Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DEPARTEMEN MEDIKAL
Disusun oleh:
ERISKA PRATIWI
150070300011126
PSIK A/PROFESI NERS 2016
Kelompok 1
2017
LAPORAN PENDAHULUAN
HYPERGLYCEMIC HYPEROSMOLAR SINDROME (HHS)
1. DEFINISI
Hyperglicemic hyperosmolar nonketotic syndrome (HHNS) atau Sindrom hiperglikemik
hiperosmolar (SHH) adalah komplikasi yang mengancam nyawa dari penyakit diabetes
mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol. Pertama diketahui lebih dari seabad yang lalu namun
jarang didiagnosis sampai adanya laporan dari Sament dan Schwartz pada tahun 1957
(Venkatraman & Singhi, 2006). Sindrom Hiperglikemik hiperosmolar (SHH) ditandai dengan
peningkatan konsentrasi glukosa yang ekstrim dalam darah yang disertai dengan
hiperosmolar tanpa adanya ketosis yang signifikan, dan biasanya jarang terjadi pada anak-
anak. Namun hasil studi kasus belakang ini menjelaskan bahwa kejadian SHH pada anak
diprediksi akan meningkat (Zeitler at al., 2011).
Epidemiologi SHH pada anak dan dewasa telah diketahui belakangan ini (Zeitler at al.,
2011) HHNS berjumlah sekitar 5-15% dari seluruh kasus emergensi hiperglikemi pada
diabetes anak-anak maupun dewasa. Pada dewasa HHS terjadi dengan frekuensi 17,5
kasus per 100.000 penduduk per tahun. Sementara data kejadian pada anak-anak belum
sepenuhnya diketahui, namun diprediksi dari sejumlah 4% anak-anak yang baru
terdiagnosis DM di Amerika Serikat akan menderita SHH dengan estimasi sekitar 12%
kasus fatal (Venkatraman & Singhi, 2006).
2. ETIOLOGI
1. Insufisiensi insulin
a. DM, pankreatitis, pankreatektomi
b. Agen pharmakologic (phenitoin, thiazid)
2. Increase exogenous glucose
a. Hiperalimentation (tpn)
b. High kalori enteral feeding
3. Increase endogenous glukosa
a. Acute stress (ami, infeksi)
b. Pharmakologic (glukokortikoid, steroid, thiroid)
4. Infeksi: pneumonia, sepsis, gastroenteritis.
5. Penyakit akut: perdarahan gastrointestinal, pankreatitits dan gangguan kardiovaskular.
6. Pembedahan/operasi.
7. Pemberian cairan hipertonik.
8. Luka bakar.
Faktor risiko Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik :
1. Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun)
2. Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman, atau IMT>27 (kg/m2)
3. Tekanan darah tinggi (TD > 140/90 mmHg)
4. Riwayat keluarga DM
5. Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
6. Riwayat DM pada kehamilan
7. Dislipidemia (HDL<35 mg/dl dan/atau trigliserida>250 mg/dl)
8. Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa
Terganggu)
3. PATOFISIOLOGI
Sindrom hiperglikemik hiperosmotik ditandai dengan adanya peningkatan hiperglikemi
parah yang dapat dilihat peningkatan osmolaltias serum dan bukti klinis adanya dehidrasi
tanpa akumulasi -hidroksibutirat atau acetoacetic ketoacids. Hiperglikemi disebabkan
karena defisiensi absolut/relatif dari insulin karena penurunan respon insulin dari jaringan
(resistensi insulin). Hal ini menyebabkan peningkatan glukoneogenesis dan glikogenolisis
yang dapat meningkatkan proses pembentukan glukosa dari glikogen dan senyawa lain di
dalam tubuh, selain itu terjadi penurunan uptake dan penggunaan glukosa oleh jaringan
perifer sehingga menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah (Venkatraman & Singhi,
2006).
Kejadian yang menginisiasi pada SHH adalah glucosuric dieresis. Munculnya kadar
glukosa dalam urin memperburuk kapasitas pengenceran urin oleh ginjal, sehingga
menyebabkan kehilangan air yang lebih parah. Dalam kondisi yang normal, ginjal berperan
sebagai katup penfaman untuk mengeluarkan glukosa yang melewati ambang batas dan
mencegah akumulasi glukosa lebih lanjut. Penurunan volume intravascular atau penyakit
ginjal dapat menurunkan LFG (Laju filtrasi glomerulus) menyebabkan kadar glukosa
meningkat. Pengeluaran lebih banyak air daripada natrium menyebabkan hiperosmolar.
