Oleh:
Pembimbing:
PALEMBANG
BAB I
PENDAHULUAN
Perforasi gaster merupakan komplikasi tersering kedua akibat ulkus peptikum setelah
perdarahan.1 Gambaran klinis pada pasien dengan perforasi gaster kadang-kadang tidak
spesifik, sehingga kebanyakan pasien datang dengan gejala dan tanda peritonitis bahkan
sepsis yang mengakibatkan hasil akhir yang buruk. Resiko tingginya mortalitas tetap
Di Amerika Serikat terdapat 400.000 kasus baru dengan diagnosa ulkus peptikum.3
Komplikasi ini merupakan komplikasi yang memiliki angka cukup tinggi dalam
komplikasi gastro intestinal adalah akibat dari perforasi gaster.4 Di Indonesia pernah
dilakukan penelitian tentang kejadian perforasi gaster di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Moewardi Solo ( RSDM ) selama kurun waktu 6 bulan, mulai November 2014 April 2015,
didapatkan penderita peritonitis karena perforasi gaster sebanyak 36 kasus yang dilakukan
operasi, 17(47 %) kasus sembuh, 19 (53% ) kasus meninggal paska operasi karena sepsis.5
Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk meneliti faktor resiko yang
mempengaruhi mortalitas pada pasien, antara lain faktor usia, kondisi sistemik pasien, dan
variabilitas kombinasi antara gejala klinik dari peritonitis, gambaran radiologis, laboratorium,
penemuan intraoperatif.
Dari penelitian yang dilakukan maka dirumuskan suatu sistem skoring untuk memprediksi
outcome pasien.
Selama ini kita mengenal beberapa sistem skoring seperti ASA-score, MPI-score,
Jabalpur-score dan Boey-score yang telah dijadikan standart di seluruh dunia. Dari beberapa
penelitian yang dilakukan didapatkan hasil penelitian yang berbeda-beda tentang akurasi
sistem skoring sebagai prediktor outcome pasien, hal itu mungkin dikarenakan perbedaan
standart dan kualitas pelayanan pasien di tiap daerah atau negara. Boey-score dinyatakan
sebagai sistem skoring yang sederhana dan spesifik untuk diaplikasikan pada pasien dengan
perforasi gaster, hal itu didukung oleh penelitian yang dilakukan Thorsen dan Abishek
Agarwal dari Departemen Bedah Jaipur India yang menyatakan bahwa Boey skor merupakan
Pada tahun 2015, Soro Kountele Gona et al., melakukan sebuah studi cohort
mengenai faktor resiko terhadap morbiditas dan mortalitas pada pasien Afrika kulit hitam
yang menjalani operasi akibat perforasi gaster. Didapatkan hasil bahwa keterlambatan
penanganan medis dan waktu tunggu operasi memiliki pengaruh yang sangat signifikan
terhadap resiko kematian. Selain faktor tersebut, peningkatan nadi juga memiliki validitas
yang sama tingginya dengan keterlambatan penanganan medis sebagai salah satu faktor
angka kejadian perforasi gaster pada tahun 2013. Didapatkan 39% (14 pasien) mengalami
kematian pasca operasi. Faktor yang memiliki pengaruh paling besar terhadap kematian
pasien adalah usia tua dan waktu penanganan yang lebih dari 24 jam. Hal ini bisa disebabkan
oleh kurangnya fasilitas di RS daerah dan juga waktu yang dibutuhkan untuk merujuk pasien
faktor resiko; waktu masuk, tekanan darah, peningkatan nadi dan waktu tunggu operasi
untuk dijadikan prediktor kematian pasca operasi akibat perforasi gaster. Bila hasilnya
signifikan, diharapkan faktor-faktor ini dapat dimasukkan sebagai variable system skoring
1. Angka morbiditas dan mortalitas dari pembedahan pada perforasi gaster masih tinggi
dan variatif.
2. Sistem skoring yang telah terstandarisasi belum dapat dibuktikan cocok untuk
diaplikasikan di Indonesia
3. Belum ada system skoring sebagai prediktor kematian pasien yang khusus untuk
digunakan di Indonesia
1. Apakah system skoring yang telah terstandarisasi di dunia cocok untuk diaplikasikan
pasca operasi?
