram/ jam MgSO4 dalam cairan infus sampai 24 jam postpartum
Syarat pemberian :5

a. reflex patella (+) kuat


b. frekuensi nafas >16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distress nafas.
c. produksi urin minimal 30 cc/jam selama 4 jam terakhir
d. tersedia antidotum yaitu, Ca glukonas 10%= 1 gr diberikan secara IV selama 3

menit.
c. Terapi cairan
Pembatasan cairan disarankan untuk mengurangi risiko kelebihan cairan pada

periode intrapartum dan postpartum. Dalam keadaan biasa, jumlah cairan harus

dibatasi sampai 80 ml / jam atau 1 ml / kg / jam.12


Selama 20 tahun terakhir, edema paru telah menjadi penyebab signifikan

kematian pada ibu .hal ini sering dikaitkan dengan manajemen cairan yang tidak

sesuai. Tidak ada bukti dari manfaat ekspansi cairan dan pembatasan cairan

berhubungan dengan perbaikan keadaan ibu. Tidak ada bukti bahwa menjaga

output urin penting untuk mencegah gagal ginjal, hal ini jarang terjadi.

Pembatasan cairan harus dipertahankan hingga diuresis postpartum tercapai,

seperti oliguria biasa terjadi berat pre-eklampsia. Jika terjadi perdarahan pada ibu,

balance cairan akan lebih sulit dan pembatasan cairan tidak perlu dilakukan12
d. Rencana persalinan
Kelahiran harus direncanakan dengan baik, dilakukan pada hari terbaik,

dilakukan di tempat yang terbaik, dengan jalur terbaik dan dengan tim dukungan

terbaik. Penundaan beberapa jam dalam persalinan mungkin bermanfaat untuk

mempersiapkan perawatan neonatal menjadi lebih terorganisir. Hal ini dilakukan

agar ibu stabil sebelum melahirkan. Jika kehamilan lebih besar dari 34 minggu,

persalinan setelah dilakukan stabilisasi sangat dianjurkan. Jika kurang dari 34

minggu dan kehamilan dapat diperpanjang lebih dari 24 jam, steroid membantu
mengurangi angka kematian janin akibat gangguan pernapasan. Ada

kemungkinan manfaat dari terapi steroid bahkan jika persalinan kurang dari 24

jam setelah pemberian.12


Memperpanjang masa kehamilan pada usia kehamilan yang masih muda dapat

meningkatkan hasil untuk bayi prematur tetapi hanya dapat dipertimbangkan jika

ibu tetap stabil.12


Dua penelitian melaporkan bahwa terjadi penurunan komplikasi neonatal

dengan manajemen ekspektatif pada early onset preeklampsia berat. Penundaan

persalinan selama rata-rata 7 hari dan 15 hari, masing-masing, di kehamilan 28-34

minggu dan dari 28-32 minggu, tidak mempengaruhi peningkatan risiko

terjadinya komplikasi pada ibu. Beberapa kasus menyebutkan hasil serupa pada

kehamilan 24 minggu.12
Persalinan direncanakan dengan hati-hati setelan semua tenaga kesehatan

telah disiapkan. persalinan pervaginam umumnya lebih dianjurkan tetapi jika

kehamilan di bawah 32 minggu, lebih baik dilakukan operasi caesar.Setelah 34

minggu dengan presentasi kepala, persalinan per vaginam harus dipertimbangkan.

Konsultan dokter kandungan harus mendiskusikan cara melahirkan dengan ibu.

Prostaglandin vagina akan meningkatkan keberhasilan persalinan. Pengobatan

anti-hipertensi harus terus dilanjutkan selama penilaian.12


e. Pengelolaan saat persalinan

Dokter harus menyadari risiko kejang post partum dan memastikan bahwa

ibu dalam keaadan yang baik sebelum pulang dari rumah sakit.12

Obat anti-hipertensi harus dilanjutkan setelah melahirkan dan mungkin

perlu untuk dilanjutkan hingga 3 bulan, meskipun kebanyakan wanita dapat

dihentikan lebih awal. Wanita dengan hipertensi dan proteinuria yang bertahan
hingga 6 minggu mungkin memiliki penyakit ginjal dan harus dilakukan

pemeriksaan lebih lanjut.12

Pre-eklampsia berat atau eklampsia dapat terjadi pada periode postpartum.

Hingga 44% dari eklampsia telah dilaporkan terjadi postnatal, terutama pada

wanita aterm. Wanita yang mengalami hipertensi atau gejala pre-eklampsia

postnatal (sakit kepala, gangguan penglihatan, mual dan muntah atau nyeri

epigastrium) harus dirujuk untuk pendapat spesialis dan dilakukan pemeriksaan

penunjang untuk menyingkirkan pre-eklampsia.12

Wanita yang melahirkan dengan preeklamsia berat (atau eklampsia) harus

terus di perhatikan. Seperti eklampsia telah dilaporkan hingga 4 minggu postnatal,

selama perawatan di rumah sakit eklampsia dan pre-eklampsia berat terjadi

setelah hari keempat postpartum.12

Kebanyakan wanita dengan berat preeklamsia atau eklamsia akan

membutuhkan rawat inap selama 4 hari atau lebih setelah persalinan. Terapi anti-

hipertensi harus dilanjutkan setelah melahirkan. Meskipun, awalnya, tekanan

darah bisa turun, biasanya naik lagi di sekitar 24 jam postpartum. Penurunan

terapi anti-hipertensi harus dilakukan secara bertahap. Setelah pre-eklampsia,

tekanan darah bisa memakan waktu hingga 3 bulan untuk kembali normal. Saat

ini, tidak ada cukup bukti untuk merekomendasikan anti-hipertensi tertentu.

Namun sebaiknya dihindari penggunaan alpha metildopa pada periode postnatal

karena efek samping, terutama depresi. Dalam wanita menyusui, labetalol,

atenolol, nifedipine dan enalapril dapat digunakan, baik secara tunggal atau

kombinasi.12
f. Follow up dan diagnosis akhir

Penilaian tekanan darah dan proteinuria oleh dokter umum di 6 minggu

setelah melahirkan cek dianjurkan. Jika hipertensi atau proteinuria menetap

sebaiknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.12

Wanita dengan berat pre-eklampsia atau eklampsia harus dianjurkan

membahas riwayat selama kehamilan. Konseling prakonsepsi harus dianjurkan di

mana riwayat sebelumnya, faktor-faktor risiko dan terapi pencegahan dapat

didiskusikan dengan dokter.Bukti menunjukkan bahwa sampai 13% dari wanita

dengan pre-eklampsia harus menderita hipertensi kronis atau esensial yang tidak

diduga saat antenatal.12

1.8 Komplikasi Preeklampsia berat13, 14, 15

Hipertensi dalam kehamilan sering dihubungkan dengan peningkatan

mortalitas dari ibu, janin, dan infant. Beberapa komplikasi yang dapat menyertai

preeklampsia berat pada ibu adalah gangguan dari beberapa organ seperti, gangguan

ginjal dengan manifestasi klinis proteinuria dan oliguria, gangguan dari sistem saraf

pusat, kerusakan pada sel-sel hati, edema paru, gangguan pada fungsi penglihatan,

dan gangguan dari sistem cerebrovaskular. Sedangkan komplikasi yang dapat terjadi

pada janin berupa gangguan pertumbuhan intra uterine yang berat (IUGR), solusio

plasenta, dan oligohidramnion.

Komplikasi dari preeklampsia juga dapat dibagi atas dua yakni ada yang bersifat

jangka pendek dan ada yang bersifat jangka panjang. Komplikasi yang bersifat jangka

pendek dapat berupa: kematian, baik ibu dan janin, eklampsia, gangguan sistem
ginjal, gangguan pada janin dan plasenta, edema paru, kerusakan hepatoseluler, DIC,

dan sindrom HELLP.Komplikasi yang bersifat jangka panjang dapat berupa

peningkatan risiko preeklampsia pada kehamilan yang berikutnya.

1.9 Prognosis Preeklampsia berat16

Dengan persalinan dan penggunaan magnesium sulfat pada waktu yang tepat,

sebenarnya tingkat kematian ibu dapat ditekan. Angka kejadian rekurensi dari

kejadian preeklampsia berat cukup tinggi, dimana dapat mencapai 40%. Perempuan

dengan preeklampsia pada kehamilan pertama cenderung tidak akan menjadi

hipertensi, sedangkan pada multipara cenderung untuk menjadi hipertensi.


BAB II
LAPORAN KASUS

Nama : Ny R
Tanggal lahir : 21 februari 1986
Umur : 29 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pedagang
Agama : Islam
Alamat : Padang Lua
Suku : Simabur
No MR : 43 11 85
Tanggal dirawat : 14 Januari 2016

ANAMNESIS
Seorang pasien wanita, 24 tahun, masuk rawatan kebidanan melalui UGD RS
Achmad Mochtar dengan diagnosis G1P0A0H0 gravid 28 minggu + PEB.

Riwayat Penyakit Sekarang :


- Tidak ada tanda tanda impartu pada pasien.
- Tidak ada tanda tanda impending
- Tidak haid sejak 7 bulan yang lalu.
- HPHT tanggal 13 Juli 2015
- Gerak anak dirasakan sejak
- Mual () Muntah ()
- Pendarahan ()
- ANC control
- Riwayat menstruasi
- Riwayat aborsi/kehamilan/persalinan
- Sebelum pasien datang ke rumah sakit, pasien dirujuk oleh dokter spesialis
kandungan.
Riwayat Penyakit Dahulu:
- Riwayat anemia pada pemeriksaan ANC terakhir kehamilan ini.
- Tidak pernah menderita penyakit hati, ginjal, paru, diabetes melitus.

Riwayat Penyakit Keluarga:


- Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan, penyakit
menular dan penyakit kejiwaan.

Riwayat Perkawinan: 1 x tahun 2015

Riwayat Kehamilan/ Abortus/ Persalinan : 1/0/0

Riwayat Imunisasi: Tidak ada

Riwayat Kontrasepsi: Tidak ada

Riwayat Psikososial :

Pendidikan terakhir ibu : SMA


Pendidikan terakhir suami : SMA
Pekerjaan ibu : Ibu Rumah Tangga
Pekerjaan suami : Buruh
Penghasilan rata-rata suami per bulan+Rp 800.000,-, dirasa cukup.
Pasien merasa tidak perlu melakukan kunjungan perawatan kehamilan dan
fasilitas kesehatan jauh dari tempat tinggal.
Pasien merasa aman tinggal di tempat tinggal sekarang.
Pasien dan anggota keluarga lain tidak ada yang tidur dalam kelaparan.
Pasien tidak pernah menggunakan tembakau atau olahannya, obat
terlarang dan alkohol.
Gambaran tingkatan stress pasien adalah level 1dalam skala 1-5
Kehamilan sekarang direncanakan, karena pasien ingin mempunyai anak.

Riwayat Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hb, dengan hasil 14,4 gr/dl .


Pemeriksaan Ht sebelumnya 1 kali : tidak ada.
Pemeriksaan urinalisa dan kultur urin sebelumnya : tidak pernah.
Pemeriksaan golongan darah : tidak ada.
Pemeriksaan penapisan antibody, status rubella, penapisan sifillis, paps smear,
ujiHbsAg, dan uji HIV sebelumnya : tidak pernah.

Riwayat kehamilan resiko tinggi


Pasien tidak pernah menderita penyakit lain dalam hamil yang sekarang.
Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat saat ini.
Tidak pernah menderita kelainan gizi kurang atau buruk sebelumnya.

Riwayat Nutrisi
Penambahan berat badan selama kehamilan tidak diketahui.
Porsi makan pagi (jam 07.00) biasanya: Nasi dengan 1 potong protein hewani,
kadang kadang dengan sayur.
Porsi makan siang (jam 13.00) biasanya: Nasi dengan 1 potong protein
hewani, kadang-kadang dengan sayur
Porsi makan malam (jam 19.00) biasanya : Nasi dengan 1 potong protein
hewani atau nabati, kadang kadang dengan sayur.
Makanan selingan biasanya buah-buahan antara waktu makan, jarang.
Pasien tidak pernah meminum susu selama hamil.
Penambahan porsi makan pasien selama hamil tidak ada.
Pasien menggunakan garam beryodium untuk masakan di rumah.
Penambahan suplemen mineral dan vitamin tidak ada.
Suplementasi besi selama kehamilan tidak ada.
Ibu mengaku mendapatkan makanan yang ia inginkan selama hamil
Ibu mengaku mendapatkan cukup makanan selama hamil.

Riwayat Kebiasaan :
Riwayat merokok selama hamil tidak ada.
Suami pasien perokok aktif sehari+ 1 kotak rokok, suami pasien merokok
biasanya di ruang tamu, dan selama pasien hamil tidak pernah merokok di
depan pasien.
Riwayat konsumsi alkohol selama hamil tidak ada.
Riwayat konsumsi kopi selama hamil tidak ada.
Riwayat penggunaan obat terlarang selama hamil tidak ada.

