Anda di halaman 1dari 34

WAKTU MASUK, TEKANAN DARAH, PENINGKATAN NADI DAN WAKTU TUNGGU

MERUPAKAN FAKTOR YANG BERPERAN TERHADAP KEMATIAN PENDERITA

PERFORASI GASTER PASCA OPERASI

Oleh:

dr. Faisal Armi Lubis

Pembimbing:

Dr. Sarup Singh, SpB-KBD

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

PROGRAM STUDI ILMU BEDAH FK UNSRI / RSMH

PALEMBANG
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perforasi gaster merupakan komplikasi tersering kedua akibat ulkus peptikum setelah

perdarahan.1 Gambaran klinis pada pasien dengan perforasi gaster kadang-kadang tidak

spesifik, sehingga kebanyakan pasien datang dengan gejala dan tanda peritonitis bahkan

sepsis yang mengakibatkan hasil akhir yang buruk. Resiko tingginya mortalitas tetap

ditemukan pada pasien yang telah mendapatkan penanganan pembedahan, dibuktikan

mortalitas 3 40% ditemukan pada pasien yang mendapat terapi pembedahan.2

Di Amerika Serikat terdapat 400.000 kasus baru dengan diagnosa ulkus peptikum.3

Komplikasi ini merupakan komplikasi yang memiliki angka cukup tinggi dalam

menyebabkan resiko kematian. Di Eropa dilaporkan 23,5% kasus kematian akibat

komplikasi gastro intestinal adalah akibat dari perforasi gaster.4 Di Indonesia pernah

dilakukan penelitian tentang kejadian perforasi gaster di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.

Moewardi Solo ( RSDM ) selama kurun waktu 6 bulan, mulai November 2014 April 2015,

didapatkan penderita peritonitis karena perforasi gaster sebanyak 36 kasus yang dilakukan

operasi, 17(47 %) kasus sembuh, 19 (53% ) kasus meninggal paska operasi karena sepsis.5

Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk meneliti faktor resiko yang

mempengaruhi mortalitas pada pasien, antara lain faktor usia, kondisi sistemik pasien, dan

rentang waktu penanganan medis. Secara umum perforasi gaster memperlihatkan

variabilitas kombinasi antara gejala klinik dari peritonitis, gambaran radiologis, laboratorium,

penemuan intraoperatif.
Dari penelitian yang dilakukan maka dirumuskan suatu sistem skoring untuk memprediksi

outcome pasien.

Selama ini kita mengenal beberapa sistem skoring seperti ASA-score, MPI-score,

Jabalpur-score dan Boey-score yang telah dijadikan standart di seluruh dunia. Dari beberapa

penelitian yang dilakukan didapatkan hasil penelitian yang berbeda-beda tentang akurasi

sistem skoring sebagai prediktor outcome pasien, hal itu mungkin dikarenakan perbedaan

standart dan kualitas pelayanan pasien di tiap daerah atau negara. Boey-score dinyatakan

sebagai sistem skoring yang sederhana dan spesifik untuk diaplikasikan pada pasien dengan

perforasi gaster, hal itu didukung oleh penelitian yang dilakukan Thorsen dan Abishek

Agarwal dari Departemen Bedah Jaipur India yang menyatakan bahwa Boey skor merupakan

sistem skoring yang memiliki validitas dengan <0.001.1

Pada tahun 2015, Soro Kountele Gona et al., melakukan sebuah studi cohort

mengenai faktor resiko terhadap morbiditas dan mortalitas pada pasien Afrika kulit hitam

yang menjalani operasi akibat perforasi gaster. Didapatkan hasil bahwa keterlambatan

penanganan medis dan waktu tunggu operasi memiliki pengaruh yang sangat signifikan

terhadap resiko kematian. Selain faktor tersebut, peningkatan nadi juga memiliki validitas

yang sama tingginya dengan keterlambatan penanganan medis sebagai salah satu faktor

resiko penyebab kematian pada kasus perforasi gaster.4

Di RS Dr. Moh. Hoesin Palembang pernah dilakukan penelitian deskriptif mengenai

angka kejadian perforasi gaster pada tahun 2013. Didapatkan 39% (14 pasien) mengalami

kematian pasca operasi. Faktor yang memiliki pengaruh paling besar terhadap kematian

pasien adalah usia tua dan waktu penanganan yang lebih dari 24 jam. Hal ini bisa disebabkan

oleh kurangnya fasilitas di RS daerah dan juga waktu yang dibutuhkan untuk merujuk pasien

ke RS Dr. Moh. Hoesin Palembang.


Dari penelitian tersebut diatas, peneliti ingin mengetahui apakah masih ada faktor-

faktor resiko; waktu masuk, tekanan darah, peningkatan nadi dan waktu tunggu operasi

untuk dijadikan prediktor kematian pasca operasi akibat perforasi gaster. Bila hasilnya

signifikan, diharapkan faktor-faktor ini dapat dimasukkan sebagai variable system skoring

yang akurat untuk dipakai di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Angka morbiditas dan mortalitas dari pembedahan pada perforasi gaster masih tinggi

dan variatif.
2. Sistem skoring yang telah terstandarisasi belum dapat dibuktikan cocok untuk

diaplikasikan di Indonesia
3. Belum ada system skoring sebagai prediktor kematian pasien yang khusus untuk

digunakan di Indonesia

1.3 Pertanyaan penelitian

1. Apakah system skoring yang telah terstandarisasi di dunia cocok untuk diaplikasikan

pada kasus pasien di Indonesia?


2. Apakah penemuan faktor-faktor penyebab kematian dapat dipakai sebagai system

skoring baru yang dapat digunakan khusus di Indonesia?


3. Adakah hubungan yang signifikan dari faktor-faktor resiko dengan kejadian kematian

pasca operasi?

1.4 Hipotesis Penelitian

Ho: Tidak ada hubungan antara faktor-faktor penyebab kematian yang belum

terstandarisasi dengan kematian pasca operasi akibat perforasi gaster

Ha: Ada hubungan antara faktor-faktor penyebab kematian yang belum


terstandarisasi terhadap kematian pada pasien

1.5 Tujuan Penelitian

Menemukan sistem skoring yang sederhana, namun paling akurat sebagai prediktor

outcome pasien dengan perforasi gaster

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoritis

Memberikan Referensi ilmiah mengenai perforasi gaster dan sistem skoring yang

efektif dalam menentukan prognosa pasien dengan perforasi gaster

1.6.2 Manfaat Praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam menentukan penanganan

pasien dengan perforasi gaster berdasarkan prognosa yang mungkin terjadi


2. Meningkatkan kewaspadaan tenaga medis mengenai kondisi pasien dengan

perforasi gaster
3. Membantu tenaga medis lini pertama (dokter umum, residen bedah) yang bertugas

di UGD untuk memberikan informasi yang benar kepad pasien maupun keluarga

pasien mengenai kondisi yang mungkin terjadi kepada pasien dengan perforasi

gaster.
4. Sistem skoring baru yang ditemukan dapat diaplikasikan dengan mudah pada

fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gaster

2.1.1 Anatomi Gaster

Gaster dimulai dari gastroesophageal junction dan berakhir pada duodenum. Gaster

memiliki 3 bagian, yang paling atas adalah kardia, pada bagian tengah yang terbesar adalah

korpus, dan bagian distalnya adalah antrum yang berakhir pada pylorus (gambar 1). Kardia

terutama terdiri dari sel-sel mucin, sedangkan fundus terdiri dari sel-sel mukoid, sel chief,

dan parietal. Pylorus terdiri dari sel-sel mucus dan endokrin.

Berbagai buku anatomi menyebutkan, pylorus dibagi kembali menjadi pyloric

antrum, pyloric canal, dan pyloric sphincter. Antrum adalah saluran yang menuju pyloric

canal.

Perut dibagi menjadi bagian-bagian oleh garis-garis yang imajiner:

Sebuah garis horizontal lolos dari orificium cardiac sampai ke kurvatura mayor,

memisahkan fundus dari corpus.


Garis oblique dimulai pada angular notch, dan melintasi perut kira-kira tegak lurus

kurvatura mayor, sehingga memisahkan corpus dari antrum pyloric.


Garis oblique meluas ke superior dari intermedius sulkus dari kurvatura mayor ke

kurvatura minor, memisahkan antrum pyloric dari kanal pylorus.


Gambar 1. Struktur anatomi gaster

Secara diagnostik, gaster terdiri dari 5 lapisan yaitu dari dalam lumen berturut-turut

tunika mukosa, submukosa, muskularis, subserosa, dan serosa. Peritoneum dari omentum

mayor melapisi permukaan anterior gaster dan sebagian dari omentum minor menutupi

bagian permukaan posterior gaster. Pada gastroesofageal junction bisa hanya sedikit atau

tidak ada sama sekali lapisan serosanya.

Secara topografis, bagian kanan fasies gaster anterior terletak dekat hepar, lobus kiri

dan dinding abdomen anterior. Bagian kiri gaster terletak di dekat lien, kelenjar adrenal,

bagian superior ginjal kiri, bagian ventral pankreas, dan colon transversum. Pembuluh

darah gaster berasal dari arteri coeliaca, yang kemudian bercabang menjadi A. Gastrica

sinistra yang akan memperdarahi bagian atas gaster. Sedangkan cabang lainnya dari A.

Coeliaca adalah A. Hepatica communis bercabang menjadi A. Gastrika dekstra dan

gastroepiploika8 (gambar 2).


Gambar 2. Vaskularisasi Gaster

Aliran drainase limfatik primer adalah sepanjang A. coeliaca. Sedangkan aliran

lainnya adalah sepanjang hilus lienalis, kelompok kelenjar supra-pankreas, porta hepatis

dan area gastroduodenal. Sistem drainase limfatik ini dapat menjelaskan pola metastasis

pada kelenjar getah bening (gambar 3)


Gambar 3. Persarafan Gaster

2.1.2 Fisiologi Gaster

Fungsi utama lambung adalah penerima makanan dan minuman, dikerjakan

oleh fundus dan korpus, dan penghancur dikerjakan oleh antrum, selain turut bekerja

dalam pencernaan awal berkat kerja kimiawi asam lambung dan pepsin.

Fungsi lambung yang berkaitan dengan gerakan adalah penyimpanan dan

pencampuran makanan serta pengosongan lambung. Kemampuan lambung

menampung makanan mencapai 1500 ml karena mampu menyesuaikan ukurannya

dengan kenaikan tekanan intraluminal tanpa peregangan dinding (relaksasi reseptif).

Fungsi ini diatur oleh n.vagus dan hilang setelah vagotomi. Ini antara lain yang

mendasari turunnya kapasitas penampungan pada penderita tumor lambung lanjut

sehingga cepat kenyang.


Peristalsis terjadi bila lambung mengambang akibat adanya makanan dan

minuman. Kontraksi yang kuat pada antrum (dindingnya paling tebal) akan

mencampur makanan dengan enzim lambung, kemudian mengosongkannya ke

duodenum secara bertahap. Daging tidak berlemak, nasi, dan sayuran meninggalkan

lambung dalam tiga jam, sedangkan makanan yang tinggi lemak dapat bertahan di

lambung 6-12 jam.

Cairan lambung yang jumlahnya bervariasi antara 500-1500 ml/hari

mengandung lendir, pepsinogen, faktor intrinsik dan elektrolit, terutama larutan HCl.

Sekresi basal cairan ini selalu ada dalam jumlah sedikit. Produksi asam merupakan

hal yang kompleks, namun secara sederhana dibagi atas tiga fase perangsangan.

Ketiga fase, yaitu fase sefalik, fase gastrik, dan fase intestinal ini saling

mempengaruhi dan berhubungan.

(a) Fase sefalik

Gambar 4. Fase sefalik

1. Penglihatan, penciuman, rasa dari makanan dalam mulut akan menstimulasi

medulla oblongata.

2. Parasimpatis aksi potensial melalui vagus nerve akan disampaikan ke lambung.

3. Preganglionik parasimpatis vagus nerve fiber menstimulasi postganglionic neuron

dalam enteric plexus dalam lambung.


4. Postganglionic neuron menstimulasi parietal dan chief cell untuk menghasilkan

sekretnya dan stimulasi enteroendocrine cells untuk menghasilkan gastrin.

5. Gastrin akan memasuki sirkulasi dulu lalu balik lagi ke lambung, dimana akan

menstimulasi sel parietal dan chief sel untuk mengeluarkan sekretnya.

(b)
Fase gastrik

Gambar 5. Fase Gastrik

1. Distensi dari lambung mengaktivasi parasimpatis reflex. Aksi potensial

menstimulasi medulla oblongata

2. Medulla oblongata menstimulasi sekresi lambung

3. Distensi lambung juga memicu aktivasi local reflex sehingga meningkatkan

sekresi lambung

(c)
Fase intestinal
Gambar 6. Fase Intestinal

Hormon enterooksintin merangsang produksi asam lambung setelah makanan sampai

di usus halus. Seperti halnya proses sekresi dalam tubuh, cairan lambung bertindak sebagai

penghambat sekresinya sendiri berdasarkan prinsip umpan balik. Keasaman yang tinggi di

daerah antrum akan menghambat produksi gastrin oleh sel G sehingga sekresi fase gastrik

akan berkurang. Pada pH di bawah 2.5 produksi gastrin mulai dihambat dengan 3

mekanisme:

1. Sensory vagal aksi potensial dari duodenum ke medulla oblongata, sehingga

menghambat motor aksi potensial dari medulla oblongata.

2. Local reflex menghambat sekresi lambung.

3. Secretin, gastric inhibitory polypeptide, cholecystokinin diproduksi oleh duodenum

sehingga menghambat sekresi gaster.9

2.3 Sistem Pertahanan Mukosa Lambung

Lambung dapat diserang oleh beberapa faktor endogen dan faktor eksogen yang

berbahaya. Sebagai contoh faktor endogen adalah asam hidroklorida (HCl),

pepsinogen/pepsin, dan garam empedu, sedangkan contoh substansi eksogen yang dapat

menyebabkan kerusakan mukosa lambung adalah seperti obat, alkohol, dan bakteri. Sistem
biologis yang kompleks dibentuk untuk menyediakan pertahanan dari kerusakan mukosa dan

untuk memperbaiki setiap kerusakan yang dapat terjadi.

Sistem pertahanan dapat dibagi menjadi tiga tingkatan lapisan yang terdiri dari

preepitel, epitel, dan subepitel. Pertahanan lini pertama adalah lapisan mukus bikarbonat,

yang berperan sebagai lapisan psikokemikal terhadap beberapa molekul termasuk ion

hidrogen. Mukus dikeluarkan oleh sel epitel permukaan lambung. Mukus tersebut terdiri dari

air (95%) dan pencampuran dari lemak dan glikoprotein (mucin). Fungsi gel mukus adalah

sebagai lapisan yang tidak dapat dilewati air dan menghalangi difusi ion dan molekul seperti

pepsin. Bikarbonat, dikeluarkan sebagai regulasi di bagian sel epitel dari mukosa lambung

dan membentuk gradien derajat keasaman (pH) yang berkisar dari 1 sampai 2 pada lapisan

lumen dan mencapai 6 sampai 7 di sepanjang lapisan epitel sel.

Lapisan sel epitel berperan sebagai pertahanan lini selanjutnya melalui beberapa

faktor, termasuk produksi mukus, tranpoter sel epitel ionik yang mengatur pH intraselular dan

produksi bikarbonat dan thigt junction intraselular. Jika lapisan preepitel dirusak, sel epitel

gaster yang melapisi sisi yang rusak dapat bermigrasi untuk mengembalikan daerah yang

telah dirusak (restitution). Proses ini terjadi dimana pembelahan sel secara independen dan

membutuhkan aliran darah yang tidak terganggu dan suatu pH alkaline di lingkungan

sekitarnya.

Beberapa faktor pertumbuhan (growth factor) termasuk epidermal growth factor

(EGF), transforming growth factor (TGF) dan basic fibroblast growth factor (FGF),

memodulasi proses pemulihan. Kerusakan sel yang lebih besar yang tidak secara efektif

diperbaiki oleh proses perbaikan (restitution), tetapi membutuhkan proliferasi sel. Regenerasi

sel epitel diregulasi oleh prostaglandin dan faktor pertumbuhan (growth factor) seperti EGF

dan TGF . Bersamaan dengan pembaharuan dari sel epitel, pembentukan pembuluh darah
baru (angiogenesis) juga terjadi pada kerusakan mikrovaskular. Kedua faktor yaitu FGF dan

VEGF penting untuk meregulasi angiogenesis di mukosa lambung .Sistem mikrovaskular

yang luas pada lapisan submukosa lambung adalah komponen utama dari pertahanan

subepitel, yang menyediakan HCO3, yang menetralisir asam yang dikeluarkan oleh sel

parietal.

Prostaglandin memainkan peran yang penting dalam hal pertahanan mukosa lambung.

Mukosa lambung mengandung banyak jumlah prostaglandin yang meregulasikan

pengeluaran dari mukosa bikarbonat dan mukus, menghambat sekresi sel parietal, dan sangat

penting dalam mengatur aliran darah dan perbaikan dari sel epitel.10

2.4 Kerusakan Mukosa Lambung

Pada keadaan normal, asam lambung dan pepsin tidak akan menyebabkan kerusakan

mukosa lambung dan duodenum. Bila oleh karena sesuatu sebab ketahanan mukosa rusak

(misalnya karena salisilat, empedu, iskemia mukosa) maka akan terjadi difusi balik H+ dari

lumen masuk ke dalam mukosa. Difusi balik H+ akan menyebabkan reaksi berantai yang

dapat merusak mukosa lambung dan menyebabkan pepsin dilepas dalam jumlah besar.11
Gambar 7. Mekanisme kerusakan mukosa lambung

Na+ dan protein plasma banyak yang masuk kedalam lumen dan terjadi pelepasan

histamin. Selanjutnya terjadi peningkatan sekresi 18 asam lambung oleh sel parietal,

peningkatan permeabilitas kapiler, oedema dan perdarahan. Di samping itu akan merangsang

parasimpatik lokal akibat sekresi asam lambung makin meningkat dan tonus muskularis

mukosa meninggi, sehingga kongesti vena makin hebat dan menyebabkan perdarahan.

Keadaan ini merupakan lingkaran setan yang menyebabkan kerusakan mukosa makin

berlanjut, dapat terjadi erosi superfisial atau ulserasi.12

2.5 Perforasi Gaster

2.5.1 Patofisiologi

Dalam keadaan normal, lambung relatif bersih dari bakteri dan mikroorganisme lain

karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami trauma
abdominal memiliki fungsi gaster normal dan tidak berada dalam resiko kontaminasi bakteri

setelah perforasi gaster.

Namun, mereka yang sebelumnya sudah memiliki masalah gaster beresiko terhadap

kontaminasi peritoneal dengan perforasi gaster. Kebocoran cairan asam lambung ke rongga

peritoneal sering berakibat peritonitis kimia yang dalam. Jika kebocoran tidak ditutup dan

partikel makanan mencapai rongga peritoneal, peritonitis kimia bertahap menjadi peritonitis

bakterial. Pasien mungkin bebas gejala untuk beberapa jam antara peritonitis kimia awal

sampai peritonitis bakterial kemudian.

Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang influks sel-sel inflamasi akut.

Omentum dan organ dalam cenderung untuk melokalisasi tempat inflamasi, membentuk

flegmon (ini biasanya terjadi pada perforasi usus besar). Hipoksia yang diakibatkan di area

memfasilitasi pertumbuhan bakteri anaerob dan menyebabkan pelemahan aktivitas bakterisid

dari granulosit, yang mengarah pada peningkatan aktivitas fagosit granulosit, degradasi sel,

hipertonisitas cairan membentuk abses, efek osmotik, mengalirnya lebih banyak cairan ke

area abses, dan pembesaran abses abdomen. Jika tidak diterapi, bakteremia, sepsis general,

kegagalan multi organ, dan syok dapat terjadi. 13

2.5.2 Etiologi

A. Perforasi non-trauma:

Akibat volvulus gaster karena overdistensi dan iskemia

Spontan pada bayi baru lahir yang terimplikasi syok dan stress ulcer.
Ingesti aspirin, anti inflamasi non steroid, dan steroid : terutama pada

pasien usia lanjut.

Adanya faktor predisposisi: termasuk ulkus peptik

Perforasi oleh malignansi intraabdomen atau limfoma

Benda asing (misalnya jarum pentul) dapat menyebabkan perforasi

esofagus, gaster, atau usus dengan infeksi intraabdomen, peritonitis, dan

sepsis.

B. Perforasi trauma:

Trauma iatrogenik setelah pemasangan pipa nasogastrik saat endoskopi.

Luka penetrasi ke dada bagian bawah atau abdomen (misalnya tusukan

pisau)

Trauma tumpul pada gaster : trauma seperti ini lebih umum pada anak

daripada dewasa dan termasuk trauma yang berhubungan dengan

pemasangan alat, cedera gagang kemudi sepeda, dan sindrom sabuk

pengaman.

Ruptur lambung akan melepaskan udara dan kandungan lambung ke

dalam peritoneum. pasien akan menunjukkan rasa nyeri hebat, akut,

disertai peritonitis. Dari radiologis, sejumlah besar udara bebas akan

tampak di peritoneum dan ligamentum falsiparum tampak dikelilingi

udara.14

2.5.3 Epidemiologi

Pada anak-anak, kejadian perforasi gaster jarang terjadi. Angka kejadian pun hanya 1-

7% dari seluruh diagnosa perforasi intestinal. Penyebab terbanyak adalah akibat trauma

abdomen. Pada orang dewasa, perforasi gaster disebabkan oleh ulkus peptikum. Data Statistik
di Amerika menunjukkan setidakmya terdapat 4.5 juta penduduk menderita ulkus peptikum

akibat H. pylori dan konsumsi NSAID.15

Penelitian di Departemen Bedah di Rumah sakit di Norwegia dan Greece menyatakan

bahwa kecenderungan kasus perforasi gaster meningkat 0,1-0,3% dalam 100.000 populasi

tiap tahunnya, pada rerata usia 67 tahun dan sekitar 45% diterapi dengan omentopeksi15.

2.5.4 Gejala Klinis

Perforasi gaster akan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami

perforasi akan tampak kesakitan hebat, seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak,

terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsang peritoneum oleh asam lambung,

empedu dan/atau enzim pankreas. Cairan lambung akan mengalir ke kelok parakolika kanan,

menimbulkan nyeri perut kanan bawah, kemudian menyebar ke seluruh perut menimbulkan

nyeri seluruh perut.15

Pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, fase ini disebut fase peritonitis kimia.

Adanya nyeri di bahu menunjukkan adanya rangsangan peritoneum di permukaan bawah

diafragma. Reaksi peritoneum berupa pengenceran zat asam yang merangsang itu akan

mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.15

Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans muskuler. Pekak hati

bisa hilang karena adanya udara bebas di bawah diafragma. Peristaltis usus menurun sampai

menghilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis bakteria, suhu

badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi, dan penderita tampak letargik

karena syok toksik. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang

menyebabkan pergeseran peritoneum dengan peritoneum.15


Nyeri subjektif dirasakan waktu penderita bergerak, seperti berjalan, bernapas,

menggerakkan badan, batuk, dan mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri ketika digerakkan

seperti pada saat palpasi, tekanan dilepaskan, colok dubur, tes psoas, dan tes obturator.15

2.5.5 Diagnosis

2.5.5.1 Anamnesis

Untuk menegakkan suatu diagnosis perritonitis yang disebabkan oleh perforasi

gaster dapat dilihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis yang terarah sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Gejala klinis

perforasi gaster adalah nyeri hebat yang datang tiba-tiba, nausea, muntah, perut terasa

kembung, biasanya terjadi beberapa jam setelah makan terakhir. Nyeri ini timbul mendadak,

terutama dirasakan di daerah epigastrium yang kemudian ke seluruh perut. Pasien juga dapat

mengeluh nyeri di bahu karena adanya rangsangan peritoneum di permukaan bawah

diafragma. Dapat juga ditanyakan riwayat gastritis, minum obat-obatan OAINS, perokok,

peminum alkohol. Pasien dapat datang dalam kondisi syok dan kesadaran menurun.16

2.5.5.2 Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda vital, status gizi, gangguan kesadaran,

dehidrasi, syok, anemia, dan gangguan napas perlu diperhatikan. Kemungkinan adanya

peritonitis akibat perforasi gaster perlu dicurigai bila tampak pernafasan torakal pada

penderita yang abdomennya terlihat tegang. Pada palpasi teraba defans muskuler yang

menunjukkan adanya iritasi peritoneum. Pekak hati yang menghilang pada perkusi

menunjukkan adanya udara bebas di bawah diafragma. Pada peritonitis akibat perforasi,

peristaltik sering melemah atau menghilang sama sekali karena terjadi ileus paralitik.

Pemeriksaan rectal toucher dapat didapatkan nyeri tekan seluruh jam.


2.5.5.3 Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan penunjang laboratorium dapat ditemukan peningkatan leukosit,

dengan rata-rata > 12.000/mm3 pada saat awal. Setelah 12-24 jam dapat terjadi peningkatan

sampai dengan 20.000/mm3 atau bahkan lebih jika terapi tidak adekuat. Selain pemeriksaan

darah rutin lengkap, diperlukan pemeriksaan profit metabolik darah, faktor pembekuan dan

amilase. Pada pasien syok, diperlukan pemerikasaan analisis gas darah dan kadar asam laktat

yang diharapkan mampu memberikan informasi yang akurat mengenai stasus metabolik

pasien yang pada akhirnya akan menuntun kita dalam tindakan resusitasi. Pada kasus

perforasi yang masih awal sangat mungkin sekali ditemukan nilai laboratorium dalam batas

normal, terkecuali dijumpai leukositosis dan hiperamilasemia. Jika pasien datang pada tahap

lanjut, maka sangat mungkin telah berkembang menjadi SIRS, seperti penurunan fungsi

ginjal dan hipoksia.

Pemeriksaan radiologis dibutuhkan tergantung dari temuan klinis. Jika dijumpai

peritonitis difusa yang membutuhkan operasi abdomen segera maka pemeriksaan radiologis

lebih lanjut tidak dibutuhkan. Jika diagnosis dan keputusan untuk operasi tidak jelas, maka

dapat dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen termasuklah ronsen toraks duduk, supine

duduk, maupun posisi lateral decubitus pada foto abdomen. Dijumpainya udara bebas

subdiafrgamatika mengindikasikan adanya perforasi organ viskus pada 70% pasien perforasi

gaster, meskipun demikian jika hal ini tidak dijumpai tidak dapat dikatakan kondisi perforasi

organ viskus dalam hal ini gaster tidak dijumpai. 17

2.5.6 Penatalaksanaan

2.5.6.1 Terapi medis konservatif

Pada pasien yang tidak dijumpai peritonitis generalisata, hemodinamika stabil,

ataupun dijumpainya. perforasi peritoneal bebas pada Gastrografin Upper gastrointestinal


study, manajemen nonoperatif dapat dipertimbangkan. Pada terapi konservatif, pasien

diobservasi secara ketat dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium disamping dengan

pemasangan selang nasogastrik, supresi sekresi asam lambung intravena. Pasien dengan

kondisi ragu-ragu tidak disarankan untuk diterapi secara konservatif, jika dalam observasi

dijumpai tanda peritonitis generalisata segeralah keputusan konservatif diubah. Manajemen

konservatif sering menimbulkan abses intaabdominal, khususnya di subhepatik dan

subdiafragma, abses ini dapat diterapi secara perkutaneus drainase. Studi randomized control

trial secara retrospektif dan prospektif menyatakan bahwa manajeman konservatif sefektif

pada pasien dengan kondisi tertentu pula.

Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan

umumnya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan pipa

nasogastrik untuk dekompresi serta pengosongan lambung untuk mengurangi resiko

kontaminasi pada rongga peritoneum. Pemberian antibiotik intravena dengan spektrum luas

haruslah segera dimulai. Jika pasien datang dengan kondisi yang mengkhawatirkan karena

terlambat penanganan, maka resusitasi cairan pada tahapan awal harus dilaksanakan.

2.5.6.2 Terapi pembedahan

1. Minimal invasif Surgery

Dalam dekade terakhir, telah banyak dipublikasikan pendekatan minimal invasif

dalam penatalaksaan perforasi gaster. Dikatakan bahwa penanganan perforasi gaster secara

laparaskopi adalah prosedur yang lebih rumit walaupun dalam setting operasi elektif.

Sebaliknya, open mangement dalam penanganan perforasi gaster dengan metode simple

closure dan tidak rutinnya prosedur pemberian reduksi asam lambung telah diterima secara

luas oleh para ahli bedah selama ini.Pendekatan laparaskopi tidak membutuhkan teknik

operasi two-handed manipulation dan indurasi penjahitan intracorporeal dan friable tissue.
Diindikasikan pada kasus perforasi ulkus lambung sekunder. Laparaskopi dengan repair

defek perforasi dengan omental patch dan dikombinasikan dengan eradikasi H. Pylori dan

terapi proton pump inhibitor pasca pembedahan secara teknis menunjukkan rendahnya

morbiditas dan mortalitas dan rendahnya angka kekambuhan ulkus gaster.

2. Open Management

Pilihan terapi pembedahan terbuka pada ulkus peptikum perforasi adalah simple

patch closure dengan biopsi, simple patch closure dengan highly selective vagotomy atau

patch closure dengan vagotomy dan drainase. Simple patch closure sendiri dapat dikerjakan

pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil atau perforasi yang menunjukkan suatu

keadaan peritonitis eksudatif yang telah terjadi lebih dari 24 jam. Pada pasien lainnya dengan

kondisi yang lebih baik maka definitif prosedur (highly selective vagotomy) atau vagotomy

dan drainase harus dipertimbangkan. Metode simple patch closure telah menunjukkan

mempunyai rata-rata komplikasi jangka pendek yang lebih tinggi (20 : 5%) dan rata-rata

angka kekambuhan yang lebih tinggi (25 : 10%) dibandingkan dengan metode distal

gastektomi. Data terbaru menyebutkan bahwa angka kekambuhan yang lebih rendah dijumpai

pada metode simple patch closure dengan tindakan eradikasi secara efektif H.pylori.

Meskipun banyak dijumpai kasus pasien dengan perforasi ulkus gaster dengan H.pylori

negatif. Bagaimanapun juga, terkadang sulit untuk mendeterminasi keberadaan Helicobacter

pylori pada pasien perforasi ulkus peptikum yang mendapat operasi emergensi. Hal ini akan

menimbulkan keragu-raguan apakah pasien tersebut telah mendapat regimen obat utuk

mengeradikasi H. pylori sebelumnya atau belum. 18,19,20


2.5.7 Prognosis

Apabila tindakan operasi dan pemberian antibiotik berspektrum luas cepat dilakukan

maka prognosisnya dubia ad bonam. Sedangkan bila diagnosis, tindakan, dan pemberian

antibiotik terlambat dilakukan maka prognosisnya menjadi dubia ad malam.21

Hasil terapi meningkat dengan diagnosis dan penatalaksanaan dini.22Faktor-

faktor berikut akan meningkatkan resiko kematian:

Usia lanjut

Adanya penyakit yang mendasari sebelumnya

Malnutrisi

Timbulnya komplikasi

2.5.8 Komplikasi

1. Kegagalan luka operasi

Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap lapisan luka
operasi) dapat terjadi segera atau lambat.23 Faktor-faktor berikut ini dihubungkan
dengan kegagalan luka operasi:

Malnutrisi

Sepsis

Uremia

Diabetes mellitus

Terapi kortikosteroid

Obesitas

Batuk yang berat

Hematoma (dengan atau tanpa infeksi)


Abses abdominal terlokalisasi

Kegagalan multiorgan dan syok septik

2. Syok septic

Septikemia adalah proliferasi bakteri dalam darah yang menimbulkan manifestasi

sistemik, seperti kekakuan, demam, hipotermi (pada septikemia gram negatif

dengan endotoksemia), leukositosis atau leukopenia (pada septikemia berat),

takikardi, dan kolaps sirkuler.23

Syok septik dihubungkan dengan kombinasi hal-hal berikut:

Hilangnya tonus vasomotor

Peningkatan permeabilitas kapiler

Depresi myokardial

Pemakaian leukosit dan trombosit

Penyebaran substansi vasoaktif kuat, seperti histamin, serotonin, dan


prostaglandin, menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler

Aktivasi komplemen dan kerusakan endotel kapiler

2.6 Sistem Skoring Pada Prognosa Perforasi Gaster

Telah banyak dilaporkan beberapa sistem skoring untuk memprediksi hasil akhir pada

pasien dengan perforasi ulkus peptik, akan tetapi belum ada yang sistem skoring yang lebih

superior. Saat ini skor ASA, MPI, PULP dan skor Boey merupakan sistem skoring prognostik

yang paling sering digunakan pada pasien dengan perforasi gaster. Skor ASA merupakan skor

resiko pembedahan secara umum dan tidak khusus pada pasien perforasi gaster sedangkan

skor Boey dibuat spesifik untuk memprediksi mortalitas pada pasien perforasi gaster 13. Skor

Boey memprediksi mortalitas berdasarkan adanya penyakit penyerta (komorbid), syok


preoperatif, dan perforasi lebih dari 24 jam. Skor Boey merupakan skor yang paling sering

digunakan, tetapi memiliki tingkat akurasi yang bervariasi5.

Saat ini kadar albumin digunakan sebagai penanda inflamasi, prediktor luaran pasien

post pembedahan, dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan

keganasan dan pasien dengan sakit berat.5 Penelitian oleh Thorsen (2013), memperlihatkan

hubungan yang signifikan antara hipoalbuminemia dan peningkatan mortalitas pada pasien

perforasi ulkus peptik. Hipoalbuminemia (kadar albumin serum < 3,5 gr/dL) merupakan

akibat dari gangguan proses sintesis, distribusi dan degradasi.5. Oleh karena itu hipoalbumin

lebih merupakan penanda inflamasi dibanding indikator status nutrisi seseorang 24.

Peningkatan kreatinin juga menjadi faktor resiko mortalitas pada pasien dengan perforasi

ulkus peptik. Peningkatan kreatinin merupakan indikator terhadap beberapa kondisi termasuk

gagal ginjal kronik, dehidrasi, atau menggambarkan keadaan syok atau sepsis.5

Penelitian tentang system skoring juga pernah dilakukan di India oleh GI Surgery

Unit Jabalpur, para peneliti membandingkan 4 sistem skoring dan didapatkan hasil bahwa

Jabalpur Score merupakan prediktor yang terbaik untuk morbiditas dan mortalitas pasien.

Skoring ini mudah dan dapat diaplikasikan oleh rumah sakit kecil di negara berkembang.25
Tabel 1. Skoring sistem untuk prediksi outcome pasien perforasi gaster.

Tabel 2. Akurasi skoring oleh Thorsen(2013)


Tabel 3. Akurasi skoring oleh GI Surgery Unit Jabalpur

Dari beberapa penelitian diatas didapatkan hasil penelitian yang berbeda-beda dengan

sistem skoring yang berbeda. Thorsen menyatakan bahwa Boey Score merupakan pilihan

yang terbaik, hasil yang sama juga didapatkan dari Abishek Agarwal dari Departemen Bedah

Jaipur India yang menyatakan bahwa Boey skor merupakan sistem skoring yang memiliki

validitas dengan <0.001. Hasil berbeda didapatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh GI

Surgery Department Jabalpur India yang menyatakan Jabalpur skor merupakan metode

sistem skoring yang terbaik dengan <0.03.

Tabel 4. Jabalpur score


Tabel 5. Boey Score

Tabel 6 ASA Score

Tabel 7. MPI score

Pada tahun 2015, di Afrika pernah dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor resiko

yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitias pada pasien pasca operasi akibat perforasi
yang disebabkan oleh ulserasi peptikum. Faktor resiko yang diteliti antara lain identitas

pasien, hasil laboratoris pasien, ASA-score, waktu tunda pelayanan, sampai dengan lama

menginap di RS. Beberapa faktor resiko memiliki tingkat validitas yang tinggi sebagai

predictor, antara lain peningkatan nadi, waktu tunggu pelayanan, penemuan intra-operatif,

dan lama rawat inap.4 Hasilnya seperti berikut,

Tabel 8 . Hasil penelitian Afrika 2015


Tabel 9. Hasil Penelitian Afrika 2015
2.7 Kerangka Teori

PERFORASI
GASTER

PERITONITIS
KIMIA

-ISKEMIA FAGOSIT
DAN
PERITONITIS - SEL
GRANULOSIT
BAKTERIAL INFLAMATORI
AKUT GANGGUAN
OSMOTIK

PEMBESARAN
ABSES ABDOMEN

SEPSIS
GENERAL

KEGAGALAN
MULTI ORGAN

SYOK SEPTIK

KEMATIAN
Daftar Pustaka

1. Thorsen K, Soreide J, Scoring systems for outcome prediction in patients with

perforated peptic ulcer.sacandavian journal of traua, resuscitation and emergency medicine

2013, 21:25

4. Gona, Soro Kountele, et al. Postoperative Morbidity and Mortality of Perfrated Peptic

Ulcer: Retrospective Cohort Study of Risk Factors among Black Africans in Cte

dIvore. Journal of Gastroenterology Research and Practice. Hindawi. Dec 2015.

7.

Svanes, Cecilie et al. Adverse Effects of Delayed Treatment for Perforated Peptic Ulcer.

Annals of Surgery 1994; 220 168-175.

8. Moore, Keith L.and Arthur F Dalley. Clinically Oriented Anatomy.7th edition.

Lippincot Williams& Wilkins.2013: 226,231-,236.

9. Louise Tucker. Anatomy and Physiology. 5th edition. EMS Publishing, 2015; Chapter

11. The Digestive System 315-372

10. Wallace JL. Prostaglandins, NSAIDS, and Gastric Mucosal Protection. 2008 Oct;88

C4: 1547-65

11. Schubert ML, Peura DA. Control of gastric acid secretion in health and disease.

Gastroenterology. 2008 Jun. 134(7):184260

12. Yuan XG, Xie C, Chen J, Xie Y, Zhang KH, Lu NH. Seasonal changes in gastric

mucosal factors associated with peptic ulcer bleeding. Exp Ther Med. 2015 Jan.

9(1):125130
13. (Lau WY, Leow CK. History of perforated duodenal and gastric ulcers. World J Surg.

1997 Oct. 21(8):890-6)

14. (Langell JT, Mulvihill SJ. Gastrointestinal perforation and the acute abdomen. Med

Clin North Am. 2008 May. 92(3):599-625)

15. Cai S, Garca Rodrguez LA, MassGonzlez EL, HernndezDaz S. Uncomplicated

peptic ulcer in the UK: trends from 1997 to 2005. Aliment Pharmacol Ther. 2009

Nov15.30 (10) :103948

16. (Sjamsuhidayat R, Jong WD. Lambung dan Duodenum dalam Buku Ajar Ilmu Bedah.

Edisi 2.2005.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.hal 542-560

17. Doherty, GM. Current Surgical Diagnosis and Treatment, In: Perforated Peptik Ulcer

12th ed. 2003. USA : McGraw-Hill. p. 528-529.

18. (Brunicardi FC etc. Schwartss Principles of surgery, inPeptik Ulcer disease. 8th ed.

2005. USA: McGraw-hill.p934-968

19. Crofts TJ, Park KG, Steele RJ. A randomized trial of nonoperative treatment for

perforated peptic ulcer. N Engl J Med. 1989 Apr 13. 320(15):970-3

20. Zinner MJ, Ashley SW. Maingots abdominal operation. 11thed. 2005. USA :

McGraw-Hill. Cap 12)

21. Leontiadis GI, Sreedharan A, Dorward S, Barton P, Delaney B, Howden CW, et al.

Systematic reviews of the clinical effectiveness and costeffectiveness of proton pump

inhibitors in acute upper gastrointestinal bleeding. Health Technol Assess. 2007 Dec.

11(51):iiiiv, 1164.
22. Bardou M, Toubouti Y, BenhaberouBrun D, Rahme E, Barkun AN. High dose proton

pump inhibition decrease both rebleeding and mortality in highrisk patients with acute

peptic ulcer bleeding. Gastroenterology. 2003. 123(suppl 1):A625.

23. Bardou M, Youssef M, Toubouti Y, et al. Newer endoscopic therapies decrease both

rebleeding and mortality in high risk patients with acute peptic ulcer bleeding: a series

of metaanalyses Gastroenterology. 2003. 123:A239.

24.

Anda mungkin juga menyukai