Ho: Tidak ada hubungan antara faktor-faktor penyebab kematian yang belum
Menemukan sistem skoring yang sederhana, namun paling akurat sebagai prediktor
Memberikan Referensi ilmiah mengenai perforasi gaster dan sistem skoring yang
perforasi gaster
3. Membantu tenaga medis lini pertama (dokter umum, residen bedah) yang bertugas
di UGD untuk memberikan informasi yang benar kepad pasien maupun keluarga
pasien mengenai kondisi yang mungkin terjadi kepada pasien dengan perforasi
gaster.
4. Sistem skoring baru yang ditemukan dapat diaplikasikan dengan mudah pada
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gaster
Gaster dimulai dari gastroesophageal junction dan berakhir pada duodenum. Gaster
memiliki 3 bagian, yang paling atas adalah kardia, pada bagian tengah yang terbesar adalah
korpus, dan bagian distalnya adalah antrum yang berakhir pada pylorus (gambar 1). Kardia
terutama terdiri dari sel-sel mucin, sedangkan fundus terdiri dari sel-sel mukoid, sel chief,
antrum, pyloric canal, dan pyloric sphincter. Antrum adalah saluran yang menuju pyloric
canal.
Sebuah garis horizontal lolos dari orificium cardiac sampai ke kurvatura mayor,
Secara diagnostik, gaster terdiri dari 5 lapisan yaitu dari dalam lumen berturut-turut
tunika mukosa, submukosa, muskularis, subserosa, dan serosa. Peritoneum dari omentum
mayor melapisi permukaan anterior gaster dan sebagian dari omentum minor menutupi
bagian permukaan posterior gaster. Pada gastroesofageal junction bisa hanya sedikit atau
Secara topografis, bagian kanan fasies gaster anterior terletak dekat hepar, lobus kiri
dan dinding abdomen anterior. Bagian kiri gaster terletak di dekat lien, kelenjar adrenal,
bagian superior ginjal kiri, bagian ventral pankreas, dan colon transversum. Pembuluh
darah gaster berasal dari arteri coeliaca, yang kemudian bercabang menjadi A. Gastrica
sinistra yang akan memperdarahi bagian atas gaster. Sedangkan cabang lainnya dari A.
lainnya adalah sepanjang hilus lienalis, kelompok kelenjar supra-pankreas, porta hepatis
dan area gastroduodenal. Sistem drainase limfatik ini dapat menjelaskan pola metastasis
oleh fundus dan korpus, dan penghancur dikerjakan oleh antrum, selain turut bekerja
dalam pencernaan awal berkat kerja kimiawi asam lambung dan pepsin.
Fungsi ini diatur oleh n.vagus dan hilang setelah vagotomi. Ini antara lain yang
minuman. Kontraksi yang kuat pada antrum (dindingnya paling tebal) akan
duodenum secara bertahap. Daging tidak berlemak, nasi, dan sayuran meninggalkan
lambung dalam tiga jam, sedangkan makanan yang tinggi lemak dapat bertahan di
mengandung lendir, pepsinogen, faktor intrinsik dan elektrolit, terutama larutan HCl.
Sekresi basal cairan ini selalu ada dalam jumlah sedikit. Produksi asam merupakan
hal yang kompleks, namun secara sederhana dibagi atas tiga fase perangsangan.
Ketiga fase, yaitu fase sefalik, fase gastrik, dan fase intestinal ini saling
medulla oblongata.
