Sejarah Prngumpulan Al-qur'An
Sejarah Prngumpulan Al-qur'An
: .
Artinya: Janganlah kamu menulis dariku selain Al-Quran, barangsiapa menulis selain
Al-Quran, maka hapuskanlah.
Rasulullah SAW menyuruh para penulis wahyu untuk mencatat setiap wahyu yang
diterimanya, sehingga Al-Quran yang terhimpun didalam dada mereka masing-masing
dialihkan kedalam bentuk tulisan. Terkadang para sahabat menulis ayat-ayat yang turun
kepada beliau, meskipun Rasulallah SAW tidak menyuruh mereka untuk menulis. Mereka
menuliskannya di media-media tertentu, antara lain:
Likhaf jama dari lukhfah, yaitu lempenan-lempengan batu
Al-Karnief jama dari kanaafah yaitu akar keras dari pohon saf
Riqa jama dari Riqah yaitu kulit
Al-Aqtab jama dari Qiatb, yaitu pelana kuda
Aktaf jama Katf, yaitu tulang keledai atau kambing yang telah kering
Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menuliskan
Al-Quran. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut.
Para sahabat senantiasa menyodorkan Al-Quran kepada Rasulullah baik dalam bentuk
hafalan maupun tulisan. Tulisan-tulisan Al-Quran pada masa Nabi tidak terkumpul dalam
satu mushaf, yang dimiliki oleh seseorang belum tentu dimiliki oleh seseorang yang lain.
Rasulullah berpulang ke Rahmatullah disaat Al-Quran telah dihafal dan tertulis dalam
mushaf dengan susunan seperti yang disebutkan diatas, ayat-ayat dan surah-surah dipisahkan,
atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembaran secara
terpisah dan dalam tujuh huruf, tetapi Al-Quran belum dikumpulkan dalam satu mushaf
yang menyeluruh (lengkap). Pada saat sebelum nabi wafat, belum diperlukan membukukan
Al-Quran dalam satu mushaf, sebab nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu
kewaktu. Sesudah berakhir masa turunnya al-quran dengan wafatnya Rasulullah, maka
Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para khulafaturrasyidiin
sesuai dengan janji-Nya yang benar kepada ummat tentang jaminan pemeliharaan Al-quran
dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar.
Sementara itu, upaya pengumpulan Al-Quran dalam arti penulisan juga sudah
ada masa itu, meskipun belum dalam kondisi yang seperti sekarang. Penulisannya
masih berfariasi dan dalam lembaran-lembaran yang terpisah atau dalam bentuk ukiran
pada beberapa jenis benda yang dapat mereka jadikan sebagai alas tulis-menulis ketika itu.
Setiap kali Nabi selesai menerima ayat-ayat Al-Quran yang diwahyukan kepadanya, Nabi
lalu memerintahkan kepada para shahabat tertentu untuk menuliskannya di samping
juga menghafalnya. Penulisan ayat-ayat al-Quran tidaklah seperti yang kita saksikan
sekarang. Selain karena mereka belum mengenal alat-alat tulis, al-Quran hanya ditulis
pada kepingan-kepingan tulang, pelepah korma, atau batu-batu tipis, sesuai dengan
peradaban masyarakat waktu itu.
Penertiban dan susunan ayat-ayat Al-Quran langsung diatur oleh Nabi Saw.
sendiri berdasar bimbingan Jibril yang menjadi perantara Allah. Dalam hal ini, para ulama
sepakat mengatakan bahwa cara penyusunan Al-Quran yang demikian itu adalah tauqify,
artinya susunan surah-surah dan ayat-ayat-ayat Al-Quran seperti yang kita saksikan di
berbagai mushaf sekarang adalah berdasarkan ketentuan dan petunjuk yang diberikan
Rasulullah sesuai perintah dan wahyu dari Allah Swt. Dengan demikian, tidak ada
tempat dan peluang ijtihad dalam penertiban dan penyusunannya.
Meskipun semua urutan surah dan ayat-ayatnya disusun berdasarkan kehendak dan
petunjuk Rasulullah, namun Nabi tidak memandang perlu untuk menghimpun ayat-ayat
yang ada pada setiap surah dalam berbagai shahifah karena jumlahnya tidak terhitung, di
samping juga tidak perlu menghimpun semua cara pencatatan Al-Quran di dalam satu
mushaf. Dengan demikian, penulisan Al-Quran pada masa Nabi itu tidak terkumpul
dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki oleh orang lain.
Akan tetapi yang jelas bahwa di saat Rasulullah berpulang ke rahmatullah, Al-Quran
telah dihafal dan ditulis dalam mushaf dengan susunan seperti yang disebutkan di atas. Ayat-
ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan setiap
surah berada dalam satu lembaran secara terpisah, dan penulisannya supaya
dipertimbangkan mencakup tujuh huruf yang menjadi landasan turunnya Al-Quran.
Adapun kepada para shahabatnya yang terpilih untuk menulis Al-Quran guna
memperkuat hafalan mereka. Di antara para penulis wahyu Al-Quran terkemuka
adalah shahabat pilihan yang ditunjuk Rasul dari kalangan orang yang terbaik dan
indah tulisannya seperti Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu
Sufyan dan Ubay bin Kaab. Apabila ayat turun, beliau memerintahkan mereka
menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan
Al-Quran pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati, atau Al-Quran yang
terhimpun di dalam dada akhirnya menjadi kenyataan tertulis.
Selain dari yang disebut diatas, masih banyak lagi para pencatat wahyu dari
kalangan shabahat yang menuliskan Al-Quran atas kemauan sendiri, tanpa diperintah
Nabi. Mereka pada saat itu menuliskannya pada lembaran kulit, daun-daunan, kulit
kurma, permukaan batu, pelepah kurma, tulang-belulang unta atau kambing yang telah
dikeringkan, dan mereka jadikan sebagai dokumen pribadinya. Diriwayatkan dari Zaid bin
Tsabit r.a bahwa ia berkata :
((
Artinya : Kami dahulu menulis (menyusun) ayat-ayat Al-Quran di hadapan
Rasulullah pada riqa.
Adapun yang dimaksud menyusun ayat-ayat Al-Quran pada riqa pada
hadits tersebut adalah mengumpulkan atau menyusun surah-surah dan ayat-ayat berdasar
petunjuk yang diberikan Rasulullah sesuai menurut apa yang dipesankan Allah
kepadanya.
B. Pada Masa Abu Bakar Al-Shiddiq
Hudzaifah berkata, Wahai Amirul Mu`minin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka
berselisih tentang al-Kitab (al-Qur`an) sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani.
Utsman kemudian mengutus seseorang kepada Hafshah agar Hafshah mengirimkan
lembaran-lembaran al-Qur`an yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin ke dalam
beberapa mushhaf, dan setelah itu akan dikembalikan lagi.
Utsman lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin al-Ash,
dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke dalam beberapa mushhaf.
Utsman bertanya, Siapa yang orang yang biasa menulis?
Utsman bertanya lagi, Lalu siapa oang yang paling pintar bahasa Arabnya?
Utsman kemudian berkata, Suruhlah Said untuk mendiktekan dan Zaid untuk
menuliskan al-Qur`an.
Saat proses penyalinan mushhaf berjalan, mereka hanya satu kali mengalami
kesulitan, yakni adanya perbedaan pendapat tentang penulisan kata at-Taabuut.
Seperti diketahui, yang mendiktekannya adalah Said bin al-Ash dan yang
menuliskannya adalah Zaid bin Tsabit. Semua dilakukan di hadapan para sahabat. Ketika
Said bin al-Ash mendiktekan kata at-Taabuut maka Zaid bin Tsabit menuliskannya
sebagaimana ditulis oleh kaum Anshar yaitu at-Taabuuh, karena memang begitulah menurut
bahasa mereka dan begitulah mereka menuliskannya. Tetapi anggota tim lain
memberitahukan kepada Zaid bahwa sebenarnya kata itu tertulis di dalam lembaran-lembaran
al-Qur`an dengan Ta` Maftuhah, dan mereka memperlihatkannya ke Zaid bin Tsabit. Zaid bin
Tsabit memandang perlu untuk menyampaikan hal itu kepada Utsman supaya hatinya
menjadi tenang dan semakin teguh. Utsman lalu memerintahkan mereka agar kata itu ditulis
dengan kata seperti dalam lembaran-lembaran al-Qur`an yaitu dengan Ta` Mahtuhah. Sebab
hal itu merupakan bahasa orang-orang Quraisy, lagi pula al-Qur`an diturunkan dengan bahasa
mereka. Akhirnya ditulislah kata tersebut dengan Ta` Maftuhah.
Demikianlah, mereka tidak berbeda pendapat selain dari perkara itu, karena mereka
hanya menyalin tulisan yang sama dengan yang ada pada lembaran-lembaran al-Qur`an, dan
bukan berdasarkan pada ijtihad mereka.
Pada masa berikutnya kaum muslimin menyalin mushhaf-mushhaf yang lain dari
mushhaf Utsmani tersebut dengan tulisan dan bacaan yang sama hingga sampai kepada kita
sekarang.
Adapun pembubuhan tanda syakal berupa fathah, dhamah, dan kasrah dengan titik
yang warna tintanya berbeda dengan warna tinta yang dipakai pada mushhaf yang terjadi di
masa Khalifah Muawiyah dilakukan untuk menghindari kesalahan bacaan bagi para
pembaca al-Qur`an yang kurang mengerti tata bahasa Arab. Pada masa Daulah Abbasiyah,
tanda syakal ini diganti.Tanda dhamah ditandai dengan dengan wawu kecil di atas huruf,
fathah ditandai dengan alif kecil di atas huruf, dan kasrah ditandai dengan ya` kecil di bawah
huruf.
Begitu pula pembubuhan tanda titik di bawah dan di atas huruf di masa Khalifah
Abdul Malik bin Marwandilakukan untuk membedakan satu huruf dengan huruf lainnya.
Dengan demikian, al-Qur`an yang sampai kepada kita sekarang adalah sama dengan
yang telah dituliskan di hadapan Rasulullah saw. Allah SWT telah menjamin terjaganya al-
Qur`an. Tidak ada orang yang berusaha mengganti satu huruf saja dari al-Qur`an kecuali hal
itu akan terungkap.