Anda di halaman 1dari 2

Analisis Isi Kebijakan KIA

Secara tradisional KIA adalah sebuah program vertikal yang diatur oleh kebijakan nasional.
Sebagian besar kebijakan utama KIA adalah inisiatif nasional yang dipengaruhi oleh
organisasi internasional seperti Bidan Desa, Membuat Kehamilan lebih Aman, dan
Manajemen Terintegrasi dari Penyakit Masa Anak-anak, Kebijakan KIA adalah program yang
sangat kuat di level pemerintah pusat, tetapi bukan termasuk yang penting di level pemerintah
daerah.

Di pemerintah pusat, kekuatan kebijakan KIA sangat jelas. Program KIA dibahas dengan baik
di Tindakan-tindakan Kesehatan, Rencana Jangka Menengah dan Jangka Panjang
Pemerintah, Kebijakan Bappenas dan dokumen rencana strategis Kementrian Kesehatan. Di
sisi lain, kelemahan kebijakan utama nasional juga jelas. Tidak ada rencana pendanaan KIA
berdasarkan intervensi efektif dalam implementasi kebijakan. Sebagai hasilnya, implementasi
kebijakan menjadi tidak efektif.

Dibandingkan dengan kebijakan mengenai Kesehatan Ibu, kebijakan untuk Kesehatan Anak
relatif tidak kuat. Untuk memenuhi perjanjian untuk Sasaran Pembangunan Millenium
(MDGs) dan Dunia yang Layak Untuk Anak (WFFC- A World Fit for Children), sebuah
inisiatif baru yang disebut Program Nasional Bagi Anak Indonesia 2005 - 2015 (PNBAI 2005
2015) telah dibuat di tahun 2005. Dokumen ini adalah sebuah refleksi komitmen
pemerinyah Indonesia dalam deklarasi A World Fit for Children di Sidang Umum PBB ke 27
Sesi Khusus mengenai Anak tahun 2001 ada 4 persoalan dalam deklarasi tersebut:
mempromosikan hidup sehat, menyediakan pendidikan berkualitas, melindungi dari
pelecehan, eksploitasi dan kekerasan, dan melawan HIV/AIDS

Dokumen ini merujuk pada UUD 1945 ayat 28a dan 2bc, dan Undang-undang no 23/2002
tentang Perlindungan Anak, Konvensi Hak Anak, dan Sasaran Pembangunan Milenium
(MDGs). Hal ini merupakan sebuah dokumen kebijakan yang menarik perhatian yang
dikeluarkan Bappenas. Hal ini mencakup tidak hanya kesehatan anak tapi juga pendidikan
dan hak-hak anak. Akan tetapi, implementasi kebijakan ini tidak jelas. Penjelasannya hanya
satu yaitu dokumen strategi tersebut terlalu luas dan kekurangan implementasinya secara
detail, termasuk keuangan strategis dan operasional.

Rencana Strategis National tentang Membuat Kehamilan Lebih Aman (Makes Pregnancy
Safer) di Indonesia 2001-2010 menyatakan visinya adalah memastikan bahwa semua ibu
mengalami kehamilan dan persalinan yang aman dan melahirkan bayi yang sehat. Misinya
adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi yang baru lahir. Obyektif:
mengurangi morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi yang baru lahir melalui perbaikan sistem
kesehatan untuk menjamin akses kepada intervensi dengan biaya-efektif dan berkualitas,
memberdayakan ibu- ibu, keluarga dan masyarakat dan mempromosikan kesehatan ibu dan
bayi baru lahir sebagai prioritas nasional. Strategi utama yang diimplementasikan meliputi:
meningkatkan akses dan jangkauan layanan kesehatan ibu dan neonatal yang berkualitas;
Membangun kemitraan yang efektif melalui kerjasama antar program dan antar sektor dan
koordinasi yang lebih baik; Meningkatkan pemberdayaan wanita dan keluarga melalui
peningkatan pengetahuan untuk menjamin perilaku yang sehat dan memanfaatkan layanan
untuk ibu dan bayi baru lahir; dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam penyediaan dan
pemanfaatan layanan kesehatan ibu dan neonatal.
Beberapa kebijakan untuk kesehatan anak terkait dengan baik dengan kesehatan ibu, seperti
program Bidan Desa. Kebijakan lain yang juga penting adalah IMCI. Di beberapa provinsi,
sebuah kebijakan untuk meningkatkan kinerja bidan pada kesehatan anak diperkenalkan oleh
proyek PATH-USAID. Sesuai pengamatan, kebijakan Kesehatan Anak seharusnya mencakup
kelangsungan hidup anak, dan kebijakan-kebijakan untuk remaja. Kebijakan kelangsungan
hidup anak dalam proses penyusunan di tahun 2010.

Jika dikaji lebih lanjut, isi kebijakan sebagian besar berada di wewenang DitJen Bana
Kesehatan Masyarakat. Jarang ada kebijakan mengenai kesehatan ibu dan anak yang berasal
dari Ditjen Pelayanan Medik, Akibatnya di lapangan terjadi fragmentasi pelayanan KIA
antara pelayanan dengan pelayanan sekunder dan tertier.

Lebih lanjut, isi kebijakan jarang yang langsung berhubungan dengan indikator kematian
yang menjadi penekanan program MDG4 dan MDG5. Penggunaan data kematian absolut
kurang dimaksimalkan. Kebijakan terlalu menekankan pada penggunaan rates dengan data
yang sudah terlambat dan memberikan rasa aman yang palsu (misal sudah lebih baik dari
angka rata-rata nasional).

Kebijakan monitoring dan evaluasi program KIA belum maksimal dijalankan, padahal kunci
keberhasilan program berada pada monitoring dan evaluasi program dan pelaksanaan
kebijakan. Dana dekonsentrasi untuk perencanaan dan pembinaan teknis (termasuk monev)
belum maksimal dipergunakan. Secara tegas dapat dinyatakan bahwa kebijakan KIA kurang
memberikan perhatian pada indikator kematian.

Last modified: Wednesday, 5 March 2014, 2:13 AM

Anda mungkin juga menyukai