5. Gastrin akan memasuki sirkulasi dulu lalu balik lagi ke lambung, dimana akan
(b)
Fase gastrik
sekresi lambung
(c)
Fase intestinal
Gambar 6. Fase Intestinal
di usus halus. Seperti halnya proses sekresi dalam tubuh, cairan lambung bertindak sebagai
penghambat sekresinya sendiri berdasarkan prinsip umpan balik. Keasaman yang tinggi di
daerah antrum akan menghambat produksi gastrin oleh sel G sehingga sekresi fase gastrik
akan berkurang. Pada pH di bawah 2.5 produksi gastrin mulai dihambat dengan 3
mekanisme:
Lambung dapat diserang oleh beberapa faktor endogen dan faktor eksogen yang
pepsinogen/pepsin, dan garam empedu, sedangkan contoh substansi eksogen yang dapat
menyebabkan kerusakan mukosa lambung adalah seperti obat, alkohol, dan bakteri. Sistem
biologis yang kompleks dibentuk untuk menyediakan pertahanan dari kerusakan mukosa dan
Sistem pertahanan dapat dibagi menjadi tiga tingkatan lapisan yang terdiri dari
preepitel, epitel, dan subepitel. Pertahanan lini pertama adalah lapisan mukus bikarbonat,
yang berperan sebagai lapisan psikokemikal terhadap beberapa molekul termasuk ion
hidrogen. Mukus dikeluarkan oleh sel epitel permukaan lambung. Mukus tersebut terdiri dari
air (95%) dan pencampuran dari lemak dan glikoprotein (mucin). Fungsi gel mukus adalah
sebagai lapisan yang tidak dapat dilewati air dan menghalangi difusi ion dan molekul seperti
pepsin. Bikarbonat, dikeluarkan sebagai regulasi di bagian sel epitel dari mukosa lambung
dan membentuk gradien derajat keasaman (pH) yang berkisar dari 1 sampai 2 pada lapisan
Lapisan sel epitel berperan sebagai pertahanan lini selanjutnya melalui beberapa
faktor, termasuk produksi mukus, tranpoter sel epitel ionik yang mengatur pH intraselular dan
produksi bikarbonat dan thigt junction intraselular. Jika lapisan preepitel dirusak, sel epitel
gaster yang melapisi sisi yang rusak dapat bermigrasi untuk mengembalikan daerah yang
telah dirusak (restitution). Proses ini terjadi dimana pembelahan sel secara independen dan
membutuhkan aliran darah yang tidak terganggu dan suatu pH alkaline di lingkungan
sekitarnya.
(EGF), transforming growth factor (TGF) dan basic fibroblast growth factor (FGF),
memodulasi proses pemulihan. Kerusakan sel yang lebih besar yang tidak secara efektif
diperbaiki oleh proses perbaikan (restitution), tetapi membutuhkan proliferasi sel. Regenerasi
sel epitel diregulasi oleh prostaglandin dan faktor pertumbuhan (growth factor) seperti EGF
dan TGF . Bersamaan dengan pembaharuan dari sel epitel, pembentukan pembuluh darah
baru (angiogenesis) juga terjadi pada kerusakan mikrovaskular. Kedua faktor yaitu FGF dan
yang luas pada lapisan submukosa lambung adalah komponen utama dari pertahanan
subepitel, yang menyediakan HCO3, yang menetralisir asam yang dikeluarkan oleh sel
parietal.
Prostaglandin memainkan peran yang penting dalam hal pertahanan mukosa lambung.
pengeluaran dari mukosa bikarbonat dan mukus, menghambat sekresi sel parietal, dan sangat
penting dalam mengatur aliran darah dan perbaikan dari sel epitel.10
Pada keadaan normal, asam lambung dan pepsin tidak akan menyebabkan kerusakan
mukosa lambung dan duodenum. Bila oleh karena sesuatu sebab ketahanan mukosa rusak
(misalnya karena salisilat, empedu, iskemia mukosa) maka akan terjadi difusi balik H+ dari
lumen masuk ke dalam mukosa. Difusi balik H+ akan menyebabkan reaksi berantai yang
dapat merusak mukosa lambung dan menyebabkan pepsin dilepas dalam jumlah besar.11
Gambar 7. Mekanisme kerusakan mukosa lambung
Na+ dan protein plasma banyak yang masuk kedalam lumen dan terjadi pelepasan
histamin. Selanjutnya terjadi peningkatan sekresi 18 asam lambung oleh sel parietal,
peningkatan permeabilitas kapiler, oedema dan perdarahan. Di samping itu akan merangsang
parasimpatik lokal akibat sekresi asam lambung makin meningkat dan tonus muskularis
mukosa meninggi, sehingga kongesti vena makin hebat dan menyebabkan perdarahan.
