2. 2. terjadi, terutama bila aliran listrik hanya diberikan kepada belahan otak
yang tidak dominant (nondominan hemisphere). Empat sampai enam kali
pengobatan semacam ini biasanya dilakukan dalam jangka waktu 2 minggu.
Akan tetapi, ECT ini tidak cukup berhasil untuk penyembuhan schizophrenia,
namun lebih efektif untuk penyembuhan penderita depresi tertentu
(Atkinson, et al.,1991). Berdasarkan pemaparan di atas, maka dipandang
perlu untuk membahas lebih jauh dan lebih mendalam lagi mengenai Terapi
ECT tersebut. B. Tujuan Tujuan penulisan makalah ini yaitu: 1. Untuk
memenuhi tugas dalam kriteria standar penilaian Mata Kuliah Kep. Jiwa I yang
diberikan secara berkelompok, 2. Membahas tentang pengertian terapi ECT,
3. Menbahas tujuan dari pemberian terapi ECT, 4. Menjelaskan Indikasi dan
Kontra Indikasi dari Terapi ECT, 5. Menjelaskan Cara Pelaksanaan Terapi ECT,
dan C. Permasalahan Berdasarkan tujuan di atas, maka yang menjadi
permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu mengenai: a.
Pengertian Terpi ECT, b. Tujuan Terapi, c. Indikasi dan Kontra Indikasi, d. Cara
pelaksanaan, dan 2
10.10. DAFTAR PUSTAKA Dalami, Ermawati dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Klien
Dengan Gangguan Jiwa. Jakarta : Trans Info Media Maramis, W.F. 1994. Ilmu
Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press Baihaqi, MIF. 2007.
Psikiatri. Bandung : PT Refika Aditama http://wir-
nursing.blogspot.com/2011/03/elektro-convulsif-therapie-ect.html
http://www.news-medical.net/health/Electroconvulsive-Therapy-Side-Effects
%28Indonesian%29.aspx www.google.com/.../anonim/ECT/ 10
11.11. Tugas Makalah : Keperawatan Jiwa Dosen :Ns. Asmlai, S.Kep. TERAPI ECT
OLEH: K ELO M P O K 2 La Ode Muh. Tahir Lili Asmin Kuntnasia Sekartini La
Ode Rajmat L La Adi Muh. Aswin La Are Mulya Haratama La Hapiah Nurdin
Kowa La Ode Amsir Nurhidayah La Ode Ifan Rufi Nuriatil Jannah La Ode Muh.
Acal Mansiri Nurni La Ode Muh. Saleh Nurul Fitriani Ningsih La Ode Muh.
Anabati Puji Hastuti AKADEMI KEPERAWATAN PEMKAB. MUNA 2011. 11
12.12. KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,
karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya serta taufiknya, akhirnya kami
dapat menyelesaikan tugas Mata Kuliah Kep. Jiwa I yang berjudul Terapi
ECT. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas yang merupakan salah satu
standar atau kriteria penilaian dari Mata Kuliah Kep. Jiwa I yang telah
dipercayakan kepada kelompok kami yakni Kelompok 2. Kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada Ibu Ns. Asmalia, S.Kep. Selaku salah satu dosen
pembimbing mata kuliah Kep. Jiwa I di Akper Pemkab. Muna yang telah
banyak membimbing dan mengarahkan kami sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini. Tak lupa pula kami juga mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu kami dalam
menyelasaikan tugas makalah ini. Kami menyadari kekurangan kami sebagai
manusia biasa dan oleh karena keterbatasan sumber referensi yang kami
miliki sehingga kiranya dalam makalah ini masih banyak terdapat kesalahan,
kekeliruan, dan kekurangan baik dalam penyusunan maupun isinya. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan adanya saran dan kritik dari Ibu
Dosen Pembimbing dan dari pihak-pihak lain atau sesama teman mahasiswa
untuk dapat menambahkan sesuatu yang kiranya dianggap masih kurang
atau memperbaiki sesuatu yang dianggap salah dalam tulisan ini. Akhirnya
kami mengucapkan banyak terima kasih. Dan semoga makalah ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi kita semua sebagai bahan tambahan
pengetahuan untuk lebih memperluas wawasan kita dalam ilmu
Keperawatan. Raha, Desember 2011. Penyusun. 12
A. MASALAH UTAMA
Gangguan Persepsi sensori halusianasi.
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Pengertian
- Menurut Cook dan Fotaine (1987), halusinasi adalah persepsi sensorik tentang suatu objek,
gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi
semua sistem penginderaan (pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan atau pengecapan).
- Menurut Wilson (1983), halusinasi adalah gangguan penyerapan/persepsi panca indera tanpa
adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada
saat kesadaran individu itu penuh dan baik.
- Halusianassi adalah keadaan dimana individu / keloimpok beresiko mengalami suatu
perubahan dalam jumlah dan pola stimulasi yang datang (Carpenito, 2000).
2. Tanda dan Gejala
Fase I (Menyenangkan)
Karakteristik :
- Mengalami ansietas, rasa bersalah dan ketakutan
- Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan rasa cemas
- Perilaku dan pengalaman sensori masih dalam kontrol pikiran
- Non psikotik
Perilaku pasien :
- Tersenyum sendir, tertawa sendiri
- Menggerakkan bibir tanpa bicara, respon verbal lambat
- Diam dan berkonsentrasi
Fase II (Menyalahkan)
Karakteristik :
- Adanya pengalamn sensori yang menakutkan
- Mulai merasa kehilangan kontrol
- Merasa dilecehakan oleh pengalaman, menarik diri
- Non psikotik
Perilaku pasien :
- Meningkatnya denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah
- Perhatian dengan lingkungan kurang
- Konsentrasi terhadap pengalaman sensori
- Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi
Fase III (Konsentrasi)
- Bisikan dan suara-suara menonjol, menguasai dan mengontrol
- Tingkat kecemasan berat
- Pengalaman halusianasi tidak dapat ditolak lagi
Karakteristik :
- Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya
- Klien kesepian bila pengalaman sensori berakhir
- Isu halusianasi menjadi atraktif dan menarik
- Klien terbiasa dengan halusinasinya dan tidak berdaya
- Psikotik
Perilau Pasien :
- Perintah halusinasi ditaati
- Sulit berhubungan dengan orang lain
- Perhatian dengan lingkungan berkurang
- Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tampak tremor dan berkeringat
Fasse IV (Menguasai)
Karakteristik :
- Pengalaman sensori menakutkan dan mengancam
- Klien tidak berdaya, hilang kontrol, dan tidak dapat berhubungan dengan lingkungan
- Halusinasi berakhir dalam beberapa jam atau hari jika tidak ada terapi terapeutik
- Psikotik berat
Perilaku Pasien :
- Perilaku panik, potensi akut suicide
- Aktifitas fisik merefleksikan halusinasi
- Tidak mampu berespon pada lebih dari satu orang
- Tidak bisa berespon terhadap perintah yang kompleks
3. Etiologi
Faktor prdisposisi :
- Faktor genetik
- Faktor Neurobiology
- Studi Neurotransmiter
- Psikologis
Faktor Presipitasi :
- Sosial budaya
- Stres lingkungan respon neurobiologis maladaptif
Penuh kritik
Kehilangan harga diri
Gangguan hubungan interpersonal
Tekanan ekonomi
4. Akibat
Klien yang mengalami halusinasi sukar untuk mengontrol diri dan sukar untuk
berhubungan dengan orang lain. Apabila perilaku halusiansinya berupa hal yang tidak
menyenagkan maka akan mengakibatkan individu tersebut melakukan atau mencederai orang
lain dan lingkungan. (PPNI, 2002).
