Anda di halaman 1dari 28

* Kepaniteraan Klinik Senior/GIA216025 & G1A215055/April 2017

** Pembimbing : dr Lusiana H Y, Sp.THT-KL

PEMERIKSAAN FISIK HDUNG

Oleh :

Tridesi Hutasoit, S.Ked

G1A216025

Virgiawan Yudha Karsa

G1A215055

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

RSUD RADEN MATTAHER

2017
BAB I
ANATOMI HDUNG

I.1 Anatomi Hidung luar


Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian
luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ;
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk
hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1) pangkal hidung (bridge),
2) batang hidung (dorsum nasi),
3) puncak hidung (hip),
4) ala nasi,
5) kolumela,
6) lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:
1) tulang hidung (os nasal)
2) prosesus frontalis os maksila
3) prosesus nasalis os frontal;
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (ala mayor)
3) tepi anterior kartilago septum. (1)
I.2 Anatomi hidung dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.
internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga
hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat
konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior
dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut
meatus superior.(2)

Gambar 1. Anatomi Hidung Dalam

I.2.1 Septum nasi


Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior
oleh kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela
membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila ,
Krista palatine serta krista sfenoid. (2)
I.2.2 Kavum nasi (3)
Kavum nasi terdiri dari:
1. Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan
prosesus
horizontal os palatum.
2. Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os
nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus
os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina
kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang
berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju
bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.

3. Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis
os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang
merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina
perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.

4. Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka.
Celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus
inferior, celah antara konka media dan inferior disebut meatus
media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior.
Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang
teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal
dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian
superior dan palatum.
I.2.3 Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok
sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu
atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka
superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal,
tempat bermuaranya sinus sfenoid.

I.2.4 Meatus media


Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang
lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara
sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik
bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding
lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai
infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit
yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu
bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus
frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di
infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara
di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara
sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus
nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.

I.2.5 Meatus Inferior


Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5
cm di belakang batas posterior nostril.
I.2.6 Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum.
Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis
palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis
os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.

I.2.7. Sinus Paranasal


Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris
merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk
piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan
puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla.(2)

I.3 Kompleks ostiomeatal (KOM)


Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior
yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus
paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media
dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah
prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi dan ressus frontal.
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena
sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit
infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal
sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai
serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung
menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus
dan konka media(4).
Gambar 2. Kompleks Ostio Meatal

I.4 Perdarahan hidung


Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.
maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang cabang a.fasialis. (5)

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang


a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak.(2,5)

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan


berdampingan dengan arterinya .Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial(2,5).

I.5 Persarafan hidung


Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media.
Nervus olfaktorius : saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.(5)

I.6 Fisiologi hidung


Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :
1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan
dan mekanisme imunologik lokal;
2) Fungsi Penghidu. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan
pengecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung,
konka superior, dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik nafas dengan kuat.
3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang;
4) Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas;
5) Refleks nasal. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin
dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung, dan pankreas (2)

I.6.1 Sistem Mukosiliar Hidung

Gambar 3. Sistim Mukosiliar / Mucociliary Clearance

Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk
membersihkan dirinya dengan cara mengangkut partikel-partikel asing yang
terperangkap pada palut lender ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan
local pada mukosa hidung. Transpor mukosiliar disebut juga clearance mucosiliar
atau sistem pembersih mukosiliar sesungguhnya.(6)

Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan, yaitu
gerakan silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk menembus
gumpalan mukus dan bergerak ke arah posterior bersama dengan materi asing
yang terperangkap di dalamnya ke arah nasofaring. Aliran cairan pada sinus
mengikuti pola tertentu. Transportasi mukosiliar pada sinus maksila berawal dari
dasar yang kemudian menyebar ke seluruh dinding dan keluar ke ostium sinus
alami. Kecepatan kerja pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur dengan
menggunakan suatu partikel yang tidak larut dalam permukaan mukosa. Lapisan
mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat
merusak bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan immunoglobulin A (Ig A),
dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel.
Imunoglobulin G (IgG) dan Interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung
sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak
dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah
posterior bersama materi asing yang terperangkap ke arah faring. Cairan perisiliar
yang di bawahnya akan di alirkan kearah posterior oleh aktivitas silia, tetapi
mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosiliar yang
bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini
tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lender
akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Kecepatan dari TMS
sangatlah bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara 1 sampai 20 mm /
menit.(6)

Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media maka gerakan
mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan
mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan
silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium.
Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan
pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20
mm/menit(6)

Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung
dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat
infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius
akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior
dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui
posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga
nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan(5)

Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda pada setiap bagian hidung.
Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6
segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm / menit(6)
BAB II
ANATOMI SINUS PARANASAL
II.1 Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang
sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus
paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah
pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid
kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan
kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga
sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi
udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. (1)

Gambar 4. Sinus Paranasal

Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian
anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, atau
di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior
sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka
media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis
perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara
kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus
paranasal adalah sebagai sumber lendir yang segar dan tak terkontaminasi yang
dialirkan ke mukosa hidung. (4)
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris
dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari
orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified
columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari
rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel
goblet(4)

II.1.1 Sinus maksila


Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang
terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan
sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa.(6)
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan
ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat
berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang
menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam
perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga
yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan
rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm
vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi
dari pada dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini
akan turun, dan akan
setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan
perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi
permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun.(2)
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke
fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila.
Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum
dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid,
prosesus maksilaris konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding
superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris
dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial
sinus dan bermuara
ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku
anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x
4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai
hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu
ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium
ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar
daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan
tindakan irigasi sinus. (2)

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah :
1) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas ,
yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi
taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke
dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua
dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus.
Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup
oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini
dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe,
sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan
rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis.
2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3) Os sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan
sinusitis.(2)

II.1.2 Sinus frontal


Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
emapat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.(2)

Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga
sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang
juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya
tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang
terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu
sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran
rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-
rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding
sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal
dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang berhubungan
dengan infundibulum etmoid(2)

II.1.3 Sinus etmoid


Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya.(2)
Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal
dari meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid
anterior dan posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian
berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas.
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan
lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus
kira-kira 14 ml.(2)

Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai


sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya,
sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus
medius, dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian
terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal,
yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula
etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum,
tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di
resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sinusitis maksila(2)
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis
dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.(2)

II.1.4 Sinus sfenoid


Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan
evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya
berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak
berhubungan dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak
berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna
pada usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran
serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh
septum tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu
sinus
akan lebih besar daripada sisi lainnya.(6)

Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid


posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm.
Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh
darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan
rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-
batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi)
dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons. (2)

III.2 Fisiologi sinus paranasal


Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam.
Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini
adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku
Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka
tidak memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dipatahkan
oleh Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa,
tidak memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa
kerja dari sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu
dan bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat
mengenai fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal
tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat
pertumbuhan tulang muka.(2,7)
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain
adalah(2):
(1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak
didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung. Volume
pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada
tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total
dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar
yang sebanyak mukosa hidung.

(2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)


Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita dan
fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-
organ yang dilindungi.

(3) Membantu keseimbangan kepala


Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak
bermakna.

(4) Membantu resonansi suara


Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.
Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan
tingkat rendah.
(5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

(6) Membantu produksi mukus.


Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini
keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis(2).
BAB III
PEMERIKSAAN HDUNG

Pemeriksaan Fisik Hidung

A. Pemeriksaan Umum

Inspeksi :

o Bentuk hidung dari luar (apakah terdapat cacat bawaan, trauma/tumor).


o Warna hidung ( kemerahan pada inspeksi atau hematom)
o Pembengkakan (furunkel, trauma atau emfisema)

Palpasi

o Apakah terdapat nyeri tekan sinus paranasalis atau pada keluarnya nervus
trigeminus
o Puncak hidung aakah terdapat septum subluksasi

B. Pemeriksaan Rhinoskopi Anterior

Menggunakan speculum hidung

Perhatikan :

Vestibulum Nasi
Kavum nasi
Selaput lendir
Septum nasi
Lantai + dasar hidung
Konka inferior
Meatus nasi inferior
Konka media
Meatus nasi media
Korpus
Polip
Korpus alineum
Massa tumor

Cara mengerjakan :

o Memegang speculum :
Dengan tangan kiri (posisi speculum horizontal, tangkai lateral, mulutnya
medial)
o Memasukkan Speculum:
Mulut speculum daa keadaaan tertutup dimasukkan ke lubang hidung,
speculum diuka pelan-pelan secukupnya. Arah pandanga disesuaikan
o Mengeluarkan speculum
Mulut speculum ditutup tidak 100% baru dikeluarkan.

