Anda di halaman 1dari 10

Menuju Pemerintahan Desa Berbasis Budaya Lokal:

ANTISIPASI KESULITAN PENATAAN1

Purwo Santoso2

Antusiasme untuk mengembangan pemerintahan desa berbasis


budaya lokal di satu sisi memberikan harapan bagi
penyelenggaraan di level grass-roots yang tepat guna, namun
masih akan terancam oleh arogansi teknokrasi. Pemerintahan
supra-desa, utamanya pemerintah nasional, akan selalu mengulah
kesalahan di masa lalu, ketika membayangkan bahwa perannya
adalah mendisain ulang, bukan saling belajar untuk menemukan
formula yang tepat guna untuk menjawab beragamnya konteks
mikro-lokal di negeri bhinneka tunggal ika ini. Sense of mission
yang dirumuskan secara sepihak menjadikan otoritas supra-desa
insensitive terhadap kontens dan budaya lokal merasa memiliki
kewenangan untuk menentukan nasib desa. Aktualisasi budaya
lokal yang beragam akan membenturkan otoritas supra-desa pada
dua persoalan pelik, yakni (1) mengadministrasikan keragaman
dan dualisme hukum, (2) mensinergikan hukum positive dengan
living law (hukum yang hidup dalam masyarakat, termasuk hukum
adat).

Di masa lalu, tepatnya sebelum birokrasi pemerintahan modern diperkenalkan


oleh pemerintah kolonial Belanda, desa adalah entitas budaya yang hidup dan
berkembang secara alamiah tanpa intervensi birokrasi raksasa berukuran
negara-bangsa. Pemerintahan desa berbasis budaya lokal, pada masa itu tidak
perlu dibicarakan karena, mau tidak mau, pemerintahan yang ada berbasis budaya
lokal.
Atas nama kesejahteraan rakyat, pembangunan, otonomi daerah atau apa lagi,
pemerintah nasional begitu percaya diri dapat mendisain ulang pemerintahan desa,
dan entitas-entitas lain yang setara dengannya, sesuai kehendaknya. 3 Hal ini
sangat jelas terlihat pada masa pemerintahan Orde Baru. Demi menyelenggarakan

Disampaikan pada Seminar Nasional dalam perayaan Wisuda Program
1

Pascasarjana MAPD IPDN tahun 2011 pada tanggal 10 Agustus 2011 di Gedung
Aula Zamhir Islamie, Cilandak Timur Jakarta Selatan.
Guru Besar Ilmu Pemerintahan pada Jurusan Politik dan Pemerintahan
2

pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Dalam pembahasan selanjutnya, ketika disebut desa yang dimaksudkan
3

adalah entitas pemerintahan level grass-roots yang setara dengannya. Hal ini
semata-mata untuk mudahkan penyebutannya.