Insulin diprosuksi, namun tidak cukup mampu untuk menurunkan kadar glukosa, terutama
pada kondisi resistansi insulin pada penderita Diabetes Melitus (Stoner, 2005)
Penelitian hipertonisitas kronik menunjukkan bahwa sel otak memproduksi idiogenic
osmoles yaitu substansi aktif yang secara osmotik mempertahankan volume intraseluler
melalui peningkatan osmolalitas intraseluler. Penderita dipercaya memiliki faktor resiko
edema serebral jika jumlah penurunan osmolalitas serum melebihi batas kemampuan sel
otak unruk eliminasi partikel osmotik. Oleh karena itu, secara teori anak-anak dengan SHH
yang prolonged, peristen hieprtonisitas merupakan resiko terbesar untuk edema serebral
dibandingkan dengan pasien DKA (diabetic ketoacidosis).
4. MANIFESTASI KLINIS
Biasanya penderita yang mengalami SHH adalah pasien lanjut usia dan yang tidak
tediagnosis diabetes atau diabetes tiper 2 yang diterapi dengan diet dengan atau tanpa
pengobatan diabetes oral. Penderita sering menggunakan pengobatan yang malah
memperparah keluhan, seperti penggunaan diuretic yang dapat menyebabkan dehidrasi
ringan. Penderita SHH biasanya lemas, gangguan penglihatan, atau keram pada tungkai.
Mual dan muntah juga kadang terjadi, tetapi lebih sering pada pasien diabetes ketoasidosis.
Kadang-kadang pasien memperlihatkan gejala letargi, pusing, bingun, dan hemiparesis,
kejang atau koma (Stoner, 2005).
Perubahan pada status mental biasanya terjadi pada konsentrasi osmolalitas cairan dalam
tubuh >330 mosmol/kg. konstelasi dari mata cekung, jalur longitudinal pada lidah dan
kelemahan ekstremitas berkorelasi dengan peningkatan kadar urea darah. (Gross 1992,
Sinert 2005 dalam Joint British Diabetes Societies 2012). Hipovolemik yang parah dapat
menimbulkan manifestasi seperti takikardi (nadi>100x/menit) dan atau hipotensi (TD
sistol<100mmHg) (Lapides 1965, Delaney 2000, Kavouras 2002 dalam Joint British
Diabetes Societies 2012).
5. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik
(HHNK) meliputi lima pendekatan (Soewondo, 2009) :
a. Rehidrasi intravena agresif
b. Penggantian elektrolit
c. Pemberian insulin intravena
d. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
e. Pencegahan
Penatalaksanaan Medikamentosa
a. Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan HHNK adalah penggantian
cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan mempertimbangkan perkiraan
defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per kg, atau total rata-rata 9 L). Penggunaan
larutan isotonik akan dapat menyebabkan overload cairan dan cairan hipotoni mungkin
dapat mengkoreksi deficit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian dan
lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1L normal saline
per jam. Jika pasiennya mengalami syok hipovolemik, mungkin dibutuhkan plasma
expanders. Jika pasien dalam keadaan syok kardiogenik, maka diperlukan monitor
hemodinamik (Soewondo, 2009).
Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan sebelum insulin
diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan cukupnya terapi cairan
yang diberikan. Jika konsentrasi glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-
100 mg per dL per jam, hal ini biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang ata
gangguan ginjal (Soewondo, 2009).
b. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena konsentrasi kalium
dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium yang sebenarnya akan terlihat
ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel.
Konsentrasi elektrolit harus dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien juga
harus dimonitor (Soewondo, 2009).
Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol per L), pemberian insulin ditunda
dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai konsentrasi
kalium setidaknya 3,3 mEq per L). Jika konsentrasi kalium lebih besar dari
5,0 mEq per L (5,0 mmol per L), konsentrasi kalium harus diturunkan sampai
dibawah 5,0 mEq per L, namun sebaiknya konsentrasi kalium ini perlu dimonitor
tiap dua jam. Jika konsentrasi awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L , maka 20-30 mEq
kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium
klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan konsentrasi kalium antara 4,0
mEq per L (4,0 mmol per L) dan 5,0 mEq per L (Soewondo, 2009).
c. Insulin
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pamberian cairan yang
adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan
akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi,
kolaps vaskular, atau kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB
secara intravena, dan diikuti dengan drip 0,1U/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa
darah turun antara 250 mg per dL (13,9 mmol per L) sampai 300 mg per Dl. Jika konsentrasi
glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosis yang diberikan dapat
ditingkatkan. Ketika konsentrasi glukosa darah sudah mencapai dibawah 300 mg/dL,
sebaiknya diberikan dekstrosa secara intravena dan dosis insulin dititrasi secara
sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar (Soewondo,
2009).
b. Latihan jasmani
Latihan jasmani pada diabetesi akan menimbulkan perubahan metabolik, yang
dipengaruhi selain oleh lama, berat latihan, dan tingkat kebugaran, juga oleh kada insulin
plasma, kadar glukosa darah, kadar benda keton dan imbangan cairan tubuh
5. Pencegahan
Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya penyuluhan mengenai
pentingnya pemantauan konsentrasi glukosa darah dan compliance yang tinggi
terhadap pengobatan yang diberikan. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah adanya
akses terhadap persediaan air. Jika pasien tinggal sendiri, teman atau anggota keluarga
terdekat sebaiknya secara rutin menengok pasien untuk memperhatikan adanya perubahan
status mental dan kemudian menghubungi dokter jika hal tersebut ditemui (Soewondo,
2009).
Pada tempat perawatan, petugas yang terlibat dalam perawatan harus diberikan edukasi
yang memadai mengenai tanda dan gejala HHNK dan juga edukasi mengenai pentingnya
asupan cairan yangmemadai dan pemantauan yang ketat (Soewondo, 2009).
Kemudian diet yang baik merupakan salah satu pencegahan dari HHNK. Diet yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat,
protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut :
a. Karbohidrat : 60-70%
b. Protein : 10-15%
c. Lemak : 20-25%
6. Pemeriksaan Penunjang.
Pemeriksaan laboratorium Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik sangat membantu
untuk membedakan dengan ketoasidosis diabetik. Kadar glukosa darah > 600 mg%,
aseton negative, dan beberapa tambahan yang perlu diperhatikan : adanya hipertermia,
hiperkalemia, azotemia, kadar blood urea nitrogen (BUN): kreatinin = 30 : 1 (normal
10:1), bikarbonat serum > 17,4 mEq/l.
7. Komplikasi
1. Koma.
2. Gagal jantung.
3. Gagal ginjal.
4. Gangguan hati.
5. Iskemia/infark organ
6. Hipo/hiperglikemia
7. Hipokalemia
8. Hiperkhloremia
9. Edema serebri
10. Kelebihan cairan
11. ARDS
12. Tromboemboli
13. Rhabdomiolisis
Asuhan Keperawatan
Pengkajian
Fokus utama pengkajian pada klien Diabetes Mellitus adalah melakukan pengkajian
dengan ketat terhadap tingkat pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan perawatan diri.
Pengkajian secara rinci adalah sebagai berikut
a. PENGKAJIAN PRIMER
Pengkajian dilakukan secara cepat dan sistemik,antara lain :
Airway + cervical control
1) Airway
Lidah jatuh kebelakang (coma hipoglikemik), Benda asing/ darah pada rongga mulut
2) Cervical Control : -
Breathing + Oxygenation
1) Breathing : Ekspos dada, Evaluasi pernafasan
- KAD : Pernafasan kussmaul
- HONK : Tidak ada pernafasan Kussmaul (cepat dan dalam)
2) Oxygenation : Kanula, tube, mask
Circulation + Hemorrhage control
1) Circulation :
- Tanda dan gejala schok
- Resusitasi: kristaloid, koloid, akses vena.
2) Hemorrhage control : -
Disability : pemeriksaan neurologis GCS
A : Allert : sadar penuh, respon bagus
V : Voice Respon : kesadaran menurun, berespon thd suara
P : Pain Respons : kesadaran menurun, tdk berespon thd suara, berespon thd rangsangan
nyeri
U : Unresponsive : kesadaran menurun, tdk berespon thd suara, tdk bersespon thd nyeri
b. PENGKAJIAN SEKUNDER
Pemeriksaan sekunder dilakukan setelah memberikan pertolongan atau penenganan pada
pemeriksaan primer.