Riwayat Keluhan Medis


Riwayat kaki bengkak dan tensi tinggi selama kehamilan ada, mata kabur
selama kehamilan tidak ada.
Riwayat mual muntah selama kehamilan tidak ada.
Riwayat konstipasi, nyeri berkemih, nyeri punggung, varises, hemorrhoid,
ngidam aneh aneh, air liur berlebih, nyeri kepala dan keputihan selama
kehamilan tidak ada.
Riwayat nyeri ulu hati selama kehamilan tidak ada.

PEMERIKSAAN FISIK
Vital Sign

Keadaan umum : Sedang Suhu : 36,7 OC

Kesadaran : Komposmentis kooperatif Berat badan : 60 kg

Tekanan darah : 180/100 mmHg Tinggi badan :156 cm

Nadi : 98 x/menit Gizi : Sedang

Nafas : 22 x/menit sianosis : (-)

Mata : Konjungtiva anemis , sklera tidak ikterik

Leher : Tiroid tidak membesar, JVP 5-2 cm H2O

Thorax :

Paru : I : Simetris kiri = kanan

P : Fremitus kiri = kanan

Pk : Sonor

A : Vesikuler, Rh (-), Wh (-)

Jantung: I : Iktus tidak terlihat

P : Iktus teraba 1 jari lateral, LMCS RIC VII, kuat angkat

Pk: Batas jantung atas: RIC II, kanan : LSD, kiri: 1 jari

media LMCS RIC IV

A : Irama reguler , bising (-), murmur (-)

Abdomen I : Linea Nigra (+)


P : TFU 14 cm, NT (-), NL (-), DM (-),

Leup. Presentasi kepala , Punggung kanan

A : DJJ 176 x/ menit.

Genitalia : I: V/U tenang, PPV (+)

Ekstremitas : Edema (+/+) , refleks fisiologis (+/+), refleks


patologis (-/-), CRT < 2

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (15 Januari 2016) :
-Hb : 14,4 gr/dl (N 12 14)

-Eritrosit : 5.040 /uL (N 4.000 5.000)

-Hematokrit : 41,8 % (N 37 43)

-Leukosit : 17.260 (N 5.000 10.000)

-Trombosit : 411.000 (N 150.000 400.000)

-PT : 8,1 (N 9,5 11,7)

-APTT :34,4 (N 28 42)

Kesan: Leukositosis, PT memendek

DIAGNOSIS
G1P0A0H0 gravid 27-28 minggu + PEB

SIKAP
- Kontrol KU, VS , DJJ, PPV
- Informed consent

TERAPI
- IVFD 2 line:
-MgSO4 40% dosis maintenance 3 x 24 jam
-Metyldopa 3x2 tablet jika TD > 160
3x1 tablet jika TD > 140
- Adalotoros tablet 1x30 mg
-
RENCANA
- Ekspektatif ????

FOLLOW UP
16 Januari (Pukul 09.00)
S/ Demam (-), Pusing (-), Nyeri epigastrium (-), gerak anak (+0
O/ KU Kesadaran TD HR RR T
Sedang CMC 150/100mmHg 80x/i 20x/i 36,5oC
DJJ : 133 138 x/menit
Abdomen: TFU Px - Pst
Genitalia: I: V/U tenang, PPV (+)
A/ G1P0A0H0 gravid 27-28 minggu + PEB
P/ Pantau KU, vital sign
Inj dexamethasone 2x2
Infus RL drip MGSO4 lanjut
Balance cairan

17 Januari 2016 (Pukul 09.00)


S/ Demam (+), Pusing (-), Nyeri epigastrium (-), gerak anak (+), BAK (+) via
kateter
O/ KU Kesadaran TD HR RR T
Sedang CMC 150/80mHg 80x/i 20x/i 37,8oC
DJJ : 133 138 x/menit
Abdomen: TFU Px - Pst
Genitalia: I: V/U tenang, PPV (+)
A/ G1P0A0H0 gravid 27-28 minggu + PEB
P/ Pantau KU, vital sign
- IVFD 2 line:
-MgSO4 40% dosis maintenance 3 x 24 jam
-Metyldopa 3x2 tablet jika TD > 160
3x1 tablet jika TD > 140
- Adalotoros tablet 2x1
- Vit C 3x1
- SF 1x1
- Paracetamol 1 gram

18 Januari 2016 (Pukul 09.00)


S/ Demam (+), Pusing (-), Nyeri epigastrium (-), gerak anak (+), BAK (+) via
kateter
O/ KU Kesadaran TD HR RR T
Sedang CMC 140/80mHg 80x/i 23x/i 39,5oC
DJJ : 133 138 x/menit
Abdomen: TFU Px - Pst
Genitalia: I: V/U tenang, PPV (+)
A/ G1P0A0H0 gravid 27-28 minggu + PEB
P/ Pantau KU, vital sign
- IVFD 2 line:
-MgSO4 40% dosis maintenance 3 x 24 jam
- Metyldopa 3x2 tablet jika TD > 160
3x1 tablet jika TD > 140
- Adalotoros tablet 2x1
- Vit C 3x1
- SF 1x1
- Paracetamol 1 gram

BAB III
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 29 tahun pada tanggal 15

Januari 2016. Pasien masuk ruang rawatan kebidanan melalui KB IGD dengan

diagnosis G1P0A0H0 gravid 26 27 minggu + PEB.

pasien dirujuk dari praktik umum dokter karena tekanan darah tinggi. Ini

merupakan persalinan pertama. Nyeri kepala (+), nyeri ulu hati (-), pandangan

kabur (-),.BAK ada

Dari riwayat penyakit dahulu tidak didapatkan adanya riwayat hipertensi,

diabetes. Riwayat anemia pada pemeriksaan ANC terakhir kehamilan

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang, kesadaran

composmentis cooperative, tekanan darah 170/ 90, nadi 83 kali / menit, nafas 23

kali / menit, suhu 37 C, dari mata didapatkan konjungtiva anemis -/-, sclera tidak

ikterik -/- , pemeriksaan thorak dalam batas normal, ekstremitas didapatkan udem

di kedua tungkai +/+ . Status obstetric dari abdomen: TFU bpx-pusat, gerak

janin ??, NT (-), NL (-), DM (-). Genitalia dari inspeksi V/U tenang, PPV (+),

Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan diagnosis pasien G1P0A0H0

Berdasarkan literatur, adanya riwayat preeklampsia meningkatkan risiko

terjadinya preeklamsia berat. Faktor risiko lain yang mengakibatkan terjadinya

preeklampsia adalah primipara, obesitas, defisiensi gizi, hipertensi kronik,

antenatal care yang kurang, diabetes gestasional, penyakit jantung dan ginjal,

pielonefritis atau infeksi pada saluran kemih, dan juga anemia berat. Faktor resiko

lain yang ditemukan pada pasien berdasarkan anamnesis adalah adanya riwayat

ANC yang kurang dan defisiensi gizi selama kehamilan pada pasien.

Dari anamnesa pasien hanya melakukan pemeriksaan kehamilan 1 kali saat

usia kehamilan 8 bulan dan dilakukan pemeriksaan didapatkan tekanan darah


yang tinggi dan Hb 7 mg/dl berdasarkan keterangan pasien, lalu diberikan tablet

Fe. Pemeriksaan ANC seharusnya dilakukan minimal sebanyak 2 kali saat

trimester pertama, 1 kali pada trimester kedua, dan 1 kali pada trimester ketiga.

Selama kehamilan pertama dan kedua pasien tidak ada melakukan ANC ke bidan

maupun dokter. Pemeriksaan ANC meliputi 10 T yaitu Timbang berat badan, ukur

Tekanan darah, ukur Tinggi fundus, pemberian imunisasi Tetanus toxoid,

pemberian Tablet zat besi, Tes terhadap PMS, Temu wicara, Tentukan presentasi

janin dan hitung DJJ, Tetapkan status gizi, Tatalaksana kasus. Pemeriksaan ini

membantu bidan maupun dokter dalam melakukan skrining terhadap ibu hamil.

Dalam riwayat nutrisi penambahan berat badan selama kehamilan tidak

diketahui. Makanan selingan biasanya buah-buahan antara waktu makan, jarang.

Pasien tidak pernah meminum susu setiap hari. Penambahan porsi makan pasien

selama hamil tidak ada.. Penambahan suplemen mineral dan vitamin tidak ada.

