Anda di halaman 1dari 15

LEMBAR TUGAS MANDIRI III PERPINDAHAN KALOR

Nama : Natasya Mareta M Tanggal Kegiatan : 5 April 2017


NPM : 1506673385 Paraf Asisten :
Kelompok : 11

I Outline
Heat Exchanger
Prinsip Dasar dan Penerapan Suhu Limbak (Temperature Bulk)

II Pembahasan
Heat Exchanger (Definisi, Prinsip Kerja, Jenis, Peran Arah Aliran Fluida)
Alat Penukar Kalor (heat exchanger) adalah suatu alat yang memfasilitasi
terjadinya pertukaran panas antara 2 fluida yang berbeda suhu tanpa menyebabkan kedua
fluida bercampur. Perpindahan panas yang terjadi saat pertukaran panas pada alat penukar
kalor biasanya terjadi secara konveksi dan konduksi. Konveksi terjadi pada molekul-
molekul fluida, sedangkan konduksi terjadi pada material alat penukar kalor (media) yang
berada diantara 2 fluida. Dengan kata lain, alat penukar kalor (Heat Exchanger)
digunakan untuk memindahkan panas dari sistem ke sistem lain tanpa perpindahan massa
dan dapat berfungsi sebagai pemanas maupun sebagai pendingin. Biasanya, medium
pemanas dipakai adalah air yang dipanaskan sebagai fluida panas dan air biasa sebagai
air pendingin (cooling water). Penukar panas sangat luas dipakai dalam industri seperti
kilang minyak, pabrik kimia maupun petrokimia, industri gas alam, refrigerasi,
pembangkit listrik. Salah satu contoh sederhana dari alat penukar panas adalah radiator
mobil di mana cairan pendingin memindahkan panas mesin ke udara sekitar.
Pada dasarnya prinsip kerja dari alat penukar kalor yaitu memindahkan panas dari
dua fluida pada temperatur berbeda di mana transfer panas dapat dilakukan secara
langsung ataupun tidak langsung. Berdasarkan proses kontak, heat exchanger dapat
diklasifikasikan menjadi heat exchanger tipe kontak tak langsung dan heat exchanger tipe
kontak langsung. Pada heat exchanger tipe kontak tak langsung, perpindahan panas
terjadi tanpa adanya kontak langsung pada fluida dan pertukaran panas terjadi dengan
adanya lapisan dinding yang memisahkan fluida-fluida tersebut. Heat Exchanger tipe
kontak tak langsung terdiri dari
1. Heat Exchanger Tipe Direct-Transfer
Pada heat exchanger tipe ini, fluida-fluida kerja mengalir secara terus-menerus dan saling
bertukar panas dari fluida panas ke fluida yang lebih dingin dengan melewati dinding
pemisah.
2. Storage Type Exchanger
Heat exchanger tipe ini memindahkan panas dari fluida panas ke fluida dingin secara
bertahap melalui dinding pemisah. Sehingga pada jenis ini, aliran fluida tidak secara
terus-menerus terjadi, ada proses penyimpanan sesaat sehingga energi panas lebih lama
tersimpan di dinding-dinding pemisah antara fluida-fluida tersebut. Contohnya,
regenerative heat exchanger.
3. Fluidized-Bed Heat Exchanger
Heat exchanger tipe ini menggunakan sebuah komponen solid yang berfungsi sebagai
penyimpan panas yang berasal dari fluida panas yang melewatinya. Fluida panas yang
melewati bagian ini akan sedikit terhalang alirannya sehingga kecepatan aliran fluida
panas ini akan menurun, dan panas yang terkandung di dalamnya dapat lebih efisien
diserap oleh padatan tersebut. Selanjutnya fluida dingin mengalir melalui saluran pipa-
pipa yang dialirkan melewati padatan penyimpan panas tersebut, dan secara bertahap
panas yang terkandung di dalamnya ditransfer ke fluida dingin.
Sedangkan pada heat exchanger tipe kontak langsung dengan di dalamnya terjadi
perpindahan panas antara satu atau lebih fluida dengan diikuti dengan terjadinya
pencampuran sejumlah massa dari fluida-fluida tersebut. Perpindahan panas yang diikuti
percampuran fluida-fluida tersebut, biasanya diikuti dengan terjadinya perubahan fase
dari salah satu atau labih fluida kerja tersebut yang menandai terjadinya perpindahan
energi panas yang cukup besar. Macam-macam dari heat exchanger tipe ini antara lain
adalah
1. Immiscible Fluid Exchangers
Heat exchanger tipe ini melibatkan dua fluida dari jenis berbeda untuk dicampurkan
sehingga terjadi perpindahan panas yang diinginkan. Proses yang terjadi kadang tidak
akan mempengaruhi fase dari fluida, namun dapat diikuti dengan proses kondensasi
maupun evaporasi
2. Gas-Liquid Exchanger
Pada tipe ini, ada dua fluida kerja dengan fase yang berbeda yakni cair dan gas umumnya
air dan udara. Salah satu aplikasi yang paling umum dari heat exchanger tipe ini adalah
pada cooling towertipe basah.
3. Liquid-Vapour Exchanger
Perpindahan panas yang terjadi antara dua fluida berbeda fase yakni uap air dengan air,
yang juga diikuti dengan pencampuran sejumlah massa antara keduanya. Heat exchanger
tipe ini dapat berfungsi untuk menurunkan temperatur uap air atau meningkatkan
temperatur air.
Berdasarkan fungsinya, HE dapat digolongkan menjadi beberapa tipe, yaitu :
1) Exchanger Memanfaatkan perpindahan kalor diantara dua fluida proses (steam
dan air pendingin tidak termasuk sebagai fluida proses, tetapi merupakan utilitas).
2) Heater Berfungsi memanaskan fluida proses, dan sebagai bahan pemanas alat
ini menggunakan steam.
3) Cooler Berfungsi mendinginkan fluida proses, dan sebagai bahan pendingin
digunakan air.
4) Condenser Berfungsi untuk mengembunkan uap atau menyerap kalor laten
penguapan
5) Boiler Berfungsi untuk membangkitkan uap.
6) Reboiler Berfungsi sebagai pensuplai kalor yang diperlukan bottom produk pada
distilasi. Steam biasanya digunakan sebagai media pemanas.
7) Evaporator Berfungsi memekatkan suatu larutan dengan cara menguapkan
airnya.
8) Vaporizer Berfungsi memekatkan cairan selain dari air.

Secara sederhana, prinsip kerja HE adalah sebagai berikut. Terdapat dua fluida
yang berbeda temperatur; yang satu dialirkan dalam tube dan yang lainnya dalam shell
hingga bersentuhan secara tidak langsung. Panas dari fluida yang temperaturnya lebih
tinggi berpindah ke fluida yang temperaturnya lebih rendah. Dengan demikian fluida
panas yang masuk akan menjadi lebih dingin dan fluida dingin yang masuk akan menjadi
lebih panas. Untuk menjamin fluida di sebelah shell mengalir melintasi tube (agar
perpindahan kalornya tinggi), maka dalam shell dipasang sekat-sekat (baffles) seperti
terlihat pada gambar 1.

Gambar 2. Skematik shell-and-tube heat exchanger (one-shell-pass dan one-tube-pass)

Pada HE, ada dua hal yang menjadi issue penting dalam pengontrolan, yaitu penentuan
controlled variable dan manipulated variable. Berdasarkan prinsip kerja dan fungsi HE,
maka yang paling efektif adalah mengambil fluks kalor sebagai variabel kontrol. Namun
hal ini tidak mungkin dilakukan mengingat dalam praktiknya fluks kalor sulit diukur.
Oleh karena itu yang paling mungkin adalah dengan mengontrol temperatur salah satu
fluida yang keluar dari HE. Untuk issue kedua, penentuan manipulated; ada beberapa
variable yang bisa dipilih sebagai manipulated variable, yaitu aliran fluida panas yang
masuk, aliran fluida dingin yang masuk, aliran fluida panas yang keluar atau aliran fluida
dingin yang keluar.

Jenis-jenis alat penukar kalor :


Double-pipe HE: satu fluida mengalir melalui pipa kecil sedangkan yang satu lagi
melalui annulus. Ada dua jenis arah aliran yang mungkin, yaitu aliran parallel dan
aliran counter.

Gambar 3. (a)Parallel flow, (b)Counter flow pada double-pipe HE

Compact HE: didesain secara spesifik agar surface area per unit volume-nya
besar.
HE jenis ini mampu menerima perpindahan kalor dari suatu fluida dalam jumlah
kecil yang biasanya digunakan pada situasi di mana berat dan volume HE
dibatasi. Area permukaan pada compact HE yang luas disebabkan dipasangnya
plat tipis seperti sirip pada dinding yang memisahkan dua fluida. Compact HE
biasanya digunakan untuk gas-to-gas dan gas-to-liquid HE.
Fluida-fluida dalam HE ini umumnya bergerak saling tegak lurus sehingga
dinamakan aliran menyilang. Aliran menyilang diklasifikasikan menjadi:
a) unimixed, karena fluida didorong plat sirip agar mengalir melalui ruang
tertentu dan mencegahnya bergerak dalam arah menyilang
b) mixed, jika fluida bebas bergerak sambil menukar kalor.

Gambar 4. Konfigurasi aliran menyilang pada Compact HE: (kiri) kedua fluida
tidak bercampur, (kanan) satu fluida bercampur, satu lagi tidak
Shell-and-tube HE: HE yang umum digunakan dalam industry.
Plate-and-frame HE: terdiri dari rangkaian plat dengan corrugated flat. Pada
konstruksi ini terdapat coil pipa bersirip plat untuk mengalirkan fluida yang
berlainan
HE sering dinamakan dengan lebih spesifik sesuai dengan aplikasinya. Kondenser
merupakan HE di mana fluida didinginkan dan berkondensasi ketika mengalir melalui
HE. Boiler merupakan HE di mana fluidanya mengabsorb panas dan menguap. Space
radiator merupakan HE yang menukar kalor dari fluida panas ke lingkungan melalui
radiasi.
Fenomena yang dapat menurunkan kinerja alat penukar kalor :
Fouling Factor dan Pressure Drop
Setelah dipakai beberapa lama, permukaan perpindahan kalor pada HE dapat dilapisi oleh
berbagai endapan atau permukaan itu mengalami korosi karena adanya interaksi antara
fluida dengan bahan yang digunakan. Kedua hal tersebut dapat memberikan tahanan
tambahan terhadap aliran kalor sehingga menurunkan kinerja HE. Pada shell-and-tube
heat exchanger, fouling dapat terjadi baik pada bagian dalam maupun luar tube dan dapat
terjadi pada bagian dalam shell. Pengaruh menyeluruh dari hal ini dapat dinyatakan
secara matematis dengan fouling factor atau tahanan pengotoran, Rf, yang harus
diperhitungkan bersama tahanan termal lainnya dalam menghitung koefisien perpindahan
kalor menyeluruh. Faktor pengotoran harus didapatkan dari percobaan, yaitu dengan
menentukan U untuk kondisi bersih dan kondisi kotor pada penukar kalor tersebut.
1 1
Rf =
U kotor U bersih

Nilai faktor pengotoran yang disarankan untuk berbagai fluida dapat dlihat pada buku
Holman.

Gambar 5. Pipa (kanan) baru dipakai, (kiri) permukaan dalam pipa terkotori
Fouling dapat menyebabkan pengurangan cross sectional area dan meningkatkan
pressure drop, sehingga dibutuhkan energi ekstra untuk pemompaan. Walaupun tidak
secara umum, masalah peningkatan pressure drop lebih serius dari pada peningkatan
thermal resistance. Berikut beberapa kerugian yang disebabkan oleh fouling :
Peningkatan capital cost; HE dengan fouling yang tinggi akan menyebabkan
pengurangan koefisien perpindahan kalor menyeluruh, sehingga dibutuhkan area
perpindahan yang lebih. Luas HE yang lebih besar mengakibatkan peningkatan cost.
Energi tambahan; sehubungan dengan peningkatan energi pompa dan efisiensi
termodinamika yang rendah pada kondensasi dan siklus refrigerasi.
Maintenance cost; untuk antifoulant, chemical treatment dan untuk pembersihan
permukaan perpindahan panas yang tertutup oleh fouling
Pengurangan output dikarenakan pengurangan cross sectional area
Downtime cost; kerugian waktu produksi yang diakibatkan oleh peralatan tidak dapat
dioperasikan dengan semestinya dikarenakan oleh maintanance, power failure,
breakdown dan lain-lain.
Fouling Factor
Fouling factor yaitu suatu koefisien yang menyatakan penambahan tahanan panas
pada alat penukar kalor akibat interaksi antara fluida dengan dinding pipa pada alat
penukar kalor yang mengakibatkan terbentunya endapan atau kerak pada bagian dalam
pipa dan bisa juga interaksi tersebut mengakibatkan korosi pada dinding pipa, sehingga
akan menghambat laju perpindahan kalor karena adanya tahanan tersebut.
Setelah dipakai beberapa lama, permukaan perpindahan-kalor alat penukar kalor
mungkin dilapisi oleh berbagai endapan yang biasa terdapat dalam sistem aliran atau
permukaan sebagai akibat interaksi antara fluida dengan bahan yang digunakan dalam
konstruksi penukar-kalor. Dalam kedua hal di atas, lapisan itu memberikan tahanan
tambahan terhadap aliran kalor, dan hal ini menyebabkan menurunnya kemampuan kerja
alat itu. Pengaruh menyeluruh daripada hal tersebut di atas biasa dinyatakan dengan
faktor pengotoran (fouling factor), atau tahanan pengotoran Rf yang harus diperhitungkan
bersama tahanan termal lainnya, dalam menghitung koefisien perpindahan-kalor
menyeluruh.
Fouling dapat didefinisikan sebagai pembentukan deposit pada permukaan alat
penukar kalor yang menghambat perpindahan panas dan meningkatkan hambatan aliran
fluida pada alat penukar kalor tersebut. Akumulasi deposit pada permukaan alat penukar
kalor menimbulkan kenaikan pressure drop dan menurunkan efisiensi perpindahan panas.
Fouling mempunyai pengaruh yang penting pada efisiensi perubahan energi, pada
pemilihan material yang digunakan dalam konstruksi alat-alat penukar kalor dan pada
operasi proses-proses industri. Lapisan fouling dapat berasal dari partikel-partikel atau
senyawa lainnya yang terangkut oleh aliran fluida. Pertumbuhan lapisan tersebut dapat
meningkat apabila permukaan deposit yang terbentuk mempunyai sifat adesif yang cukup
kuat. Gradien temperatur yang cukup besar antara aliran dengan permukaan dapat
meningkatkan kecepatan pertumbuhan deposit.

Gambar 1. Proses Pembentukan Fouling


(Sumber: www.vesma.com)

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fouling resistance juga dipengaruhi oleh:
Sifat fluida
Semakin tinggi impurities fluida yang mengalir pada alat penukar kalor maka fouling
factor akan meningkat. Semakin rendah API fluida yang mengalir pada alat penukar kalor
tersebut, maka fouling factornya akan semakin besar.
Kecepatan aliran fluida
Semakin tinggi kecepatan aliran fluida yang mengalir pada alat penukar kalor, maka
fouling factor alat penukar kalor tersebut akan semakin kecil.
Temperatur operasi (temperatur semakin tinggi, maka fouling factor semakin besar)
Waktu operasi
Meningkatnya waktu operasi alat penukar kalor akan meningkatkan fouling factor alat
penukar kalor tersebut.
Jika fouling factor di atas sudah memiliki nilai sedemikian besar, maka alat penukar kalor
tersebut dapat disimpulkan sudah tidak baik kinerjanya.
Fouling factor = fouling resistance x 1000 (1)
Faktor pengotoran harus didapatkan dari percobaan, yaitu dengan menentukan U
untuk kondisi bersih dan kondisi kotor pada alat penukar kalor itu. Sehingga, faktor
pengotoran didefinisikan sebagai berikut:
R f 1 U kotor 1 / U bersih
(2)
Untuk U<<10000 W/m2 C, fouling mungkin tidak begitu penting karena hanya
menghasilkan resistan yang kecil. Namun pada water to water heat exchanger dimana
nilai U di sekitar 2000 maka fouling factor akan menjadi penting. Pada finned tube heat
exchanger dimana gas panas mengalir di dalam tube dan gas yang dingin mengelir
melewatinya, nilai U mungkin sekitar 200, fouling factor akan menjadi signifikan.

Gambar 2. Fouling pada Pipa


(Sumber: www.vesma.com)

Berdasarkan proses terbentuknya endapan atau kotoran, faktor pengotoran dibagi


5 jenis, yaitu :
1. Pengotoran akibat pengendapan zat padat dalam larutan (precipitation fouling).
Pengotoran ini biasanya terjadi pada fluida yang mengandung garam-garam yang
terendapkan pada suhu tinggi, seperti garam kalsium sulfat, dan lain-lain.
2. Pengotoran akibat pengendapan partikel padat dalam fluida (particulate fouling).
Pengotoran ini terjadi akibat pengumpulan partikel-partikel padat yang terbawa
oleh fluida di atas permukaan perpindahan panas, seperti debu,pasir, dan lain-lain.
3. Pengotoran akibat reaksi kimia (chemical reaction fouling).
Pengotoran terjadi akibat reaksi kimia didalam fluida, diatas permukaan
perpindahan panas, dimana material bahan permukaan perpindahan panas tidak ikut
bereaksi, seperti adanya reaksi polimerisasi, dan lain-lain.
4. Pengotoran akibat korosi (corrosion fouling).
Pengotoran terjadi akibat reaksi kimia antara fluida kerja dengan material bahan
permukaan perpindahan panas.
5. Pengotoran akibat aktifitas biologi (biological fouling).
Pengotoran ini berhubungan dengan akitifitas organisme biologi yang terdapat
atau terbawa dalam aliran fluida seperti lumut, jamur, dan lain-lain.
Penurunan Tekanan
Akumulasi deposit pengotor pada alat penukar kalor dapat menimbulkan kenaikan
pressure drop. Pressure drop merupakan banyaknya penurunan tekanan yang terjadi
akibat pertukaran kalor dalam pipa. Penurunan tekanan ini dikarenakan adanya
perubahan suhu secara tiba-tiba karena adanya beban kecepatan dan faktor friksi dalam
aliran kedua fluida. Penurunan tekanan ini mengakibatkan nilai perpindahan kalor
menyeluruh dari alat penukar kalor akan menurun dan bertambahnya biaya pemompaan
fluida ke alat penukar kalor.
Penurunan tekanan pada HE khusunya pada tabung dan rangkunan tabung dapat
menyebabkan perubahan faktor gesek (friction factor). Pada tabung hubungan antara
faktor friksi dan penurunan tekanan dituliskan sebagai berikut:
L V2
f p
D 2g c
(3)
Perubahan faktor friksi ini mengakibatkan berubahnya angka Reynold dan angka Nusselt,
sehingga nilai koefisien perpindahan kalor konveksinya berubah. Dengan berubahnya
koefisien perpindahan kalor konveksi maka koefisien perpindahan kalor menyeluruh pun
ikut berubah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dari sebuah alat penukar kalor:
1. Koefisien perpindahan panas
Koefisien perpindahan panas adalah angka yang menyatakan kemampuan suatu
sistem atau alat untuk memindahkan energi panas. Semakin baik sistem maka semakin
tinggi pula koefisien panas yang dimilikinya.
2. Perbedaan suhu/ beda suhu rata-rata antara masukan dan keluaran produk
Temperatur fluida panas maupun dingin yang masuk alat penukar kalor biasanya
selalu berubah-ubah. Untuk menentukan perbedaan temperatur tersebut digunakan
perbedaan temperatur rata-rata atau LMTD (Logarithmic Mean Temperature Difference).
LMTD digunakan dalam perhitungan-perhitungan alat penukar kalor yang menunjukkan
panas yang dipindahkan. Semakin besar beda suhunya semakin baik pula efisiensinya.
3. Luas permukaan perpindahan panas
Semakin tinggi luas permukaan panas, maka semakin besar panas yang dipindahkan.
Luas perpindahan panas ini bergantung pada jenis tube dan ukuran tube yang digunakan
suatu alat penukar kalor.
4. Jumlah Lintasan
Di dalam alat penukar kalor, jumlah lintasan sangat menentukan kecepatan
perpindahan kalor, apabila jumlah lintasan yang ada banyak, maka akan berpengaruh
pada luas permukaan yang melepas kalor. Seperti yang diketahui, apabila luas permukaan
yang terkena fluida panas semakin banyak atau luas, maka perpindahan kalor akan terjadi
lebih cepat.
Pada lintasan tunggal. Biasanya memiliki kecepatan yang agak tinggi, namun
memiliki tabung yang agak pendek. Pada lintasan banyak dapat memperkecil penampang
aliran fluida dan meningkatkan kecepatannya dengan disertai oleh bertambah tingginya
koefisien perpindahan kalor. Tetapi kelemahannya adalah penukar kalor menjadi agak
lebih rumit dan rugi gesekan melalui alat meningkat disebabkan kecepatan yang lebih
besar serta rugi masuk dan rugi keluar pun menjadi berlipat ganda.
5. Material bahan alat penukar kalor
Alat penukar kalor yang dibuat dengan material bahan yang baik (anti-korosi) akan
memiliki kinerja yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan material bahan yang baik akan
mencegah atau mengurangi terbentuknya korosi atau karat pada alat penukar kalor yang
dapat menurunkan efisiensi kerja dari alat penukar kalor.
A. Jenis-jenis alat penukar kalor
1. Double Pipe Heat Exchanger
Jenis paling sederhana dari penukar panas terdiri dari dua pipa konsentris diameter yang
berbeda, yang disebut double pipe heat exchanger. Salah satu fluida dalam double pipe
heat exchanger mengalir melalui pipa yang lebih kecil sementara fluida lainnya mengalir
melalui ruang annular antara dua pipa.
Pada double pipe heat exchanger, terdapat 2 jenis aliran yaitu aliran parallel dan aliran
counter. Aliran parallel yaitu dimana baik fluida panas dan dingin memasuki penukar
panas pada akhir yang sama dan bergerak ke arah yang sama. Sedangkan pada aliran
counter, fluida panas dan dingin memasuki penukar panas di ujung-ujung dan mengalir
dalam arah berlawanan.

Gambar 1. Double pipe heat exchanger


Sumber: Cengel, Heat Transfer: A Practical Approach 2nd Edition

2. Compact Heat Exchanger


Tipe lain dari penukar panas dengan area permukaan perpindahan panas yang besar per
satuan volume, adalah Compact Heat Exchanger. Rasio luas permukaan perpindahan
panas dari penukar panas untuk volume disebut densitas area . Suatu heat exchanger
dapat diklasifikasinya sebagai compact heat exchanger apabila >700 m 2/m3 Contoh
compact heat exchanger yaitu. Contoh penukar panas kompak radiator mobil ( = 1000
m2 / m3) dan paru-paru manusia ( = 20.000 m2 / m3 ).
Compact heat exchanger memungkinkan untuk mencapai kecepatan transfer panas tinggi
antara dua fluida pada volume kecil, sehingga compact heat exchanger diaplikasikan pada
heat exchanger yang memiliki keterbatasan berat dan volume.
Luas permukaan besar dalam penukar panas kompak diperoleh dengan menempelkan
pelat tipis berjarak kecil atau sirip bergelombang ke dinding yang memisahkan dua
fluida.
Dalam compact heat exchanger dua fluida biasanya bergerak tegak lurus satu sama lain
disebut dengan cross flow. Aliran cross flow diklasifikasikan menjadi aliran tidak
dicampur (unmixed flow) dan aliran bercampur (mixed flow), tergantung pada
konfigurasi aliran. Unmixed flow yaitu jika fin plate memaksa cairan mengalir melalui
jarak Interfin tertentu dan mencegahnya dari bergerak dalam arah melintang (yaitu,
sejajar dengan tabung). Sdangkan, pada mixed flow fluida dapat bergerak dalam arah
melintang.

Gambar 2. Compact Heat Exchanger


Sumber: J.P Holman, Heat Transfer 10th Edition
3. Shell and Tube Heat Exchanger
Shell and tube heat exchanger biasanya digunakan dalam kondisi tekanan relatif tinggi,
yang terdiri dari sebuah selongsong yang di dalamnya disusun suatu annulus dengan
rangkaian tertentu (untuk mendapatkan luas permukaan yang optimal). Fluida mengalir di
selongsong maupun di annulus sehingga terjadi perpindahan panas antara fluida dengan
dinding annulus misalnya triangular pitch dan square pitch (Anonim1, 2009).

Gambar 4. shell and tube heat exchanger


Sumber: Cengel, Heat Transfer: A Practical Approach 2nd Edition

Pada shell and tube heat exchanger, perpindahan kalor terjadi jika suatu fluida mengalir
di dalam annulus (tube) ketika fluida lain mengalir diluar annulus melalui selongsong
(shell). Agar aliran dalam shell turbulen dan untuk memperbesar koefisien perpindahan
panas konveksi, maka pada shell dipasang penghalang (baffle). Ujung annulus terbuka
dikedua ujungnya pada wilayah yang disebut header.
Shell and tube heat exchanger diklasifikasikan berdasarkan banyaknya anulus dan
selongsong yang dilewati oleh fluida, yaitu jika fluida melewati 1 anulus berbentuk U
yang terdapat dalam selongsong maka disebut dengan 1 shell pass and 2 tube pass heat
exchanger.
Shell and tube heat exchanger biasa digunakan pada industry kimia dan tidak digunakan
pada automotif dan pesawat terbang karena ukuran dan beratnya yang besar.

Gambar 5. Jenis Shell and Tube Heat Exchanger


Sumber: Cengel, Heat Transfer: A Practical Approach 2nd Ediiton
4. Plate Heat Exchanger
Plate type heat exchanger terdiri dari bahan konduktif tinggi seperti stainless steel atau
tembaga. Plate dibuat dengan design khusus dimana tekstur permukaan plate saling
berpotongan satu sama lain dan membentuk ruang sempit antara dua plate yang
berdekatan. Jika menggabungkan plate-plate menjadi seperti berlapis-lapis, susunan
plate-plate tersebut tertekan dan bersama-sama membentuk saluran alir untuk fluida.
Fluida panas dan dingin mengalir di bagian alternatif, sehingga setiap aliran fluida dingin
dikelilingi oleh dua aliran fluida panas, sehingga perpindahan panas sangat efektif. Area
total untuk perpindahan panas tergantung pada jumlah plate yang dipasang bersama-
sama, sehingga untuk meningkatkan perpindahan panas dapat dilakukan dengan
memasang tambahan jumlah plate.

Gambar 6 dan 7. Plate Heat Exchanger


Sumber: J. P. Holman, Heat Transfer 10th Edition; www.iklimnet.com

5. Regenerative Heat Exchanger


Tipe lain dari penukar panas yang melibatkan bagian alternatif dari aliran fluida panas
dan dingin melalui daerah aliran yang sama adalah Regenerative Heat Exchanger. Pada
regenerative heat exchanger statis pada dasarnya adalah massa berpori yang memiliki
kapasitas penyimpanan panas yang besar, seperti wire mesh keramik. Dengan fluida
panas dan dingin mengalir melalui massa berpori ini. Panas dipindahkan dari fluida panas
ke matriks regenerator selama fluida panas mengalir dan dari matriks ke cairan dingin
selama aliran fluida dingin. Dengan demikian, matriks berfungsi sebagai media
penyimpan panas sementara. Pada regenerative heat exchanger dinamis melibatkan drum
berputar dan aliran kontinu dari fluida panas dan dingin melalui bagian yang berbeda dari
drum sehingga setiap bagian dari drum lewat melalui aliran panas, menyimpan panas, dan
kemudian melalui aliran dingin. Drum berfungsi sebagai media untuk mengangkut panas
dari panas ke aliran fluida dingin.
Gambar 8. Regenerative Heat Exchanger
Sumber: www.tandfonline.com

Gambar 9. Perpindahan panas pada Regenerative Heat Exchanger


Sumber: www.thermopedia.com
B. Koefisien Perpindahan Panas Keseluruhan
Prinsip kerja heat exchanger secara umum meliputi 2 fluida yang dipisahkan oleh suatu
solid wall. Sehingga, perpindahan panas yang terjadi yaitu secara konveksi dan konduksi.
Sehingga, resistensi termal merupakan gabungan antara 2 konveksi dan 1 konduksi.

Dimana, Uo adalah koefisien konveksi keseluruhan pada luar anulus dan Ui adalah
koefisien konveksi keseluruhan pada bagian dalam anulus.
Sumber: J.P. Holman, Heat Transfer 10th Edition; Coulson, Chemical Engineering
C. Fouling Factor
Koefisien transfer panas overall heat exchanger sering berkurang akibat adanya timbunan
kotoran pada permukaan transfer panas yang disebabkan oleh scale, karat, dan
sebagainya. Pada umumnya pabrik heat exchanger tidak bisa menetapkan kecepatan
penimbunan kotoran sehingga memperbesar tahanan heat exchanger. Fouling factor dapat
didefinisikan sebagai berikut:
1 1
Rf
Ud U

Dengan Ud adalah koefisien konveksi keseluruhan saat heat exchanger kotor, dan U
adalah koefisien konveksi keseluruhan saat heat exchanger bersih.

Anda mungkin juga menyukai