Pengantar Hukum Indonesia Bab IV
Pengantar Hukum Indonesia Bab IV
BAB IV
BENTUK-BENTUK PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar adalah Konstitusi negara yang tertulis, sebagai hukum dasar
yang tertinggi dalam suatu negara. Undang-Undang Dasar merupakan hukum dasar yang
tertinggi atau sebagai dasar hukum yang tertinggi bagi peraturan perundang-undangan di
bawahnya. Dengan demikian peraturan perundang-undangan dibawahnya tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar;
Undang-undang adalah peraturan hukum atau keputusan hukum yang dibuat oleh
Eksekutip (pemerintah) bersama-sama dengan parlemen atau legislatif (DPR) untuk
melaksanakan dan menjabarkan aturan-aturan yang diatur dalam UUD. Undang-undang ini
sebagai pelaksana UUD.
Setelah keadaan darurat atau kegentingan yang memaksa berakhir, Perpu harus diajukan
ke DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR. Apabila Perpu masih dianggap perlu oleh DPR
untuk kepentingan masyarakat, maka Perpu kemudian ditetapkan sebagai undang-undang,
tetapi apabila tidak diperlukan atau bertentangan dengan UUD maka perpu dinyatakan tidak
berlaku atau harus dicabut oleh Presiden.
Peraturan pemerintah adalah peraturan hukum atau keputusan hukum yang dibuat oleh
Pemerintah (eksekutif) untuk melaksanakan undang-undang agar berlaku secara riil dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap masyarakat;
Peraturan Daerah adalah peraturan hukum atau keputusan hukum yang dibuat oleh
Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di
daerah. Peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 sampai pada tahun 1973 berlakunya tetap dipertahankan
dengan ditetapkannya Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 tentang Tata Urutan Peraturan
Perundangan R.I.
Ketetapan MPR No. V/MPR/ 1973 keberlakuannya masih dipertahankan oleh MPR
dengan ditetapkannya menjadi Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978. Setelah tahun 2000 Ketetapan
MPR No. IX/MPR/1978 dinyatakan tidak berlaku atau dicabut dengan diberlakukannya
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000.
Setelah reformasi, maka pada tahun 2000, MPR menetapkan Ketetapan MPR RI No.
III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urut-urutan peraturan perundang-undangan.
Menurut Pasal 2 Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 disebutkan bahwa, Tata Urut-urutan
Peraturan Perundang-undangan RI adalah sebagai berikut:
1) Peraturan Daerah Propinsi yang dibuat oleh DPRD Propinsi bersama dengan Gubernur.
2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama dengan
Bupati/Walikota.
3) Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama
lainnya bersama dengan Kepala Desa/nama lainnya.
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 7 ayat (4).
Menurut Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 bahwa, kekuatan hukum
Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada
Pasal 7 ayat (1).
Keberadaan hak uji undang-undang oleh hakim terhadap undang-undang yang lebih
tinggi atau toetsingsrecht (Belanda) atau judicial review (Inggris) ini berkaitan dengan adanya
asas undang-undang tidak dapat diganggu gugat (onschendbaar), artinya undang-undang
tidak boleh diuji atau dinilai oleh siapapun termasuk oleh hakim. Pengujian oleh hakim
diperbolehkan apabila diatur oleh undang-undang atau kostitusi.
Menurut teori hukum, ada dua macam hak menguji undang-undang (toetsingsrecht atau
judicial review) oleh hakim, yaitu : pertama, hak menguji undang-undang secara formal (formele
toetsingsrecht atau formal judicial review); kedua, hak menguji undang-undang secara material
(materiele toetsingsrecht atau materiel judicial review).
Hak Uji Formal (formele toetsingsrecht) adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu
produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (prosedur)
sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
tidak.[1]
Hak Uji Material (materiele toetsingsrecht) adalah suatu wewenang untuk menyelidiki
dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-udangan isinya sesuai atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan
tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.[2]
Definisi dari Sri Sumantri tersebut dapat disimpulkan atau sebagai pendapat penulis
adalah :
Hak Uji Formal Undang-Undang (formele toetsingsrecht atau formal judicial review)
adalah kewenangan hakim untuk menguji atau menilai apakah suatu undang-undang prosedur
pembentukannya sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan adalah mencakup
kewenangan yang membuat peraturan perundang-undangan, prosedur atau cara pembuatannya
dan pengundangannya.
Hak Uji Material Undang-Undang (materiele toetsingsrecht atau materiel judicial review)
adalah kewengan hakim untuk menguji atau menilai undang-undang apakah isinya
bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Isi suatu
undang-undang mencakup materi norma dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang.
Berdasarkan Pasal 24A dan Pasal 24 C UUD 1945, kemudian dikeluarkan atau
diberlakukan Undang-undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK), dan
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 yang kemudian diubah menjadi Undang-undang No. 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK), serta Undang-undang No. 5 Tahun 2004
yang kemudian diubah menjadi Undang-undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung
(UUMA).
Pasal 11 ayat (2) huruf b. UUKK jo, Pasal 31 ayat (1) UUMA mengatur kewenangan
Mahkamah Agung melakukan hak uji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang.
Selanjutnya dalam Pasal 31 ayat (2) UUMA ditentukan bahwa Mahkamah Agung
menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau pembentukannya
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Dari Pasal 31 ayat (2) UUMA dapat diketahui bahwa Mahkamah Agung mempunyai
kewenangan hak uji undang-undang (judicial review) baik hak uji material maupun hak uji
formal.
Selain melakukan hak uji material, Mahkamah Agung berwenang pula melakukan hak
uji formal yaitu kewenangan Mahkamah Agung menguji atau menilai prosedur dan
kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, apakah
memenuhi atau tidak dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dengan kata lain hak uji formal peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah
Agung adalah kewenangan Mahkamah Agung menguji atau menilai apakah pembentukan
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bertentangan atau tidak dengan
ketentuan yang berlaku.
Di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi
mempunyai kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Pasal 24C UUD 1945 ini kemudian diatur lebih lanjut di dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a.
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 yang kemudian diubah menjadi Undang-undang No. 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) dan di dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK).
Dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a. UUKK menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
menguji undang-undang terhadap UUD R.I. 1945. Demikian pula di dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf a. UU. No 24 Tahun 2003 (UUMK) menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : menguji
undang-undang terhadap UUD R.I. 1945.
Selanjutnya di dalam Pasal 51 ayat (3) UUMK ditentukan bahwa pemohon hak uji wajib
menguraikan dengan jelas mengenai pembentukan undang-undang yang tidak memenuhi
ketentuan UUD 1945, dan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
yang bertentangan dengan UUD RI 1945.
Selain diatur dalam Pasal 51 ayat (3), menurut Pasal 56 jo Pasal 57 ayat (1 dan 2) UUMK,
Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan melakukan hak uji undang-undang terhadap
UUD 1945, baik mengenai materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang maupun
pembentukannya apabila bertentangan dengan UUD RI 1945.
Dari ketentuan Pasal 24C UUD 1945, jo. Pasal 12 ayat (1) UUKK jo. Pasal 10 ayat (1) jo.
Pasal 51 ayat (3) jo. Pasal 56 jo. Pasal 57 ayat (1 dan 2) UUMK tersebut dapat diketahui bahwa
Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan melakukan hak uji undang-undang terhadap
UUD 1945 atau yang dikenal dengan pengujian konstitusional (constitutional review).
Hak uji material (materiel constitutional review) oleh Mahkamah Konstitusi, adalah
kewenangan Mahkamah Konsitusi menguji atau menilai materi muatan dalam ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang jika bertentangan dengan UUD RI 1945. Dengan kata lain
adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji atau menilai undang-undang, apakah isinya
bertentangan ataukah tidak dengan UUD RI 1945. Adapun hak uji formal (formal constitutional
review), artinya adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji atau menilai prosedur dan
kewenangan pembentukan undang-undang, apakah memenuhi atau tidak menurut ketentuan
pembentukan berdasarkan UUD RI 1945. Dengan kata lain adalah kewenangan hakim
Mahakamah Konstitusi menguji atau menilai, apakah pembuatan atau pembentukan undang-
undang sesuai atau tidak dengan ketentuan UUD RI 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap, sah dan mengikat
sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum (Pasal 28 ayat (5 dan 6) jo Pasal
47 UUMK).
Undang-undang yang diuji (material maupun formal) oleh Mahkamah Konstitusi tetap
berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan
dengan UUD RI 1945 (Pasal 58 UUMK).
Dengan demikian menurut UUD 1945, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, dan
Undang Undang Mahkamah Konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan uji
undang-undang terhadap UUD (constitutional review).
Constitutional review merupakan bagian judicial review apabila dilakukan oleh hakim
atau lembaga pengadilan atau judicial (judiciary). Jika constitutional review tidak dilakukan
oleh hakim atau lembaga judicial (judiciary), maka constitutional review tidak dapat disebut
judicial review.
Mengenai istilah atau pengertian hak uji atau toetsingsrecht (bahasa Belanda) ini, oleh
Jimly Asshiddiqie dibedakan antara toetsingsrecht, judicial review, juicial preview,
legislative review, executive review, constitutional review.
Menurut Jimly, hak atau kewenangan menguji atau hak menguji atau hak uji dalam
bahasa Belandanya disebut toetsingsrecht. Jika hak uji (toetsingsrecht) itu diberikan kepada
hakim, maka namanya adalah judicial review atau review oleh lembaga peradilan. Jika
kewenangan menguji diberikan kepada lembaga legislative, maka namanya bukan judicial
review melainkan legislative review. Jika yang melakukan pengujian itu adalah pemerintah,
maka namanya tidak lain adalah executive review, bukan judicial review.[5]
Jika pengujian dilakukan terhadap norma hukum yang bersifat abstrak dan umum
(general and abstract norms) secara a posteriori, maka pengujian dapat disebut sebagai
judicial review, tetapi jika pengujian itu bersifat a priori yaitu terhadap rancangan undang-
undang yang telah disahkan oleh parlemen tetapi belum diundangkan sebagaimana mestinya,
maka namanya bukan judicial review, melainkan judicial preview. Jika ukuran pengujian itu
dilakukan dengan menggunakankonstitusi sebagai alat pengukur, maka pengujian semacam
itu disebut seagai constitutional review atau pengujian konstitusional, yaitu pengujian
mengenai konstitusionalitas dari norma hukum yang sedang diuji (judicial review on the
constitutionality of law).
Masih menurut Jimly Asshiddiqie, apabila norma yang diuji itu menggunakan undang-
undang sebagai batu ujinya (maksudnya alat pengukur), seperti hak uji yang dilakukan oleh
Mahakamah Agung berdasarkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 berwenang menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang, maka pengujian itu tidak dapat disebut
constitutional review, melainkanjudicial review on the legality of regulation.[6]
Dari uraian di muka dapat disimpulkan bahwa menurut hukum positif Indonesia (UUD
1945, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Mahakamah Konstitusi, dan
Undang-Undang Mahkamah Agung), Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-
undang terhadap UUD 1945 (constitutional review), dan Mahkamah Agung berwenang menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang (judicial
review atau toetsingsrecht).