C. POHON MASALAH
Effect : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkunga
Core Problem : Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi
Causa : Isolasi sosial : Menarik diri
E. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan persepsi sensori halusinasi (lihat, dengar, raba, kecap, bau)
2. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain
3. Isolasi sosial : menarik diri
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall, 2000. Diagnosa kepoerawatan Aplikasi pada praktis klinis (terjemahan).
Edisi 6. Jakarta : EGC.
Maramis, W.F, 1990. Ilmu Kedokteran Jiwa, Erlangga Universitas Press, Surabaya.
Rasmun, 2001. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi dengan Keluarga, Jakarta :
CV. Sagung Seto.
Stuart & Sunden, 1998. Pocket Guide to Psychiatric Nursing. Jakarta : EGC.
I. MASALAH UTAMA :
A. Pengertian
Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak berarti, rendah diri,
yang menjadikan evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri
(keliat, 2011). Harga diri rendah situasional merupakan perkembangan persepsi
negatif tentang harga diri sebagai respons seseorang terhadap situasi yang sedang
dialami.
(Wilkinson, 2012).
Harga diri rendah merupakan evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negative terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan
harga diri, merasa gagal dalam mencapai keinginan(Herman, 2011). Gangguan
harga diri dapat dijabarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri,
yang menjadikan hilangnya rasa percaya diri seseorang karena merasa tidak
mampu dalam mencapai keinginan.
(Fitria, 2009).
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa harga diri rendah yaitu dimana
individu mengalami gangguan dalam penilaian terhadap dirinya sendiri dan
kemampuan yang dimiliki, yang menjadikan hilangnya rasa kepercayaan diri
akibat evaluasi negatif yang berlangsung dalam waktu yang lama karena merasa
gagal dalam mencapai keinginan.
B. Klasifikasi
Gangguan harga diri yang disebut sebagai harga diri rendah dan dapat terjadi
secara :
1. Situasional
b. Harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai
karena dirawat/ sakit/ penyakit.
2. Kronik
Yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu sebelum
sakit/ dirawat. Klien ini mempunyai cara berfikir yang negatif. Kejadian
sakit dan dirawat akan menambah persepsi negatif terhadap dirinya.
Kondisi ini mengakibatkan respons yang maladaptive. Kondisi ini dapat
ditemukan pada klien gangguan fisik yang kronis atau pada klien
gangguan jiwa. Dalam tinjauan life span history klien, penyebab HDR
adalah kegagalan tumbuh kembang, misalnya sering disalahkan, kurang
dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak diterima dalam kelompok
(Yosep, 2007).
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan
terhadap penyakit. Misalnya : malu dan sedih karena rambut jadi botak
setelah mendapat terapi sinar pada kanker
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri. Misalnya : ini tidak akan terjadi jika
saya segera ke rumah sakit, menyalahkan/ mengejek dan mengkritik diri
sendiri.
4. Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri. Klien tidak ingin bertemu
dengan orang lain, lebih suka sendiri.
6. Mencederai diri. Akibat harga diri yang rendah disertai harapan yang
suram, mungkin klien ingin mengakhiri kehidupan.
E. Akibat
Harga diri rendah dapat membuat klien menjdai tidak mau maupun tidak mampu
bergaul dengan orang lain dan terjadinya isolasi sosial : menarik diri. Isolasi sosial
menarik diri adalah gangguan kepribadian yang tidak fleksibel pada tingkah laku
yang maladaptive, mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial
(DEPKES RI, 1998 : 336).
Tanda dan gejala :
1. Data Subyektif :
2. Data Obyektif :
b. Apatis
F. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
2. Terapi modalitas
a. Terapi keluarga
BHSP
b. Terapi kelompok
3. Terapi musik
Dengan musik klien terhibur,rileks dan bermain untuk mengebalikan
kesadaran klien
G. Pohon Masalah
H. Diagnosa Keperawatan
J. DAFTAR PUSTAKA
1. Fitria Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Homepage RSS
Search:
ABOUT ME
MOTTO
A. PENGERTIAN
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (fitria,
2009).
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba
dkk, 2008).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri, maupun orang lain (Yoseph, 2007).
Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi mengakibatkan seseorang stress berat, membuat
orang marah bahkan kehilangan kontrol kesadaran diri, misalkan: memaki-maki orang
disekitarnya, membanting-banting barang, menciderai diri dan orang lain, bahkan membakar
rumah.
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO (dalam
Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman
atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang
mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian
psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak
Menurut Townsend (2000), amuk (aggresion) adalah tingkah laku yang bertujuan untuk
mengancam atau melukai diri sendiri dan orang lain juga diartikan sebagai perang atau
menyerang
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah
yang tidak konstruktif
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993).
B. PENYEBAB
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori biologik,
teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk,
2008) adalah:
a. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem limbik, lobus
frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau
menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi,
perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau
menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu
tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.
Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat
otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
2) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan serotonin)
sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten
dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap
stress.
3) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan genetik
karyotype XYY.
4) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan.
Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang
menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus
temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman
dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan
memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
2) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua mereka
sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh,
atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal
tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan
yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang
dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka
dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
c. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap perilaku
agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara
untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan,
apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara
konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk
perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup
individu.
2. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan (Yosep,
2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah
konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog
untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya sebagai
seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak
mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
F. PROSES MARAH
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus dihadapi oleh
setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak
menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan. Berikut ini
digambarkan proses kemarahan :(Beck, Rawlins, Williams, 1986, dalam Keliat, 1996)
Melihat gambar di atas bahwa respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3 cara
yaitu : Mengungkapkan secara verbal, menekan, dan menantang. Dari ketiga cara ini cara
yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara yang lain adalah destruktif.
Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa bermusuhan, dan bila
cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan dapat diekspresikan pada diri sendiri dan
lingkungan dan akan tampak sebagai depresi dan psikomatik atau agresif dan ngamuk.
Pathway/ Patoflowdiagram
G. PERILAKU
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan
Perilaku Kekerasan
H. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan
untuk melindungi diri. (Stuart dan Sundeen, 1998).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya ancaman.
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara lain :
(Maramis, 1998)
Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya
seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti
meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak
baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan
seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba
merayu, mencumbunya.
Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar.
Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya.
Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci
orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan
benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
I. PENATALAKSANAAN
Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada 2 yaitu:
1. Medis
a. Nozinan, yaitu sebagai pengontrol prilaku psikososia.
b. Halloperidol, yaitu mengontrol psikosis dan prilaku merusak diri.
c. Thrihexiphenidil, yaitu mengontro perilaku merusak diri dan menenangkan hiperaktivitas.
d. ECT (Elektro Convulsive Therapy), yaitu menenangkan klien bila mengarah pada keadaan
amuk.
2. Penatalaksanaan keperawatan
a. Psikoterapeutik
b. Lingkungan terapieutik
c. Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
d. Pendidikan kesehatan
J. PERENCANAAN PULANG
Perawatan dirumah sakit akan lebih bermakna jika dilanjutkan dirumah. Untuk itu semua rumah
sakit perlu membuat perencanaan pulang. Perencanaan pulang dilakukan sesegera mungkin
setelah klien dirawat dan diintegrasikan didalam proses keperawatan.
Jadi bukan persiapan yang dilakukan pada hari atau sehari sebelum klien pulang.
Tujuan perencanaan pulang:
1. Menyiapkan klien dan keluarga secara fisik, psikologis dan sosial.
2. Klien tidak menciderai diri, orang lain dan lingkungannya.
3. Klien tidak terisolasi sosial
4. Menyelenggarakan proses pulang yang bertahap (Kelliat, 1992).
Klasifiaksi data
Data yang didapat pada pengumpulan data dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu data subyektif
dan data obyektif. Data subyektif adalah data yang disampaikan secara lisan oleh klien dan
keluarga. Data ini didapatkan melalui wawancara perawat dengan klien dan keluarga. Sedangkan
data obyektif yang ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melalui obsevasi atau
pemeriksaan langsung oleh perawat.
Analisa data
Dengan melihat data subyektif dan data objektif dapat menentukan permasalahan yang dihadapi
klien dan dengan memperhatikan pohon masalah dapat diketahui penyebab sampai pada efek
dari masalah tersebut. Dari hasil analisa data inilah dapat ditentukan diagnosa keperawatan.
Pohon masalah
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons aktual dan potensial
dari individu, keluarga, atau masyarakat terhadap masalah kesehatan sebagai proses kehidupan
(Carpenito, 2000). Adapun kemungkinan diagnosa keperawatan pada klien marah dengan
masalah utama perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan.
Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
No Diagnosis
TUK/SP
1 Resiko perilaku kekerasan TUM: Selama perawatan diruangan, pasien Tinda
tidak memperlihatkan perilaku kekerasan, a. Pasien
BHSP
dengan criteria hasil (TUK):
Ajarak
Dapat membina hubungan saling percaya o Diskus
Dapat mengidentifikasi penyebab, tanda pasien
dan gejala, bentuk dan akibat PK yang o Latih p
sering dilakukan bantal
Dapat mendemonstrasikan cara mengontrolo Masuk
PK dengan cara : Ajark
o Fisik o Diskus
o Social dan verbal o Latih p
o Spiritual o Latih p
o Minum obat teratur o Masuk
Dapat menyebutkan dan Ajark
mendemonstrasikan cara mencegah PK o Diskus
yang sesuai o Latih c
Dapat memelih cara mengontrol PK yang o Masuk
efektif dan sesuai Ajark
Dapat melakukan cara yang sudah dipilih o Diskus
untuk mengontrl PK
o Diskus
Memasukan cara yang sudah dipilih dalam
o Masuk
kegitan harian
Mendapat dukungan dari keluarga untuk Bantu
mengontrol PK Anjur
Dapat terlibat dalam kegiatan diruangan Masuk
Valida
b. Kelua
Disku
Jelask
terjadi
Jelask
Latih
Disch
Tindakan p
Berika
Mema
Meng
Tindakan m
Singk
Teman
Lakau
masuk
Libatk
DAFTAR PUSTAKA
Dadang Hawari, 2001, Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Schizofrenia, FKUI; Jakarta.
Depkes RI, 1996, Direktorat Jendral Pelayanan Medik Direktorat Pelayanan Keperawatan, 2000,
Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan, Jakarta.
Depkes RI, 1996, Proses Keperawatan Jiwa, jilid I.
Keliat Budi Anna, dkk, 1998, Pusat Keperawatan Kesehatan Jiwa, penerbit buku kedokteran EGC :
Jakarta.
Keliat Budi Anna, 1996, Marah Akibat Penyakit yang Diderita, penerbit buku kedokteran EGC ; Jakarta.
Keliat Budi Anna, 2002, Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan, FIK, UI : Jakarta.
Rasmun, 2001, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan Keluarga, Edisi 1, CV.
Agung Seto; Jakarta.
Stuart, GW dan Sundeen, S.J, 1998, Buku Saku Keperawatan Jiwa, edisi 3, Penerbit : Buku Kedokteran
EGC ; Jakarta.
Townsend C. Mary , 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran, EGC ;
Jakarta.
WF Maramis, 1998, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, penerbit : Buku Kedokteran EGC ; Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN
A. MASALAH UTAMA
Perilaku kekerasan
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Sering disebut juga
gaduh gelisah atau amuk dimana seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan
bagi diri sendiri atau pun orang lain (Sheila L. Videbeck, 2008).
Perilaku kekerasan adalah keadaan dimana individu-individu beresiko menimbulkan bahaya
dapat membahayakan/mencederai diri sendiri, orang lain bahkan dapat merusak lingkungan.
bernada sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral dan kreativitas
terhambat.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran.
h. Perhatian bolos
Melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual.
3. Rentang respon
Keterangan :
a. Asertif
Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan
ketenangan.
b. Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat menemukan alternatif.
c. Pasif
Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
d. Agresif
Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tetapi masih terkontrol.
e. Kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol.
4. Faktor predisposisi
faktor predisposisi perilaku kekerasan, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Teori Biologik
Berdasarkan teori biologik, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik sengat terlibat dalam menstimulasi
dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon androgen dan
norepinefrin serta penurunan serotinin dan GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan
faktor predisposisi penting yang dapat menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada seseorang
3) Pengaruh Genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya dengan genetik
termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku
otak (khususnya pada limbik dan lobus temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi
b. Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman
dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi
dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta
memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku agresif dan
memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh
kekerasan.
5. Faktor Presipitasi
a. Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi faktor eksternal dan internal.
1) Internal adalah semua faktor yang dapat menimbulkan kelemahan, menurunnya percaya diri,
berikut.
1) kesulitan kondisi sosial ekonomi.
2) kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu.
3) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya dalam
perkembangan keluarga.
6. Fase- fase perilaku kekerasan
a. Triggering incidents
Ditandai dengan adanya pemicu sehingga muncul agresi klien. Beberapa faktor yang dapat
menjadi pemicu agresi antara laian: provokasi, respon terhadap kegagalan, komunikasi yang
buruk, situasi yang menyebabkan frustrasi, pelanggaran batas terhadap jarak personal, dan
harapan yang tidak terpenuhi. Pada fase ini klien dan keluarga baru datang.
b. Escalation phase
Ditandai dengan kebangkitan fisik dan emosional, dapat diseterakan dengan respon fight or
flight. Pada fase escalasi kemarahan klien memuncak, dan belum terjadi tindakan kekerasan.
Pemicu dari perilaku agresif klien gangguan psikiatrik bervariasi misalnya: halusinasi, gangguan
kognitif, gangguan penggunaan zat, kerusakan neurologi/kognitif, bunuh diri dan koping tidak
efektif.
c. Crisis point
Sebagai lanjutan dari fase escalasi apabila negosiasi dan teknik de escalation gagal mencapai
dan kelelahan.
f. Return to normal functioning
Klien kembali pada keseimbangan normal dari perasaan cemas, depresi, dan kelelahan.
7. Perilaku
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
a. Menyerang atau menghindar (fight of flight)
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi terhadap
sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil
melebar, sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva
meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat diserta ketegangan otot, seperti rahang
terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat
b. Menyatakan secara asertif (assertiveness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya yaitu dengan
perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk
mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti
orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini dapat juga untuk
lingkungan.
8. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat membantu klien
kemarahannya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego
seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila
kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri (harga diri
rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan
orang lain ini tidak diatasi akan memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau bayangan yang
meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut akan berdampak pada
keselamatan dirinya dan orang lain (resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang kurang baik
dalam menghadapi kondisi klien dapat mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga
tidak efektif). Hal ini tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan
Objektif :
Mata melotot
Tangan mengepal
Rahang mengatup
Wajah memerah dan tegang
Postur tubuh kaku
Suara keras
faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku kekerasan, antara lain sebagai berikut:
E. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Perilaku kekerasan
F. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
1. Tindakan keperawatan untuk klien
Tujuan
a. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
b. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
c. Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya.
d. Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya
e. Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasannya.
f. Klien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual, sosial dan dengan terapi
psikofarmaka.
Tindakan
a. BHSP
Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar klien merasa aman dan
nyaman saat berinteraksi dengan Saudara. Tindakan yang harus Saudara lakukan dalam rangka
membina hubungan saling percaya adalah mengucapkan salam terapeutik, berjabat tangan,
menjelaskan tujuan interaksi, serta membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu
klien.
b. Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan yang terjadi di masa lalu dan saat ini.
c. Diskusikan perasaan klien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan.
d. Diskusikan bersama klien mengenai tanda dan gejala perilaku kekerasan, baik kekerasan fisik,
oleh perawat
d. Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian kepada klien bila anggota keluarga dapat
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta: EGC
Keliat, Ana Budi. Dkk. 2009. Model kepeawatan profesional jiwa. Jakarta: EGC
Keliat, Ana Budi. Dkk. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta; EGC
Stuart GW, Sundeen. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta; EGC
A. Pengertian
C. Penyebab
f. Mobilitas kurang
D. Akibat
E. Pohon Masalah
F. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
b. Terapi
1. Terapi keluarga
BHSP
2. Terapi kelompok
3. Terapi musik
a. Masalah Keperawatan
2. Isolasi Sosial
Data subyektif
Data Obyektif
H. Diagnosa perawatan
b. Isolasi Sosial
I. Tidakan keperawatan
Tujuan:
Tindakan keperawatan
Berpakaian
Menyisir rambut
Bercukur
Berpakaian
Menyisir rambut
Berhias
DAFTAR PUSTAKA
About
Contact Us
Privacy Policy
Disclaimer
Sitemap
i.o Note
Home
Blogging
Pendidikan
o
Kesehatan
Game
Musik
Abaut Me
Search...
I. MASALAH UTAMA :
A. Pengertian
Defisit keperawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa
merupakan defisit perawatan diri yang terjadi akibat adanya
perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri menurun.
( Keliat dan Akemat, 2007)
C. Penyebab
f. Mobilitas kurang
D. Akibat
E. Pohon Masalah
F. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
b. Terapi
1. Terapi keluarga
BHSP
2. Terapi kelompok
3. Terapi musik
a. Masalah Keperawatan
2. Isolasi Sosial
Data subyektif
Data Obyektif
4. Ketidakmampuan mandi dan membersihkan diri ; kotor,
berbau
H. Diagnosa perawatan
b. Isolasi Sosial
I. Tidakan keperawatan
Tujuan:
Tindakan keperawatan
Berpakaian
Menyisir rambut
Bercukur
Berpakaian
Menyisir rambut
Berhias
DAFTAR PUSTAKA
nophienov
8. Menarik Diri adalah suatu tindakan melepaskan diri dari alam sekitarnya,
individu tidak ada minat dan perhatian terhadap lingkungan sosial secara
langsung. (Petunjuk teknis Askep pasien gangguan skizofrenia hal
53).
9. Perilaku menarik diri adalah suatu usaha menghindari interaksi dengan
orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak
menyadari kesempatan untuk berhubungan secara spontan dengan orang
lain yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada
perhatian dan tidak sanggup membagi pengalaman dengan orang lain (Budi
Anna Keliat, 1999).
1. Isolasi Sosial adalah kondisi kesepian yang diekspresikan oleh individu dan
dirasakan sebagai hal yang ditimbulkan oleh orang lain dan sebagai suatu
keadaan negatif yang mengancam. Dengan karakteristik : tinggal sendiri
dalam ruangan, ketidakmampuan untuk berkomunikasi, menarik diri,
kurangnya kontak mata. Ketidaksesuaian atau ketidakmatangan minat dan
aktivitas dengan perkembangan atau terhadap usia. Preokupasi dengan
pikirannya sendiri, pengulangan, tindakan yang tidak bermakna.
Mengekspresikan perasaan penolakan atau kesepian yang ditimbulkan oleh
orang lain. Mengalami perasaan yang berbeda dengan orang lain, merasa
tidak aman ditengah orang banyak. (Mary C. Townsend, Diagnose Kep.
Psikiatri, 1998; hal 252).
Waktu membina suatu hubungan sosial, setiap individu berada dalam rentang respons
yang adaptif sampai dengan maladaptif. Respon adaptif merupakan respons yang dapat diterima
oleh norma norma sosial dan budaya setempat yang secara umum berlaku, sedangkan respons
maladaptif merupakan respons yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang
kurang dapat diterima oleh norma norma sosial dan budaya setempat. Respons sosial
maladaptif yang sering terjadi dalam kehidupan sehari hari adalah menarik diri, tergantung
(dependen), manipulasi, curiga, gangguan komunikasi, dan kesepian.
Menurut Stuart dan Sundeen, 1999, respon setiap individu berada dalam rentang adaptif
sampai dengan maladaptive yang dapat dilihat pada bagan berikut :
1. Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma
norma sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku di masyarakat.
Respon adaptif terdiri dari :
2. B. Respon maladaptive
Respon maladaptif adalah respon yang menimbulkan gangguan dengan berbagai tingkat
keparahan (Stuart dan Sundeen, 1998). Respon maladaptif terdiri dari :
Faktor predisposisi terjadinya perilaku menarik diri adalah kegagalan perkembangan yang
dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, ragu takut salah, putus
asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindar dari orang lain, tidak mampu
merumuskan keinginan dan meresa tertekan.
Sedangkan faktor presipitasi dari faktor sosio-cultural karena menurunnya stabilitas keluarga
dan berpisah karena meninggal dan fakto psikologis seperti berpisah dengan orang yang terdekat
atau kegagalan orang lain untuk bergantung, merasa tidak berarti dalam keluarga sehingga
menyebabkan klien berespons menghindar dengan menarik diri dari lingkungan (Stuart and
Sundeen, 1995).
Salah satu penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian
individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal
diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri
sendiri dan kemampuan, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan yang
diekspresikan secara langsung maupun tak langsung.
Ada 10 cara individu mengekspresikan secara langsung harga diri rendah (Stuart dan Sundeen,
1995)
h. Merusak diri
j. Kebencian dan penolakan terhadap diri sendiri. Tanda Dan Gejala Harga Diri Rendah
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit (rambut botak karena terapi)
5. Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang
suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.
Pohon Masalah
Halusinasi ..
Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain/perawat
Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak
bercakap-cakap
Data Subjektif :
Sukar didapati jika klien menolak berkomunikasi. Beberapa data subjektif adalah menjawab
pertanyaan dengan singkat, seperti kata-kata tidak , iya, tidak tahu.
Data Objektif :
Menghindari orang lain (menyendiri), klien nampak memisahkan diri dari orang lain, misalnya
pada saat makan.
Komunikasi kurang / tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain / perawat.
Tidak melakukan kegiatan sehari-hari. Artinya perawatan diri dan kegiatan rumah tangga sehari-
hari tidak dilakukan.
KARAKTERISTIK PERILAKU
Tidur berlebihan.
Kurang bergairah.
Kegiatan menurun.
Immobilisasai.
Klien dengan perilaku menarik diri dapat berakibat adanya terjadinya resiko perubahan sensori
persepsi (halusinasi). Halusinasi ini merupakan salah satu orientasi realitas yang maladaptive,
dimana halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata, artinya
klien menginterprestasikan sesuatu yang nyata tanpa stimulus/ rangsangan eksternal.
Gejala Klinis halusinasi :
Pemberian asuhan keperawatan klien degan masalah utama Kerusakan Interaksi Sosial pada
kasus Menarik Diri tetap menggunakan proses keperawatan yang lazim digunakan pada klien
dengan gangguan jiwa dengan tahap-tahap sebagai berikut :
I. Deskripsi
Tanggapan atau deskripsi tentang isolasi yaitu suatu keadaan kesepian yang dialami oleh
seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (towsend, 1998).
Seseorang dengan perilaku menarik diri akan menghindari interaksi dengan orang lain.
C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Adapun ruang lingkup pengkajian klien dengan masalah utama Kerusakan Interaksi Sosial pada
kasus Menarik Diri meliputi pegumpulan data, perumusan masalah keperawatan, pohon masalah
dan analisa data.
Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Pengelompokan
data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat pula berupa faktor predisposisi, penilaian terhadap
stresor, sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien (Stuart and Sundeen, 1995).
Adapun data yang dapat dikumpulkan pada klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus
Menarik Diri adalah sebagai berikut
1) Identitas klien
Pada umumnya idetitas klien yang dikaji pada klien dengan masalah utama Kerusakan Interaksi
Sosial Menarik Diri adalah : biodata yang meliputi nama, umur, terjadi pada umur atara 15 40
tahun, bisa terjadi pada semua jenis kelamin, status perkawinan, tangggal MRS , informan,
tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat klien. dan agama pendidikan serta pekerjaan
dapat menjadi faktor untuk terjadinya penyakit Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik
Diri.
Keluhan biasanya adalah kontak mata kurang, duduk sendiri lalu menunduk, menjawab
pertanyaan dengan singkat, menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi kurang atau
tidak ada, berdiam diri dikamar, menolak interaksi dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan
sehari hari, dependen.
3) Faktor predisposisi
Pernah atau tidaknya mengalami gangguan jiwa, usaha pengobatan bagi klien yang telah
mengalami gangguan jiwa trauma psikis seperti penganiayaan, penolakan, kekerasan dalam
keluarga dan keturunan yang mengalami gangguan jiwa serta pengalaman yang tidak
menyenangkan bagi klien sebelum mengalami gangguan jiwa. Kehilangan, perpisahan,
penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan / frustrasi berulang,
tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial.
Terjadi trauma yang tiba-tiba misalnya harus dioperasi , kecelakaan, dicerai suami , putus
sekolah, PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi ( korban perkosaan, di tuduh KKN,
dipenjara tiba tiba) perlakuan orang lain yang tidak menghargai klien/ perasaan negatif
terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.
Hasil pengukuran tada vital (TD: cenderung meningkat, Nadi: cenderung meningkat, suhu:
meningkat, Pernapasan : bertambah, TB, BB: menurun).
5) Keluhan fisik
Biasanya mengalami gangguan pola makan dan tidur sehingga bisa terjadi penurunan berat
badan. Klien biasanya tidak menghiraukan kebersihan dirinya.
5) Aspeks psikososial
6) Konsep diri
Konsep diri merupakan satu kesatuan dari kepercayaan, pemahaman dan keyakinan seseorang
terhadap dirinya yang memperngaruhi hubungannya dengan orang lain. Pada umumnya klien
dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri mengalami gangguan konsep diri
seperti :
Citra tubuh : Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak
menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Menolak penjelasan
perubahan tubuh, persepsi negatip tentang tubuh. Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang,
mengungkapkan keputus asaan, mengungkapkan ketakutan.
Identitas diri: Ketidakpastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan dan tidak
mampu mengambil keputusan .
Peran: Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit, proses menua,
putus sekolah, PHK.
Harga diri: Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri,
gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, mencederai diri, dan kurang percaya diri.
Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubungan social dengan orang lain
terdekat dalam kehidupan, kelempok yang diikuti dalam masyarakat. Keyakinan klien terhadap
Tuhan dan kegiatan untuk ibadah ( spritual).
Hubungan sosial
Hubungan sosial merupakan kebutuhan bagi setiap manusia, karena manusia tidak mampu hidup
secara normal tanpa bantuan orang lain. Pada umumnya klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial
pada kasus Menarik Diri mengalami gangguan seperti tidak merasa memiliki teman dekat, tidak
pernah melakukan kegiatan kelompok atau masyarakat dan mengalami hambatan dalam
pergaulan.
6) Status mental
a) Penampilan: Pada klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial : Menarik Diri berpenampilan
tidak rai, rambut acak-acakan, kulit kotor, gigi kuning, tetapi penggunaan pakaian sesuai dengan
keadaan serta klien tidak mengetahui kapan dan dimana harus mandi.
c) Aktivitas motorik: Klien tampak lesu, tidak bergairah dalam beraktifitas, kadang gelisah
dan mondar-mandir.
d) Alam perasaan: Alam perasaan pada klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus
Menarik Diri biasanya tampak putus asa dimanifestasikan dengan sering melamun.
e) Afek: Afek klien biasanya datar, yaitu tidak bereaksi terhadap rangsang yang normal.
f) Interaksi selama wawancara: Klien menunjukkan kurang kontak mata dan kadang-kadang
menolak untuk bicara dengan orang lain.
g) Persepsi
Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri pada umumnya
mengalami gangguan persepsi terutama halusinasi pendengaran, klien biasanya mendengar
suara-suara yang megancam, sehingga klien cenderung sering menyendiri dan melamun.
h) Isi pikir
Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri pada umumnya
mengalami gangguan isi pikir : waham terutama waham curiga.
i) Proses pikir
Proses pikir pada klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri akan
kehilangan asosiasi, tiba-tiba terhambat atau blocking serta inkoherensi dalam proses pikir.
j) Kesadaran
Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri tidak mengalami
gangguan kesadaran.
k) Memori
Klien tidak mengalami gangguan memori, dimana klien mampu mengingat hal-hal yang
telah terjadi.
Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri pada umumnya tidak
mengalami gangguan dalam konsentrasi dan berhitung.
m) Kemampuan penilaian
Klien mengalami gangguan daya tilik diri karena klien akan mengingkari penyakit yang
dideritanya.
a) Makan
Klien mengalami gangguan daya tilik diri karena klien akan mengingkari penyakit yang
dideritanya.
b) BAB / BAK
c) Mandi
Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri bisanya tidak memiliki minat
dalam perawatan diri (mandi)
d) Istirahat dan tidur: Kebutuhan istirahat dan tidur klien biasaya terganggu
8) Mekanisme koping
Koping yang digunakan klien adalah proyeksi, menghindar dan kadang-kadang mencedrai diri.
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakannya pada orang orang lain
(lebih sering menggunakan koping menarik diri). Mekanisme koping yang sering digunakan
pada klien menarik diri adalah regresi, represi, dan isolasi.
9) Masalah psikososial dan lingkungan
Klien mendapat perlakuan yang tidak wajar dari lingkungan seperti klien direndahkan
atau diejek karena klien menderita gangguan jiwa.
10) Pengetahuan
Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri, kurang mengetahuan
dalam hal mencari bantuan, faktor predisposisi, koping mekanisme dan sistem pendukung dan
obat-obatan sehingga penyakit klien semakin berat.
Meliputi diagnosa medis dan terapi obat-obatan yang digunakan oleh klien selama
perawatan.
1. Status Mental
Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak mata, kurang dapat memulai
pembicaraan, klien suka menyendiri dan kurang mampu berhubungan dengan orang lain, Adanya
perasaan keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup.
Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan WC, membersikan dan
merapikan pakaian.
Klien dapat melakukan istirahat dan tidur , dapat beraktivitas didalam dan diluar rumah
ASPE MEDIK
PENATALAKSANAAN
h. Lindungi klien
i. Rekreasi
1. Clorpromazine (CPZ)
Indikasi: Untuk syndrome psikosis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai
realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya
berat dalam fungsi -fungsi mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku yang
aneh atau, tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari -hari, tidak mampu
bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.
Mekanisme kerja: Memblokade dopamine pada reseptor paska sinap di otak khususnya sistem
ekstra piramidal.
Kontra indikasi: Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris,ketergantungan
obat, penyakit SSP, gangguan kesadaran disebabkan CNS Depresan.
2. Haloperidol (HP)
Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi netral serta dalam
fungsi kehidupan sehari hari.
Mekanisme kerja: Obat anti psikosis dalam memblokade dopamine pada reseptor paska
sinaptik neuron di otak khususnya sistem limbik dan sistim ekstra piramidal.
Kontra indikasi: Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris,
ketergantungan obat, penyakit SSP, gangguan kesadaran.
Mekanisme kerja: Obat anti psikosis dalam memblokade dopamin pada reseptor p aska sinaptik
nauron diotak khususnya sistem limbik dan sistem ekstra piramidal.
Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor Gangguan otonomik (hypertensi, anti kolinergik/
parasimpatik, mulut kering, kesulitanmiksi dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan
intra oluker meninggi, gangguan irama jantung).
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi, ECT, Psikomotor, therapy
okopasional, TAK , dan rehabilitas.
TerapiFarmakologi:
PENGERTIAN
Psikofarmaka adalah obat-obatan yang digunakan untuk klien dengan gangguan mental.
Psikofarmaka termasuk obat-obatan psikotropik yang bersifat neuroleptika (bekerja pada sistem
saraf). Pengobatan pada gangguan mental bersifat komprehensif, yang meliputi:
1. Teori biologis (somatik), mencakup: pemberian obat psikofarmaka, lobektomi dan electro
convulsi therapy (ECT)
2. Psikoterapeutik
3. Terapi modalitas
Terapisomatis
Terapi somatis adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan
mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif dengan melakukan tindakan yang
ditujukan pada kondisi fisik klien. Walaupun yang diberikan perlakuan fisik adalah fisik klien,
tetapi target terapi adalah perlakuan klien. Jenis terapi somatik adalah meliputi pengikatan, ECT,
isolasi, dan fototerapi1.
1. Pengikatan
Pengikatan adalah terapi menggunakan alat mekanik atau manual untuk membatasi mobilitas
fisik klien yang bertujuan untuk melindungi cedera fisik pada klien sendiri atau orang lain.
Adalah bentuk terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang (Grandmal) dengan mengalirkan
arus listrik kekuatan rendah (2-3 joule) melalui electrode yang ditempelkan di bebrapa titik pada
pelipis kiri/kanan (lobus frontalis) klien.
3. Isolasi
Isolasi adalah bentuk terapi dengan menempatkan klien sendiri di ruangan tersendiri untuk
mengendalikan perilakunya dan melindungi klien, orang lain, dan lingkungan dari bahaya
potensial yang mungkin terjadi.
4. Fototerapi
Fototerapi adalah terapi yang diberikan dengan memaparkan klien pada sinar terang 5-10 x lebih
terang daripada sinar ruangan dengan posisi klien duduk, mata terbuka, pada jarak 1,5 meter di
depan klien diletakkan lampu setinggi mata.
Terapi deprivasi tidur adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan mengurangi jumlah jam
tidur klien sebanyak 3,5 jam. Cocok diberikan pada klien dengan depresi.
c. Terapi Modalitas
Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Tetapi ini diberikan dalam upaya
mengubah perilaku klien dari perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif. Jenis-jenis
terapi modalitas antara lain1 :
1. Aktifitas Kelompok
Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) adalah suatu bentuk terapi yang didasarkan pada pembelajaran
hubungan interpersonal.Fokus terapi aktifitas kelompok adalah membuat sadar diri (self-
awereness), peningkatan hubungan interpersonal, membuat perubahan, atau ketiganya.
2. Terapi keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang member perawatan langsung pada setap
keadaan (sehat-sakit) klien. Perawat membantu keluarga agar mampu melakukan lima tugas
kesehatan yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan, member
perawatan pada anggota keluarga yang sehat, menciptakan lingkungan yang sehat, dan
menggunakan sumber yang ada dalam masyarakat.
3. Terapi Rehabilitasi
Program rehabilitasi dapat digunakan sejalan dengan terapi modalitas lain atau berdiri sendiri,
seperti Terapi okupasi, rekreasi, gerak, dan musik.
4. Terapi Psikodrama
Psikodrama menggunakan struktur masalah emosi atau pengalaman klien dalam suatu drama.
Drama ini member kesempatan pada klien untuk menyadari perasaan, pikiran, dan perilakunya
yang mempengaruhi orang lain.
5. Terapi Lingkungan
Terapi lingkunagan adalah suatu tindakan penyembuhan penderita dengan gangguan jiwa melalui
manipulasi unsur yang ada di lingkungan dan berpengaruh terhadap proses penyembuhan. Upaya
terapi harus bersifat komprehensif, holistik, dan multidisipliner.
KONSEP PSIKOFARMAKOLOGI
KONSEP PSIKOFARMAKOLOGI
1. Sawar darah otak melindungi otak dari fluktuasi zat kimia tubuh, mengatur
jumlah dan kecepatan zat yang memasuki otak
ECT:
Psikomotor:
Terapi okupasional:
TAK:
Rehabilitas:
Masalah keperawatan yang sering muncul yang dapat disimpulkan dari pengkajian adalah
sebagai berikut :
4. Koping individu yang efektif sampai dengan ketergantungan pada orang lain
6. Intoleransi aktifitas.
A. Masalah Utama
Selain itu terdapat beberapa faktor predisposisi (pendukung) dan factor presipitasi (pencetus)
terjadinya gangguan hubungan sosial :
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor perkembangan
Kemampuan membina hubungan yang sehat tergantung dari pengalaman selam proses
pertumbuhan dan perkembangan. Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus
dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi akan
menghambat masa perkembangan selanjutnya. Kurangnya stimulasi kasih sayang, perhatian dan
kehangatan dari (pengasuh) pada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat
menghambat terbentuknya rasa percaya.
2) Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa kelainan pada struktur otak,
seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak diduga dapat
menyebabkan skizofrenia.
Faktor sosial budaya dapat menjadi faktor pendukugn terjadinya gangguan dalam membina
hubungan dengan orang lain, misalnya anggota keluarga yang tidak produktif diasingkan dari
orang lain (lingkungan sosialnya).
Stresor sosial budaya dapat menyebabkan gangguan dalam berhubungan, misalnya keluarga
yang labil.
2) Stresor psikologis
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan kemampuan individu untuk berhubungan
dengan orang lain. Intensitas kecemasan yang ekstrim disertai terbatasnya kemampuan individu
untuk mengatasi masalah diyakini akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan
(Menarik Diri).
Mekanisme : Harga diri klien yang rendah menyebabkan klien merasa malu sehingga klien lebih
suka sendiri dan selalu menghidari orang lain. Pasien mengurung diri sehingga hal ini dapat
menyebabkan klien berfikir yang tidak realistik.
Akibat : Halusinasi
Halusinasi adalah persepsi panca indra tanpa ada rangsangan dari luar yang dapat mempengaruhi
semua sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu baik.
(Carpenito,1996)
Mekanisme : Menarik diri pada individu dapat mengakibatkan perubahan persepsi sensori :
halusinasi. Hal ini disebabkan karena dengan menarik diri, klien hanya menerima rangsangan
internal dengan imajinasi yang berlebihan.
7. DAFTAR MASALAH
Disorientasi.
DS :
DS :
DS :
a. Masalah Keperawatan
a) Data Subjektif
Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus nyata
b) Data Objektif
Disorientasi
a) Data obyektif
Apatis, ekpresi sedih, afek tumpul, menyendiri, berdiam diri dikamar, banyak diam, kontak mata
kurang (menunduk), menolak berhubungan dengan orang lain, perawatan diri kurang, posisi
menekur.
b) Data subyektif
Sukar didapat jika klien menolak komunikasi, kadang hanya dijawab dengan singkat, ya atau
tidak
a) Data obyektif
Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin
mencederai diri
b) Data subyektif
Klien mengatakan : saya tidak bisa, tidak mampu, bodoh / tidak tahu apa apa, mengkritik diri
sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri.
3. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan sensori persepsi berhubungan dengan menarik diri.
c. Gangguan konsep diri : harga diri rendah berhubungan dengan tidak efektifnya koping
individu : koping defensif.
4. Fokus Intervensi
Tujuan Umum :
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi halusinasi
Tujuan Khusus :
Rasional : Hubungan saling percaya merupakan landasan utama untuk hubungan selanjutnya
Tindakan:
a) Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik dengan
cara :
Tindakan :
b) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik diri atau
mau bergaul
c) Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta penyebab yang
muncul
3) Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak
berhubungan dengan orang lain.
Rasional :
Tindakan :
a) Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan orang lain
b) Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain
Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan orang lain
Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
Rasional :
Mengeksplorasi perasaan klien terhadap perilaku menarik diri yang biasa dilakukan.
Untuk mengetahui perilaku menarik diria dilakukan dan dengan bantuan perawat bisa
membedakan perilaku konstruktif dan destruktif.
Tindakan :
b) Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain melalui tahap :
KP : Klien Perawat
e) Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu
Rasional : Dapat membantu klien dalam menemukan cara yang dapat menyelesaikan masalah
Tindakan :
a) Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan orang lain
b) Diskusikan dengan klien tentang perasaan manfaat berhubungan dengan orang lain
Rasional : memberikan penanganan bantuan terapi melalui pengumpulan data yang lengkap dan
akurat kondisi fisik dan non fisik pasien serta keadaan perilaku dan sikap keluarganya
Tindakan :
jelaskan tujuan
buat kontrak
d) Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk klien minimal satu kali
seminggu
e) Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh keluarga
Rasionalisasi : Dengan mengetahui prinsip yang benar dalam menggunakan obat, akan
meminimalkan terjadinya ketidakefektifan pengobatan atau keracunan. Hal ini juga dimaksudkan
untuk memotivasi klien agar bersedia minum obat (patuh dalam pengobatan) dengan kriteria
evaluasi :
Mengetahui efek obat dan mengkomunikasikan dengan perawat jika terjadi keluhan.
Tindakan :
a) Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek samping minum obat)
b) Bantu dalam mengguanakan obat dengan prinsip 5 benar (benar pasien, obat, dosis, cara,
waktu)
c) Anjurkan klien untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.
Tujuan umum : Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal
Tujuan khusus :
Rasional : Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan interaksi
selanjutnya
Tindakan :
d) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
Rasional :
Diskusikan tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas, kontrol diri atau integritas
ego diperlakukan sebagai dasar asuhan keperawatannya.
Pujian yang realistik tidak menyebabkan klien melakukan kegiatan hanya karena ingin
mendapatkan pujian
Tindakan :
Rasional :
Keterbukaan dan pengertian tentang kemampuan yang dimiliki adalah prasyarat untuk
berubah
Pengertian tentang kemampuan yang dimiliki diri memotivasi untuk tetap mempertahankan
penggunaannya
Tindakan :
a) Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan selama sakit
4) Klien dapat (menetapkan) merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
Rasional :
Contoh peran yang dilihat klien akan memotivasi klien untuk melaksanakan kegiatan
Tindakan :
a) Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan
Kegiatan mandiri
Rasional :
Memberikan kesempatan kepada klien mandiri dapat meningkatkan motivasi dan harga diri
klien
Memberikan kesempatan kepada klien ntk tetap melakukan kegiatan yang bisa dilakukan
Tindakan :
a) Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan
Rasional :
Tindakan :
a) Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga diri
rendah
DAFTAR PUSTAKA
1. Stuart GW, Sundeen SJ. Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC. 1998
2. Budi Anna Keliat. Asuhan Klien Gangguan Hubungan Sosial: Menarik Diri. Jakarta : FIK
UI. 1999
Anna Budi Keliat, SKp. (2000). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial Menarik Diri,
Jakarta ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia..
Stuart and Sundeen, Buku Saku Keperawatan Kesehatan Jiwa, alih bahasa Hapid AYS,
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Advertisements
Share this:
Related
LAPORAN PENDAHULUAN JIWA_ANSIETAS (Lengkap)
Sleep Paralysis
Post navigation
KEPRIBADIAN MELANKOLIS
nurse
Leave a Reply
Follow