Keadaan ini merupakan lingkaran setan yang menyebabkan kerusakan mukosa makin
2.5.1 Patofisiologi
Dalam keadaan normal, lambung relatif bersih dari bakteri dan mikroorganisme lain
karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami trauma
abdominal memiliki fungsi gaster normal dan tidak berada dalam resiko kontaminasi bakteri
Namun, mereka yang sebelumnya sudah memiliki masalah gaster beresiko terhadap
kontaminasi peritoneal dengan perforasi gaster. Kebocoran cairan asam lambung ke rongga
peritoneal sering berakibat peritonitis kimia yang dalam. Jika kebocoran tidak ditutup dan
partikel makanan mencapai rongga peritoneal, peritonitis kimia bertahap menjadi peritonitis
bakterial. Pasien mungkin bebas gejala untuk beberapa jam antara peritonitis kimia awal
Omentum dan organ dalam cenderung untuk melokalisasi tempat inflamasi, membentuk
flegmon (ini biasanya terjadi pada perforasi usus besar). Hipoksia yang diakibatkan di area
dari granulosit, yang mengarah pada peningkatan aktivitas fagosit granulosit, degradasi sel,
hipertonisitas cairan membentuk abses, efek osmotik, mengalirnya lebih banyak cairan ke
area abses, dan pembesaran abses abdomen. Jika tidak diterapi, bakteremia, sepsis general,
2.5.2 Etiologi
A. Perforasi non-trauma:
Spontan pada bayi baru lahir yang terimplikasi syok dan stress ulcer.
Ingesti aspirin, anti inflamasi non steroid, dan steroid : terutama pada
sepsis.
B. Perforasi trauma:
pisau)
Trauma tumpul pada gaster : trauma seperti ini lebih umum pada anak
pengaman.
udara.14
2.5.3 Epidemiologi
Pada anak-anak, kejadian perforasi gaster jarang terjadi. Angka kejadian pun hanya 1-
7% dari seluruh diagnosa perforasi intestinal. Penyebab terbanyak adalah akibat trauma
abdomen. Pada orang dewasa, perforasi gaster disebabkan oleh ulkus peptikum. Data Statistik
di Amerika menunjukkan setidakmya terdapat 4.5 juta penduduk menderita ulkus peptikum
bahwa kecenderungan kasus perforasi gaster meningkat 0,1-0,3% dalam 100.000 populasi
tiap tahunnya, pada rerata usia 67 tahun dan sekitar 45% diterapi dengan omentopeksi15.
perforasi akan tampak kesakitan hebat, seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak,
terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsang peritoneum oleh asam lambung,
empedu dan/atau enzim pankreas. Cairan lambung akan mengalir ke kelok parakolika kanan,
menimbulkan nyeri perut kanan bawah, kemudian menyebar ke seluruh perut menimbulkan
Pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, fase ini disebut fase peritonitis kimia.
diafragma. Reaksi peritoneum berupa pengenceran zat asam yang merangsang itu akan
Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans muskuler. Pekak hati
bisa hilang karena adanya udara bebas di bawah diafragma. Peristaltis usus menurun sampai
menghilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis bakteria, suhu
badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi, dan penderita tampak letargik
karena syok toksik. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang
menggerakkan badan, batuk, dan mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri ketika digerakkan
seperti pada saat palpasi, tekanan dilepaskan, colok dubur, tes psoas, dan tes obturator.15
2.5.5 Diagnosis
2.5.5.1 Anamnesis
gaster dapat dilihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis yang terarah sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Gejala klinis
perforasi gaster adalah nyeri hebat yang datang tiba-tiba, nausea, muntah, perut terasa
kembung, biasanya terjadi beberapa jam setelah makan terakhir. Nyeri ini timbul mendadak,
terutama dirasakan di daerah epigastrium yang kemudian ke seluruh perut. Pasien juga dapat
diafragma. Dapat juga ditanyakan riwayat gastritis, minum obat-obatan OAINS, perokok,
peminum alkohol. Pasien dapat datang dalam kondisi syok dan kesadaran menurun.16
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda vital, status gizi, gangguan kesadaran,
dehidrasi, syok, anemia, dan gangguan napas perlu diperhatikan. Kemungkinan adanya
peritonitis akibat perforasi gaster perlu dicurigai bila tampak pernafasan torakal pada
penderita yang abdomennya terlihat tegang. Pada palpasi teraba defans muskuler yang
menunjukkan adanya iritasi peritoneum. Pekak hati yang menghilang pada perkusi
menunjukkan adanya udara bebas di bawah diafragma. Pada peritonitis akibat perforasi,
peristaltik sering melemah atau menghilang sama sekali karena terjadi ileus paralitik.
dengan rata-rata > 12.000/mm3 pada saat awal. Setelah 12-24 jam dapat terjadi peningkatan
sampai dengan 20.000/mm3 atau bahkan lebih jika terapi tidak adekuat. Selain pemeriksaan
darah rutin lengkap, diperlukan pemeriksaan profit metabolik darah, faktor pembekuan dan
amilase. Pada pasien syok, diperlukan pemerikasaan analisis gas darah dan kadar asam laktat
yang diharapkan mampu memberikan informasi yang akurat mengenai stasus metabolik
pasien yang pada akhirnya akan menuntun kita dalam tindakan resusitasi. Pada kasus
perforasi yang masih awal sangat mungkin sekali ditemukan nilai laboratorium dalam batas
normal, terkecuali dijumpai leukositosis dan hiperamilasemia. Jika pasien datang pada tahap
lanjut, maka sangat mungkin telah berkembang menjadi SIRS, seperti penurunan fungsi
peritonitis difusa yang membutuhkan operasi abdomen segera maka pemeriksaan radiologis
lebih lanjut tidak dibutuhkan. Jika diagnosis dan keputusan untuk operasi tidak jelas, maka
dapat dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen termasuklah ronsen toraks duduk, supine
duduk, maupun posisi lateral decubitus pada foto abdomen. Dijumpainya udara bebas
subdiafrgamatika mengindikasikan adanya perforasi organ viskus pada 70% pasien perforasi
gaster, meskipun demikian jika hal ini tidak dijumpai tidak dapat dikatakan kondisi perforasi
2.5.6 Penatalaksanaan
diobservasi secara ketat dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium disamping dengan
pemasangan selang nasogastrik, supresi sekresi asam lambung intravena. Pasien dengan
kondisi ragu-ragu tidak disarankan untuk diterapi secara konservatif, jika dalam observasi
subdiafragma, abses ini dapat diterapi secara perkutaneus drainase. Studi randomized control
trial secara retrospektif dan prospektif menyatakan bahwa manajeman konservatif sefektif
umumnya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan pipa
kontaminasi pada rongga peritoneum. Pemberian antibiotik intravena dengan spektrum luas
haruslah segera dimulai. Jika pasien datang dengan kondisi yang mengkhawatirkan karena
terlambat penanganan, maka resusitasi cairan pada tahapan awal harus dilaksanakan.
dalam penatalaksaan perforasi gaster. Dikatakan bahwa penanganan perforasi gaster secara
laparaskopi adalah prosedur yang lebih rumit walaupun dalam setting operasi elektif.
Sebaliknya, open mangement dalam penanganan perforasi gaster dengan metode simple
closure dan tidak rutinnya prosedur pemberian reduksi asam lambung telah diterima secara
luas oleh para ahli bedah selama ini.Pendekatan laparaskopi tidak membutuhkan teknik
operasi two-handed manipulation dan indurasi penjahitan intracorporeal dan friable tissue.