Memeriksa Vestibulum nasi dan sekitarnya

Cara mengerjakan :

o Pemeriksaan pendahuluan perhatikan :


Bibir atas :maserasi, lebar lubang hidung.
Pinggir-pinggir lubang hidung : crustae, merah
Dorong ujung hidung keatas dengan ibu jari untuk memeriksa vestibulum
nasi.
o Pemeriksaan dengan speculum :
Bagian lateral dengan mengarahkan speculum ke lateral, bagian medial
dengan mengarahkan ke medial bagian atas dengan mengarahkan ke atas
dan bagian bawah dengan mengarahkan ke bawah.
o Perhatikan : Apakah ada secret, krustae, bisul, raghade/pecah-pecah.

Memeriksa kavum nasi bagian bawah

Perhatikan :

Ada secret?
Polip?
Massa?

Cara mengerjakan :

o Arahkan cahaya lampu ke kavum nasi sehingga sejajar dengan konka


inferior. Perhatikan :
- Warna mukosa : hiperemi, pucat, keunguan/livide
- Besarnya lumen cavum nasi dan isinya
- Lantai kavum nasi
- Septum nasi : deviasi kearah mana, bentuk, krista/spina/seperti huruf S

Memeriksa fenomena palaum Mole

Cara mengerjakan :

o Cahaya lampu diarahkan ke dinding belakang nasofaring, pada keadaan


yang normal nasofaring kelihatan terang, karena cahaya lampu tegak lurus
pada dinding belakang nasofaring
o Penderita disuruh mengucapkan huruf iiiiiii
o Fenomena palatum mole dikatakan positif, jika pada watu mengucapkan
iiiiii palatum mole bergerak keatas.
Terlihat benda gelap bergerak keatas (gelap karena cahaya lampu tidak
tegak lurus pada palatum mole), atau dinding nasofaring yang terang
benderang itu mengecil dari arah bawah.
o Selesai mengucapkan huruf iiii, palatum mole bergerak ke bawah
o Fenomena palatum mole dikatakan negative, jika waktu mengucapkan iiiii,
palatum mole tidak bergerak keatas, daerah nasofaring yang terang tidak
mengecil.
o Fenomena palatum mole negative bila ada:
- Paralise palatum mole (post difteri)
- Spasme palatum mole (abses peritonsiler)
- Sikatrik yang menyebabakan palatum mole kaku (post TE dengan
sludder)
- Tumor nasofaring : karsinoma nasofaring, abses nasofaring, adenoid
yang besar.

Memeriksa cavum nasi bagian atas

Cara mengerjakan :
o Arahkan cahaya lampu ke kavum nasi bagian atass (kepala ditengadahkan)
o Perhatikan :
- Kaput dari konka media
- Meatus medius (secret,polip)
- Septum : deviasi/tidak

Memeriksa septum nasi

Cara mengerjakan :

o Deviassi septum nasi, kearah mana, bentuk krista/spina/ seperti huruf S

C. Pemeriksaan Rhinoskopi Posterior

Pendahuluan

Perhatikan :

Kavum nasi
Selaput lendir
Koana
Septum nasi
Konka superior
Meatus nasi media
Muara tuba
Adenoid
Massa tumor
Polip

Cara mengerjakan :

Syarat yang harus dipenuhi

o Harus ada tempat yang cukup luas untuk menepatkan cermin di orofaring.
Untuk itu maka lidah ditekan dengan spatula.
Menekan lidah :
Hendaknya lidah ditekan dengan tenaga yang optimal
Terlaalu kuat timbul rasa sakit
Kurang kuat faring tidak kelihatan
Terlalu jauh refleks muntah
Ujung spatula dapat bergeser bila kepala penderita bergerak. Hendaknya
ujung spatula tetap tinggal ditempat yang optimal itu (tempat paling tinggi
lidah, ditekan tidak sakit).

Fiksasi spatula dilaksanakan sebagai berikut :

Memegang spatula :
Ibu jari dibawah
Jari II dan III diatas
Jari IV diatas dagu
Jari V dibawah dagu
Mengadakan koordinasi antara tangan kiri, tangan kanan, kepala,
arah cahaya lampu dan mata melihat bayangan di cermin.
o Harus ada jalan yang lebar antara palatum mole dan dinding belakang
faring, agar cahaya yang dipantulkan oleh cermin, dapat masuk kedalam
nasofaring dan rongga hidung.
o Untuk keperluan itu penderita harus bernafas melalui hidung (akibatnya:
palatu mole akan bergerak kearah anterior, untuk memberi jalan udara dari
kavum nasi ke paru-paru atau sebaliknya).

Kesulitan dari pihak penderita :

Bernafas melalui hidung dengan mulut yang terbuka


Reflex yang kuat (berikan tetrakain)

Kesulitan dari pihak alat-alat :

Cermin yang terlalu panas : sakit


Cermin yang terlalu dingin : kabur
Cermin menyentuh faring : reflex muntah
Spatula dari logam : rasa logam diidah menimbulkan reflex muntah

Menempatkan cermin rhinoskopi Posterior :

Cara mengerjakan :

o Pegang cermin dengan tangan kanan


o Punggung cermin dihangatkan
o Tempertaur cermin di tes degan meletakkan ke lengan kiri bawah

(panasnya harus sedikit lebih dari 37 37,8


o Tangkai cermin dipegang seperti memegang pensil, kaca mengarah keatas
o Mulut dibuka lebar-lebar
o Lidah tetap didalam mulut, tidak boleh digerak-gerakkan dan tidak boleh
kaku.
o Penderita disuruh bernafass melalui hidung
o Ujung spatula diletakkan pada punggung lidah, dimuka atau dibelakang
uvula
o Lidah ditekan kebawah, hingga diperoleh tempat yang cukup luas untuk
menempatkan cermin. Karena di median terdapat uvula, maka tempat yang
cukup luas itu leih mudah diperoleh bila lidah ditekan tidak di medial
tetapi para media, lebih mudah menekan paramedian kanan dari penderita
o Masukkan cermin kedalam orofaring sedekat mungkin dengan dinding
belakang faring, dibawah ppalatum mole
o Cermin disinari

Catatan :

Pada penderita yang sangat sensitive pemeriksaan baru dapat dimulai 5


menit setelah kedalam faring diberikan tetrakain 1% (10 tetes).

Melakukan Pemeriksaan

Cara mengerjaan :

o Pemeriksaan septum nasi (margo posterior) koana kanan dan muara tuba
kanan (fossa Rocen Muller)
o Idem kiri
o Memeriksa atap nasofaring
o Memeriksa cauda konka inferior

D. Palpasi

Pemeriksaan ini dilakukan bila kita menduga adanya pembesaran adenoid atau
ada sangkaan tumor dengan rhinoskopi posterior tidak jelas.
Cara melakukan :

o Jari telunjuk dimasukkan lewat mulut untuk meraba apakah ada adenoid
atau tumor di nasofaring

PEMERIKSAAN FUNGSI HIDUNG

A. Pemeriksaan Fungsi Udara Hidung


1. Metode kualitatif
Perhatikan cuping hidung pada waktu inspirasi dan ekspirasi. Dengan kaca
atau spatel lidah yang diletakkan didepan lubang hidung, aka nada
penyemburan udara atau bercak pada kaca atau logam, kemudian
dibandingkan antara kanan dan kiri.
2. Metode kuantitatif
Digunakan rhinomanometer yang mampu mengukur tekanan pada rongga
hidung dan nasofaring waktu inspirasi dan waktu ekspirasi yang dicatat
secara otomatis. Dengan demikian akan diketahui hidung sebelah mana
yang mengalami gangguan.

B. Pemeriksaan Fungsi Pembau


1. Metode kualitatif
Cara melakukan :
a. Didepan luang diberi bahan pembau, misalnya vanili, teh, kpi,
tembakau dll
b. Bahan pembau yang mengandung komponen trigeminus misalnya,
menthol, formalin, kapur barus tidak dipergunakan.
c. Pada tes kualitatif ini ditentukan apakah terdapat anosmia, hiposmia,
atau parasmia.
2. Metode kuantitatif
Dengan menggunakan olfaktometri untuk menentukan gangguan
pembauan yang absolut dan relative. Olfaktometri yang objektif
menggunakan computer elktroensephalogram .
Sebab gangguan pembauan :
a. Gangguan pernafasan hidung
b. Toksin yang merusak sel epitel atau vili olfaktorius karena virus atau
bahan kimia
c. Trauma yang merusak vili olfaktoria pada fraktur dasar tengkorak.
d. Gangguan pusat pada kontusio cerebri (tumor otak)

C. Pemeriksaan Sinus Paranasal


a. Inspeksi
Apakah terdapat pembengkakan pada daerah sinus maksila atau sinus
frontal. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior dan posterior mungkin
akan terlihat nanah atau polip pada meatus media.
b. Palpasi
Dilakukan penekanan pada daerah sinus maksila atau sinus frontal
apakah terdapat nyeri tekan
c. Diafanoskopi / Pemeriksaan Transluminasi

Pendahuluan

o Transluminasi dikerjakan dalam kamar gelap


o Alat : lampu listrik 6 vlt bertangkai panjang (hayman)
o Pemeriksaan hanya mempunyai nilai bila ada perbedaan antara kiri dan
kanan
o Bila keduanya sinus terang, maka pada pria mungkin berarti bahwa sinus
normal, tetapi pada wanita masih ada kemungkinan bahwa kedua sinus
berisi cairan

Pemeriksaan sinus frontalis

o Lampu ditempatkan pada lantai sinus frontalis


o Cahaya diarahkan kemedio superior
o Cahaya yang memancar kedepan, ditutup dengan tangan kiri
Hasilnya :

Lihat dinding depan sinus frontalis: terang, suram atau gelap

Pemeriksaan sinus maksilaris

Cara 1

o Mulut dibuka lebar-lebar


o Lampu ditempatkan pada margo inferior orbita, cahaya kearah inferior
o Cahaya yang memancar kedepan ditutup dengan tangan kiri

Hasilnya :

Dinilai palatum durum homolateral apakah terang, suram atau gelap

Cara 2

o Mulut dibuka
o Kedalam mulut dimasukkan lampu, yang mana telah disarungkan suatu
tabung gelas (tabung reaksi)
o Mulut ditutup rapat
o Cahaya yang memancar dari mulut dan bibir atas ditututp dengan tangan
kiri

Hasilnya :

Dinilai dinding depan sinus maksilaris apakah terang, suram atau gelap.

d. Sinoskopi/ Antroskopi
Sinoskopi adalah melihat secara langsung sinus dengan memkai
endoskop atau alat pengantinya. Sinoskopi berguna untuk diagnostic
dan terapi. Cara sinoskopi ada dua macam yaitu mealui meatus inferior
(intranasal) dan melalui fossa kanina. Alat yang digunakan : lampu
kepala, speculum hidung, pinset bengkok kecil, troker dari storz
berdiameter 3mm dan 5mm, Teleskop Hopkins (Optik Hopkins)
dengan sudut 0,30,70,135.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. The technical anatomy and physiology of the nose and
accessory sinuses. In Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head, & Neck.
Fourteenth edition Ed. Ballenger JJ. Lea & Febiger. Philadelphia, London,
1991: p.3-8
2. Soepardi EA, et al. Buku ajar ilmu kesehatan : telinga hidung tenggorok
kepala& leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2007
3. East C. Examination of the Nose. In : Mackay IS, Bull TR(Eds). Scott-
Brownss Otolaryngology Sixth ed London: Butterworth, 1997: p.4/1/1-8
4. Effendi H, editor. Buku Ajar Penyakit THT. 6 th ed. Jakarta: EGC ; 1997 ;
p.135-142.
5. Lund VJ. Anatomy of the nose and paranasal sinuses. In : Gleeson (Ed).
Scott-Brownss Otolaryngology. 6th ed. London : Butterworth, 1997:
p.1/5/1-30.
6. Yilmaz AS, Naclerio RM. Anatomy and Physiology of the Upper
Airway. Available at:
http://pats.atsjournals.org/content/8/1/31.full.pdf+html. Accessed
on: 22/06/2012
7. Muranjan S. Anatomy of the nose and paranasal sinuses.
Available at: http://www.bhj.org/journal/1999_4104_oct99/sp_617.htm.
Accessed on: 22/06/2012

Anda mungkin juga menyukai