Anda di halaman 1dari 7

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Diabetes melitus merupakan gangguan metabolisme yang ditandai dengan

hiperglikemia kronis akibat gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan

protein karena kerusakan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.

Penyakit ini menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di

dunia karena perannya dalam perkembangan komplikasi penyakit optik, renal,

neurologi, dan kardiovaskuler. Komplikasi oleh penyakit diabetes melitus ini

akan menjadi masalah dunia di masa mendatang seiring dengan terus

bertambahnya jumlah penderita diabetes melitus (American Diabetes

Association, 2012).
Global status report on non communicable diseases tahun 2014 yang

dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa

prevalensi diabetes melitus di seluruh dunia diperkirakan sebesar 9%, dan

diperkirakan pada tahun 2030 diabetes melitus menempati urutan ke tujuh

penyebab utama kematian di dunia. Angka kejadian diabetes tipe 2 meningkat

secara dramatis pada dua dekade terakhir dengan 1,6 juta kasus terdiagnosis

setiap tahunnya di Amerika Serikat. Saat ini Indonesia menempati urutan ke

empat di dunia dengan jumlah penderita diabetes melitus terbanyak, dimana

angka kejadian diabetes melitus mengalami kenaikan dari 8,4 juta jiwa pada

tahun 2000 dan diperkirakan menjadi sekitar 21,3 juta jiwa pada tahun 2030

(Damayanti, 2015).
Diabetes melitus tipe 2 tanpa kontrol dan intervensi pengobatan yang baik

dapat berlanjut dan bermanifestsi pada beberapa kejadian komplikasi. Salah

satu komplikasi pada diabetes melitus tipe 2 adalah komplikasi pada sistem

1
2

pembuluh darah. Komplikasi yang terjadi pada sistem pembuluh darah salah

satunya adalah komplikasi makrovaskuler yang meliputi penyakit pembuluh

darah perifer, penyakit kardiovaskular, dan penyakit neurologis (Damayanti,

2014). Penyebab gangguan pada sistem pembuluh darah disebabkan oleh

karena terjadinya proses aterosklerosis, dimana aterosklerosis yang

berlangsung secara berkepanjangan akan bermanifestasi pada terjadinya

peripheral arterial disease (Greenstain, 2006).


Peripheral arterial disease (PAD) adalah penyakit aterosklerotik vaskuler

difus yang sering hadir pada pasien diabetes. Prevalensinya berkisar antara

9,5% sampai 13,6% pada pasien diabetes melitus tipe 2. Selain itu,

berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh United Kingdom Prospective

Diabetes Study (UKPDS), didapatkan bahwa setiap kenaikan hemoglobin

glikosilasi (HbA1c) sebanyak 1%, akan meningkatkan risiko PAD sebanyak

28% (European Society for Vascular Surgery, 2010). Data tersebut

menunjukan bahwa diabetes melitus tipe 2 adalah salah satu faktor risiko

utama terjadinya PAD. Untuk mendeteksi PAD pada pasien diabetes melitus

tipe 2, American College of Cardiology Foundation/American Heart

Association (ACC/AHA) merekomendasikan pemeriksaan Ankle-Brachial

Index sebagai instrumen untuk mendeteksi PAD (Reinanda, 2013).


Ankle-Brachial Index (ABI) merupakan rasio tekanan darah sistolik

tungkai dengan tekanan darah sistolik lengan yang dapat diukur dengan cepat

dan mudah sebagai pemeriksaan penyakit arteri perifer (Reinanda, 2013).

Keparahan PAD dapat dinilai dengan nilai Ankle Brachial Index (Khairani,

2011). Pemeriksaan ABI adalah salah satu pemeriksaan non-invasif untuk

mendiagnosis PAD secara sederhana, objektif, murah, serta memiliki


3

keakuratan yang tinggi dengan sensitivitas 95% dan spesifisitas 94-100%

(Esther, 2012). PAD dengan nilai Ankle-Brachial Index kurang dari 90

memiliki hubungan dan korelasi positif dengan penurunan fungsi kognitif

(Tapiheru, 2008).
Fungsi kognitif seseorang sesungguhnya dapat menurun secara fisiologis

oleh karena proses penuaan seiring berkurangnya volume otak, jumlah neuron,

dan kadar neurotransmiter. Akan tetapi penurunan fungsi kognitif dapat terjadi

lebih cepat secara patologis oleh karena kelainan metabolik yang salah

satunya terjadi pada penderita diabetes melitus tipe 2 (Fjell,2010).


PAD merupakan mekanisme komplikasi diabetes melitus tipe 2 terhadap

terjadinya penurunan fungsi kognitif. Berlanjutnya PAD ke berbagai

pembuluh darah perifer di tubuh terutama pada pembuluh darah di otak, secara

perlahan dapat menimbulkan kelainan di pembuluh darah otak yang kemudian

akan menimbulkan gangguan fungsi kognitif (Khairani, 2011).


Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa diabetes melitus tipe 2

meningkatkan risiko sebesar 1,5 2 kali lipat untuk terjadinya gangguan

fungsi kognitif dari gangguan ringan bahkan hingga terjadi demensia

(Biessels, 2006). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa Ankle-Brachial

Index yang rendah merupakan faktor risiko independen dalam terjadinya

penurunan kognitif di masyarakat. Ankle-Brachial Index sangat berguna untuk

mengidentifikasi individu yang berisiko penurunan kognitif (Namihira, 2015).

Mekanisme gangguan fungsi kognitif pada penderita diabetes melitus tipe 2

belum diketahui secara jelas dan pasti karena masih diperdebatkan. Keadaan

yang diduga berhubungan gangguan fungsi kognitif dan spesifik pada

penderita diabetes melitus tipe 2 mencakup tingginya kadar gula darah

(hiperglikemi), faktor meningkatnya usia, serta gangguan pada sistem vaskuler


4

akibat dari komplikasi diabetes melitus tipe 2 (Widyandhini, 2015; Sjahrir

2001; Oktavia, 2014).


Gangguan fungsi kognitif terkait komplikasi penyakit diabetes melitus tipe

2 akan menjadi masalah dunia di masa mendatang seiring dengan terus

bertambahnya jumlah penderita diabetes melitus tipe 2. Terlebih belum ada

tindakan khusus dalam melakukan intervensi dini terhadap penurunan fungsi

kognitif pada pasien diabetes melitus tipe 2. Oleh karena itu, apabila gejala

penurunan kognitif pada pasien diabetes melitus tipe 2 dapat dikenali lebih

awal, maka dapat dilakukan upaya-upaya untuk mempertahankan fungsi

kognitif atau mencegah terjadinya penurunan fungsi kognitif pasien diabetes

melitus tipe 2 (Meloh, 2015).


Dari uraian penjelasan mengenai latar belakang diatas, diketahui bahwa

terdapat keterkaitan antara Ankle-Brachial Index dengan fungsi kognitif pada

pasien diabetes melitus tipe 2. Penelitian mengenai hubungan antara status

kognitif dengan Ankle-Brachial Index pernah dilakukan oleh Tapiheru (2008)

dan Widyandhini (2015) dengan subyek penelitian yang berbeda. Penelitian

mengenai status kognitif dengan Ankle-Brachial Index pun belum pernah

dilakukan di Purwokerto sehingga sangat besar kemungkinan untuk

melakukan penelitian baru mengenai status kognitif dengan Ankle-Brachial

Index di Purwokerto. Hal tersebut yang mendasari penulis untuk melakukan

penelitian mengenai hubungan antara status kognitif dengan Ankle-Brachial

Index pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD Prof. Dr. Margono

Soekarjo.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat

dirumuskan masalah pada penelitian ini sebagai berikut Apakah terdapat


5

hubungan antara Ankle-Brachial Index dengan fungsi kognitif pada pasien

diabetes melitus tipe 2 di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara Ankle-Brachial Index dengan fungsi

kognitif pada pasien diabetes melitus tipe 2 di RSUD Prof. Dr. Margono

Soekarjo
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui nilai Ankle-Brachial Index dan fungsi kognitif pada pasien

diabetes melitus tipe 2 di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo


b. Menganalisis hubungan antara Ankle-Brachial Index dan fungsi

kognitif pada pasien diabetes melitus tipe 2 di RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo

D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi ilmiah

dalam bidang fisiologi, ilmu penyakit dalam, dan ilmu neurologi pada

kesehatan masyarakat serta menjadi referensi bagi pengembangan

penelitian serupa berikutnya.


2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti
Menambah pengetahuan serta pengalaman secara langsung

mengenai masalah gangguan fungsi kognitif pada pasien diabetes

melitus tipe 2
b. Bagi masyarakat
Salah satu sumber informasi ilmiah tentang komplikasi diabetes

melitus tipe 2, sehingga masyarakat dapat mengetahui lebih dalam

tentang komplikasi diabetes melitus tipe 2, terutama dalam segi

penurunan fungsi kognitif sehingga diharapkan dapat menjadi sebuah


6

pedoman dan sumber audiensi terhadap pencegahan diabetes melitus

ataupun pencegahan komplikasi terkait.


c. Bagi instansi
Sebagai masukan bagi instansi pendidikan, kesehatan, media

informasi, dan komunikasi serta pihak-pihak lain yang terkait dalam

melaksanakan pemantauan pada pasien diabetes melitus tipe 2

sehingga masalah terkait penurunan fungsi kognitif dapat segera

dideteksi sedini mungkin agar efek ke depan bisa di minimalisir.


E. Keaslian Penelitian
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

No. Nama Peneliti Judul Hasil


1. Tapiheru, 2008 Hubungan Nilai Hubungan korelasi yang
Ankle-Brachial Index terbalik antara nilai ABI
(ABI) dengan Skor dengan nilai CDT.
Mini Mental State Sedangkan hubungan nilai
Examination ABI dengan nilai MMSE
(MMSE) dan Clock secara statistik berkorelasi
Drawing Test (CDT) yang positif antara nilai ABI
pada Penderita dengan nilai MMSE
Peripheral Arterial
Disease (PAD)
2. Widyandhini, Pengaruh Kadar Terdapat pengaruh yang
2015 Glukosa Darah bermakna antara kadar gula
terhadap Fungsi darah terhadap fungsi
Kognitif pada kognitif pada penderita
Penderita Diabetes Diabetes Melitus Tipe 2
Melitus Tipe 2 di dengan kekuatan korelasi
GRHA Diabetika sedang sampai kuat dan
Surakarta arah korelasi negatif
3. Meloh et al., Hubungan Kadar Terdapat hubungan negatif
2015 Gula Darah Tidak antara kadar gula darah
Terkontrol dan Lama tidak terkontrol dengan
7

Menderita Diabetes fungsi kognitif dan terdapat


Melitus dengan hubungan negatif antara
Fungsi Kognitif pada lama menderita DM dengan
Subyek Diabetes fungsi kognitif
Melitus Tipe 2

Anda mungkin juga menyukai