Diindikasikan pada kasus perforasi ulkus lambung sekunder. Laparaskopi dengan repair
defek perforasi dengan omental patch dan dikombinasikan dengan eradikasi H. Pylori dan
terapi proton pump inhibitor pasca pembedahan secara teknis menunjukkan rendahnya
2. Open Management
Pilihan terapi pembedahan terbuka pada ulkus peptikum perforasi adalah simple
patch closure dengan biopsi, simple patch closure dengan highly selective vagotomy atau
patch closure dengan vagotomy dan drainase. Simple patch closure sendiri dapat dikerjakan
pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil atau perforasi yang menunjukkan suatu
keadaan peritonitis eksudatif yang telah terjadi lebih dari 24 jam. Pada pasien lainnya dengan
kondisi yang lebih baik maka definitif prosedur (highly selective vagotomy) atau vagotomy
dan drainase harus dipertimbangkan. Metode simple patch closure telah menunjukkan
mempunyai rata-rata komplikasi jangka pendek yang lebih tinggi (20 : 5%) dan rata-rata
angka kekambuhan yang lebih tinggi (25 : 10%) dibandingkan dengan metode distal
gastektomi. Data terbaru menyebutkan bahwa angka kekambuhan yang lebih rendah dijumpai
pada metode simple patch closure dengan tindakan eradikasi secara efektif H.pylori.
Meskipun banyak dijumpai kasus pasien dengan perforasi ulkus gaster dengan H.pylori
pylori pada pasien perforasi ulkus peptikum yang mendapat operasi emergensi. Hal ini akan
menimbulkan keragu-raguan apakah pasien tersebut telah mendapat regimen obat utuk
Apabila tindakan operasi dan pemberian antibiotik berspektrum luas cepat dilakukan
maka prognosisnya dubia ad bonam. Sedangkan bila diagnosis, tindakan, dan pemberian
Usia lanjut
Malnutrisi
Timbulnya komplikasi
2.5.8 Komplikasi
Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap lapisan luka
operasi) dapat terjadi segera atau lambat.23 Faktor-faktor berikut ini dihubungkan
dengan kegagalan luka operasi:
Malnutrisi
Sepsis
Uremia
Diabetes mellitus
Terapi kortikosteroid
Obesitas
2. Syok septic
Depresi myokardial
Telah banyak dilaporkan beberapa sistem skoring untuk memprediksi hasil akhir pada
pasien dengan perforasi ulkus peptik, akan tetapi belum ada yang sistem skoring yang lebih
superior. Saat ini skor ASA, MPI, PULP dan skor Boey merupakan sistem skoring prognostik
yang paling sering digunakan pada pasien dengan perforasi gaster. Skor ASA merupakan skor
resiko pembedahan secara umum dan tidak khusus pada pasien perforasi gaster sedangkan
skor Boey dibuat spesifik untuk memprediksi mortalitas pada pasien perforasi gaster 13. Skor
Saat ini kadar albumin digunakan sebagai penanda inflamasi, prediktor luaran pasien
post pembedahan, dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan
keganasan dan pasien dengan sakit berat.5 Penelitian oleh Thorsen (2013), memperlihatkan
hubungan yang signifikan antara hipoalbuminemia dan peningkatan mortalitas pada pasien
perforasi ulkus peptik. Hipoalbuminemia (kadar albumin serum < 3,5 gr/dL) merupakan
akibat dari gangguan proses sintesis, distribusi dan degradasi.5. Oleh karena itu hipoalbumin
lebih merupakan penanda inflamasi dibanding indikator status nutrisi seseorang 24.
Peningkatan kreatinin juga menjadi faktor resiko mortalitas pada pasien dengan perforasi
ulkus peptik. Peningkatan kreatinin merupakan indikator terhadap beberapa kondisi termasuk
gagal ginjal kronik, dehidrasi, atau menggambarkan keadaan syok atau sepsis.5
Penelitian tentang system skoring juga pernah dilakukan di India oleh GI Surgery
Unit Jabalpur, para peneliti membandingkan 4 sistem skoring dan didapatkan hasil bahwa
Jabalpur Score merupakan prediktor yang terbaik untuk morbiditas dan mortalitas pasien.
Skoring ini mudah dan dapat diaplikasikan oleh rumah sakit kecil di negara berkembang.25
Tabel 1. Skoring sistem untuk prediksi outcome pasien perforasi gaster.
Dari beberapa penelitian diatas didapatkan hasil penelitian yang berbeda-beda dengan
sistem skoring yang berbeda. Thorsen menyatakan bahwa Boey Score merupakan pilihan
yang terbaik, hasil yang sama juga didapatkan dari Abishek Agarwal dari Departemen Bedah
Jaipur India yang menyatakan bahwa Boey skor merupakan sistem skoring yang memiliki
validitas dengan <0.001. Hasil berbeda didapatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh GI
Surgery Department Jabalpur India yang menyatakan Jabalpur skor merupakan metode
Pada tahun 2015, di Afrika pernah dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor resiko
yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitias pada pasien pasca operasi akibat perforasi
yang disebabkan oleh ulserasi peptikum. Faktor resiko yang diteliti antara lain identitas
pasien, hasil laboratoris pasien, ASA-score, waktu tunda pelayanan, sampai dengan lama
menginap di RS. Beberapa faktor resiko memiliki tingkat validitas yang tinggi sebagai
predictor, antara lain peningkatan nadi, waktu tunggu pelayanan, penemuan intra-operatif,
PERFORASI
GASTER
PERITONITIS
KIMIA
-ISKEMIA FAGOSIT
DAN
PERITONITIS - SEL
GRANULOSIT
BAKTERIAL INFLAMATORI
AKUT GANGGUAN
OSMOTIK
PEMBESARAN
ABSES ABDOMEN
SEPSIS
GENERAL
KEGAGALAN
MULTI ORGAN
SYOK SEPTIK
KEMATIAN
Daftar Pustaka
2013, 21:25
4. Gona, Soro Kountele, et al. Postoperative Morbidity and Mortality of Perfrated Peptic
Ulcer: Retrospective Cohort Study of Risk Factors among Black Africans in Cte
7.
Svanes, Cecilie et al. Adverse Effects of Delayed Treatment for Perforated Peptic Ulcer.
9. Louise Tucker. Anatomy and Physiology. 5th edition. EMS Publishing, 2015; Chapter
10. Wallace JL. Prostaglandins, NSAIDS, and Gastric Mucosal Protection. 2008 Oct;88
C4: 1547-65
11. Schubert ML, Peura DA. Control of gastric acid secretion in health and disease.
12. Yuan XG, Xie C, Chen J, Xie Y, Zhang KH, Lu NH. Seasonal changes in gastric
mucosal factors associated with peptic ulcer bleeding. Exp Ther Med. 2015 Jan.
9(1):125130
13. (Lau WY, Leow CK. History of perforated duodenal and gastric ulcers. World J Surg.
14. (Langell JT, Mulvihill SJ. Gastrointestinal perforation and the acute abdomen. Med
peptic ulcer in the UK: trends from 1997 to 2005. Aliment Pharmacol Ther. 2009
16. (Sjamsuhidayat R, Jong WD. Lambung dan Duodenum dalam Buku Ajar Ilmu Bedah.
17. Doherty, GM. Current Surgical Diagnosis and Treatment, In: Perforated Peptik Ulcer
18. (Brunicardi FC etc. Schwartss Principles of surgery, inPeptik Ulcer disease. 8th ed.
19. Crofts TJ, Park KG, Steele RJ. A randomized trial of nonoperative treatment for
20. Zinner MJ, Ashley SW. Maingots abdominal operation. 11thed. 2005. USA :
21. Leontiadis GI, Sreedharan A, Dorward S, Barton P, Delaney B, Howden CW, et al.
inhibitors in acute upper gastrointestinal bleeding. Health Technol Assess. 2007 Dec.
11(51):iiiiv, 1164.
22. Bardou M, Toubouti Y, BenhaberouBrun D, Rahme E, Barkun AN. High dose proton
pump inhibition decrease both rebleeding and mortality in highrisk patients with acute
23. Bardou M, Youssef M, Toubouti Y, et al. Newer endoscopic therapies decrease both
rebleeding and mortality in high risk patients with acute peptic ulcer bleeding: a series
24.