Suplementasi besi selama kehamilan ada , 1 tablet sehari selama 1 bulan terakhir.
Penambahan berat badan normal pada wanita hamil didasarkan pada BMI

sebelum kehamilan. Pada pasien tidak diketahui berat badan sebelum hamil,

sehingga tidak dapat diketahui apakah penambahan berat badan pasien selama

kehamilan merupakan penambahan berat badan yang dianjurkan. Kejadiaan

preeklampsia juga dikaitkan dengan defisiensi gizi selama kehamilan.


Diagnosis preeklampsia berat pada pasien ini ditegakan berdasarkan

anamnesis adanya riwayat hipertensi pada dua kehamilan sebelumnya, pada

pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 160/100 mmHg dan pada

pemeriksaan laboratorium didapatkan protein urin +3.


Saat di IGD pasien dilakukan pemasangan IVFD 2 jalur, diberikan drip

MgSO4 dosis inisial dilanjutkan dengan dosis maintenance dan drip oksitosin 2

ampul dalam 1 kolf RL, pasien di berikan injeksi cefotaxime 2 x 1 gram,


metildopa per oral 3 x 500 mg dan dilakukan pemasangan folley catheter.

Menurut teori, pasien dengan PEB harus diberikan regimen MgSO4 sebagai anti

konvulsan untuk mencegah terjadinya eklampsia dan diberikan juga obat anti

hipertensi untuk mengontrol tekanan darah pasien. Drip oksitosin diberikan agar

HIS adekuat.
Magnesium sulfat harus diberikan pada wanita dengan preeklampsia yang

dikhawatirkan berisiko terjadi eklampsia. Magnesium sulfat diberikan pada

keadaan preeklampsia berat yang akan dilakukan persalinan sampai postpartum.

Pemberian magnesium sulfat untuk wanita dengan pre-eklampsia dapat

mengurangi risiko kejang eklampsia. Wanita hamil yang menggunakan

magnesium sulfat memiliki risiko 58% lebih rendah terjadinya kejang eklampsia,

(95% CI 40-71%). Jika magnesium sulfat diberikan, terapi dilanjutkan selama 24

jam setelah persalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Ketika magnesium

sulfat diberikan, penilaian rutin terhadap output urine, reflex patella, laju

pernapasan dan saturasi oksigen penting untuk dilakukan.Penggunaan

MgSO4 :Loading dose 4 gr MgSO4 diberikan selama 5-10 menit lalu dilanjutkan

dengan dosis maintainance Maintenance dose 1 gram/ jam MgSO4 dalam cairan

infus sampai 24 jam postpartum dengan syarat pemberian : reflex patella +,

frekuensi nafas >16 kali/menit, produksi urin minimal 30 cc/jam selama 4 jam

terakhir dan tersedia antidotum yaitu, Ca glukonas 10%.


MgSO4 bekerja dengan menghambat atau menurunkan asetilkolin pada

rangsangan saraf dengan transmisi neuromuskular. Neuromuskular membutuhkan

kalsium pada sinaps, pada pemberian magnesium sulfat magnesium akan

menggeser kalsium, sehingga aliran rangsang tidak terjadi. Pada pasien juga

diberikan obat antihipertensi berupa metildopa 3x500 mg. Metildopa dan labetalol
adalah terapi yang biasa digunakan di Inggris. Metildopa terbukti aman pada

tindak lanjut jangka panjang pada janin. Obat anti-hipertensi harus dilanjutkan

setelah melahirkan dan mungkin perlu untuk dilanjutkan hingga 3 bulan,

meskipun kebanyakan wanita dapat dihentikan lebih awal.


Setelah pasien dibawa ke ruang rawatan, pasien segera dilakukan pemeriksaan

dan dilakukan pembersihan uterus dari sisa plasenta dan masase fundus uteri,

pasien tetap terpasang drip MgSO4 sampai 24 jam post partum dan dilakukan

observasi terhadap perdarahan. Saat di IGD pasien telah dilakukan pemeriksaan

hemoglobin dan proteinuria dengan hasil Hb 5,3 mg/dl dan proteinuria +3

sehingga direncanakan melakukan transfusi darah sebanyak 8 kantong.

Pasien dilakukan pemeriksaan hemoglobin saat di IGD dan didapatkan Hb 5,3

g/dl dengan kesan anemia berat. Anemia pada ibu hamil adalah apabila kadar Hb

pada trimester I dan III < 11 gr/dl dan 10,5 gr/dl pada trimester II. Salah satu cara

untuk mengetahui jenis anemia dalam kehamilan dapat dinilai dengan menghitung

MCH, MCV, MCHC. Anemia hipokrom mikrositer (anemia defisiensi besi,

thalasemia, anemia akibat penyakit kronik) apabila MCV rendah, MCHC

menurun, anemia normokrom normositer jika MCH, MCV, MCHC normal, dan

anemia makrositer (anemia defisiensi folat, defisiensi B12, pada penyakit hati

kronik, hipotiroid)jika MCH , MCV, MCHC meningkat. Pada pasien tidak dapat

ditentukan jenis anemia karena nilai hematokrit dan jumlah eritrositnya tidak

diperiksa.

Perdarahan yang terjadi pada persalinan normal atau seksio cesaria sebenarnya

tidak membutuhkan transfusi darah jika kadar Hb ibu sebelum persalinan diatas

10-11 gr/dl. Sebaliknya transfusi darah hampir selalu diindikasikan jika Hb <7
gr/dl. Hemoglobin pada pasien ini sebelum persalinan 7 gr/dl yang merupakan

indikasi utuk dilakukan transfusi. Pukul 11.00 tidak dilanjutkan atas indikasi

pasien menolak melanjutkan terapi dan pulang karena masalah biaya


DAFTAR PUSTAKA

1. Sibai BM. Evaluation and management of severe preeklampsia before 34


weeks gestation. American Journal of Obstetrics & Gynecology. 2011;
191-8
2. Bilano VL, Ota E, Ganchimeg T, Mori R, Souza JP (2014) Risk Factors of
Pre-eclampsia/Eclampsia and Its Adverse Outcomesin Low- and Middle-
Income Contries: A WHO Secondary Analysis. PloS ONE 9(3): e91198.
3. Sumber: Ali AA, Rayis DA, Abdallah TM, Elbashir MI, Adham I (2011)
Severe Anaemia is Associated with A Higher Risk for Preeklampsia and
Poor Perinatal Outcomes in Kassala Hospital, Eastern Sudan. BMC
Reseavh Notes 311 (4); pp.1-5.
4. Hartuti A, dkk. Referat Preeklampsia. Purwokerto, Universitas Jendral
Sudirman. 2011
5. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, et al. Antepartum
haemorrhage. Williams Obstetrics. 23nd edition. McGraw Hill. 2010, hal.
758-9.
6. Prawirohardjo, S. Hipertensi Dalam Kehamilan. Dalam Ilmu Kebidanan
edisi keempat. Jakarta: Penerbit Bina Pustaka. 2008; hal. 531-61.
7. R. Haryono, Hipertensi Dalam Kehamilan dalam Ilmu Kedokteran
Fetomaternal, Surabaya, Himpunan Kedokteran Fetomaternal
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2004. Hal : 494-496)
8. Ward K, Lindheimer MD: Genetic factors in the etiology of
preeklampsia/eclampsia. In Lindheimer MD, Roberts JM, Cunningham
FG (eds): Chesleys Hypertensive Disorders in Pregnancy, 3rd ed.
Elsevier, Inpress, 2009, hal 51)
9. Zhang C, Williams MA, King IB, et al: Vitamin C and the risk of
preeklampsiaresults from dietary questionnaire and plasma assay.
Epidemiology. 13:382, 2002)
10. Eiland E, Nzerue C, Faulkner M. Review preeklampsia 2012. Journal of
pregnancy, 2012: 1-7.
11. Wagner LK. Diagnosis and Management of Preeklampsia. Am Fam
Physician,2004 Dec 15; 70(12): 2317-24
12. Tuffnell DJ, et al. The Management Of Severe Pre-Eclampsia/Eclampsia.
Guidelines of the Royal College of Obstetricians and Gynaecologists.
2010
13. Agida ET, Adeka BI, Jibril KA. Pregnancy outcome in eclampticat the
University of Abuja Teaching Hospital, Gwagwalada,Abuja: a 3 year
review. Niger J Clin Pract. 2010;13:3948.
14. Swende TZ, Abwa T. Reversible blindness in fulminating preeklampsia
(case report). Annals Afr Med. 2009;8(3):18991.
15. Errol RN, John OS. Obstetrics and Gynecology at a Glance. 2001:90
16. Samantha MP. NMS Obstetrics and Gynecology 7th ed. 2012:174

Anda mungkin juga menyukai