1
pembangunan berencana yang tersentralisir, desa hanya diperankan sebagai ujuk
tombak birokrasi nasional. Untuk kepentingan itu diberlakukannya Undang-
undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang belakangan diketahui
memiliki dampak negatif terhadap pemerintahan desa itu sendiri. Sehubungan
dengan hal ini telah ada banyak sekali kajian yang menunjukkan bahwa
kesepihakan pemerintah nasional dalam penataan telah menyisakan banyak
persoalan.
Dengan diberlakukannya Undang-undang No 22 tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah yang mencabut UU No. 5 tahun 1979 tersebut, mencuatkan
keinginan untuk mengembangkan kembali pemerintahan desa berbasis budaya
lokal. Sungguhpun demikian, pencabutan warisan Orde Baru tersebut tidak
dengan serta merta menjadikan pemerintahan berbasis budaya lokal dapar
terwujud. Pangkal persoalannya sebetulnya bukan pada Orde Baru itu sendiri,
melainkan mindset yang mendasarinya, yakni mindset yang birokratis dan
teknokratis. Bercokolnya mindset ini menjadikan penataan pemerintahan desa
berlangsung sepihak, dan insensitifitas terhadap konteks kehidupan desa.
Kalau saat ini ada keinginan untuk mengembangan pemerintahan desa berbasis
budaya lokal, hal itu harus dimaknai secara terbuka bahwa budaya lokal tidak
mudah ditempa ulang dan oleh karenanya harus diakomodasi dalam penataan
pemerintahan. Pertanyaannya, apakah budaya lokal diakomodir sekedar karena
tidak bisa dielakkan pengaruhnya?
Suatu kebudayaan betul-betul membudaya ketika kita, sebagai warga budaya yang
bersangkutan, tidak dapat keluar dari jeratannya. Sebaliknya, pengingkaran
terhadap budaya lokal hanya dapat dilakukan kalau budaya tersebut memang
sudah usang, berhasul ditinggalkan oleh warganya. Yang jelas, kesungguhan
untuk mengembangkan pemerintahan desa berbasis budaya lokal mensyaratkan
pemerintah nasional dan pemerintah daerah supra-desa, memiliki visi budaya
yang memadai.
Iktikat untuk mengembangkan pemerintahan macam itu kiranya hanya menjadi
retorik dan bahkan memerosokkan desa jebakan maut manakala lapis supra-desa
tidak memiliki sense budaya. Contoh jebakan maut itu seperti ini. Atas nama
pemberdayaan adat, sejumlah Kabupaten menyusun Pertaturan Daerah (Perda)
tentang hal itu. Repotnya, yang dilakukan bukan hanya memberikan pengakuan
tentang berlakukan hukum adat di Kabupaten yang bersangkutan, melainkan
memasukkan norma-norma adat ke dalam pasal-pasal dalam Perda. Secara
sepintas, inisiatif ini mengesankan keberpihakan terhadap masyarakat dengan
hukum adatnya. Yang tidak disadari adalah, masyarakat adat tidak lagi memiliki
kontrol atas hukumnya ketika penegakan Perda beralik ke birokrasi pemerintah,
termasuk Satuan Polisi Pamong Praja. Inilah contoh jebakan maut tersebut.
Ada banyak hal yang perlu dibahas agar pemerintah desa betul-betul
diselenggarakan secara kontekstual atau berbasis budaya lokal. Hanya saja,
kehirauan makalah ini bukanlah disain pemerintahan desa berbasis lokal itu
sendiri, melainkan pada pencegahan terulangnya kembali mal-treatment
sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru. Yang dibahas di sini justru hal-hal
yang berada di tataran supra-desa, namun memiliki peluang besar untuk
merontokkan gagasan tentang pemerintahan desa berbasis budaya lokal tersebut.

2
1. Belenggu Mindset Birokratik.
Penataan ulang pemerintahan desa, selama ini menjadi domain kekuasaan
pemerintah nasional yang telah terbiasa berfikir dan bekerja dalam mindset
birokratis. Makalah ini ditulis berdasarkan kesadaran betapa beratnya mengusung
gagasan pemerintahan desa berbasis budaya lokal, mengingat tidak mudahnya
keluar dari mindset, yang secara diam-diam membingkai fikiran dan perilaku kita.
Teori-teori pemerintahan yang mendasari penataan pemerintahan desa sangat
kering dari nuansa kultural. Pada gilirannya acuan kerja resmi para pamong praja
dalam mengendalikan jalannya pemerintahan daerah tidak sensitif pada budaya
lokal. Sensitivitas budaya hanya dilakukan dalam ruang diskresi yang sempit, dan
pelaksanaannya menjadi tanggung jawab personal seorang pejabat pamong praja.
Pejabat-pejabat yang berpengalaman terpaksa menyelami budaya
masyarakatnya, namun sistem pemerintahan resmi yang diberlakukan berpretensi
dapat menjalankan pemerintahan dengan baik tanpa sentuhan budaya.
Untuk memberi gambaran tentang wawasan kultural ini, kita perlu mengaca dari
politik kultural pemerintah kolonial. Menyadari sulitnya menjamin
keterkelolaannuya pemerintahan (governability) di negeri yang seluas dan serumit
Indonesia ini, sebuah rekayasa budaya yang jenius dilansir. Pemerintah Hindia
Belanda memfasilitasi penyebaran Bahasa Melayu ke seluruh pelosok negeri
sehingga pada akhirnya berkembang menjadi bahasa Indonesia dan pada
gilirannya dikukuhkan oleh para nasionalis sebagai bahasa pemersatu negeri ini.
Kita harus berani mengakui bahwa sumpah pemuda adalah muara dari rekayasa
kultural yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.
Pelajaran penting yang perlu kita petik adalah pemerintah nasional dapat dengan
mudah mengendalikan wilayahnya adalah dengan justru melansir strategi budaya.
Yang lebih penting lagi, governability tidak mensyaratkan kesatuan dan
pemusatan komando. Dengan bahasa Indonesia itu, yang tergalang justru interaksi
yang bersifat horizontal (antar daerah, antar budaya lokal), bukan interaksi yang
bersfat vertikal. Yang mengawal kesatuan Indonesia adalah lokalitas yang sama-
sama berbahasa Indonesia, bukan kepala pemerintahan. Caranya adalah keluar
dari mindset yang birokratis.
Mindset yang seperti itu sebetulnya masih membelenggu Indonesia ketika
menjadikan demokratisasi sebagai agenda pokok. Meskipun berlangsung seusai
masa berkuasanya Orde Baru yang sentrastik, proses demokratisasi dibayangkan
sebagai proses implementasi kebijakan publik yang cenderung top-down. Undang-
undang bidang politik dibuat (tepatnya diubah dari waktu ke waktu) di level
nasional, lalu setelah itu diberlakukan di daerah-daerah. Penjabaran dari gagasan
demokrasipun tidak sensitif terhadap budaya lokal. Prinsip one man one vote
misalnya, didudukkan sebagai hal yang absolut, sehingga tradisi pemilihan satu
kampung satu suara biasa diberlaku di Papua, dianggap melanggar undang-
undang. Pemaksaan prinsip one man one vote ini menimbulkan gegar budaya,
ditandai dengan maraknya praktek jual-beli vote (vote buying, yang dikenal
sebagai money politics).

3
Dari kacamata pemerintah nasional, pengelolaan kepentingan publik di negeri ini
tertata secara berlapis-lapis, dan lapis yang paling bawah adalah lapis
pemerintahan desa. Apa yang dikerjakan pada lapisan nasional tidaklah bermakna
kecuali betul-betul menjangkau masyarakat yang bertebaran di desa-desa di
pelosok negeri ini. Dalam posisinya sebagai lapis terbawah, desa menjadi basis
penyangga atau prasyarat bagi berfungsi lapis-lapis yang lebih tinggi.
Sebagaimana layaknya sebuah fondasi rumah yang cenderung tersembunyi atau
tertutup sosok yang hendak diekspose, desa tidak lagi mendapat perhatian dari
lapis yang disangganya. Pada saat yang sama, desa dianggap memiliki daya
dukung yang tak terhingga untuk menyangga berbagai ambisi dan perubahan yang
dilakukan di level atas. Hanya saja, kalau ternyata desa yang bermasalah gara-
gara intervensi yang dilakukan, masalah itu tetap saja tinggal di desa, tidak
terserap menjadi masalahnya pemerintah nasional.
Dengan kapasitas teknokratisnya, pemerintah nasional berpretensi dapat
merumuskan dan memberlakukan 'disain pemerintahan desa, yang sebetulnya
menjadi basis eksistensi dirinya sendiri. 4 Situasinya dapat diibaratkan begini.
Desa adalah orang tua, dan pemerintah nasional adalah anak yang tumbuh besar
dari, dan direlakan tumbuh di atasnya. Yakin dengan kapasitas yang dimiliki, si
anak berusaha untuk mengubah jati diri si orang tua. Kalau tidak hati-hati, anak
yang ambisius ini bisa menjadi anak durhaka. Tulisan ini menggarisbawahi
urgensi si anak memikirkan orang tuanya, dan pada saat yang sama
menekankan betapa berbahayanya menggunakan kosep disain ketika tidak
cukup kuat pemahaman tentang konteks.
Jika demokrasi difahami sebagai praktek kebudayaan, maka proses demokratisasi
haruslah dikelola sebagai transformasi kehidupan bersama yang sehari-hari
dijalankan, bukan sebagai pemberlakuan paksa keputusan legalistis yang dengan
mudah disalahgunakan. Dalam konteks ini, desa adalah lokus yang paling tepat
untuk melembagakan demokrasi.

2. Titik Kebutaan Disain.


Selain terbiasa dengan cara berfikir dan cara kerja yang birokratis, pemerintah
juga terbiasa dengan cara berfikir dan cara kerja teknokratis. Dengan kecakapan
teknokratisnya, pemerintah berpretensi untuk mendisain ulang tata pemerintahan
di negeri ini. Sungguhpun demikian, perlu disadari bahwa teknokrasi juga
memiliki titik kebutaan (blind spot).
Untuk menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam mengubah desa, perlu kiranya
kita sadari berbahayanya konsep disain di tangan aktor yang memiliki daya
paksa. Perlu diingat, pemerintah nasional memiliki kapasitas memaksakan
kehendak (coercive power). Bersenyawanya kapasitas memaksakan kehendak
dan keinginan untuk mendisain ulang pemerintahan desa menjadikan desa

4 Mereka, konon ada sebelum lahirnya entitas politik raksasa bernama

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang bekerja melalui lapis-lapis


jajaran birokrasi. Dalam ketidakberdayaan mereka menghadapi gempuran
birokrastisme pemerintahan, peran terjauh mereka adalah mengganjal operasi
birokrasi, yang dengan gagahnya menobatkan diri sebagai abdi negara.

4
berada dalam posisi terancam.5 Sungguh ironis, bahwa desa justru terancam oleh
mereka yang bermaksud untuk memperoleh manfaat dari berfungsinya desa itu
sendiri.
Istilah disain mengisyaratkan adanya subyek yang berkuasa penuh terhadap
obyek.6 Ketika kita membicarakan disain pemerintahan desa, jelaslah bagi kita
siapa disainernya (pemerintah nasional) dan apa obyek yang didisain (pemerintah
dan pemerintahan desa). Nasib orang desa ditentukan secara sepihak oleh para
disainer.7
Yang menjadi persoalan dalam mendisain ulang pemerintah desa ini adalah
bagaimana budaya lokal dimaknai dan posisikan oleh pemerintah nasional.
Dengan kata lain, seberapa seriuskah pemerintah nasional mengormati dan
memerankan budaya lokal ? Jelasnya begini. Dalam mendisain, pemerintah
nasional mengacu pada nilai-nilai atau prinsip-prinsip tertentu. Dalam budaya
lokal, kita tahu, ada juga tata nilai yang berlaku, yang dalam praktek sehari-hari
dijunjung tinggi oleh masyarakat. Jika dalam intervensi terhadap pemerintahan
desa ini ada benturan nilai, bersediakan pemerintah nasional mengalah: memberi
tempat bagi aktualisasi nilai-nilai lokal?
Bagaimana hubungan lokal dan nasional ? Apakah lokal, sebagaimana
diperlakukan dalam birokrasi pemerintahan, adalah sub-ordinat dari otoritas
narional ? Bagaimana kalau dibalik, bahwa lokal adalah fondasi dan prasyarat
bagi keberadan eksponen nasional. Indonesia tidak akan ada kalau tidak daerah-
daerah yang menyediakan diri sebagai lokusnya ?
Jawaban populer terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas sangatlah mudah
untuk ditebak. Lokal adalah sub-ordinat, dan dalam hal ada benturan, maka yang
posisinya lebih rendah (lokal) harus kalah, katau tidak mengalah. Jelasnya, konsep
disain dalam wacana disain pemerintahan desa, sejak dari sono-nya tidak
sensitif terhadap otonomi, keberdayaan, otensitas dan identitas obyek yang
didisain, yakni desa.


5 Birokrasi pemerintahan sebetulnya suatu sub-kultur yang memiliki cara

kerja yang khas. Sebagian dari cara kerja khas yang menjadikannya sebagai suatu
sub-kultur adalah: (1) mengabdi ke atas melalui lapis-lapis hierarkhi yang
terpola, (2) menjaga konsistensi claim/kebenaran formal, (3) lebih
mengedepankan prosedur daripada isi, dan sebagainya. Dengan cara kerja yang
searah dari lembaga yang memiliki kewenangan paksa yang bekerja secara searah
ini, tidak mudah membedakan mana penataan dengan pelaklukan. Tidak mudah
membedakan antara kebaikan yang belum dirasakan dengan pengurbanan yang
tak terelakkan.
6 Sebagai contoh, seorang insinyur mendisain rumah dan punya kendali

penuh tentang rumah macam apa yang hendak dibangun, memiliki kejelasan
tentang bahan-bahan yang dipakai, dan juga kejelasan tentang bagaimana proses
membangunnya.
7 Dalam operasi birokrasi berskala nasional ini, desa secara sama-samar,

namun secara de facto, diposisikan sebagai lapis pemerintahan terendah.


Canggihnya politik birokrasi pemerintahan yang begitu halus terselubung
namun efektif telah memapankan status mereka lebih sebagai kaki tangan
kekuasaan pemerintahan, daripada sebagai kekuatan rakyat atau simpul primer
yang mampu mengelola kepentingan publik dalam berskala kecil.

5
Dengan kata lain, mindset mendisain tetap saja mengisyaratkan praktek
penundukan. Kalaulah budaya lokal diakomodasi, integritasnya budaya lokal
tersebut, tetap saja tidak dijamin. Kesungguhan pemerintah nasional
mengembangkan disain pemerintahan desa berbasis budaya lokal, akan ditentukan
dari kesediaan untuk merespon secara dialektik berbagai permasalahan yang
muncul, baik yang terantisipasi maupun tidak terantisipasi.
Dengan demikian, pengembangan pemerintahan desa berbasis budaya lokal
menuntut adanya perubahan pada dua sisi. Keduanya, sama-saa harus yang tahu
diri.
Sisi pertama, adalah otoritas nasional yang memiliki klaim-klaim besar namun
sulit mengkoreksi diri sendiri. Pretensi untuk dapat mendisain pemerintahan desa
karena sense of mission tertentu, katakanlan mengembangan pemerintahan yang
effektif dalam menyelenggarakan kebijakan-kebijakan berskala nasional, harus
ditunjukkan dengan kesungguhan untuk menghayati cara kerja orang-orang desa,
dan mengapresisasi desa sebagaimana adanya.
Sisi kedua, adalah otoritas-otoritas tingkat desa. Mereka memiliki lingkup kerja
yang sempit, namun hadir secara riel dihadapan rakyat sebagai pemerintah.
Aktualisasi budaya lokal tidaklah semata-mata menghidupkan tradisi, melainkan
juga melibatkan diri dalam continuity and change dengan mengacu pada nilai-
nilai budaya setempat. Dengan support system yang disainnya difikirkan dan
dikembangkan pemerintah, desa perlu mengoptimalkan kemampuannya belajar
satu sama lain dan belajar dari masa lalu, agar melalui pemerintahan di desa
pengelolaan kepentingan publik mencapai tataran optimal.

3. Antisipasi
Pemerintah nasional memang tidak boleh lepas tangan dalam penataan
pemerintahan desa, namun kehati-hatian dalam mengintervensi dan mengubah
pemerintahan desa sangat diperlukan. Pengembangan pemerintahan desa berbasis
budaya lokal yang diwacanakan belakangan ini, tetap mengisyaratkan watak
intervensionis. Meskipun intervensi ini didedikasikan untuk aktualisasi budaya
lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, harus tetap disadari bahwa,
kontrol terhadap perubahan tidak ada ditangan orang-orang desa. Serangkaian
langkah antisipatif sangat diperlukan.

a. Memagari Sense of Mission dengan Penghayatan Konteks.


Cukup alasan untuk menduga bahwa kerangka berfikir yang dipakai dalam
menyikapi desa di masa-masa mendatang, kurang lebih akan sama, yakni:
mendisain desa. Ketika pemerintah nasional bermaksud mendisain
pemerintahan desa dengan bekal misi mulia yang didefinisikan sendiri, ujung-
ujungnya desa akan terdegradasi sekedar sebagai obyek rekayasa. Apapun misi
mulia yang dicanangkan, pemerintah tidak akan begitu saja mengurbankan jatidiri
yang birokratis, demi aktualisasi budaya lokal dalam pemerintahan. Tidaklah
mudah bagi pemerintah nasional untuk memperlakukan dan menghormati desa
sebagai subyek yang berotonomi dan atau entitas yang bekerja berbasis budaya

6
lokal yang ekspresinya begitu beragam, justru karena pemerintah nasional begitu
ngebet (desperate) untuk memiliki satu set birokrasi yang efektif menjangkau
setiap penduduk di negeri ini, menjangkau setiap jengkal teritori.
Di balik kuatnya sense of mission tersembunyi sense of irrelevance untuk berfikir
kontekstual. Pemerintah nasional cenderung teledor dalam mengantisipasi
perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh keputusan-keputusan sepihak yang
dibuatnya, apalagi yang sudah dikukuhkan sebagai peraturan perundang-
undangan. Kalaulah ada kesungguhan untuk memahami dan memperlakukan desa
secara kontekstual, pemerintah nasional punya kewajiban yang tidak mudah:
yakni mengantisipasi perubahan yang sangat beragam mengingat beragamnya
situasi dan kondisi desa yang hendak dimanipulasi atau direkayasa.
Di sisi lain, perlu dicatat bahwa kalaulah difahami sebagai konteks penataan
pemerintahan, desa sebetulnya bukanlah obyek yang pasif. Di berbagai daerah,
desa telah belajar dari sejarah, bahkan telah sanggup mengantisipasi daya rusak
otoritas supra-desa. Hanya saja, tidak banyak desa yang sanggup mengembangkan
siasat untuk menangkal efek negatif dari intervensi atas nama kebaikan desa. Di
Bali, dikembangkan dua jenis pemerintahan desa. Yang satu disebut desa adat,
dan yang lainnya disebut sebagai desa dinas. Desa dinas inilah yang disediakan
sebagai sambungan dari birokrasi nasional. 8 Lebih dari itu, nalar khas yang
dipelihara dalam praktek berpemerintahan desa sebetulnya (secara diam-diam)
dapat membajak berbagai prosedur dan ketentuan yang hendak diperlakukan
orang luar ke desa. Salah satu bentuk resistensi budaya adalah mengesankan
patuh pada ketentuan-ketentuan resmi, namun secara diam-diam desa sebetulnya
melakukan perlawanan.9
Sehubungan dengan hal ini, penting untuk dicamkan bahwa sasaran dari
pengembangan pemerintahan desa berbasis budaya lokal adalah entitas budaya.
Meskipun sosok dan cara kerjanya berbeda-beda, desa dan entitas sejenisnya
sama-sama produk akumulatif dari perjalanan kolektif yang telah menyejarah.10
Karena daya tahan terhadap birokratisasi yang dilakukan pemerintah nasional di

8 Dengan strategi ini, efek negatif dalam kecerobohan pengaturan berskala

nasional dapat diminimalisir. Sejalan dengan hal itu, Kampung-kampung di Papua


justru diuntungkan oleh isolasi geografis sehingga keasliannya relatif terjaga.
Sungguh ironis bahwa nasib desa, ternyata ditentukan oleh kemampuan
membentengi diri dari penetrasi sistem berskala nasional.
9 Dalam implementasi sejumlah pengelolaan dana bergulir misalnya,

tokoh-tokoh desa desa terkesan patuh pada aturan resmi yang diberlakukan.
Namun mereka tahu, bahwa kalau dana tersebut akhirnya tidak lagi bergulir,
maka solusinya adalah pemutihan. Oleh karena itu, strategi yang ditempuh pada
tokoh adalah memastikan dana bergulir turun sesuai aturan resmi, dan dengan
sengaja membiarkannya tidak bergulir karena pemerintah tidak bisa
memberlakukan sanksi kepadanya.
10 Desa telah lama hadir sebagai entitas yang khas, dan dengan caranya

sendiri-sendiri menjalankan fungsi alamiahnya sebagai simpul pengelolaan


kepentingan publik. Mereka memegang peran vital dan memberlakukan cara-
cara, yang secara kultural, tepat guna. Digulirkan dan kembangkannya visi
birokratis-administratif pengelolaan kepentingan publik yang, mau tidak mau
menjangkau mereka, menjadikan pemerintahan desadan entitas sejenisnya
pada umumnya dalam kondisi merana.

7
masa lalu berbeda-beda, maka kekentalan basis budaya di masing-masing desa
juga berbeda-beda. Kita tidak dapat lagi memperlakukan desa secara romantis,
bahwa dia selalu hadir sebagai entitas kultural yang secara otentik, dan
sepenuhnya self-governing dalam mengelola kepentingan publik. 11
Pengembangan pemerintahan desa berbasis lokal harus berangkat dari kenyataan
ini.
Jika pemerintah bersunggung-sungguh hendak mengembangkan pemerintahan
desa berbasis lokal, maka pemahaman akan nilai-nilai yang mendasari cara kerja
pemerintahan desa haruslah dimengerti. Sehubungan dengan luas dan begitu
bervariasinya penyelenggaraan pemerintahan desa, maka tanggung jawab untuk
memahami dan merumuskan tata pemerintahan desa perlu diletakkan pada
pemerintah Kabupaten/Kota. dengan begitu terbuka peluang untuk
mengembangkan variasi pemerintahan desa di level kabupaten/kota. Mengapa
tidak di level propinsi. Propinsi di Indonesia pada umumnya sangat luas dan
mencakup sejumlah budaya lokal yang berbeda. Pemerintahan desa di Mentawai
misalnya, menolak untuk disamakan dengan Pemerintahan Nagari. Perda Propinsi
Sumatra Barat yang mengatur hal itu mendapatkan resistensi dari Mentawai.
Sehubungan dengan point tersebut di atas, pengaturan tentang pemerintahan desa
dalam undang-undang semestinya bersifat langsung. Justru pemerintah
Kabupaten/Kota yang dipagari dengan aturan agar memiliki rujukan ketika
mengembangkan pemerintahan desa di Kabupatennya. Pemerintah propinsi dapat
saja merumuskan ketentuan, namun kalaulah hal itu dilakukan harus membuka
ruang untuk membuat variasi di tingkat kabupaten/kota. Dengan model penataan
seperti ini, sense of mission yang dirumuskan oleh pemerintah nasional tetap saja
bisa digariskan dalam ketentuan perundang-undangan, namun terbuka ruang
negosiasi dan penyesuaian agar ekspresi nilai-nilai budaya setempat bisa
dioptimalkan.
Langkah ini tentu saja masih tidak menjamin aktualisasi nilai-nilai budaya lokal
manakala birokrasi di tingkat lokal tetap saja terpaku pada kerangka fikir dan
kerangka kerja yang birokratis dan teknokratis sebagaimana dijelaskan di atas.
Pengembangan kompetensi dan komitmen untuk mengembangkan pemerintahan
desa berbasis budaya niscaya sangat diperlukan.

b. Berdialektika dengan Masyarakat Desa.


Untuk mencegah brutalnya kerusakan yang sulit diantisipasi pemerintah nasional,
makalah ini mengusulkan agar agenda yang dipancangkan pemerintah nasional
bukanlah mendisain pemerintahan desa. Baik eksponen pemerintah nasional

Kalangan yang berpandangan romantis meyakini bahwa di dalam diri
11

setiap desa tersimpan berbagai bentuk kearifan lokal. Kalaulah desa memang
masih menyisakan kearifan lokal, itu artinya masyarakat berhasil merawat
kearifan-kearifan tersebut kurun waktu yang sangat lama. Sangatlah konyol kalau
perubahan-perubahan ditentukan secara sepihak oleh mereka yang karena
bersembunyi dibalik kungkungan birokratisme lalu merasa superior. Patut
disayangkan kalau perubahan-perubahan dilakukan atas nama sesuatu yang tidak
dihayati dan diketahui orang-orang desa, sehingga berbagai kearifan yang
dipelihara harus ditinggalkannya.

8
maupun eksponen lokal sama-sama memiliki keterbatasan pemahaman, dan oleh
karena itu terikat untuk saling belajar satu sama lain. Keduanya sama-sama tidak
memiliki kemampuan kontrol yang sempurna terhadap fihak lain, dan kemajuan
atupun kemunduran yang diraih sangat boleh jadi diluar imajinasi semula.
Jelasnya kosep disain ataupun mendisain tidak bisa dipertahankan. Kalaulah
masih hendak dipakai, maka yang bisa ditolerir adalah co-designing. Dengan cara
itulah ruang ekspresi bagi budaya lokal bisa dioptimalkan, lebih dari sekedar yang
diijinkan oleh para pejabat yang berfifikir dan bekerja dalam wawasan yang
birokratis ataupun teknokratis.
Disain, biasanya dirumuskan berdasar suatu visi atau imajinasi yang definitif.
Ketika menghadapi ratusan ribu unit dalam ratusan variasi desa yang tersebar di
bumi pertiwi ini, kebulatan visi seperti itu mustahil dapat diwujudkan. Justru
karena sifat budaya lokal yang hidup, mustahil pula pemerintah nasional
bersikeras dengan suatu visi yang baku (fixed). Dalam konteks ini, yang masuk
akal untuk dilakukan pemerintah nasional bukanlah memaksakan visinya
malainkan memahami nalar atau rasionalitas dibalik setiap ekspresi budaya
lokal.
Penggunaan konsep disain, mengandaikan kekuasaan pemerintah tidak terkendala.
Dalam prakteknya, kekuasaan pemerintah berpotensi dilawan oleh kekuatan-
kekuatan non-pemerintah, meskipun perlawanannya dilakukan secara diam-diam.
Pemerintah Indonesia selama ini masuk dalam kategori negara lembek (soft state)
atau negara lemah (weak state) meskipun dibungkus dengan otoritarianisme.
Dalam prakteknya, kekuasaan pemerintah secara diam-diam dibajak oleh
kekuatan tidak resmi. Kita mengenal fenomena shadow state. Asumsi bahwa
negara tidak bermasalah dalam memberlakukan disain dalam perngertian
tersebut di atas, adalah asumsi yang tidak tahu diri.
Watak intrusive dari agenda pengembangan pemerintahan desa bisa bisa dikemas
dalam dua wacana atau cara berfikir. Yang pertama, adalah cara berfikir yuridis-
administratif. Sedangkan yang kedaua adalah cara berfikir yang filosofis-politis.
Keduanya sama-sama bermasalah dalam menjabarkan keinginan agar
pemerintahan desa betul-betul berbasis budaya lokal.
Ketika pengembangan pemerintahan desa difahami sebagai dialektika, kita tidak
berpretensi bahwa penataan dilakukan dalam sekali pukul langsung selesai. Dalam
pengelolaan dialektika ini ada tawar-menawar, dan ada pula eksperimen untuk
menerapkan konsensus yang telah disepakati. Perjalanan panjang untuk
menemukan model yang optimal dicari bersama dari waktu ke waktu.

c. Mengasah ketrampilan mengdministrasikan keragaman.


Pengembangan pemerintahan desa berbasis budaya lokal berlangsung secara
simultan, kalau tidak dalam satu paket, dengan desentralisasi pemerintahan.
Sebagaimana diusulkan di atas, penataan pemerintahan desa sebaiknya ditangani
di level Kabupaten/Kota. dengan demikian, masing-masing Kabupaten/Kota
memiliki pola penyelenggaraan pemerintahan yang boleh dibilang unik, dan
pemerintah nasional harus mencari alternatif cara untuk mendayagunakan
pemerintahan desa. Karena keniscayaan ini, maka pemerintah nasional justru

9
harus merumuskan alternatif untuk menjangkau desa secara tidak langsung namun
memiliki efektifitas yang tinggi. Yang jelas, wawasan birokratis selama ini ada
perlu ditransfortmasi menjadi wawasan yang kontekstual.
d. Mensinergikan hukum positif dengan hukum adat.
Hukum ada berjalan secara otomatis justru karena berbasis budaya setempat. Hal
ini menjadikan pemerintahan desa berbasis adat bersifat build-in dengan cara
masyarakat mengatasi masalah-masalah publik di desa masing-masing. Yang
menjadi persoalan adalah, sejumlah norma-norma budaya lokal yang diberlakukan
akan tidak sinkron, kalau tidak berbenturan dengan norma-norma yang ditentukan
oleh pemerintah supra-desa. Persoalan semacam ini tidak mudah diatasi, apalagi
ketika pemberlakuan norma tersebut terkait dengan sumberdaya yang memiliki
nilai ekonomi.

4. Kesimpulan
Pengembangan pemerintan desa berbasis budaya lokal memerlukan pendekatan
baru, dan ini pendekatan baru itu pada dasarnya adalah apresiasi terhada budaya
lokal yang masih hidup dalam masyarakat. Mengingat dampat negatif dari
arogansi teknokratis dalam pengembangan pemerintahan desa, para teknokrat
dituntut untuk mengembangkan cara baru mengelola lebijakan publik; yakni
kebijakan publik sebagai proses pembelajaran bersama. Oleh karena itu,
pengembangan pemerintahan desa berbasis budaya lokal menuntut adalah langkah
antara, yakni : (1) memagari sense of mission dengan pemahaman kontekstual, (2)
berdialektika dengan masyarakat desa, (3) mengasah ketrampilan dalam
mengadministrasikan keragaman, dan (4) mensinergikan hukum positif dengan
hukum adat.

10

Anda mungkin juga menyukai