Pemeriksaan sekunder meliputi :
1. AMPLE : alergi, medication, past illness, last meal, event
2. Pemeriksaan seluruh tubuh : Head to toe
3. Pemeriksaan penunjang : lebih detail, evaluasi ulang
Pemeriksaan Diagnostik
1) Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 200mg/dl). Biasanya, tes ini
dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar glukosa meningkat dibawah kondisi stress.
2) Gula darah puasa normal atau diatas normal.
3) Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
4) Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
5) Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat menandakan ketidakadekuatan
kontrol glikemik dan peningkatan propensitas pada terjadinya aterosklerosis.
Anamnese
a. Keluhan Utama
Cemas, lemah, anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, nafas pasien mungkin berbau
aseton pernapasan kussmaul, poliuri, polidipsi, penglihatan yang kabur, kelemahan dan sakit
kepala
b. Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya penyakit (Coma Hipoglikemik, KAD/ HONK), penyebab
terjadinya penyakit (Coma Hipoglikemik, KAD/ HONK) serta upaya yang telah dilakukan oleh
penderita untuk mengatasinya.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit penyakit lain yang ada kaitannya dengan
defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat penyakit jantung, obesitas,
maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa
digunakan oleh penderita.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat atau adanya faktor resiko, riwayat keluarga tentang penyakit, obesitas, riwayat
pankreatitis kronik, riwayat melahirkan anak lebih dari 4 kg, riwayat glukosuria selama stress
(kehamilan, pembedahan, trauma, infeksi, penyakit) atau terapi obat (glukokortikosteroid,
diuretik tiasid, kontrasepsi oral).
e. Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami penderita sehubungan
dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit penderita.
f. Kaji terhadap manifestasi Diabetes Mellitus: poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat
badan, pruritus vulvular, kelelahan, gangguan penglihatan, peka rangsang, dan kram otot.
Temuan ini menunjukkan gangguan elektrolit dan terjadinya komplikasi aterosklerosis.
g. Kaji pemahaman pasien tentang kondisi, tindakan, pemeriksaan diagnostik dan tindakan
perawatan diri untuk mencegah komplikasi.
Managemen Hiperglikemia
1. Monitor GDR sesuai indikasi
2. Monitor tanda dan gejala diabetik ketoasidosis ; gula
darah > 300 mg/dl, pernafasan bau aseton, sakit
kepala, pernafasan kusmaul, anoreksia, mual dan
muntah, tachikardi, TD rendah, polyuria,
polidypsia,poliphagia, keletihan, pandangan kabur
atau kadar Na,K,Po4 menurun.
3. Monitor v/s :TD dan nadi sesuai indikasi
4. Berikan insulin sesuai order
5. Pertahankan akses IV
6. Berikan IV fluids sesuai kebutuhan
7. Konsultasi dengan dokter jika tanda dan gejala
Hiperglikemia menetap atau memburuk
8. Dampingi/ Bantu ambulasi jika terjadi hipotensi
9. Batasi latihan ketika gula darah >250 mg/dl
khususnya adanya keton pada urine
10. Pantau jantung dan sirkulasi ( frekuensi & irama,
warna kulit, waktu pengisian kapiler, nadi perifer dan
kalium
11. Anjurkan banyak minum
12. Monitor status cairan I/O sesuai kebutuhan
Zeiter, P., Haqq, A., Rosenbloom, A. & Glaser, N. 2011. Hyperglicemic Hyperosmolar
Syndrome in Children: Pathophysiological consideration and Suggested Guidelines for
Treatment. The Journal of Pediatric 2011(4):1
Venkatraman, R. & Singhi, S.C. 2008. Hyperglicemic Hyperosmolar Nonketotic Syndrome.
Indian Journal of Pediatric, 2008(73):1
Joint British Diabetes Societies. 2012. The Management of The Hyperosmolar State (HHS) in
Adults with Diabetes.
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC
Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi 6. Jakarta: EGC
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
Indriastuti, Na. 2008. Laporan Asuhan Keperawatan Pada Ny. J Dengan Efusi Pleura dan
Diabetes Mellitus Di Bougenvil 4 RSUP dr Sardjito Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Rab, T. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit PT Alumni
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika