Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

TETANUS

I. Konsep Teori
A. Definisi
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai
gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium tetani, tetapi
akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman. Tetanus adalah penyakit infeksi
yang diakibatkan toksin kuman Clostridium Tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot
paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak
pada otot masseter dan otot-otot rangka.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tetanus adalah penyakit infeksi yang
diakibatkan oleh toksin kuman Clostridium tetani,yang ditandai dengan gejala kekakuan
dan kejang otot.(Ritharwan,2004)
B. Klasifikasi
Tetanus berdasarkan bentuk klinis dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Tetanus local: biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan
spasme pada bagian paroksimal luar. Gejala itu dapat menetap dalam beberapa
minggu dan menghilang.
2. Tetanus general: yang merupakan bentuk paling sering, biasanya timbul mendadak
dengan kaku kuduk, trismus, gelisah, mudah tersinggung daan sakit kepala
merupakan manifestasi awal. Dalam waktu singkat kontraksi otot somatic meluas.
Timbul kejang tetanik bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi
ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya, spasme berlangsung beberapa detik sampai
beberapa menit dan terpisah oleh periode relaksasi.

3. Tetanus segal: varian tetanus local yang jarang terjadi. Masa inkubasi 1-2 hari terjadi
sesudah otitis media atau luka kepala dan muka. Paling menonjol adalah disfungsi
saraf III, IV, VII, IX, dan XI tersering saraf otak VII diikuti tetanus umum.

Berdasarkan berat gejala dapat dibedakan menjadi 3 stadium, yaitu:


1. Trismus (3 cm) tanpa kejang torik umum meskipun dirangsang.
2. Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang torik umum bila dirangsang.

3. Trismus (1 cm) dengan kejang torik umum spontan.

C. Etiologi
Penyakit tetanus disebabkan oleh toksin kuman Clostridium tetani yang dapat masuk
melalui luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar, luka operasi yang tidak dirawat dan
tidak dibersihkan dengan baik, caries gigi, pemotongan tali pusat yang tidak steril, dan
penjahitan luka robek yang tidak steril. Penginfeksian kuman Clostridium tetani lebih
mudah bila klien belum terimunisasi.
D. Patofisiologi
Tetanus disebabkan oleh toksin kuman Clostridium tetani yang masuk melalui luka tusuk,
gigitan binatang, luka bakar, luka operasi yang tida dirawat dan tidak dibersihkan dengan
baik, caries gigi, pemotongan tali pusat yang tidak steril, dan penjahitan luka robek yang
tidak steril yang lebih beresiko bagi orang-orang yang belum terimunisasi.
Toksin kuman C. tetani berbentuk spora. Bentuk spora dalam suasana anaerob dapat
berubah menjadi kuman vegetatif yang menghasilkan eksotoksin. Toksin ini menjalar
intrakasonal sampai ganglin/simpul saraf dan menyebabkan hilangnya keseimbanngan
tonus otot sehingga terjadi kekakuan otot baik lokal maupun mnyeluruh. Bila toksin
banyak, selain otot bergaris, otot polos dan saraf otak juga terpengaruh.
E. Pathway
F. Manifestasi Klinik
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah
terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan
gejala umum:
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris
2. Kaku kuduk sampai epistotonus karena ketegangan otot-otot erector trunki

3. Ketegangan otot dinding perut

4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di kornu anterior

5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alias tertarik ke atas), sudut mulut tertarik
ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi

6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan (sering


merupakan gejala dini)

7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior dala
keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Keadaan tetap sadar,
spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi, kemudian tidak jelas lagi
dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan
intramuscular karena kontraksi yang kuat.

8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi
urine dapat terjadi karena spasme otot uretral. Fraktur kolumna vertebralis dapat pula
terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.

9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.

10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan
otak

G. Penatalaksanaan Tetanus
Penatalaksanaan pada klien dengan tetanus ada 2 macam yaitu farmakologi dan non-
farmakologi
1. Farmakologi
a. Antitoksin: antitoksin 20.000 1u/ 1.M/5 hari. pemberian baru diberikan setelah
dipastikan tidak ada reaksi hipersensitivitas.
b. Anti kejang (antikonvulsan)
1) Fenobarbital (luminal): 3 x 100 mg/1.M. Untuk anak diberikan mula-mula 60-
100 mg/1.M lalu dilanjutkan 6x30 mg/hari (max. 200mg/hari).
2) Klorpromasin: 3x25 mg/1.M/hari. Untuk anak-anak mula-mula 4-6 mg/kg BB.
3) Diazepam: 0,5-10 mg/kg BB/1.M/4 jam, dll.
c. Antibiotic: penizilin procain 1juta 1u/hari atau tetrasifilin 1gr/hari/1.V. Dapat
memusnahkan tetani tetapi tidak mempengaruhi proses neurologiknya.
2. Non-farmakologi
a. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya,
b. Diet TKTP. Pemberian tergantung kemampuan menelan. Bila trismus, diberikan
lewat sonde parenteral
c. Isolasi pada ruang yang tenang, bebas dari rangsangan luar.
d. Menjaga jalan nafas agar tetap efisien.
e. Mengatur cairan dan elektrolit.
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan tetanus meliputi:
1. Darah
Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang.
BUN: peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro
toksik akibat dari pemberian obat
Elektrolit (K, Na): ketidakseimbangan elektroit merupakan predisposisi kejang
kalium (normal 3,80-5,00 meq/dl).
2. Skull Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi.
3. EEG: teknik untuk menekan aktifitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk
mengetahui focus aktifitas kejang, hasil biasanya normal.
I. Komplikasi pada klien Tetanus
1. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) di rongga mulut.
Hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.
2. Asfiksia.
3. Atelektasis karena obstruksi secret

II. Konsep Asuhan Keperawatan Pasien Tetanus


A. Pengkajian
1. Riwayat penyakit sekarang, adanya luka parah, atau luka bakar
2. Imunisasi yang tidak adekuat
3. Riwayat penyakit dahulu
4. Riwayat penyakit keluarga
Selain pengkajian diatas diperlukan juga pengkajian pada B6 pada pasien persarafan
1. B1 (Breathing) Inspeksi ; apakah klien batuk, produksi sputum,
sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas dan peningkatan frekuensi pernafasan.
Palpasi ; taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi ; bunyi nafas tambahan
seperti ronkhi karena peningkatan produksi secret.
2. B2 (Blood) Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan
syok hipolemik. Tekanan darah normal, peningkatan heart rate, adanya anemis
karena hancurnya eritrosit.
3. B3 (Brain)
a. Tingkat kesadaran Compos mentis, pada keadaan lanjut mengalami penurunan
menjadi letargi, stupor dan semikomatosa.
b. Fungsi serebri Mengalami perubahan pada gaya bicara, ekspresi wajah dan
aktivitas motorik.
c. Pemeriksaan saraf cranial
1) Saraf I ; tidak ada kelainan, fungsi penciuman normal.
2) Saraf II ; ketajaman penglihatan normal.
3) Saraf III, IV dan VI ; dengan alasan yang tidak diketahui, klien mengalami
fotofobia atau sensitive berlebih pada cahaya.
4) Saraf V ; reflek masester meningkat. Mulut mecucu seperti mulut ikan (gejala
khas tetanus)
5) Saraf VII ; pengecapan normal, wajah simetris
6) Saraf VIII ; tidak ditemukan tuli konduktif dan persepsi.
7) Saraf IX dan X ; kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka
mulut (trismus).
8) Saraf XI ; didapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan leher
(mendadak)
9) Saraf XII ; lidah simetris, indra pengecap normal
d. Sistem motorik Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi
mengalami perubahan
e. Pemeriksaan refleks Refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat refleks pada respon normal.
f. Gerakan involunter Tidak ditemukan tremor, Tic, dan distonia. Namun dalam
keadaan tertentu terjadi kejang umum, yang berhubungan sekunder akibat area
fokal kortikal yang peka.
4. B4 (Bladder) Penurunan volume haluaran urine berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5. B5 (Bowel) Mual muntah karena peningkatan asam lambung,
nutrisi kurang karena anoreksia dan adanya kejang (kaku dinding perut / perut papan.
Sulit BAB karena spasme otot.
6. B6 (Bone) Gangguan mobilitas dan aktivitas sehari-hari karena
adanya kejang umum.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul adalah :
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
produksi sekret yang berlebihan pad ajalan nafas atas.
2. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang penanganan
penyakitnya berhubungan dengan keterbatasan informasi
3. Risiko terjadinya cedera fisik berhubungan dengan
serangan kejang berulang.
4. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan reaksi
eksotoksin
C. Perencanaan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan produksi sekret yang
berlebihan pada jalan nafas atas.
Bersihan Jalan nafas tidak efektif b.d penumpukan sekret pada jalan nafas
Tujuan : Jalan nafas bersih
Kriteria ;
Pernafasan spontan (hidung dan mulut)
RR 16-20 kali/mnt
Tidak ada sianosis

Rencana Tindakan Rasional


1. Monitor 1. Pernafasan merupakan karakteristik
tanda-tanda vital; terutama utama yang terpengaruh oleh adanya
pernafasan sumbatan jalan nafas
2. Pemantauan kepatenan jalan nafas
2. Monitor penting untuk menentukan tindakan
bersihan jalan nafas : sputum, yang perlu diambil
mulut, stridor, ronchii 3. Meminimalkan resiko sumbatan jalan
nafas oleh lidah dan sputum
3. Atur posisi 4. Merupakan mekanisme postural
klien : kepala hiperekstensi drainage, memfasilitasi pengeluaran
4. Atur posisi secret paru
klien : Trendelenburg 5. Rangsangan fisik dapat meningkatkan
mobilitas secret dan merangsang
pengeluaran secret lebih banyak
5. Lakukan 6. Eliminasi lendir dengan suction
fibrasi paru dan postural drainage sebaiknya dilakukan dalam jangka
waktu kurang dari 10 menit, dengan
pengawasan efek samping suction
6. Lakukan 7. Memastikan tindakan/prosedur yang
penghisapan lendir tiap 3 jam atau dilakukan telah mengurangi masalah
bila perlu pada klien
7. Evaluasi
hasil kegiatan tiap 3 jam atau bila
perlu

2. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang penanganan penyakitnya berhubungan


dengan keterbatasan informasi
Tujuan : Pengetahuan klien dan keluarga tentang penanganan penyakitnya dapat
meningkat.
Kriteria Hasil :
a. Klien dan keluarga dapat mengerti proses penyakit dan penanganannya
b. klien dapat diajak kerja sama dalam program terapi
c. klien dan keluarga dapat menyatakan melaksanakan penjelasan dan pendidikan
kesehatan yang diberikan.
INTERVENSI RASIONAL
1. Identifikasi 1. Tingkat pengetahuan penting untuk
tingkat pengetahuan klien dan modifikasi proses pembelajaran
keluarga orang dewasa.
2. Tidak memanipulasi klien sehingga
2. Hindari ada proses kemandirian yang
proteksi yang berlebihan terhadap terbatas.
klien , biarkan klien melakukan
aktivitas sesuai dengan 3. Kerja sama yang baik akan
kemampuannya. membantu dalam proses
3. Ajarkan pada penyembuhannnya
klien dan keluarga tentang 4. Status kesehatan yang baik
peraawatan yang harus dilakukan membawa damapak pertahanan
sema kejang tubuh baik sehingga tidak timbul
4. Jelaskan penyakit penyerta/penyulit
pentingnya mempertahankan status
kesehatan yang optimal dengan diit, 5. Efek samping yang ditemukan
istirahat, dan aktivitas yang dapat secara dini lebih aman dalam
menimbulkan kelelahan. penaganannya.
5. Jelasakan
tentang efek samping obat (gangguan 6. Kebersihan mulut dan gigi yang
penglihatan, nausea, vomiting, baik merupakan dasar salah satu
kemerahan pada kulit, synkope dan pencegahan terjadinya infeksi
konvusion) berulang.
6. Jaga
kebersihan mulut dan gigi secara
teratur

3. Risiko terjadinya cedera fisik berhubungan dengan serangan kejang berulang.


Tujuan : Klien tidak mengalami cedera selama perawatan
Kriteria hasil :
a. Klien tidak ada cedera akibat serangan kejang
b. klien tidur dengan tempat tidur pengaman
c. Tidak terjadi serangan kejang ulang.
d. Suhu 36 37,5 C , Nadi 60-80x/menit, Respirasi 16-20 x/menit
e. Kesadaran composmentis
INTERVENSI RASIONAL
1. Identifikasi dan hindari faktor 1. Penemuan faktor pencetus untuk
pencetus memutuskan rantai penyebaran toksin
tetanus.
2. Tempatkan klien pada tempat 2. Tempat yang nyaman dan tenang dapat
tidur yang memakai pengaman mengurangi stimuli atau rangsangan
di ruang yang tenang dan yang dapat menimbulkan kejang
nyaman 3. Efektivitas energi yang dibutuhkan untuk
3. Anjurkan klien istirahat metabolisme.
4. Lidah jatuh dapat menimbulkan
4. Sediakan disamping tempat obstruksi jalan nafas.
tidur tongue spatel dan gudel
untuk mencegah lidah jatuh ke
belakng apabila klien kejang 5. Tindakan untuk mengurangi atau
5. Lindungi klien pada saat mencegah terjadinya cedera fisik.
kejang dengan :
Longgarakn pakaian
Posisi miring ke satu sisi
Jauhkan klien dari alat yang
dapat melukainya
Kencangkan pengaman tempat
tidur
Lakukan suction bila banyak
sekret 6. Dokumentasi untuk pedoman dalam
6. Catat penyebab mulainya penaganan berikutnya.
kejang, proses berapa lama,
adanya sianosis dan
inkontinesia, deviasi dari mata
dan gejala-hgejala lainnya
yang timbul. 7. Tanda-tanda vital indikator terhadap
7. Sesudah kejang observasi TTV perkembangan penyakitnya dan
setiap 15-30 menit dan gambaran status umum klien.
obseervasi keadaan klien
sampai benar-benar pulih dari
kejang 8. Efek samping dan efektifnya obat
8. Observasi efek samping dan diperlukan motitoring untuk tindakan
keefektifan obat lanjut.
9. 9 dan 10 kompliksi kejang dapat terjadi
9. Observasi adanya depresi depresi pernafasan dan kelainan irama
pernafasan dan gangguan jantung.
irama jantung
10. Lakukan pemeriksaan
neurologis setelah kejang 11. Untuk mengantisipasi kejang, kejang
11. Kerja sama dengan tim : berulang dengan menggunakan obat
Pemberian obat antikonvulsan antikonvulsan baik berupa bolus, syringe
dosis tinggi pump.
pemberian antikonvulsan
(valium, dilantin,
phenobarbital)
Pemberian oksigen tambahan
Pemberian cairan parenteral
Pemeriksaan CT scan

4. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan reaksi oksitosin


Tujuan: suhu tubuh dalam batas normal setelah 2 jam tindakan
Kriteria Hasil
a. Suhu tubuh normal (36-370C)
b. Keringat Minimal
c. Klien tidak mengalami dehidrasi

Rencana Tindakan Rasional


1. Monitori 1. Observasi
saat timbulnya demam hasil untuk mengidentifikasi pola demam
2. Monitor 2. Acuan untuk
tanda-tanda vital tiap 3 jam mengetahui keadaan umum klien
atau lebih sering 3. Peningkatan
3. Berikan suhu tubuh mengakibatkan penguapan
kebutuhan cairan ekstra tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi
dengan asupan cairan yang banyak
4. Konduksi
4. Berikan suhu membantu menurunkan suhu tubuh
kompres dingin 5. Pakaian yang
tipis akan membantu mengurangi
5. Kenakan penguapan tubuh
pakaian minimal 6. Pemberian
caiaran sangat penting bagi klien dengan

6. Lanjutka suhu tinggi. Pemberian caiaran merupakan

n terapi cairan intravena RL wewenang dokter sehingga perawat perlu

Saline dan pemberian berkolaborasi dalam hal ini.

antipiretik

DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, F.B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:
Salemba.

Carpenito, L.J. 2007. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis. Edisi IX. Dialihbahasakan
oleh Kadar, Kusrini S, dkk. Jakarta: EGC.

Davey, Patrick (ed). 2008. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.

Doenges, Marilynn E. Moorhouse, M.F. dan Geissler, A.C. 2003. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi
III. Alih Bahasa: Kariasa, I Made. Jakarta: EGC

Ismanoe, G. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta: InternaPublishing.

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:
Salemba.

Nanda. 2008. Diagnosa Nanda [NIC & NOC]. Jakarta: Prima Medika

Rudolph, A.M. Hoffman, Julien I.E. dan Rudolph, Colin D. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Volume 1.
Edisi 20. Jakarta: EGC.

Tim Indeks. 2011. Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit. Dialihbahasakan oleh Paramita.
Jakarta: Indeks.

Zulkoni, A. 2011. Parasitologi untuk Keperawatan, Kesehatan Masyarakat dan Teknik Lingkungan.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai