Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH PRNGUMPULAN AL-QURAN

Pengertian Pengumpulan Al-Quran


Untuk menyatukan persepsi tentang istilah pengumpulan Al-Quran, setidaknya ada dua
pengertian yang terakomodasi di dalamnya. Kedua pengertian itu mengacu kepada
isi makna jam'u Al-Quran (pengumpulan al-Quran), yaitu:
Pertama : Kata pengumpulan dalam arti penghafalannya di dalam lubuk hati, sehingga
orang-orang yang hafal Al-Quran disebut jumma'u al- Quran atau huffadz al-Quran.
Kedua : Kata pengumpulan dalam arti penulisannya, yakni perhimpunan seluruh Al-Quran
dalam bentuk tulisan, yang memisahkan masing-masing ayat dan surah, atau
hanya mengatur susunan ayat-ayat Al-Quran saja dan mengatur susunan semua ayat
dan surah di dalam beberapa Shahifah yang kemudian disatukan sehingga menjadi suatu
koleksi yang mencantumkan semua surah yang sebelumnya telah disusun satu demi satu.
Terhadap kedua pengertian akumulasi di atas dipahami dari firman Allah dalam
surat al-Qiyamah ayat 17:
Artinya : "Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah untuk mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya".
Dan juga firman-Nya dalam surat al-Hijr ayat 9:
Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Dzikra (Al-Quran), dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Dalam Al-Qur'an sendiri ada beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan
untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat
yang mencantumkannya:
Al-Kitab (Buku)
Al-Furqan (Pembeda benar salah)
Adz-Dzikr (pemberi peringatan)
Al-Mau'idhah (Pelajaran / nasihat)
Al-Hukm (Peraturan / hukum)
Al-Hikmah (Kebijaksanaan)
Asy-Syifa' (Obat/penyembuh)
Al-Huda (Petunjuk)
At-Tanzil (yang diturunkan)
En-Rahmat (Karunia)
R & Spirit (Roh)
Al-Bayan (Penerang)
Al-Kalam (Ucapan / firman)
Al-Busyra (Kabar gembira)
An-Nur (Cahaya)
Al-Basha'ir (Pedoman)
Al-Balaghah (Penyampaian / Fur)
Al-Qaul (kata / ucapan)
A. Pada Zaman Rasulullah SAW
Al-Quran sudah mulai dikumpulkan pada masa Rasulullah, bahkan sejak Al-Quran
diturunkan. Bahkan setiap Nabi menerima wahyu, Nabi Muhammad SAW. selalu
membacakannya didepan para sahabat, karena beliau memang diperintahkan Allah SWT
untuk mengajarkan Al-Quran kepada mereka.
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang sangat dirindukan oleh Nabi Muhammad
SAW. Sehingga kerinduan Nabi Muhammad SAW terhadap kedatangan wahyu tidak sengaja
diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu
penulisan Al-Quran pada masa Nabi Muhammad ditempuh dengan dua cara :
a) Pertama, al Jamu fis Sudur.
Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu turunnya wahyu dengan
rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya. Persis seperti dijanjikan Allah SWT dalam
surat Al-Qiyamah ayat 17, sebagai berikut :
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. (Q.S. Al-Qiyamah:17).
Oleh sebab itu, Nabi Muhammad SAW adalah hafiz (penghafal) Al-Quran pertama
dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dala menghafalnya, sebagai ralisasi
kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Setiap kali Nabi Muhammad
SAW menerima wahyu, para sahabt langsung menghafalnya diluar kepala.
a) Kedua, al Jamu fis Suthur.
Selain di hafal, Rasulullah juga mengangkat para penulis wahyu Al-Quran dari
sahabat-sahabat terkemuka seperti Ali, Muawiyah, Ubay bin Kab dan Zaid bin Sabit. Bila
ayat turun, beliau memerintahkan mereka menuliskan dan menunjukan tempat ayat
tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan didalam
hati.
Proses penulisan Al-Quran pada masa Nabi Muhammad SAW sangatlah sederhana.
Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang
belulang dan berbagai tempat lainnya. Selain para sekretaris Nabi Muhammad SAW tersebut,
para sahabat juga melakukannya tanpa sepengetahuan Nabi Muhammad SAW.
Pada tahap yang pertama, kita tahu bahwa sahabat-sahabat Nabi yang hafal Al-Quran
diluar kepala seperti Abdullah bin masud, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Kaab dan lain-lain.
Diantara faktor yang mendorong mereka menghafal Al-Quran adalah kecintaan mereka
terhadap Al-Quran dan penghargaan Nabi serta sahabat lainnya terhadap mereka yang
mempunyai hafalan banyak.
Berbeda halnya dengan pengertian yang kedua, yaitu menuliskan Al-Quran, maka
dalam periwayatan disebutkan bahwa nabi selalu menyuruh para sahabatnya menulis Al-
Quran segara setelah Al-Quran diturunkan. Mereka yang terlibat dalam penulisan wahyu
kurang lebih 40 orang, suatu jumlah yang cukup besar. Agar konsentrasi para sahabat hanya
kepada Al-Quran, maka nabi melarang para sahabatnya mencatat selain Al-Quran. . Beliau
ingin agar Al-Quran dan hadits tidak ditulis pada halaman kertas yang sama agar tidak
terjadi campur aduk serta kekeliruan. Dalam sebuah hadits disebutkan:

: .

Artinya: Janganlah kamu menulis dariku selain Al-Quran, barangsiapa menulis selain
Al-Quran, maka hapuskanlah.
Rasulullah SAW menyuruh para penulis wahyu untuk mencatat setiap wahyu yang
diterimanya, sehingga Al-Quran yang terhimpun didalam dada mereka masing-masing
dialihkan kedalam bentuk tulisan. Terkadang para sahabat menulis ayat-ayat yang turun
kepada beliau, meskipun Rasulallah SAW tidak menyuruh mereka untuk menulis. Mereka
menuliskannya di media-media tertentu, antara lain:
Likhaf jama dari lukhfah, yaitu lempenan-lempengan batu
Al-Karnief jama dari kanaafah yaitu akar keras dari pohon saf
Riqa jama dari Riqah yaitu kulit
Al-Aqtab jama dari Qiatb, yaitu pelana kuda
Aktaf jama Katf, yaitu tulang keledai atau kambing yang telah kering
Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menuliskan
Al-Quran. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut.
Para sahabat senantiasa menyodorkan Al-Quran kepada Rasulullah baik dalam bentuk
hafalan maupun tulisan. Tulisan-tulisan Al-Quran pada masa Nabi tidak terkumpul dalam
satu mushaf, yang dimiliki oleh seseorang belum tentu dimiliki oleh seseorang yang lain.
Rasulullah berpulang ke Rahmatullah disaat Al-Quran telah dihafal dan tertulis dalam
mushaf dengan susunan seperti yang disebutkan diatas, ayat-ayat dan surah-surah dipisahkan,
atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembaran secara
terpisah dan dalam tujuh huruf, tetapi Al-Quran belum dikumpulkan dalam satu mushaf
yang menyeluruh (lengkap). Pada saat sebelum nabi wafat, belum diperlukan membukukan
Al-Quran dalam satu mushaf, sebab nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu
kewaktu. Sesudah berakhir masa turunnya al-quran dengan wafatnya Rasulullah, maka
Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para khulafaturrasyidiin
sesuai dengan janji-Nya yang benar kepada ummat tentang jaminan pemeliharaan Al-quran
dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar.
Sementara itu, upaya pengumpulan Al-Quran dalam arti penulisan juga sudah
ada masa itu, meskipun belum dalam kondisi yang seperti sekarang. Penulisannya
masih berfariasi dan dalam lembaran-lembaran yang terpisah atau dalam bentuk ukiran
pada beberapa jenis benda yang dapat mereka jadikan sebagai alas tulis-menulis ketika itu.
Setiap kali Nabi selesai menerima ayat-ayat Al-Quran yang diwahyukan kepadanya, Nabi
lalu memerintahkan kepada para shahabat tertentu untuk menuliskannya di samping
juga menghafalnya. Penulisan ayat-ayat al-Quran tidaklah seperti yang kita saksikan
sekarang. Selain karena mereka belum mengenal alat-alat tulis, al-Quran hanya ditulis
pada kepingan-kepingan tulang, pelepah korma, atau batu-batu tipis, sesuai dengan
peradaban masyarakat waktu itu.
Penertiban dan susunan ayat-ayat Al-Quran langsung diatur oleh Nabi Saw.
sendiri berdasar bimbingan Jibril yang menjadi perantara Allah. Dalam hal ini, para ulama
sepakat mengatakan bahwa cara penyusunan Al-Quran yang demikian itu adalah tauqify,
artinya susunan surah-surah dan ayat-ayat-ayat Al-Quran seperti yang kita saksikan di
berbagai mushaf sekarang adalah berdasarkan ketentuan dan petunjuk yang diberikan
Rasulullah sesuai perintah dan wahyu dari Allah Swt. Dengan demikian, tidak ada
tempat dan peluang ijtihad dalam penertiban dan penyusunannya.
Meskipun semua urutan surah dan ayat-ayatnya disusun berdasarkan kehendak dan
petunjuk Rasulullah, namun Nabi tidak memandang perlu untuk menghimpun ayat-ayat
yang ada pada setiap surah dalam berbagai shahifah karena jumlahnya tidak terhitung, di
samping juga tidak perlu menghimpun semua cara pencatatan Al-Quran di dalam satu
mushaf. Dengan demikian, penulisan Al-Quran pada masa Nabi itu tidak terkumpul
dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki oleh orang lain.
Akan tetapi yang jelas bahwa di saat Rasulullah berpulang ke rahmatullah, Al-Quran
telah dihafal dan ditulis dalam mushaf dengan susunan seperti yang disebutkan di atas. Ayat-
ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan setiap
surah berada dalam satu lembaran secara terpisah, dan penulisannya supaya
dipertimbangkan mencakup tujuh huruf yang menjadi landasan turunnya Al-Quran.
Adapun kepada para shahabatnya yang terpilih untuk menulis Al-Quran guna
memperkuat hafalan mereka. Di antara para penulis wahyu Al-Quran terkemuka
adalah shahabat pilihan yang ditunjuk Rasul dari kalangan orang yang terbaik dan
indah tulisannya seperti Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu
Sufyan dan Ubay bin Kaab. Apabila ayat turun, beliau memerintahkan mereka
menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan
Al-Quran pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati, atau Al-Quran yang
terhimpun di dalam dada akhirnya menjadi kenyataan tertulis.
Selain dari yang disebut diatas, masih banyak lagi para pencatat wahyu dari
kalangan shabahat yang menuliskan Al-Quran atas kemauan sendiri, tanpa diperintah
Nabi. Mereka pada saat itu menuliskannya pada lembaran kulit, daun-daunan, kulit
kurma, permukaan batu, pelepah kurma, tulang-belulang unta atau kambing yang telah
dikeringkan, dan mereka jadikan sebagai dokumen pribadinya. Diriwayatkan dari Zaid bin
Tsabit r.a bahwa ia berkata :
((
Artinya : Kami dahulu menulis (menyusun) ayat-ayat Al-Quran di hadapan
Rasulullah pada riqa.
Adapun yang dimaksud menyusun ayat-ayat Al-Quran pada riqa pada
hadits tersebut adalah mengumpulkan atau menyusun surah-surah dan ayat-ayat berdasar
petunjuk yang diberikan Rasulullah sesuai menurut apa yang dipesankan Allah
kepadanya.
B. Pada Masa Abu Bakar Al-Shiddiq

Kaum muslimin melakukan konsensus untuk mengangkat Abu Bakar al-Shiddiq


sebagai khalifah sepeninggal Nabi Saw. Pada awal pemerintahan Abu Bakar, terjadi
kekacauan akibat ulah Musailamah al-Kazzab beserta pengikut-pengikutnya.Mereka menolak
membayar zakat dan murtad dari Islam. Pasukan Islam yang dipimpin Khalid bin al-Walid
segera menumpas gerakan itu. Peristiwa tersebut terjadi di Yamamah tahun 12 H. Akibatnya,
banyak sahabat yang gugur, termasuk 70 orang yang diyakini telah hafal al-Quran.
Setelah syahidnya 70 huffazh, sahabat Umar ibn Khattab meminta kepada khalifah
Abu Bakar, agar al-Quran segera dikumpulkan dalam satu mushaf.Dikhawatirkan al-Quran
itu secara berangsur-angsur hilang, seandainya al-Quran itu hanya dihafal saja, karena para
penghafalnya semakin berkurang.
Semula khalifah Abu Bakar itu ragu-ragu untuk mengumpulkan dan membukukan
ayat-ayat al-Quran, karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw. Tapi setelah beliau
shalat istikharah, kemudian beliau mendapat kesesuaian pendapat dengan usul sahabat Umar
bin Khattab.
Pada waktu munaqasyah antara khalifah Abu Bakar dengan sahabat Umar diundang
pula penulis wahyu pada zaman Rasul yang paling ahli yaitu Zaid bin Tsabit. Kemudian ia
menyetujui pula akan gagasan itu. lalu dibentuklah sebuah tim yang dipimpin Zaid bin Tsabit
dalam rangka merealisasikan mandat dan tugas suci tersebut. Pada mulanya, Zaid keberatan,
tetapi akhirnya juga dapat diyakinkan. Abu Bakar memilih Zaid bin Tsabit, mengingat
kedudukannya dalam qiraat, penulisan, pemahaman, dan kecerdasan serta kehadirannya pada
masa pembacaan Rasulullah Saw yang terakhir kalinya.
Zaid bin Tsabit melaksanakan tugas yang berat dan mulia tersebut dengan sangat hati-
hati di bawah petunjuk Abu Bakar dan Umar. Sumber utama dalam penulisan tersebut adalah
ayat-ayat al-Quran yang ditulis dan dicatat di hadapan Nabi Saw dan hafalan para
sahabat. Di samping itu, untuk lebih hati-hati, catatan-catatan dan tulisan al-Quran tersebut
baru benar-benar diakui berasal dari Nabi Saw bila disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.
Dalam rentang waktu kerja tim Zaid pernah suatu kali menjumpai kesulitan, mereka
tidak menemukan naskah ayat 128-129 surah at-Taubah:
.

Padahal, banyak sahabat penghafal al-Quran termasuk Zaid sendiri jelas-jelas


menghafal ayat tersebut.Akhirnya, naskah ayat tersebut ditemukan juga di tangan seorang
yang bernama Abu Khuzaimah al-Anshari.
Hasil kerja Zaid yang telah berupa mushaf al-Quran disimpan oleh Abu Bakar
sampai akhir hayatnya.Setelah itu berpindah ke tangan Umar ibn Khattab.Sepeninggal Umar
mushaf disimpan oleh Hafshah binti Umar.
Dari rekaman sejarah di atas, diketahui bahwa Abu Bakar adalah orang pertama yang
memerintahkan penghimpunan al-Quran. Umar bin al-Khattab adalah pelontar idenya serta
Zaid bin Tsabit adalah pelaksana pertama yang melakukan kerja besar penulisan al-Quran
secara utuh dna sekaligus menghimpunnya ke dalam satu mushaf.
Dalam masalah pengumpulan al-Quran ini, sedikitnya ada tiga pertanyaan yang perlu
mendapat perhatian:
1. Mengapa Abu Bakar ragu-ragu dalam masalah pengumpulan al-Quran padahal
masalahnya sudah jelas baik dan diwajibkan oleh Islam?
Hal ini karena Abu Bakar khawatir kalau-kalau orang mempermudah terhadap usaha
menghayati dan menghafal al-Quran, dan mencukupkan diri dengan hafalan yang tidak
mantap. Dan dikhawatirkan mereka hanya berpegang dengan apa yang ditulis pada mushaf,
sehingga akhirnya mereka lemah untuk menghafal al-Quran.
2. Mengapa Abu Bakar memilih Zaid bin Tsabit sebagai ketua?
Karena Zaid adalah orang yang betul-betul mempunyai pembawaan dan kemampuan yang
tidak dimiliki sahabat yang lain, dalam hal mengumpulkan al-Quran. Ia adalah sahabat yang
hafidz, ber-IQ tinggi, sekretaris wahyu yang menyaksikan sajian akhir wahyu, wara serta
besar tanggung jawabnya, lagi sangat teliti.
3. Apakah maksud kata-kata Zaid bin Tsabit: Sampai aku menemukan akhir surat at-
Taubah dari Abu Khuzaimah al-Anshari yang tidak ada pada orang lain.
Hal tersebut tidak berarti bahwa ayat ini tidak ada pada hafalan Zaid dan sahabat-
sahabat yang lain, karena mereka menghafalnya. Akan tetapi, beliau bermaksud hendak
mengkompromikan antara hafalan dan tulisan serta dalam rangka kehati-hatian.Dan karena
langkah lurus itulah, sempurna pulalah al-Quran.
Adapun karakteristik penulisan al-Quran pada masa Abu Bakar ini adalah:
1. Seluruh ayat al-Quran dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan
penelitian yang cermat dan seksama.
2. Meniadakan ayat-ayat al-Quran yang telah mansukh.
3. Seluruh ayat yang ada telah diakui kemutawatirannya.
4. Dialek Arab yang dipakai dalam pembukuan ini berjumlah 7 (qiraat) sebagaimana yang
ditulis pada kulit unta pada masa Rasulullah.
C. Pada Masa Utsman bin Affan
Kemudian datanglah masa pemerintahan Amirul Mu`minin Utsman bin Affan ra.
Di wilayah-wilayah yang baru dibebaskan, sahabat nabi yang bernama Hudzaifah bin al-
Yaman terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca al-Qur`an. Hudzaifah melihat
penduduk Syam membaca al-Qur`an dengan bacaan Ubay bin Kaab. Mereka membacanya
dengan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat
penduduk Irak membaca al-Qur`an dengan bacaan Abdullah bin Masud, sebuah bacaan
yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam. Implikasi dari fenomena ini adalah adanya
peristiwa saling mengkafirkan di antara sesama muslim. Perbedaan bacaan tersebut juga
terjadi antara penduduk Kufah dan Bashrah.
Hudzaifah pun marah.Kedua matanya merah.

Hudzaifah berkata, Penduduk Kufah membaca qiraat Ibnu Masud, sedangkan


penduduk Bashrah membaca qiraat Abu Musa. Demi Allah jika aku bertemu dengan Amirul
Mu`minin, sungguh aku akan memintanya untuk menjadikan bacaan tersebut menjadi satu.

Sekitar tahun 25 H, datanglah Huzaifah bin al-Yaman menghadap Amirul Mu`minin


Utsman bin Affan di Madinah.

Hudzaifah berkata, Wahai Amirul Mu`minin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka
berselisih tentang al-Kitab (al-Qur`an) sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani.
Utsman kemudian mengutus seseorang kepada Hafshah agar Hafshah mengirimkan
lembaran-lembaran al-Qur`an yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin ke dalam
beberapa mushhaf, dan setelah itu akan dikembalikan lagi.

Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran al-Qur`an itu kepada Utsman.

Utsman lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin al-Ash,
dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke dalam beberapa mushhaf.
Utsman bertanya, Siapa yang orang yang biasa menulis?

Dijawab, Penulis Rasulullah saw adalah Zaid bin Tsabit.

Utsman bertanya lagi, Lalu siapa oang yang paling pintar bahasa Arabnya?

Dijawab, Said bin al-Ash.

Utsman kemudian berkata, Suruhlah Said untuk mendiktekan dan Zaid untuk
menuliskan al-Qur`an.

Saat proses penyalinan mushhaf berjalan, mereka hanya satu kali mengalami
kesulitan, yakni adanya perbedaan pendapat tentang penulisan kata at-Taabuut.

Seperti diketahui, yang mendiktekannya adalah Said bin al-Ash dan yang
menuliskannya adalah Zaid bin Tsabit. Semua dilakukan di hadapan para sahabat. Ketika
Said bin al-Ash mendiktekan kata at-Taabuut maka Zaid bin Tsabit menuliskannya
sebagaimana ditulis oleh kaum Anshar yaitu at-Taabuuh, karena memang begitulah menurut
bahasa mereka dan begitulah mereka menuliskannya. Tetapi anggota tim lain
memberitahukan kepada Zaid bahwa sebenarnya kata itu tertulis di dalam lembaran-lembaran
al-Qur`an dengan Ta` Maftuhah, dan mereka memperlihatkannya ke Zaid bin Tsabit. Zaid bin
Tsabit memandang perlu untuk menyampaikan hal itu kepada Utsman supaya hatinya
menjadi tenang dan semakin teguh. Utsman lalu memerintahkan mereka agar kata itu ditulis
dengan kata seperti dalam lembaran-lembaran al-Qur`an yaitu dengan Ta` Mahtuhah. Sebab
hal itu merupakan bahasa orang-orang Quraisy, lagi pula al-Qur`an diturunkan dengan bahasa
mereka. Akhirnya ditulislah kata tersebut dengan Ta` Maftuhah.

Demikianlah, mereka tidak berbeda pendapat selain dari perkara itu, karena mereka
hanya menyalin tulisan yang sama dengan yang ada pada lembaran-lembaran al-Qur`an, dan
bukan berdasarkan pada ijtihad mereka.

Setelah mereka menyalin lembaran-lembaran tersebut ke dalam mushhaf, Utsman


segara mengembalikannya kepada Hafshah.

Utsman kemudian mengirimkan salinan-salinan mushhaf ke seluruh wilayah negeri


Islam agar orang-orang tidak berbeda pendapat lagi tentang al-Qur`an. Jumlah salinan yang
telah dicopy sebanyak tujuh buah. Tujuh salinan tersebut dikirimkan masing-masing satu
copy ke kota Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah dan Madinah. Mushhaf inilah
yang kemudian dikenal dengan nama Mushhaf Utsmani.
Utsman kemudian memerintahkan al-Qur`an yang ditulis oleh sebagian kaum
muslimin yang bertentangan dengan Mushhaf Utsmani yang mutawatir tersebut untuk
dibakar.

Pada masa berikutnya kaum muslimin menyalin mushhaf-mushhaf yang lain dari
mushhaf Utsmani tersebut dengan tulisan dan bacaan yang sama hingga sampai kepada kita
sekarang.

Adapun pembubuhan tanda syakal berupa fathah, dhamah, dan kasrah dengan titik
yang warna tintanya berbeda dengan warna tinta yang dipakai pada mushhaf yang terjadi di
masa Khalifah Muawiyah dilakukan untuk menghindari kesalahan bacaan bagi para
pembaca al-Qur`an yang kurang mengerti tata bahasa Arab. Pada masa Daulah Abbasiyah,
tanda syakal ini diganti.Tanda dhamah ditandai dengan dengan wawu kecil di atas huruf,
fathah ditandai dengan alif kecil di atas huruf, dan kasrah ditandai dengan ya` kecil di bawah
huruf.
Begitu pula pembubuhan tanda titik di bawah dan di atas huruf di masa Khalifah
Abdul Malik bin Marwandilakukan untuk membedakan satu huruf dengan huruf lainnya.
Dengan demikian, al-Qur`an yang sampai kepada kita sekarang adalah sama dengan
yang telah dituliskan di hadapan Rasulullah saw. Allah SWT telah menjamin terjaganya al-
Qur`an. Tidak ada orang yang berusaha mengganti satu huruf saja dari al-Qur`an kecuali hal
itu akan terungkap.

Allah SWT berfirman:


Innaa nahnu nazzalnadz dzikra wa innaa laHu lahaafizhuun
Artinya:
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]: 9)

Anda mungkin juga menyukai