Anda di halaman 1dari 88

Makalah terapi kejang listrik (ect)

1. 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada penanganan klien gangguan


jiwa di Rumah Sakit baik kronik maupun pasien baru biasanya diberikan
psikofarmaka ,psikotherapi, terapi modalitas yang meliputi terapi individu,
terapi lingkungan, terapi kognitif, terapi kelompok terapi perilaku dan terapi
keluarga. Biasanya pasien menunjukan gejala yang berkurang dan
menunjukan penyembuhan, tetapi pada beberapa klien kurang atau bahkan
tidak berespon terhadap pengobatan sehingga diberikan terapi tambahan
yaitu ECT (Electro Convulsive Therapy). Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT
juga dikenal sebagai terapi elektroshock. ECT telah menjadi pokok
perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. Di masa
lalu ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan
jiwa, termasuk schizophrenia. Namun terapi ini tidak membuahkan hasil yang
bermanfaat. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan,
ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien
seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan
mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita
kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas
kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai
cacat fisik. Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Pasien
diberi obat bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot. Aliran
listrik yang sangat lemah dialirkan ke otak melalui kedua pelipis atau pada
pelipis yang mengandung belahan otak yang tidak dominan. Hanya aliran
ringan yang dibutuhkan untuk menghasilkan serangan otak yang diberikan,
karena serangan itu sendiri yang bersifat terapis, bukan aliran listriknya.
Penenang otot mencegah terjadinya kekejangan otot tubuh dan kemungkinan
luka. Pasien bangun beberapa menit dan tidak ingat apa-apa tentang
pengobatan yang dilakukan. Kerancuan pikiran dan hilang ingatan tidak 1

2. 2. terjadi, terutama bila aliran listrik hanya diberikan kepada belahan otak
yang tidak dominant (nondominan hemisphere). Empat sampai enam kali
pengobatan semacam ini biasanya dilakukan dalam jangka waktu 2 minggu.
Akan tetapi, ECT ini tidak cukup berhasil untuk penyembuhan schizophrenia,
namun lebih efektif untuk penyembuhan penderita depresi tertentu
(Atkinson, et al.,1991). Berdasarkan pemaparan di atas, maka dipandang
perlu untuk membahas lebih jauh dan lebih mendalam lagi mengenai Terapi
ECT tersebut. B. Tujuan Tujuan penulisan makalah ini yaitu: 1. Untuk
memenuhi tugas dalam kriteria standar penilaian Mata Kuliah Kep. Jiwa I yang
diberikan secara berkelompok, 2. Membahas tentang pengertian terapi ECT,
3. Menbahas tujuan dari pemberian terapi ECT, 4. Menjelaskan Indikasi dan
Kontra Indikasi dari Terapi ECT, 5. Menjelaskan Cara Pelaksanaan Terapi ECT,
dan C. Permasalahan Berdasarkan tujuan di atas, maka yang menjadi
permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu mengenai: a.
Pengertian Terpi ECT, b. Tujuan Terapi, c. Indikasi dan Kontra Indikasi, d. Cara
pelaksanaan, dan 2

3. 3. D. Manfaat Dengan adanya makalah ini kita dapat mengembangkan


wawasan dan ilmu pengetahuan kita mengenai pemberian atau penggunaan
terapi ECT yang sesuai dengan sasarannya, tujuannya, indikasi dan kontra
indikasi, serta efek samping yang mungkin ditimbulkan dari terapi ECT
tersebut. 3

4. 4. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Terapi ECT Terapi ECT


(Electroconvulsive) adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran
listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik.
Tindakan ini adalah bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus listrik
melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan
kejang grandmall. Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis
pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui
elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan
kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik tercapai.
Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan bahwa
ECT menghasilkan perubahan-perubahan biokimia didalam otak (Peningkatan
kadar norepinefrin dan serotinin) mirip dengan obat anti depresan. Jadi bukan
kejang yang ditampilkan secara motorik melainkan respon bangkitan listrik di
otak. Terapi ini dilakukan dengan cara mengalirkan listrik sinusoid ke tubuh
sehingga penderita menerima aliran yang terputus putus. Alatnya
dinamakan konvulsator, di dalamnya ada pengatur voltase (tekanan listrik)
dan pengatur waktu yang secara otomatis memutuskan aliran listrik yag
keluar sesudah waktu yang ditetapkan. Setelah aliran listrik yang masuk
dikepalanya, pasien menjadi tidak sadar seketika. Konvulsi terjadi mirip
epilepsy, diikuti fase kloni, kemudian relaksasi otot dengan pernapasan
dalam dan keras. Kemudian tidak sadar (kurang lebih 5 menit) dan setelah
bangun kemudian timbul rasa kantuk, kemudian pasien tertidur. B. Tujuan
Terapi ECT Mengembalikan fungsi mental klien Meningkatkan ADLs klien
secara periodik 4

5. 5. C. Indikasi dan Kontra Indikasi 1. Indikasi Indikasi terapi kejang listrik


adalah klien depresi pada psikosa manik depresi, klien schizofrenia stupor
katatonik dan gaduh gelisah katatonik. ECT lebih efektif dari antidepresan
untuk klien depresi dengan gejala psikotik (waham, paranoid, dan gejala
vegetatif), berikan antidepresan saja (imipramin 200-300 mg/hari selama 4
minggu) namun jika tidak ada perbaikan perlu dipertimbangkan tindakan ECT.
Mania (gangguan bipolar manik) juga dapat dilakukan ECT, terutama jika
litium karbonat tidak berhasil. Pada klien depresi memerlukan waktu 6-12x
terapi untuk mencapai perbaikan, sedangkan pada mania dan katatonik
membutuhkan waktu lebih lama yaitu 10-20x terapi secara rutin. Terapi ini
dilakukan dengan frekuensi 2-3 hari sekali. Jika efektif, perubahan perilaku
mulai kelihatan setelah 2-6 terapi. 2. Kontra Indikasi Tumor intra kranial,
karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Kehamilan, karena dapat
mengakibatkan keguguran Osteoporosis, karena dapat berakibat terjadinya
fraktur tulang. Infark Miokardium, karena dapat terjadi henti jantung. Asthma
bronchiale, dapat memperberat keadaan penyakit yang diderita Komplikasi o
Luksasio dan dislokasi sendi o Fraktur vetebra o Robekan otot rahang o
Apnoe o Sakit kepala, mual dan nyeri otot o Amnesia o Bingung, agresif,
distruktif 5

6. 6. o Demensia D. Pelaksanaan Peran Perawat Perawat sebelum melakukan


terapi ECT, harus mempersiapkan alat dan mengantisipasi kecemasan klien
dengan menjelaskan tindakan yang akan dilakukan. Persiapan Alat Adapun
alat-alat yang perlu disiapkan sebelum tindakan ECT, adalah sebagai berikut:
a. Konvulsator set (diatur intensitas dan timer) b. Tounge spatel atau karet
mentah dibungkus kain c. Kain kasa d. Cairan Nacl secukupnya e. Spuit
disposibel f. Obat SA injeksi 1 ampul g. Tensimeter h. Stetoskop i. Slim suiger
j. Set konvulsator Persiapan klien a. Anjurkan klien dan keluarga untuk
tenang dan beritahu prosedur tindakan yang akan dilakukan. b. Lakukan
pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya kelainan
yang merupakan kontraindikasi ECT c. Siapkan surat persetujuan d. Klien
berpuasa 4-6 jam sebelum ECT e. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan
atau penjepit rambut yang mungkin dipakai klien 6

7. 7. f. Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi g. Klien


jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum ECT h.
Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif-hipnotik, dan
antikonvulsan harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya
dihentikan beberapa hari sebelumnya karena berisiko organik. i. Premedikasi
dengan injeksi SA (sulfa atropin) 0,6-1,2 mg setengah jam sebelum ECT.
Pemberian antikolinergik ini mengembalikan aritmia vagal dan menurunkan
sekresi gastrointestinal. Pelaksanaan a. Setelah alat sudah disiapkan,
pindahkan klien ke tempat dengan permukaan rata dan cukup keras.
Posisikan hiperektensi punggung tanpa bantal. Pakaian dikendorkan, seluruh
badan di tutup dengan selimut, kecuali bagian kepala. b. Berikan natrium
metoheksital (40-100 mg IV). Anestetik barbiturat ini dipakai untuk
menghasilkan koma ringan. c. Berikan pelemas otot suksinikolin atau
Anectine (30-80 mg IV) untuk menghindari kemungkinan kejang umum. d.
Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan alkohol untuk tempat
elektrode menempel. e. Kedua pelipis tempat elektroda menempel dilapisi
dengan kasa yang dibasahi caira Nacl. f. Penderita diminta untuk membuka
mulut dan masang spatel/karet yang dibungkus kain dimasukkan dan klien
diminta menggigit g. Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka
lebar saat kejang dengan dilapisi kain h. Persendian (bahu, siku, pinggang,
lutu) di tahan selama kejang dengan mengikuti gerak kejang 7

8. 8. i. Pasang elektroda di pelipis kain kasa basah kemudia tekan tombol


sampai timer berhenti dan dilepas j. Menahan gerakan kejang sampai selesai
kejang dengan mengikuti gerakan kejang (menahan tidak boleh dengan
kuat). k. Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan rangsangan
menekan diafragma l. Bila banyak lendir, dibersihkan dengan slim siger m.
Kepala dimiringkan n. Observasi sampai klien sadar o. Dokumentasikan hasil
di kartu ECT dan catatan keperawatan Setelah ECT a. Observasi dan awasi
tanda vital sampai kondisi klien stabil b. Jaga keamanan c. Bila klien sudah
sadar bantu mengembalikan orientasi klien sesuai kebutuhan, biasanya
timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit. 8

9. 9. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan o Terapi ECT (Electroconvulsive) adalah


suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan
kejang pada penderita baik tonik maupun klonik. Tindakan ini adalah bentuk
terapi pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang
ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall. o
Tujuan Terapi ECT Mengembalikan fungsi mental klien Meningkatkan ADLs
klien secara periodik B. Saran Semoga makalah ini dapat dimanfaatkan
sesuai dengan kebutuhan dan sasarannya. Untuk segala kekurangan dalam
makalah ini maka kami selalu membuka diri untuk menerima saran dan kritik
dari semua pihak yang sama-sama bertujuan membangun makalah ini demi
perbaikan dan penyempurnaan dalam pembuatan makalah kami ke
depannya. 9

10.10. DAFTAR PUSTAKA Dalami, Ermawati dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Klien
Dengan Gangguan Jiwa. Jakarta : Trans Info Media Maramis, W.F. 1994. Ilmu
Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press Baihaqi, MIF. 2007.
Psikiatri. Bandung : PT Refika Aditama http://wir-
nursing.blogspot.com/2011/03/elektro-convulsif-therapie-ect.html
http://www.news-medical.net/health/Electroconvulsive-Therapy-Side-Effects
%28Indonesian%29.aspx www.google.com/.../anonim/ECT/ 10

11.11. Tugas Makalah : Keperawatan Jiwa Dosen :Ns. Asmlai, S.Kep. TERAPI ECT
OLEH: K ELO M P O K 2 La Ode Muh. Tahir Lili Asmin Kuntnasia Sekartini La
Ode Rajmat L La Adi Muh. Aswin La Are Mulya Haratama La Hapiah Nurdin
Kowa La Ode Amsir Nurhidayah La Ode Ifan Rufi Nuriatil Jannah La Ode Muh.
Acal Mansiri Nurni La Ode Muh. Saleh Nurul Fitriani Ningsih La Ode Muh.
Anabati Puji Hastuti AKADEMI KEPERAWATAN PEMKAB. MUNA 2011. 11

12.12. KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,
karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya serta taufiknya, akhirnya kami
dapat menyelesaikan tugas Mata Kuliah Kep. Jiwa I yang berjudul Terapi
ECT. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas yang merupakan salah satu
standar atau kriteria penilaian dari Mata Kuliah Kep. Jiwa I yang telah
dipercayakan kepada kelompok kami yakni Kelompok 2. Kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada Ibu Ns. Asmalia, S.Kep. Selaku salah satu dosen
pembimbing mata kuliah Kep. Jiwa I di Akper Pemkab. Muna yang telah
banyak membimbing dan mengarahkan kami sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini. Tak lupa pula kami juga mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu kami dalam
menyelasaikan tugas makalah ini. Kami menyadari kekurangan kami sebagai
manusia biasa dan oleh karena keterbatasan sumber referensi yang kami
miliki sehingga kiranya dalam makalah ini masih banyak terdapat kesalahan,
kekeliruan, dan kekurangan baik dalam penyusunan maupun isinya. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan adanya saran dan kritik dari Ibu
Dosen Pembimbing dan dari pihak-pihak lain atau sesama teman mahasiswa
untuk dapat menambahkan sesuatu yang kiranya dianggap masih kurang
atau memperbaiki sesuatu yang dianggap salah dalam tulisan ini. Akhirnya
kami mengucapkan banyak terima kasih. Dan semoga makalah ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi kita semua sebagai bahan tambahan
pengetahuan untuk lebih memperluas wawasan kita dalam ilmu
Keperawatan. Raha, Desember 2011. Penyusun. 12

LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

A. MASALAH UTAMA
Gangguan Persepsi sensori halusianasi.
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Pengertian
- Menurut Cook dan Fotaine (1987), halusinasi adalah persepsi sensorik tentang suatu objek,
gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi
semua sistem penginderaan (pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan atau pengecapan).
- Menurut Wilson (1983), halusinasi adalah gangguan penyerapan/persepsi panca indera tanpa
adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada
saat kesadaran individu itu penuh dan baik.
- Halusianassi adalah keadaan dimana individu / keloimpok beresiko mengalami suatu
perubahan dalam jumlah dan pola stimulasi yang datang (Carpenito, 2000).
2. Tanda dan Gejala
Fase I (Menyenangkan)
Karakteristik :
- Mengalami ansietas, rasa bersalah dan ketakutan
- Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan rasa cemas
- Perilaku dan pengalaman sensori masih dalam kontrol pikiran
- Non psikotik
Perilaku pasien :
- Tersenyum sendir, tertawa sendiri
- Menggerakkan bibir tanpa bicara, respon verbal lambat
- Diam dan berkonsentrasi
Fase II (Menyalahkan)
Karakteristik :
- Adanya pengalamn sensori yang menakutkan
- Mulai merasa kehilangan kontrol
- Merasa dilecehakan oleh pengalaman, menarik diri
- Non psikotik
Perilaku pasien :
- Meningkatnya denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah
- Perhatian dengan lingkungan kurang
- Konsentrasi terhadap pengalaman sensori
- Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi
Fase III (Konsentrasi)
- Bisikan dan suara-suara menonjol, menguasai dan mengontrol
- Tingkat kecemasan berat
- Pengalaman halusianasi tidak dapat ditolak lagi
Karakteristik :
- Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya
- Klien kesepian bila pengalaman sensori berakhir
- Isu halusianasi menjadi atraktif dan menarik
- Klien terbiasa dengan halusinasinya dan tidak berdaya
- Psikotik
Perilau Pasien :
- Perintah halusinasi ditaati
- Sulit berhubungan dengan orang lain
- Perhatian dengan lingkungan berkurang
- Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tampak tremor dan berkeringat
Fasse IV (Menguasai)
Karakteristik :
- Pengalaman sensori menakutkan dan mengancam
- Klien tidak berdaya, hilang kontrol, dan tidak dapat berhubungan dengan lingkungan
- Halusinasi berakhir dalam beberapa jam atau hari jika tidak ada terapi terapeutik
- Psikotik berat
Perilaku Pasien :
- Perilaku panik, potensi akut suicide
- Aktifitas fisik merefleksikan halusinasi
- Tidak mampu berespon pada lebih dari satu orang
- Tidak bisa berespon terhadap perintah yang kompleks
3. Etiologi
Faktor prdisposisi :
- Faktor genetik
- Faktor Neurobiology
- Studi Neurotransmiter
- Psikologis
Faktor Presipitasi :
- Sosial budaya
- Stres lingkungan respon neurobiologis maladaptif
Penuh kritik
Kehilangan harga diri
Gangguan hubungan interpersonal
Tekanan ekonomi
4. Akibat
Klien yang mengalami halusinasi sukar untuk mengontrol diri dan sukar untuk
berhubungan dengan orang lain. Apabila perilaku halusiansinya berupa hal yang tidak
menyenagkan maka akan mengakibatkan individu tersebut melakukan atau mencederai orang
lain dan lingkungan. (PPNI, 2002).

C. POHON MASALAH
Effect : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkunga
Core Problem : Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi
Causa : Isolasi sosial : Menarik diri

D. MASALAH YANG MUNCUL DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


No Data Fokus Masalah Keperawatan
1. DS : Gangguan sensori
- Klien mengatakan sering persepsi : Halusinasi
mendengar suara-suara gemuruh Auditori
pada pagi dan malam.
- Klien mengatakan pernah mondok
di RSJ dengan penyakit yang sama.
DO :
- Klien tampak sering komat-kamit
- Klien sering menyendiri
- ADL mandiri.
2. DS : Resiko mencederai
Klien mengatakan sering diri sendiri, orang lain
mendengar bisikan-bisikan hingga dan lingkungan.
membuatnya marah
DO :
Klien bingung, kadang mengamuk
dan memukul
3. DS : Isoslasi sosial :
Klien mengatakan sering Mearik diri
menyendiri dan jarang mengobrol
dengan teman atau orang lain.
DO :
Melamun, menyendiri, pasif
Interaksi dengan orang lain
berkurang

E. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan persepsi sensori halusinasi (lihat, dengar, raba, kecap, bau)
2. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain
3. Isolasi sosial : menarik diri

F. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Diagnosa : Gangguan persepsi sensori halusinasi (lihat, dengar, raba, kecap, bau)
Tujuan Umum : Klien mampu mengontrol halusinasinya
Tujuan Khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
KH : Setelah dilakukan ....x pertemuan klien menunjukkan tanda-tanda percaya pada perawat
Intervensi :
- Sapa klien dengan ramah
- Perkenalkan diri dengan sopan
- Jelaskan tujuan pertemuan
- Tunjukkan sikap emapati dengan menerima klien apa adanya dan beri perhatian
b. Klien dapat mengenal halusinasinya
KH : Setelah dilakukan ....x pertemuan klien meyebutkan (isi, waktu, frekuensi, situasi, kondisi
yang menimbulkan halusinasi)
Intervensi :
- Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap
- Observasi tingkah laku klien sesuai dengan halusinasinya
- Bantu klien mengenal halusinasinya
- Diskusikan dengan klien tentang frekuensi dan waktu halusinasi
- Kaji respon klien saat terjadi halusinasi
c. Klien dapat mengontrol halusinasinya
KH : Setelah dilakukan ....x pertemuan klien meyebutkan tindakan yang dapat dilakukan untuk
mengendalikan halusinasinya.
Intervensi :
- Identifikasi cara yang selama ini dilakukan saat terjadi halusinasi
- Diskusikan manfaat cara tersebut
- Diskusikan cara baru untuk mengendalikan halusinasi (menghardik, bercakap-cakap dengan
orang lain, melakukan aktivitas, minum ibat teratur)
- Beri kesempatan untuk melakukan cara tersebut saat halusinasinya timbul
d. Klien dapat dukungan dari keluarga untuk mengontrol halusinasinya
KH : Setelah dilakukan ....x pertemuan keluarga dapat meyebutkan pengertian, tanda dan gejala,
serta proses terjadinya halusinasi.
Intervensi :
- Buat kontrak dengan keluarga untuk pertemuan
- Diskusikan dengan keluarga tentang :
Pengertian halusinasi
Tanda dan Gejala halusinasi
Cara yang dapat dilakukan untuk memutus halusiansi
Proses terjadi halusinasi
Obat-obat untuk halusinasi
Cara merawat anggota keluarga yang mengalami halusinasi
Berikan informasi waktu kontrol
e. Klien dapat memanfaatkan obat dengan benar
KH : Setelah dilakukan ....x pertemuan klien dapat mengerti obat yang perlu diminum
Intervensi :
- Diskusikan frekuensi, dosis, dan manfaat obat
- Anjurkan minum obat
- Diskusikan efek bila menghentikan obat tanpa konsultasi
- Jelaskan 5 tepat dalam penggunaan obat

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall, 2000. Diagnosa kepoerawatan Aplikasi pada praktis klinis (terjemahan).
Edisi 6. Jakarta : EGC.

Maramis, W.F, 1990. Ilmu Kedokteran Jiwa, Erlangga Universitas Press, Surabaya.

Rasmun, 2001. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi dengan Keluarga, Jakarta :
CV. Sagung Seto.

Stuart & Sunden, 1998. Pocket Guide to Psychiatric Nursing. Jakarta : EGC.

LP HARGA DIRI RENDAH


LAPORAN PENDAHULUAN : HARGA DIRI RENDAH

I. MASALAH UTAMA :

HARGA DIRI RENDAH

II. PROSES TERJADINYA MASALAH

A. Pengertian

Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak berarti, rendah diri,
yang menjadikan evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri
(keliat, 2011). Harga diri rendah situasional merupakan perkembangan persepsi
negatif tentang harga diri sebagai respons seseorang terhadap situasi yang sedang
dialami.
(Wilkinson, 2012).

Harga diri rendah merupakan evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negative terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan
harga diri, merasa gagal dalam mencapai keinginan(Herman, 2011). Gangguan
harga diri dapat dijabarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri,
yang menjadikan hilangnya rasa percaya diri seseorang karena merasa tidak
mampu dalam mencapai keinginan.
(Fitria, 2009).

Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa harga diri rendah yaitu dimana
individu mengalami gangguan dalam penilaian terhadap dirinya sendiri dan
kemampuan yang dimiliki, yang menjadikan hilangnya rasa kepercayaan diri
akibat evaluasi negatif yang berlangsung dalam waktu yang lama karena merasa
gagal dalam mencapai keinginan.

B. Klasifikasi

Menurut Fitria (2009), harga diri rendah dibedakan menjadi 2, yaitu:

1. Harga diri rendah situasional adalah keadaan dimana individu yang


sebelumnya memiliki harga diri positif mengalami perasaan negatif
mengenai diri dalam berespon, terhadap suatu kejadian (kehilangan,
perubahan).

2. Harga diri rendah kronik adalah keadaan dimana individu mengalami


evaluasi diri yang negatif mengenai diri atau kemampuan dalam waktu
lama.
C. Etiologi

Gangguan harga diri yang disebut sebagai harga diri rendah dan dapat terjadi
secara :

1. Situasional

Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus operasi, kecelakaan,


dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja, perasaan malu karena
sesuatu (korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba).
Pada klien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah, karena :

a. Privacy yang kurang diperhatikan, misalnya : pemeriksaan fisik


yang sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan (pencukuran
pubis, pemasangan kateter, pemeriksaan perneal).

b. Harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai
karena dirawat/ sakit/ penyakit.

c. Perlakuan petugas kesehatan yang tidak menghargai, misalnya


berbagai pemeriksaan dilakukan tanpa penjelasan, berbagai
tindakan tanpa persetujuan.

2. Kronik

Yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu sebelum
sakit/ dirawat. Klien ini mempunyai cara berfikir yang negatif. Kejadian
sakit dan dirawat akan menambah persepsi negatif terhadap dirinya.
Kondisi ini mengakibatkan respons yang maladaptive. Kondisi ini dapat
ditemukan pada klien gangguan fisik yang kronis atau pada klien
gangguan jiwa. Dalam tinjauan life span history klien, penyebab HDR
adalah kegagalan tumbuh kembang, misalnya sering disalahkan, kurang
dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak diterima dalam kelompok
(Yosep, 2007).

D. Tanda dan gejala

Menurut Carpenito, L.J (1998 : 352); Keliat, B.A (1994 : 20)

1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan
terhadap penyakit. Misalnya : malu dan sedih karena rambut jadi botak
setelah mendapat terapi sinar pada kanker
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri. Misalnya : ini tidak akan terjadi jika
saya segera ke rumah sakit, menyalahkan/ mengejek dan mengkritik diri
sendiri.

3. Merendahkan martabat. Misalnya : saya tidak bisa, saya tidak mampu,


saya orang bodoh dan tidak tahu apa-apa

4. Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri. Klien tidak ingin bertemu
dengan orang lain, lebih suka sendiri.

5. Percaya diri kurang. Klien sukar mengambil keputusan, misalnya tentang


memilih alternatif tindakan.

6. Mencederai diri. Akibat harga diri yang rendah disertai harapan yang
suram, mungkin klien ingin mengakhiri kehidupan.

E. Akibat

Harga diri rendah dapat membuat klien menjdai tidak mau maupun tidak mampu
bergaul dengan orang lain dan terjadinya isolasi sosial : menarik diri. Isolasi sosial
menarik diri adalah gangguan kepribadian yang tidak fleksibel pada tingkah laku
yang maladaptive, mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial
(DEPKES RI, 1998 : 336).
Tanda dan gejala :

1. Data Subyektif :

a. Mengungkapkan untuk memulai hubungan / pembicaraan

b. Mengungkapkan perasaan malu untuk berhubungan dengan orang


lain

c. Mengungkapkan kekhawatiran terhadap penolakan oleh orang lain

2. Data Obyektif :

a. Kurang spontan ketika diajak bicara

b. Apatis

c. Ekspresi wajah kosong

d. Menurun atau tidak adanya komunikasi verbal


e. Bicara dengan suara pelan dan tidak ada kontak mata saat
berbicara

(Budi Anna Keliat, 2001)

F. Penatalaksanaan

1. Farmakologi

a. Obat anti psikosis: Penotizin

b. Obat anti depresi: Amitripilin

c. Obat Anti ansietas: Diasepam, bromozepam, clobozam

d. Obat anti insomnia: Phneobarbital

2. Terapi modalitas

a. Terapi keluarga

Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu mengatasi


masalah klien dengan memberikan perhatian

BHSP

Jangan memancing emosi klien

Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan dengan


keluarga

Berikan kesempatan klien mengemukaan pendapat

Dengarkan, bantu dan anjurkan pasien untuk


mengemukakan masalah yang dialaminya

b. Terapi kelompok

Berfokus pada dukungan dan perkembangan, keterampilan sosial,


atau aktivitas lain dengan berdiskusi dan bermain untuk
mengembalikan keadaan klien karena masalah sebagian orang
merupakan persaan dan tingkah laku pada orang lain.

3. Terapi musik
Dengan musik klien terhibur,rileks dan bermain untuk mengebalikan
kesadaran klien

G. Pohon Masalah

H. Diagnosa Keperawatan

1. Harga diri rendah

I. Rencana Tindakan Keperawatan

Diagnosa I : harga diri rendah.


Tujuan umum:
Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal.
Tujuan khusus:

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.

a. Bina hubungan saling percaya dengan menerapkan prinsip


komunikasi terapeutik:

Sapa klien dengan ramah secara verbal dan nonverbal

Perkenalkan diri dengan sopan

Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang


disukai klien

Jelaskan tujuan pertemuan

Jujur dan menepati janji

Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya

Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar


klien

2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.

a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.


b. Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien.

c. Utamakan memberi pujian yang realistik.

3. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.

a. Diskusikan kemampuan yang masih dapat dilakukan.

b. Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya.

4. Klien dapat merencanakn kegiatan sesuai dengan kemampuan yang


dimiliki.

a. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap


hari.

b. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.

c. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang dapat klien lakukan.

5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kemampuannya.

a. Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah


direncanakan.

b. Diskusikan pelaksanaan kegiatan dirumah

6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.

a. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara mearwat


klien dengan harag diri rendah.

b. Bantu keluarga memberiakn dukungan selama klien dirawat.

c. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan rumah

J. DAFTAR PUSTAKA

1. Fitria Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

2. Fitria Nita. Dkk. 2013. Laporan Pendahuluan Tentang Masalah


Psikososial. Jakarta: Salemba Medika.
3. Herdman, T.H. 2012. International Diagnosis Keperawatan. Buku
Kedokteran. Jakarta: EGC.

4. Keliat, B.A. 2006. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas :


CNHM(basic course). Buku Kedokteran. Jakarta: EGC.

5. Keliat, B.A. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas :


CMHN(basic course). Buku Kedokteran. Jakarta: EGC

6. Kusumawati, F. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba


Medika.

7. Wilkinson A. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Buku Kedokteran


: EGC
LP RESIKO PRILAKU KEKERASAN

Homepage RSS
Search:

LAPORAN PENDAHULUAN PERILAKU


KEKERASAN
HOME

ALL ARTICLE ( DAFTAR ISI )

PRIVACY AND POLICY

ABOUT ME

MOTTO

Tuesday, December 17, 2013

LAPORAN PENDAHULUAN PERILAKU KEKERASAN


Browse Home Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Lengkap LAPORAN
PENDAHULUAN PERILAKU KEKERASAN
LAPORAN PENDAHULUAN PERILAKU KEKERASAN

A. PENGERTIAN
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (fitria,
2009).
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba
dkk, 2008).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri, maupun orang lain (Yoseph, 2007).
Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi mengakibatkan seseorang stress berat, membuat
orang marah bahkan kehilangan kontrol kesadaran diri, misalkan: memaki-maki orang
disekitarnya, membanting-banting barang, menciderai diri dan orang lain, bahkan membakar
rumah.
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO (dalam
Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman
atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang
mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian
psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak
Menurut Townsend (2000), amuk (aggresion) adalah tingkah laku yang bertujuan untuk
mengancam atau melukai diri sendiri dan orang lain juga diartikan sebagai perang atau
menyerang
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah
yang tidak konstruktif
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993).

B. PENYEBAB
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori biologik,
teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk,
2008) adalah:
a. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem limbik, lobus
frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau
menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi,
perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau
menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu
tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.
Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat
otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
2) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan serotonin)
sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten
dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap
stress.
3) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan genetik
karyotype XYY.
4) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan.
Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang
menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus
temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman
dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan
memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
2) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua mereka
sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh,
atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal
tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan
yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang
dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka
dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
c. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap perilaku
agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara
untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan,
apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara
konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk
perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup
individu.
2. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan (Yosep,
2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah
konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog
untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya sebagai
seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak
mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap

C. RENTANG RESPONS MARAH


Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif mal adaptif. Rentang
respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut : (Keliat, 1997).
Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan orang lain, atau tanpa
merendahkan harga diri orang lain.
Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan. Frustasi dapat
dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan. Akibat dari ancaman tersebut dapat
menimbulkan kemarahan.
Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang dialami.
Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat dikontrol oleh individu.
Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap
orang harus bertarung untuk mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan
yang sama dari orang lain
Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Pada
keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Respon kemarahan dapat berfluktusi dalam rentang adaptif-maladaptif.

D. TANDA DAN GEJALA


Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut:
1. Fisik
a. Muka merah dan tegang
b. Mata melotot/ pandangan tajam
c. Tangan mengepal
d. Rahang mengatup
e. Postur tubuh kaku
f. Jalan mondar-mandir
2. Verbal
a. Bicara kasar
b. Suara tinggi, membentak atau berteriak
c. Mengancam secara verbal atau fisik
d. Mengumpat dengan kata-kata kotor
e. Suara keras
f. Ketus
3. Perilaku
a. Melempar atau memukul benda/orang lain
b. Menyerang orang lain
c. Melukai diri sendiri/orang lain
d. Merusak lingkungan
e. Amuk/agresif
4. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel, tidak berdaya,
bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain, menyinggung perasaan
orang lain, tidak perduli dan kasar.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

E. AKIBAT DARI PERILAKU KEKERASAN


Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi mencederai diri,
orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan
dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.

F. PROSES MARAH
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus dihadapi oleh
setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak
menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan. Berikut ini
digambarkan proses kemarahan :(Beck, Rawlins, Williams, 1986, dalam Keliat, 1996)

Melihat gambar di atas bahwa respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3 cara
yaitu : Mengungkapkan secara verbal, menekan, dan menantang. Dari ketiga cara ini cara
yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara yang lain adalah destruktif.

Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa bermusuhan, dan bila
cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan dapat diekspresikan pada diri sendiri dan
lingkungan dan akan tampak sebagai depresi dan psikomatik atau agresif dan ngamuk.
Pathway/ Patoflowdiagram

G. PERILAKU
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :

Menyerang atau menghindar (fight of flight)


Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi terhadap
sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil
melebar, sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva
meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat diserta ketegangan otot, seperti rahang
terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.

Menyatakan secara asertif (assertiveness)


Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya yaitu dengan
perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk
mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti
orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini dapat juga untuk
pengembangan diri klien.

Memberontak (acting out)


Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku acting out untuk menarik
perhatian orang lain.

Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan

Perilaku Kekerasan

H. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan
untuk melindungi diri. (Stuart dan Sundeen, 1998).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya ancaman.
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara lain :
(Maramis, 1998)

Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya
seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti
meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.

Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak
baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan
seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba
merayu, mencumbunya.

Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar.
Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya.
Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci
orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan
benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.

Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan


melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai
rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan
orang tersebut dengan kasar.

Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek


yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu.
Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari
ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan
dengan temannya.

I. PENATALAKSANAAN
Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada 2 yaitu:
1. Medis
a. Nozinan, yaitu sebagai pengontrol prilaku psikososia.
b. Halloperidol, yaitu mengontrol psikosis dan prilaku merusak diri.
c. Thrihexiphenidil, yaitu mengontro perilaku merusak diri dan menenangkan hiperaktivitas.
d. ECT (Elektro Convulsive Therapy), yaitu menenangkan klien bila mengarah pada keadaan
amuk.
2. Penatalaksanaan keperawatan
a. Psikoterapeutik
b. Lingkungan terapieutik
c. Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
d. Pendidikan kesehatan

J. PERENCANAAN PULANG
Perawatan dirumah sakit akan lebih bermakna jika dilanjutkan dirumah. Untuk itu semua rumah
sakit perlu membuat perencanaan pulang. Perencanaan pulang dilakukan sesegera mungkin
setelah klien dirawat dan diintegrasikan didalam proses keperawatan.
Jadi bukan persiapan yang dilakukan pada hari atau sehari sebelum klien pulang.
Tujuan perencanaan pulang:
1. Menyiapkan klien dan keluarga secara fisik, psikologis dan sosial.
2. Klien tidak menciderai diri, orang lain dan lingkungannya.
3. Klien tidak terisolasi sosial
4. Menyelenggarakan proses pulang yang bertahap (Kelliat, 1992).

K. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


Asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan
yang meliputi 4 tahapan yaitu : Pengkajian, perencanaan/intervensi, pelaksanaan/implementasi
dan evaluasi, yang masing-masing berkesinambungan serta memerlukan kecakapan keterampilan
professional tenaga keperawatan.
Proses keperawatan adalah cara pendekatan sistimatis yang diterapkan dalam
pelaksanaan fungsi keperawatan, ide pendekatan yang dimiliki, karakteristik sistimatis,
bertujuan, interaksi, dinamis dan ilmiah. Proses keperawatan klien marah adalah sebagai
berikut : (Keliat, dkk, 1996)
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap
pengkajian terdiri dari pengumpulan data, klasifikasi data, analisa data, dan perumusan masalah
atau kebutuhan klien atau diagnosa keperawatan.
Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual.
Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi terhadap sekresi
epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi, muka merah, pupil melebar,
pengeluaran urine meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya
kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks
cepat. Hal ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, frustasi, dendam,
ingin memukul orang lain, mengamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses intelektual, peran panca
indra sangat penting untuk beradaptasi dengan lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses
intelektual sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah,
mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan
diintegrasikan.
Aspek social
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan. Emosi marah sering
merangsang kemarahan orang lain. Klien seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik
tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-kata
kasar yang berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri,
menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan.
Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan. Hal yang
bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan
dengan amoral dan rasa tidak berdosa.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji individu secara
komprehensif meliputi aspek fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual yang secara singkat
dapat dilukiskan sebagai berikut :
Aspek fisik: terdiri dari :muka merah, pandangan tajam, napas pendek dan cepat, berkeringat,
sakit fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat.
Aspek emosi : tidak adekuat, tidak aman, dendam, jengkel.
Aspek intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
Aspek sosial : menarik diri, penolakan, kekerasan, ejekan, humor.

Klasifiaksi data
Data yang didapat pada pengumpulan data dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu data subyektif
dan data obyektif. Data subyektif adalah data yang disampaikan secara lisan oleh klien dan
keluarga. Data ini didapatkan melalui wawancara perawat dengan klien dan keluarga. Sedangkan
data obyektif yang ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melalui obsevasi atau
pemeriksaan langsung oleh perawat.

Analisa data
Dengan melihat data subyektif dan data objektif dapat menentukan permasalahan yang dihadapi
klien dan dengan memperhatikan pohon masalah dapat diketahui penyebab sampai pada efek
dari masalah tersebut. Dari hasil analisa data inilah dapat ditentukan diagnosa keperawatan.
Pohon masalah

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons aktual dan potensial
dari individu, keluarga, atau masyarakat terhadap masalah kesehatan sebagai proses kehidupan
(Carpenito, 2000). Adapun kemungkinan diagnosa keperawatan pada klien marah dengan
masalah utama perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan.
Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.

No Diagnosis
TUK/SP
1 Resiko perilaku kekerasan TUM: Selama perawatan diruangan, pasien Tinda
tidak memperlihatkan perilaku kekerasan, a. Pasien
BHSP
dengan criteria hasil (TUK):
Ajarak
Dapat membina hubungan saling percaya o Diskus
Dapat mengidentifikasi penyebab, tanda pasien
dan gejala, bentuk dan akibat PK yang o Latih p
sering dilakukan bantal
Dapat mendemonstrasikan cara mengontrolo Masuk
PK dengan cara : Ajark
o Fisik o Diskus
o Social dan verbal o Latih p
o Spiritual o Latih p
o Minum obat teratur o Masuk
Dapat menyebutkan dan Ajark
mendemonstrasikan cara mencegah PK o Diskus
yang sesuai o Latih c
Dapat memelih cara mengontrol PK yang o Masuk
efektif dan sesuai Ajark
Dapat melakukan cara yang sudah dipilih o Diskus
untuk mengontrl PK
o Diskus
Memasukan cara yang sudah dipilih dalam
o Masuk
kegitan harian
Mendapat dukungan dari keluarga untuk Bantu
mengontrol PK Anjur
Dapat terlibat dalam kegiatan diruangan Masuk
Valida
b. Kelua
Disku
Jelask
terjadi
Jelask
Latih
Disch
Tindakan p
Berika
Mema
Meng
Tindakan m
Singk
Teman
Lakau
masuk
Libatk
DAFTAR PUSTAKA

Dadang Hawari, 2001, Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Schizofrenia, FKUI; Jakarta.
Depkes RI, 1996, Direktorat Jendral Pelayanan Medik Direktorat Pelayanan Keperawatan, 2000,
Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan, Jakarta.
Depkes RI, 1996, Proses Keperawatan Jiwa, jilid I.
Keliat Budi Anna, dkk, 1998, Pusat Keperawatan Kesehatan Jiwa, penerbit buku kedokteran EGC :
Jakarta.
Keliat Budi Anna, 1996, Marah Akibat Penyakit yang Diderita, penerbit buku kedokteran EGC ; Jakarta.
Keliat Budi Anna, 2002, Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan, FIK, UI : Jakarta.
Rasmun, 2001, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan Keluarga, Edisi 1, CV.
Agung Seto; Jakarta.
Stuart, GW dan Sundeen, S.J, 1998, Buku Saku Keperawatan Jiwa, edisi 3, Penerbit : Buku Kedokteran
EGC ; Jakarta.
Townsend C. Mary , 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran, EGC ;
Jakarta.
WF Maramis, 1998, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, penerbit : Buku Kedokteran EGC ; Jakarta.

LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN

A. MASALAH UTAMA
Perilaku kekerasan
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat

membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Sering disebut juga

gaduh gelisah atau amuk dimana seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan

gerakan motorik yang tidak terkontrol (Yosep, 2009)


Suatu keadaan ketika individu mengalami perilaku yang secara fisik dapat membahayakan

bagi diri sendiri atau pun orang lain (Sheila L. Videbeck, 2008).
Perilaku kekerasan adalah keadaan dimana individu-individu beresiko menimbulkan bahaya

langsung pada dirinya sendiri ataupun orang lain (Carpenito, 2000).


Jadi, perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan individu yang melakukan tindakan yang

dapat membahayakan/mencederai diri sendiri, orang lain bahkan dapat merusak lingkungan.

2. Tanda Dan Gejala


a. Fisik
Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan tegang,

serta postur tubuh kaku.


b. Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada keras, kasar dan ketus.
c. Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan, amuk/agresif.
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel, tidak berdaya,

bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.


e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata

bernada sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral dan kreativitas

terhambat.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran.

h. Perhatian bolos
Melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual.
3. Rentang respon

Respon adaptif Respon mal adaptif


Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Gambar 1.1. Rentan Respon Perilaku Kekerasan

Keterangan :
a. Asertif
Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan

ketenangan.
b. Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat menemukan alternatif.
c. Pasif
Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
d. Agresif
Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tetapi masih terkontrol.
e. Kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol.
4. Faktor predisposisi
faktor predisposisi perilaku kekerasan, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Teori Biologik
Berdasarkan teori biologik, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan

perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut.


1) Pengaruh Neurofisiologik, beragam komponen neurologis mempunyai implikasi dalam

memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik sengat terlibat dalam menstimulasi

timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif.


2) Pengaruh Biokimia, menurut Goldsten dalam Townsend menyatakan bahwa berbagai

neurotransmiter (epinefrin, norepinefrin, dopamin, asetilkolin dan serotonin) sangat berperan

dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon androgen dan
norepinefrin serta penurunan serotinin dan GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan

faktor predisposisi penting yang dapat menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada seseorang
3) Pengaruh Genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya dengan genetik

termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku

tindak kriminal (narapidana).


4) Gangguan Otak, sindrom otak organik berhubungan dengan bernagai gangguan serebral, tumor

otak (khususnya pada limbik dan lobus temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi

(epilepsi lobus temporal)

terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.

b. Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman

dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi

dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta

memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku agresif dan

tindak kekerasan merupakan pengeungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya

dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.


2) Teori Pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari, individu yang

memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh

contoh peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik.


c. Teori Sosiokultural
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara

penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku

kekerasan.
5. Faktor Presipitasi
a. Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi faktor eksternal dan internal.
1) Internal adalah semua faktor yang dapat menimbulkan kelemahan, menurunnya percaya diri,

rasa takut sakit, hilang kontrol dan lain-lain.


2) Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yng dicintai, krisis dan lain-lain.
Hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain sebagai

berikut.
1) kesulitan kondisi sosial ekonomi.
2) kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu.
3) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya dalam

menempatkan diri sebagai orang yang dewasa.


4) Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti penyalahgunaan obat dan alkohol serta

tidak mampu mengontrol emosi pada saat menhadapi rasa frustasi.


5) kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan perubahan tahap

perkembangan keluarga.
6. Fase- fase perilaku kekerasan
a. Triggering incidents
Ditandai dengan adanya pemicu sehingga muncul agresi klien. Beberapa faktor yang dapat

menjadi pemicu agresi antara laian: provokasi, respon terhadap kegagalan, komunikasi yang

buruk, situasi yang menyebabkan frustrasi, pelanggaran batas terhadap jarak personal, dan

harapan yang tidak terpenuhi. Pada fase ini klien dan keluarga baru datang.
b. Escalation phase
Ditandai dengan kebangkitan fisik dan emosional, dapat diseterakan dengan respon fight or

flight. Pada fase escalasi kemarahan klien memuncak, dan belum terjadi tindakan kekerasan.

Pemicu dari perilaku agresif klien gangguan psikiatrik bervariasi misalnya: halusinasi, gangguan

kognitif, gangguan penggunaan zat, kerusakan neurologi/kognitif, bunuh diri dan koping tidak

efektif.
c. Crisis point
Sebagai lanjutan dari fase escalasi apabila negosiasi dan teknik de escalation gagal mencapai

tujuannya. Pada fase ini klien sudah melakukan tindakan kekerasan.


d. Settling phase
Klien yang melakukan kekerasan telah melepaskan energi marahnya. Mungkin masih ada rasa

cemas dan marah dan berisiko kembali ke fase awal.


e. Post crisis depression
Klien pada fase ini mungkin mengalami kecemasan dan depresi dan berfokus pada kemarahan

dan kelelahan.
f. Return to normal functioning
Klien kembali pada keseimbangan normal dari perasaan cemas, depresi, dan kelelahan.
7. Perilaku
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
a. Menyerang atau menghindar (fight of flight)
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi terhadap

sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil

melebar, sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva

meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat diserta ketegangan otot, seperti rahang

terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat
b. Menyatakan secara asertif (assertiveness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya yaitu dengan

perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk

mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti

orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini dapat juga untuk

pengembangan diri klien


c. Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku acting out untuk menarik

perhatian orang lain.


d. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun

lingkungan.

8. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat membantu klien

untuk mengembangkan mekanisme koping yang kontruktif dalam mengekspresikan

kemarahannya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego

seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial dan reaksi formasi.


Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang berkepanjangan dari

seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila
kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri (harga diri

rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan

orang lain ini tidak diatasi akan memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau bayangan yang

meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut akan berdampak pada

keselamatan dirinya dan orang lain (resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang kurang baik

dalam menghadapi kondisi klien dapat mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga

tidak efektif). Hal ini tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan

kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen terapeutik inefektif.


C. DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Keperawatan Data yang perlu dikaji


Perilaku Kekerasan Subjektif :
Klien mengancam
Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
Klien mengatakan dendam dan jengkel
Klien mengatakan ingin berkelahi
Klien menyalahkan dan menuntut
Klien meremehkan

Objektif :
Mata melotot
Tangan mengepal
Rahang mengatup
Wajah memerah dan tegang
Postur tubuh kaku
Suara keras

faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku kekerasan, antara lain sebagai berikut:

1. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah.


2. Stimulus lingkungan.
3. Konflik interpersonal.
4. Status mental.
5. Putus obat.
6. Penyalahgunaan narkoba/alkohol.
D. MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
1. Perilaku kekerasan
2. Rsiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
3. Perubahan persepsi sensori: halusinasi
4. Harga diri rendah kronis
5. Isolasi sosial
6. Berduka disfungsional
7. penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif

koping keluarga inefektif

E. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Perilaku kekerasan
F. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
1. Tindakan keperawatan untuk klien
Tujuan
a. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
b. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
c. Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya.
d. Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya
e. Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasannya.
f. Klien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual, sosial dan dengan terapi

psikofarmaka.

Tindakan

a. BHSP
Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar klien merasa aman dan

nyaman saat berinteraksi dengan Saudara. Tindakan yang harus Saudara lakukan dalam rangka

membina hubungan saling percaya adalah mengucapkan salam terapeutik, berjabat tangan,

menjelaskan tujuan interaksi, serta membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu

klien.
b. Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan yang terjadi di masa lalu dan saat ini.
c. Diskusikan perasaan klien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan.
d. Diskusikan bersama klien mengenai tanda dan gejala perilaku kekerasan, baik kekerasan fisik,

psikologis, sosial, spiritual, maupun intelektual.


e. Diskusikan bersama klien perilaku secara verbal yang biasa dilakukan pada saat marah baik

terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.


f. Diskusikan bersama klien akibat yang ditimbulkan dari perilaku marahnya.
2. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
Tujuan
Keluarga dapat merawat klien dirumah.
Tindakan
a. Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan meliputi penyebab, tanda dan gejala,

perilaku yang muncul, serta akibat dari perilaku tersebut.


b. Latih keluarga untuk merawat anggota keluarga dengan perilaku kekerasan.
c. Anjurkan keluarga untuk selalu memotivasi klien agar melakukan tindakan yang telah diajarkan

oleh perawat
d. Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian kepada klien bila anggota keluarga dapat

melakukan kegiatan tersebut secara tepat.


e. Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila klien menunjukkan gejala-

gejala perilaku kekerasan.


f. Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi klien yang perlu segera dilaporkan kepada

perawat, seperti melempar atau memukul benda atau orang lain.


G. POHON MASALAH
risiko tinggi mencederai diri, orang lain, dan lingkungan

perilaku kekerasan PPS: Halusinasi


regimen terapeutik
inefektif
harga diri rendah isolasi sosial
kronis
koping keluarga
tidak efektif
berduka disfungsional

gambar 1.1 Pohon Masalah Perilaku Kekerasan.

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta: EGC

Keliat, Ana Budi. Dkk. 2009. Model kepeawatan profesional jiwa. Jakarta: EGC

Keliat, Ana Budi. Dkk. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta; EGC

Kusumawati, farida. 2010.Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta :salemba medika

Stuart GW, Sundeen. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta; EGC

Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung; Refika Aditama

Videbeck, Sheila L. 2008. Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta :EGC

LAPORAN PENDAHULUAN DEFISIT PERAWATAN DIRI


I. MASALAH UTAMA :

DEFISIT PERAWATAN DIRI

II. PROSES TERJADINYA MASALAH

A. Pengertian

Defisit keperawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa


merupakan defisit perawatan diri yang terjadi akibat adanya
perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri menurun.
( Keliat dan Akemat, 2007)

Menurut Potter, Perry (2005), personal hygiene adalah suatu tindakan


untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk
kesejahteraan fisik dan psikis.

B. Tanda dan Gejala

Untuk mengetahui apakah pasien mengalami masalah kurang


perawatan diri maka tanda dan gejala dapat diperoleh melalui
observasi pada pasien yaitu:

a. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi


kotor, kulit berdaki dan bau, kuku panjang dan kotor.

b. Ketidakmampuan berhias/berdandan, ditandai dengan rambut


acak-acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai,
pada pasien laki-laki tidak bercukur, pada pasien wanita tidak
berdandan.

c. Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai dengan


ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran,
dan makan tidak pada tempatnya.

d. Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri, ditandai dengan


BAB/BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri
dengan baik setelah BAB/BAK

C. Penyebab

Penyebab Defisit Perawatan Diri adalah isolasi sosial. (Budiana K,


Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Jilid 2). Isolasi sosial adalah adalah
opercobaan untuk mengindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain.
Tanda - gejala isolasi social :

a. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul

b. Menghindar dari orang lain

c. Komunikasi kurang / tidak ada

d. Tidak ada kontak mataTidak melakukan aktivitas sehari-hari

e. Berdiam diri di kamar

f. Mobilitas kurang

g. Posisi janin saat tidur

D. Akibat

Akibat dari defisit perawatan diri adalah Gangguan Pemeliharaan


Kesehatan (Budiana K, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Jilid 2),
Gangguan pemelihaaan kesehatan ini bentuknya bisa bermacam-
macam. Bisa terjadinya infeksi kulit (scabies, panu, kurap) dan juga
gangguan yang lain seperti gastritis kronis (karena kegagalan dalam
makan), penyebaran penyakit orofecal ( karena hiegene bab/bak
sembarangan) dan lain-lain.

E. Pohon Masalah

F. Penatalaksanaan

a. Farmakologi

1. Obat anti psikosis : Penotizin

2. Obat anti depresi : Amitripilin

3. Obat anti ansietas : Diasepam, Bromozepam, Clobozam

4. Obat anti insomnia : Phneobarbital

b. Terapi
1. Terapi keluarga

Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu


mengatasi masalah klien dengan memberikan perhatian

BHSP

Jangan memancing emosi klien

Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan


dengan keluarga

Berikan kesempatan klien mengemukakan


pendapat

Dengarkan , bantu dan anjurkan pasien untuk


mengemukakan masalah yang dialaminya

2. Terapi kelompok

Berfokus pada dukungan dan perkembangan, ketrampilan


sosial, atau aktivitas lain dengan berdiskusi dan bermain
untuk mengembalikan keadaan klien karena masalah
sebagian orang merupkan perasaan dan tingkah laku
pada orang lain.

3. Terapi musik

Dengan musik klien terhibur, rileks dan bermain untuk


mengembalikan kesadaran pasien.

G. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu dikaji

a. Masalah Keperawatan

1. Defisit Perawatan Diri

2. Isolasi Sosial

3. Gangguan Pemeliharaan Kesehatan

b. Data yang perlu dikaji

Data subyektif

1. Klien mengatakan dirinya malas mandi


2. Klien mengatakan malas makan

3. Klien mengatakan tidak tahu cara membersihkan WC


setelah bab/bak

Data Obyektif

4. Ketidakmampuan mandi dan membersihkan diri ; kotor,


berbau

5. Ketidakmampuan berpakaian; pakaian sembarangan

6. Ketidakmampuan bab/bak secara mandiri : bab/bak


sembarangan

H. Diagnosa perawatan

a. Defisit Perawatan Diri

b. Isolasi Sosial

I. Tidakan keperawatan

a. Tindakan keperawatan untuk pasien kurang perawatan diri.

Tujuan:

1. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri

2. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik

3. Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri

Tindakan keperawatan

4. Membantu klien dalam perawatan kebersihan diri

Untuk membantu klien dalam menjaga kebersihan diri


Saudara dapat melakukan tahapan tindakan yang
meliputi:

Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.


Menyiapkan lat-alat untuk menjaga kebersihan diri

Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri

Membimbing klien dalam kebersihan diri

5. Membantu pasien berdandan/berhias

Untuk pasien laki-laki membantu meliputi :

Berpakaian

Menyisir rambut

Bercukur

Untuk pasien wanita, membantu meliputi :

Berpakaian

Menyisir rambut

Berhias

6. Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri

Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai

Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB


dan BAK

Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan


BAK

DAFTAR PUSTAKA

1. Aziz, F,dkk. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang: RSJD Dr.


Amino Gondhoutomo.2003

2. Keliat, B.A. 2007. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

3. Perry, Potter.2005. Buku Ajar FundamentalbKeperawatan.


Jakarta:EGC
LP ISOLASI SOSIAL

About

Contact Us

Privacy Policy

Disclaimer

Sitemap

i.o Note

Kumpulan Makalah Keperawatan berkualitas, Asuhan Keperawatan, Pathway, Laporan


Pendahuluan, Laporan Kasus, SOP terlengkap dan terpercaya.

Home

Blogging

Pendidikan
o

Kesehatan

Game

Musik

Abaut Me

Search...

Home Keperawatan Jiwa Laporan Pendahuluan Keperawatan Jiwa : Defisit


Perawatan Diri - DPD
Noor Rio Prastyo 1:49 PM Keperawatan Jiwa

Laporan Pendahuluan Keperawatan Jiwa : Defisit Perawatan Diri - DPD

LAPORAN PENDAHULUAN DEFISIT PERAWATAN DIRI

I. MASALAH UTAMA :

DEFISIT PERAWATAN DIRI

II. PROSES TERJADINYA MASALAH

A. Pengertian
Defisit keperawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa
merupakan defisit perawatan diri yang terjadi akibat adanya
perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri menurun.
( Keliat dan Akemat, 2007)

Menurut Potter, Perry (2005), personal hygiene adalah suatu tindakan


untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk
kesejahteraan fisik dan psikis.

B. Tanda dan Gejala

Untuk mengetahui apakah pasien mengalami masalah kurang


perawatan diri maka tanda dan gejala dapat diperoleh melalui
observasi pada pasien yaitu:

a. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi


kotor, kulit berdaki dan bau, kuku panjang dan kotor.

b. Ketidakmampuan berhias/berdandan, ditandai dengan rambut


acak-acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai,
pada pasien laki-laki tidak bercukur, pada pasien wanita tidak
berdandan.

c. Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai dengan


ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran,
dan makan tidak pada tempatnya.

d. Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri, ditandai dengan


BAB/BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri
dengan baik setelah BAB/BAK

C. Penyebab

Penyebab Defisit Perawatan Diri adalah isolasi sosial. (Budiana K,


Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Jilid 2). Isolasi sosial adalah adalah
opercobaan untuk mengindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain.
Tanda - gejala isolasi social :

a. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul

b. Menghindar dari orang lain

c. Komunikasi kurang / tidak ada


d. Tidak ada kontak mataTidak melakukan aktivitas sehari-hari

e. Berdiam diri di kamar

f. Mobilitas kurang

g. Posisi janin saat tidur

D. Akibat

Akibat dari defisit perawatan diri adalah Gangguan Pemeliharaan


Kesehatan (Budiana K, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Jilid 2),
Gangguan pemelihaaan kesehatan ini bentuknya bisa bermacam-
macam. Bisa terjadinya infeksi kulit (scabies, panu, kurap) dan juga
gangguan yang lain seperti gastritis kronis (karena kegagalan dalam
makan), penyebaran penyakit orofecal ( karena hiegene bab/bak
sembarangan) dan lain-lain.

E. Pohon Masalah

F. Penatalaksanaan

a. Farmakologi

1. Obat anti psikosis : Penotizin

2. Obat anti depresi : Amitripilin

3. Obat anti ansietas : Diasepam, Bromozepam, Clobozam

4. Obat anti insomnia : Phneobarbital

b. Terapi

1. Terapi keluarga

Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu


mengatasi masalah klien dengan memberikan perhatian

BHSP

Jangan memancing emosi klien


Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan
dengan keluarga

Berikan kesempatan klien mengemukakan


pendapat

Dengarkan , bantu dan anjurkan pasien untuk


mengemukakan masalah yang dialaminya

2. Terapi kelompok

Berfokus pada dukungan dan perkembangan, ketrampilan


sosial, atau aktivitas lain dengan berdiskusi dan bermain
untuk mengembalikan keadaan klien karena masalah
sebagian orang merupkan perasaan dan tingkah laku
pada orang lain.

3. Terapi musik

Dengan musik klien terhibur, rileks dan bermain untuk


mengembalikan kesadaran pasien.

G. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu dikaji

a. Masalah Keperawatan

1. Defisit Perawatan Diri

2. Isolasi Sosial

3. Gangguan Pemeliharaan Kesehatan

b. Data yang perlu dikaji

Data subyektif

1. Klien mengatakan dirinya malas mandi

2. Klien mengatakan malas makan

3. Klien mengatakan tidak tahu cara membersihkan WC


setelah bab/bak

Data Obyektif
4. Ketidakmampuan mandi dan membersihkan diri ; kotor,
berbau

5. Ketidakmampuan berpakaian; pakaian sembarangan

6. Ketidakmampuan bab/bak secara mandiri : bab/bak


sembarangan

H. Diagnosa perawatan

a. Defisit Perawatan Diri

b. Isolasi Sosial

I. Tidakan keperawatan

a. Tindakan keperawatan untuk pasien kurang perawatan diri.

Tujuan:

1. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri

2. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik

3. Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri

Tindakan keperawatan

4. Membantu klien dalam perawatan kebersihan diri

Untuk membantu klien dalam menjaga kebersihan diri


Saudara dapat melakukan tahapan tindakan yang
meliputi:

Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.

Menyiapkan lat-alat untuk menjaga kebersihan diri

Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri

Membimbing klien dalam kebersihan diri

5. Membantu pasien berdandan/berhias


Untuk pasien laki-laki membantu meliputi :

Berpakaian

Menyisir rambut

Bercukur

Untuk pasien wanita, membantu meliputi :

Berpakaian

Menyisir rambut

Berhias

6. Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri

Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai

Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB


dan BAK

Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan


BAK

DAFTAR PUSTAKA

1. Aziz, F,dkk. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang: RSJD Dr.


Amino Gondhoutomo.2003

2. Keliat, B.A. 2007. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

3. Perry, Potter.2005. Buku Ajar FundamentalbKeperawatan.


Jakarta:EGC

nophienov

A fine WordPress.com site

LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL: MENARIK DIRI


DEFINISI

1. Isolasi adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau


merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan
dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak ( Carpenito,
1998 )

2. b. Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh


seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam
(Towsend,1998).

3. Kerusakan sosial adalah suatu keadaan seseorang berpartisipasi dalam


pertukaran sosial dengan kuantitas dan kualitas yang tidak efektif (Towsend,
1998). Klien yang mengalami kerusakan interaksi sosial mengalami kesulitan
dalam berinteraksi dengan orang lain yang salah satunya mengarah pada
perilaku menarik diri.

4. Kerusakan interaksi sosial adalah suatu gangguan kepribadian yang tidak


fleksibel, tingkah maladaptif dan mengganggu fungsi individu dalam
hubungan sosialnya (Stuart dan Sundeen, 1998).

5. Seseorang dengan perilaku menarik diri akan menghindari interaksi dengan


orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak
mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran dan prestasi atau
kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan
dengan orang lain, yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri,
tidak ada perhatian dan tidak sanggup membagi pengalaman dengan orang
lain (DepKes, 1998).

6. Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan


orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain. Selain itu menarik diri
merupakan suatu tindakan melepaskan diri baik perhatian maupun minatnya
terhadap lingkungan sosial secara langsung (isolasi diri) (Stuart dan
Sundeen, 1995).

7. Perilaku Menarik Diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi


dengan orang lain, menghindari hubungan degan orang lain. (Rawlins,
1993, hal 336).

8. Menarik Diri adalah suatu tindakan melepaskan diri dari alam sekitarnya,
individu tidak ada minat dan perhatian terhadap lingkungan sosial secara
langsung. (Petunjuk teknis Askep pasien gangguan skizofrenia hal
53).
9. Perilaku menarik diri adalah suatu usaha menghindari interaksi dengan
orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak
menyadari kesempatan untuk berhubungan secara spontan dengan orang
lain yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada
perhatian dan tidak sanggup membagi pengalaman dengan orang lain (Budi
Anna Keliat, 1999).

RENTANG RESPONS SOSIAL

Gangguan hubungan sosial terdiri atas :

1. Isolasi Sosial adalah kondisi kesepian yang diekspresikan oleh individu dan
dirasakan sebagai hal yang ditimbulkan oleh orang lain dan sebagai suatu
keadaan negatif yang mengancam. Dengan karakteristik : tinggal sendiri
dalam ruangan, ketidakmampuan untuk berkomunikasi, menarik diri,
kurangnya kontak mata. Ketidaksesuaian atau ketidakmatangan minat dan
aktivitas dengan perkembangan atau terhadap usia. Preokupasi dengan
pikirannya sendiri, pengulangan, tindakan yang tidak bermakna.
Mengekspresikan perasaan penolakan atau kesepian yang ditimbulkan oleh
orang lain. Mengalami perasaan yang berbeda dengan orang lain, merasa
tidak aman ditengah orang banyak. (Mary C. Townsend, Diagnose Kep.
Psikiatri, 1998; hal 252).

2. Kerusakan Interaksi sosial adalah suatu keadaan dimana seorang individu


berpartisipasi dalam suatu kualitas yang tidak cukup atau berlebihan atau
kualitas interaksi sosial yang tidak efektif, Dengan Karakteristik :
Menyatakan secara verbal atau menampakkan ketidaknyamanan dalam
situasi-situasi sosial. Menyatakan secara verbal atau menampakkan
ketidakmampuan untuk menerima atau mengkomunikasikan kepuasan rasa
memiliki, perhatian, minat, atau membagi cerita. Tampak menggunakan
perilaku interaksi sosial yang tidak berhasil. Disfungsi interaksi dengan rekan
sebaya, keluarga atau orang lain. Penggunaan proyeksi yang berlebihan tidak
menerima tanggung jawab atas perilakunya sendiri. Manipulasi verbal.
Ketidakmampuan menunda kepuasan. (Mary C. Townsend, Diagnosa
Keperawatan Psikiatri, 1998; hal 226).

Rentang Respon Sosial

Waktu membina suatu hubungan sosial, setiap individu berada dalam rentang respons
yang adaptif sampai dengan maladaptif. Respon adaptif merupakan respons yang dapat diterima
oleh norma norma sosial dan budaya setempat yang secara umum berlaku, sedangkan respons
maladaptif merupakan respons yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang
kurang dapat diterima oleh norma norma sosial dan budaya setempat. Respons sosial
maladaptif yang sering terjadi dalam kehidupan sehari hari adalah menarik diri, tergantung
(dependen), manipulasi, curiga, gangguan komunikasi, dan kesepian.
Menurut Stuart dan Sundeen, 1999, respon setiap individu berada dalam rentang adaptif
sampai dengan maladaptive yang dapat dilihat pada bagan berikut :

Respon adaptif respon maladaptif

1. Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma
norma sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku di masyarakat.
Respon adaptif terdiri dari :

1. 1. Menyendiri(Solitude): Merupakan respons yang dibutuhkan


seseorang untuk merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan
sosialnya dan suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan langkah
selanjutnya. Solitude umumnya dilakukan setelah melakukan kegiatan.

2. 2. Otonomi: Merupakan kemampuan individu untuk menentukan


dan menyampaikan ide-ide pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.

3. 3. Bekerja sama (mutualisme): adalah suatu kondisi dalam


hubungan interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk saling
memberi dan menerima.

4. 4. Saling tergantung (interdependen): Merupakan kondisi saling


tergantung antara individu dengan orang lain dalam membina
hubungan interpersonal.

2. B. Respon maladaptive

Respon maladaptif adalah respon yang menimbulkan gangguan dengan berbagai tingkat
keparahan (Stuart dan Sundeen, 1998). Respon maladaptif terdiri dari :

1. 1. Menarik diri: merupakan suatu keadaan dimana seseorang


menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan
orang lain.

2. 2. Manipulasi: Merupakan gangguan hubungan sosial yang terdapat


pada individu yang menganggap orang lain sebagai objek. Individu tersebut
tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.

3. 3. Impulsif: Individu impulsif tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak


mampu belajar dari pengalaman, tidak dapat diandalkan.

4. 4. Narkisisme: Pada individu narkisisme terdapat harga diri yang rapuh,


secara terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian, sikap
egosenetris, pencemburuan, marah jika orang lain tidak mendukung.

5. 5. Tergantung (dependen): terjadi bila seseorang gagal


mengembangkan rasa percaya diri atau kemampuannya untuk berfungsi
secara sukses.
6. 6. Curiga: Terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya
dengan orang lain. Kecurigaan dan ketidakpercayaan diperlihatkan dengan
tanda-tanda cemburu, iri hati, dan berhati-hati. Perasaan individu ditandai
dengan humor yang kurang, dan individu merasa bangga dengan sikapnya
yang dingin dan tanpa emosi.

FAKTOR PREDISPOSISI DAN PRESIPITASI

Faktor predisposisi terjadinya perilaku menarik diri adalah kegagalan perkembangan yang
dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, ragu takut salah, putus
asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindar dari orang lain, tidak mampu
merumuskan keinginan dan meresa tertekan.

Sedangkan faktor presipitasi dari faktor sosio-cultural karena menurunnya stabilitas keluarga
dan berpisah karena meninggal dan fakto psikologis seperti berpisah dengan orang yang terdekat
atau kegagalan orang lain untuk bergantung, merasa tidak berarti dalam keluarga sehingga
menyebabkan klien berespons menghindar dengan menarik diri dari lingkungan (Stuart and
Sundeen, 1995).

Penyebab dari Menarik Diri

Salah satu penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian
individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal
diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri
sendiri dan kemampuan, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan yang
diekspresikan secara langsung maupun tak langsung.

Tanda dan gejala harga diri rendah :

Ada 10 cara individu mengekspresikan secara langsung harga diri rendah (Stuart dan Sundeen,
1995)

a. Mengejek dan mengkritik diri sendiri

b. Merendahkan atau mengurangi martabat diri sendiri

c. Rasa bersalah atau khawatir

d. Manisfestasi fisik : tekanan darah tinggi, psikosomatik, dan penyalahgunaan zat.

e. Menunda dan ragu dalam mengambil keputusan

f. Gangguan berhubungan, menarik diri dari kehidupan social


g. Menarik diri dari realitas

h. Merusak diri

i. Merusak atau melukai orang lain

j. Kebencian dan penolakan terhadap diri sendiri. Tanda Dan Gejala Harga Diri Rendah

Gejala Klinis ( Budi Anna Keliat, 1999):

1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit (rambut botak karena terapi)

2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)

3. Gangguan hubungan sosial (menarik diri)

4. Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)

5. Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang
suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.

Pohon Masalah

Resiko Perubahan Sensori-persepsi :

Halusinasi ..

Isolasi sosial : menarik diri Core Problem

Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah

( Budi Anna Keliat, 1999)


TANDA DAN GEJALA

Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul

Menghindar dari orang lain (menyendiri)

Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain/perawat

Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk

Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas

Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak
bercakap-cakap

Tidak melakukan kegiatan sehari-hari.

(Budi Anna Keliat, 1998)

Data Subjektif :

Sukar didapati jika klien menolak berkomunikasi. Beberapa data subjektif adalah menjawab
pertanyaan dengan singkat, seperti kata-kata tidak , iya, tidak tahu.

Data Objektif :

Observasi yang dilakukan pada klien akan ditemukan :

Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.

Menghindari orang lain (menyendiri), klien nampak memisahkan diri dari orang lain, misalnya
pada saat makan.

Komunikasi kurang / tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain / perawat.

Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk.

Berdiam diri di kamar / tempat terpisah. Klien kurang mobilitasnya.


Menolak berhubungan dengan orang lain. Klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak
bercakap-cakap.

Tidak melakukan kegiatan sehari-hari. Artinya perawatan diri dan kegiatan rumah tangga sehari-
hari tidak dilakukan.

Posisi janin pada saat tidur.

KARAKTERISTIK PERILAKU

Gangguan pola makan : tidak nafsu makan atau makan berlebihan.

Berat badan menurun atau meningkat secara drastis.

Kemunduran secara fisik.

Tidur berlebihan.

Tinggal di tempat tidur dalam waktu yang lama.

Banyak tidur siang.

Kurang bergairah.

Tidak memperdulikan lingkungan.

Kegiatan menurun.

Immobilisasai.

Mondar-mandir (sikap mematung, melakukan gerakan berulang).

Keinginan seksual menurun.

Komplikasi dari Menarik Diri

Klien dengan perilaku menarik diri dapat berakibat adanya terjadinya resiko perubahan sensori
persepsi (halusinasi). Halusinasi ini merupakan salah satu orientasi realitas yang maladaptive,
dimana halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata, artinya
klien menginterprestasikan sesuatu yang nyata tanpa stimulus/ rangsangan eksternal.
Gejala Klinis halusinasi :

1. bicara, senyum dan tertawa sendiri

2. menarik diri dan menghindar dari orang lain

3. tidak dapat membedakan tidak nyata dan nyata

4. tidak dapat memusatkan perhatian

5. curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya),


takut

6. ekspresi muka tegang, mudah tersinggung

(Budi Anna Keliat, 1999)

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA PADA KLIEN


DENGAN ISOLASI SOSIAL

Pemberian asuhan keperawatan klien degan masalah utama Kerusakan Interaksi Sosial pada
kasus Menarik Diri tetap menggunakan proses keperawatan yang lazim digunakan pada klien
dengan gangguan jiwa dengan tahap-tahap sebagai berikut :

I. Deskripsi

Tanggapan atau deskripsi tentang isolasi yaitu suatu keadaan kesepian yang dialami oleh
seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (towsend, 1998).
Seseorang dengan perilaku menarik diri akan menghindari interaksi dengan orang lain.
C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Adapun ruang lingkup pengkajian klien dengan masalah utama Kerusakan Interaksi Sosial pada
kasus Menarik Diri meliputi pegumpulan data, perumusan masalah keperawatan, pohon masalah
dan analisa data.

Pengumpulan data

Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Pengelompokan
data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat pula berupa faktor predisposisi, penilaian terhadap
stresor, sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien (Stuart and Sundeen, 1995).
Adapun data yang dapat dikumpulkan pada klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus
Menarik Diri adalah sebagai berikut

1) Identitas klien

Pada umumnya idetitas klien yang dikaji pada klien dengan masalah utama Kerusakan Interaksi
Sosial Menarik Diri adalah : biodata yang meliputi nama, umur, terjadi pada umur atara 15 40
tahun, bisa terjadi pada semua jenis kelamin, status perkawinan, tangggal MRS , informan,
tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat klien. dan agama pendidikan serta pekerjaan
dapat menjadi faktor untuk terjadinya penyakit Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik
Diri.

2) Alasan masuk rumah sakit

Keluhan biasanya adalah kontak mata kurang, duduk sendiri lalu menunduk, menjawab
pertanyaan dengan singkat, menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi kurang atau
tidak ada, berdiam diri dikamar, menolak interaksi dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan
sehari hari, dependen.

3) Faktor predisposisi

Pernah atau tidaknya mengalami gangguan jiwa, usaha pengobatan bagi klien yang telah
mengalami gangguan jiwa trauma psikis seperti penganiayaan, penolakan, kekerasan dalam
keluarga dan keturunan yang mengalami gangguan jiwa serta pengalaman yang tidak
menyenangkan bagi klien sebelum mengalami gangguan jiwa. Kehilangan, perpisahan,
penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan / frustrasi berulang,
tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial.
Terjadi trauma yang tiba-tiba misalnya harus dioperasi , kecelakaan, dicerai suami , putus
sekolah, PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi ( korban perkosaan, di tuduh KKN,
dipenjara tiba tiba) perlakuan orang lain yang tidak menghargai klien/ perasaan negatif
terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.

4) Aspek fisik / biologis

Hasil pengukuran tada vital (TD: cenderung meningkat, Nadi: cenderung meningkat, suhu:
meningkat, Pernapasan : bertambah, TB, BB: menurun).

5) Keluhan fisik

Biasanya mengalami gangguan pola makan dan tidur sehingga bisa terjadi penurunan berat
badan. Klien biasanya tidak menghiraukan kebersihan dirinya.
5) Aspeks psikososial

Genogram yang menggambarkan tiga generasi

6) Konsep diri

Konsep diri merupakan satu kesatuan dari kepercayaan, pemahaman dan keyakinan seseorang
terhadap dirinya yang memperngaruhi hubungannya dengan orang lain. Pada umumnya klien
dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri mengalami gangguan konsep diri
seperti :

Citra tubuh : Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak
menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Menolak penjelasan
perubahan tubuh, persepsi negatip tentang tubuh. Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang,
mengungkapkan keputus asaan, mengungkapkan ketakutan.

Identitas diri: Ketidakpastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan dan tidak
mampu mengambil keputusan .

Peran: Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit, proses menua,
putus sekolah, PHK.

Ideal diri: Mengungkapkan keputusasaan karena penyakitnya; mengungkapkan keinginan


yang terlalu tinggi.

Harga diri: Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri,
gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, mencederai diri, dan kurang percaya diri.
Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubungan social dengan orang lain
terdekat dalam kehidupan, kelempok yang diikuti dalam masyarakat. Keyakinan klien terhadap
Tuhan dan kegiatan untuk ibadah ( spritual).

Hubungan sosial

Hubungan sosial merupakan kebutuhan bagi setiap manusia, karena manusia tidak mampu hidup
secara normal tanpa bantuan orang lain. Pada umumnya klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial
pada kasus Menarik Diri mengalami gangguan seperti tidak merasa memiliki teman dekat, tidak
pernah melakukan kegiatan kelompok atau masyarakat dan mengalami hambatan dalam
pergaulan.

6) Status mental
a) Penampilan: Pada klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial : Menarik Diri berpenampilan
tidak rai, rambut acak-acakan, kulit kotor, gigi kuning, tetapi penggunaan pakaian sesuai dengan
keadaan serta klien tidak mengetahui kapan dan dimana harus mandi.

b) Pembicaraan: Pembicaraan klien dengan Kerusakan interaksisosial Menarik Diripada


umumnya tidak mampu memulai pembicaraan, bila berbicara topik yang dibicarakan tidak jelas
atau kadang menolak diajak bicara.

c) Aktivitas motorik: Klien tampak lesu, tidak bergairah dalam beraktifitas, kadang gelisah
dan mondar-mandir.

d) Alam perasaan: Alam perasaan pada klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus
Menarik Diri biasanya tampak putus asa dimanifestasikan dengan sering melamun.

e) Afek: Afek klien biasanya datar, yaitu tidak bereaksi terhadap rangsang yang normal.

f) Interaksi selama wawancara: Klien menunjukkan kurang kontak mata dan kadang-kadang
menolak untuk bicara dengan orang lain.

g) Persepsi

Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri pada umumnya
mengalami gangguan persepsi terutama halusinasi pendengaran, klien biasanya mendengar
suara-suara yang megancam, sehingga klien cenderung sering menyendiri dan melamun.

h) Isi pikir

Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri pada umumnya
mengalami gangguan isi pikir : waham terutama waham curiga.

i) Proses pikir

Proses pikir pada klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri akan
kehilangan asosiasi, tiba-tiba terhambat atau blocking serta inkoherensi dalam proses pikir.

j) Kesadaran

Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri tidak mengalami
gangguan kesadaran.

k) Memori
Klien tidak mengalami gangguan memori, dimana klien mampu mengingat hal-hal yang
telah terjadi.

l) Konsentrasi dan berhitung

Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri pada umumnya tidak
mengalami gangguan dalam konsentrasi dan berhitung.

m) Kemampuan penilaian

Klien tidak mengalami gangguan dalam penilaian

n) Daya tilik diri

Klien mengalami gangguan daya tilik diri karena klien akan mengingkari penyakit yang
dideritanya.

7) Kebutuhan persiapan pulang

a) Makan

Klien mengalami gangguan daya tilik diri karena klien akan mengingkari penyakit yang
dideritanya.

b) BAB / BAK

Kemampuan klien menggunakan dan membersihkan WC kurang.

c) Mandi

Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri bisanya tidak memiliki minat
dalam perawatan diri (mandi)

d) Istirahat dan tidur: Kebutuhan istirahat dan tidur klien biasaya terganggu

8) Mekanisme koping

Koping yang digunakan klien adalah proyeksi, menghindar dan kadang-kadang mencedrai diri.

Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakannya pada orang orang lain
(lebih sering menggunakan koping menarik diri). Mekanisme koping yang sering digunakan
pada klien menarik diri adalah regresi, represi, dan isolasi.
9) Masalah psikososial dan lingkungan

Klien mendapat perlakuan yang tidak wajar dari lingkungan seperti klien direndahkan
atau diejek karena klien menderita gangguan jiwa.

10) Pengetahuan

Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri, kurang mengetahuan
dalam hal mencari bantuan, faktor predisposisi, koping mekanisme dan sistem pendukung dan
obat-obatan sehingga penyakit klien semakin berat.

11) Aspek medic

Meliputi diagnosa medis dan terapi obat-obatan yang digunakan oleh klien selama
perawatan.

1. Status Mental

Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak mata, kurang dapat memulai
pembicaraan, klien suka menyendiri dan kurang mampu berhubungan dengan orang lain, Adanya
perasaan keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup.

1. Kebutuhan persiapan pulang.

Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan

Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan WC, membersikan dan
merapikan pakaian.

Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi

Klien dapat melakukan istirahat dan tidur , dapat beraktivitas didalam dan diluar rumah

Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.

ASPE MEDIK

PENATALAKSANAAN

Menurut Keliat, dkk.,(1998), prinsip penatalaksanaan klien menarik diri adalah :


a. Bina hubungan saling percaya

b. Ciptakan lingkungan yang terapeutik

c. Beri klien kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya

d. Dengarkan klien dengan penuh empati

e. Temani klien dan lakukan komunikasi terapeutik

f. Lakukan kontak sering dan singkat

g. Lakukan perawatan fisik

h. Lindungi klien

i. Rekreasi

j. Gali latar belakang masalah dan beri alternatif pemecahan

k. Laksanakan program terapi dokter

l. Lakukan terapi keluarga

Penatalaksanaan medis (Rasmun,2001) :

1. Obat anti psikotik

1. Clorpromazine (CPZ)

Indikasi: Untuk syndrome psikosis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai
realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya
berat dalam fungsi -fungsi mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku yang
aneh atau, tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari -hari, tidak mampu
bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.

Mekanisme kerja: Memblokade dopamine pada reseptor paska sinap di otak khususnya sistem
ekstra piramidal.

Efek samping:Sedasi, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/ parasimpatik,mulut kering,


kesulitan dalam miksi, dan defikasi, hidung tersumbat,mata kabur, tekanan intra okuler
meninggi, gangguan irama ja ntung),gangguan ekstra piramidal (distonia akut, akatshia,
sindromaparkinson/tremor, bradikinesia rigiditas), gangguan endokrin, metabolik, hematologik,
agranulosis, biasanya untuk pemakaian jangka panjang.

Kontra indikasi: Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris,ketergantungan
obat, penyakit SSP, gangguan kesadaran disebabkan CNS Depresan.

2. Haloperidol (HP)

Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi netral serta dalam
fungsi kehidupan sehari hari.

Mekanisme kerja: Obat anti psikosis dalam memblokade dopamine pada reseptor paska
sinaptik neuron di otak khususnya sistem limbik dan sistim ekstra piramidal.

Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan otonomik


(hipotensi, antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan miksi dan defikasi, hidung
tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama jantung).

Kontra indikasi: Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris,
ketergantungan obat, penyakit SSP, gangguan kesadaran.

3. Trihexy phenidyl (THP)

Indikasi:Segala jenis penyakit parkinson,termasuk paska ensepalitis dan idiopatik,sindrom


parkinson akibat obat misalnya reserpin dan fenotiazine.

Mekanisme kerja: Obat anti psikosis dalam memblokade dopamin pada reseptor p aska sinaptik
nauron diotak khususnya sistem limbik dan sistem ekstra piramidal.

Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor Gangguan otonomik (hypertensi, anti kolinergik/
parasimpatik, mulut kering, kesulitanmiksi dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan
intra oluker meninggi, gangguan irama jantung).

Kontra indikasi:Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung,


fibris, ketergantungan obat, penyakit SSP, gangguan kesadaran.

Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi, ECT, Psikomotor, therapy
okopasional, TAK , dan rehabilitas.

TerapiFarmakologi:
PENGERTIAN

Psikofarmaka adalah obat-obatan yang digunakan untuk klien dengan gangguan mental.
Psikofarmaka termasuk obat-obatan psikotropik yang bersifat neuroleptika (bekerja pada sistem
saraf). Pengobatan pada gangguan mental bersifat komprehensif, yang meliputi:

1. Teori biologis (somatik), mencakup: pemberian obat psikofarmaka, lobektomi dan electro
convulsi therapy (ECT)

2. Psikoterapeutik

3. Terapi modalitas

Terapisomatis

Terapi somatis adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan
mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif dengan melakukan tindakan yang
ditujukan pada kondisi fisik klien. Walaupun yang diberikan perlakuan fisik adalah fisik klien,
tetapi target terapi adalah perlakuan klien. Jenis terapi somatik adalah meliputi pengikatan, ECT,
isolasi, dan fototerapi1.

1. Pengikatan

Pengikatan adalah terapi menggunakan alat mekanik atau manual untuk membatasi mobilitas
fisik klien yang bertujuan untuk melindungi cedera fisik pada klien sendiri atau orang lain.

2. Terapi Kejang Listrik/Elektro Convulsive Therapy (ECT)

Adalah bentuk terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang (Grandmal) dengan mengalirkan
arus listrik kekuatan rendah (2-3 joule) melalui electrode yang ditempelkan di bebrapa titik pada
pelipis kiri/kanan (lobus frontalis) klien.

3. Isolasi

Isolasi adalah bentuk terapi dengan menempatkan klien sendiri di ruangan tersendiri untuk
mengendalikan perilakunya dan melindungi klien, orang lain, dan lingkungan dari bahaya
potensial yang mungkin terjadi.

4. Fototerapi
Fototerapi adalah terapi yang diberikan dengan memaparkan klien pada sinar terang 5-10 x lebih
terang daripada sinar ruangan dengan posisi klien duduk, mata terbuka, pada jarak 1,5 meter di
depan klien diletakkan lampu setinggi mata.

5. Terapi Deprivasi Tidur

Terapi deprivasi tidur adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan mengurangi jumlah jam
tidur klien sebanyak 3,5 jam. Cocok diberikan pada klien dengan depresi.

c. Terapi Modalitas

Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Tetapi ini diberikan dalam upaya
mengubah perilaku klien dari perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif. Jenis-jenis
terapi modalitas antara lain1 :

1. Aktifitas Kelompok

Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) adalah suatu bentuk terapi yang didasarkan pada pembelajaran
hubungan interpersonal.Fokus terapi aktifitas kelompok adalah membuat sadar diri (self-
awereness), peningkatan hubungan interpersonal, membuat perubahan, atau ketiganya.

2. Terapi keluarga

Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang member perawatan langsung pada setap
keadaan (sehat-sakit) klien. Perawat membantu keluarga agar mampu melakukan lima tugas
kesehatan yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan, member
perawatan pada anggota keluarga yang sehat, menciptakan lingkungan yang sehat, dan
menggunakan sumber yang ada dalam masyarakat.

3. Terapi Rehabilitasi

Program rehabilitasi dapat digunakan sejalan dengan terapi modalitas lain atau berdiri sendiri,
seperti Terapi okupasi, rekreasi, gerak, dan musik.

4. Terapi Psikodrama

Psikodrama menggunakan struktur masalah emosi atau pengalaman klien dalam suatu drama.
Drama ini member kesempatan pada klien untuk menyadari perasaan, pikiran, dan perilakunya
yang mempengaruhi orang lain.

5. Terapi Lingkungan
Terapi lingkunagan adalah suatu tindakan penyembuhan penderita dengan gangguan jiwa melalui
manipulasi unsur yang ada di lingkungan dan berpengaruh terhadap proses penyembuhan. Upaya
terapi harus bersifat komprehensif, holistik, dan multidisipliner.

KONSEP PSIKOFARMAKOLOGI

1. Psikofarmakologi adalah komponen kedua dari manajemen psikoterapi

2. Perawat perlu memahami konsep umum psikofarmaka

3. Yang termasuk neurotransmitter: dopamin, neuroepinefrin, serotonin dan GABA (Gamma


Amino Buteric Acid) dan lain-lain

4. Meningkat dan menurunnya kadar/konsentrasi neurotransmitter akan menimbulkan kekacauan


atau gangguan mental

5. Obat-obat psikofarmaka efektif untuk mengatur keseimbangan neurotransmitter

KONSEP PSIKOFARMAKOLOGI

1. Sawar darah otak melindungi otak dari fluktuasi zat kimia tubuh, mengatur
jumlah dan kecepatan zat yang memasuki otak

2. Obat-obat psikofarmaka dapat melewati sawar darah otak, sehingga dapat


mempengaruhi sistem saraf

3. Extrapyramidal side efect (efek samping terhadap ekstrapiramidal) terjadi


akibat penggunaan obat penghambat dopamin, agar didapat keseimbangan
antara dopamin dan asetilkolin

4. Anti cholinergic side efect (efek samping antikolinergik) terjadi akibat


penggunaan obat penghambat acetilkolin

ECT:

Psikomotor:

Terapi okupasional:

TAK:

Rehabilitas:

III. Diagnosa Keperawatan


Diagnosa Keperawatan adalah identifikasi atau penilaian pola respons baik aktual maupun
potensial (Stuart and Sundeen, 1995)

Masalah keperawatan yang sering muncul yang dapat disimpulkan dari pengkajian adalah
sebagai berikut :

1. Isolasi sosial : menarik diri

2. Gangguan konsep diri: harga diri rendah

3. Resiko perubahan sensori persepsi

4. Koping individu yang efektif sampai dengan ketergantungan pada orang lain

5. Gangguan komunikasi verbal, kurang komunikasi verbal.

6. Intoleransi aktifitas.

7. Kekerasan resiko tinggi.

A. Masalah Utama

Kerusakan interaksi social : menarik diri

B. Proses Terjadinya Masalah

Selain itu terdapat beberapa faktor predisposisi (pendukung) dan factor presipitasi (pencetus)
terjadinya gangguan hubungan sosial :

a. Faktor Predisposisi

1) Faktor perkembangan

Kemampuan membina hubungan yang sehat tergantung dari pengalaman selam proses
pertumbuhan dan perkembangan. Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus
dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi akan
menghambat masa perkembangan selanjutnya. Kurangnya stimulasi kasih sayang, perhatian dan
kehangatan dari (pengasuh) pada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat
menghambat terbentuknya rasa percaya.

2) Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa kelainan pada struktur otak,
seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak diduga dapat
menyebabkan skizofrenia.

3) Faktor sosial budaya

Faktor sosial budaya dapat menjadi faktor pendukugn terjadinya gangguan dalam membina
hubungan dengan orang lain, misalnya anggota keluarga yang tidak produktif diasingkan dari
orang lain (lingkungan sosialnya).

b. Faktor presipitasi (pencetus)

1) Stresor sosial budaya

Stresor sosial budaya dapat menyebabkan gangguan dalam berhubungan, misalnya keluarga
yang labil.

2) Stresor psikologis

Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan kemampuan individu untuk berhubungan
dengan orang lain. Intensitas kecemasan yang ekstrim disertai terbatasnya kemampuan individu
untuk mengatasi masalah diyakini akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan
(Menarik Diri).

5. Mekanisme Sebab Akibat

Sebab : Harga diri rendah yang kronis

Mekanisme : Harga diri klien yang rendah menyebabkan klien merasa malu sehingga klien lebih
suka sendiri dan selalu menghidari orang lain. Pasien mengurung diri sehingga hal ini dapat
menyebabkan klien berfikir yang tidak realistik.

Akibat : Halusinasi

Halusinasi adalah persepsi panca indra tanpa ada rangsangan dari luar yang dapat mempengaruhi
semua sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu baik.
(Carpenito,1996)
Mekanisme : Menarik diri pada individu dapat mengakibatkan perubahan persepsi sensori :
halusinasi. Hal ini disebabkan karena dengan menarik diri, klien hanya menerima rangsangan
internal dengan imajinasi yang berlebihan.

7. DAFTAR MASALAH

No. Data Fokus Masalah Etiologi

1. DO : Perubahan Persepsi Isolasi sosial


sensori halusinasi
Berbicara dan tertawa sendiri

Bersikap seperti mendengar atau melihat


sesuatu.

Berhenti berbicara di tengah kalimat


seperti mendengar sesuatu.

Disorientasi.

DS :

Pasien mengatakan : Mendengar suara


suara, melihat gambaran tanpa adanya stimulasi
yang nyata, mencium bau tanpa stimulasi.

2. DO: Gangguan isolasi Harga diri rendah


sosial : menari diri
Tidur berlebihan

Tidak memeprdulikan lingkungan.

Kegiatan menurun, mobilitas kurang

Klien tampak diam, melamun dan


menyendiri.

DS :

Klien mengatakan lebih suka sendiri


daripada berhubungan dengan orang lain.

3, DO : Harga diri rendah Mekanisme koping


tidak adekuat
Klien tampak lebih suka menyendiri,
bingung bila disuruh memilih alternative
tindakan, menciderai diri/mengakhiri kehidupan.

DS :

KLien mengatakan saya tidak bisa, saya


tidak mampu, bodoh tidak tau apa apa,
mengkritik diri sendiri, mengungkapkan rasa
malu terhadap diri sendiri.

2. Masalah Keperawatan dan Data yang perlu dikaji

a. Masalah Keperawatan

1) Perubahan persepsi sensori : halusinasi

2) Isolasi Sosial : menarik diri

3) Gangguan konsep diri : harga diri rendah

b. Data yang perlu dikaji

1) Perubahanm persepsi sensori : halusinasi

a) Data Subjektif

Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus nyata

Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata

Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus

Klien merasa makan sesuatu

Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya


Klien takut pada suara/bunyi/gambar yang dilihat dan didengar

Klien ingin memukul/melempar barang-barang

b) Data Objektif

Klien berbicara dan tertawa sendiri

Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu

Klien berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu

Disorientasi

2) Isolasi sosial : menarik diri

a) Data obyektif

Apatis, ekpresi sedih, afek tumpul, menyendiri, berdiam diri dikamar, banyak diam, kontak mata
kurang (menunduk), menolak berhubungan dengan orang lain, perawatan diri kurang, posisi
menekur.

b) Data subyektif

Sukar didapat jika klien menolak komunikasi, kadang hanya dijawab dengan singkat, ya atau
tidak

3) Gangguan konseps diri: harga diri rendah

a) Data obyektif

Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin
mencederai diri

b) Data subyektif

Klien mengatakan : saya tidak bisa, tidak mampu, bodoh / tidak tahu apa apa, mengkritik diri
sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri.

3. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan sensori persepsi berhubungan dengan menarik diri.

b. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah

c. Gangguan konsep diri : harga diri rendah berhubungan dengan tidak efektifnya koping
individu : koping defensif.

4. Fokus Intervensi

a. Perubahan persepsi sensori : halusinasi. berhubungan dengan menarik diri

Tujuan Umum :

Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi halusinasi

Tujuan Khusus :

1) Klien dapat membina hubungan saling percaya

Rasional : Hubungan saling percaya merupakan landasan utama untuk hubungan selanjutnya

Tindakan:

a) Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik dengan
cara :

sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal

perkenalkan diri dengan sopan

tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai

jelaskan tujuan pertemuan

jujur dan menepati janji

tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya

berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien


2) Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri

Rasional : Memberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya dapat membantu


mengurangi stres dan penyebab perasaaan menarik diri

Tindakan :

a) Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya

b) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik diri atau
mau bergaul

c) Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta penyebab yang
muncul

d) Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya

3) Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak
berhubungan dengan orang lain.

Rasional :

Untuk mengetahui keuntungan dari bergaul dengan orang lain.

Untuk mengetahui akibat yang dirasakan setelah menarik diri.

Tindakan :

a) Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan orang lain

Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang keuntungan


berhubungan dengan prang lain

Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain

Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang


keuntungan berhubungan dengan orang lain

b) Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain

Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan orang lain
Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain

Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang


kerugian tidak berhubungan dengan orang lain

4) Klien dapat melaksanakan hubungan social

Rasional :

Mengeksplorasi perasaan klien terhadap perilaku menarik diri yang biasa dilakukan.

Untuk mengetahui perilaku menarik diria dilakukan dan dengan bantuan perawat bisa
membedakan perilaku konstruktif dan destruktif.

Tindakan :

a) Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain

b) Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain melalui tahap :

KP : Klien Perawat

K P P lain : Klien Perawat Perawat lain

K P P lain K lain : Klien Perawat Perawat lain Klien lain

K Kel/ Klp/ Masy : Klien Keluarga/Kelompok/Masyarakat

c) Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai

d) Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan

e) Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu

f) Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan

g) Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan

5) Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain

Rasional : Dapat membantu klien dalam menemukan cara yang dapat menyelesaikan masalah
Tindakan :

a) Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan orang lain

b) Diskusikan dengan klien tentang perasaan manfaat berhubungan dengan orang lain

c) Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan manfaat


berhubungan dengan oranglain

6) Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga

Rasional : memberikan penanganan bantuan terapi melalui pengumpulan data yang lengkap dan
akurat kondisi fisik dan non fisik pasien serta keadaan perilaku dan sikap keluarganya

Tindakan :

a) Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :

salam, perkenalan diri

jelaskan tujuan

buat kontrak

eksplorasi perasaan klien

b) Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :

perilaku menarik diri

penyebab perilaku menarik diri

akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi

cara keluarga menghadapi klien menarik diri

c) Dorong anggota keluarga untukmemberikan dukungan kepada klien untuk berkomunikasi


dengan orang lain

d) Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk klien minimal satu kali
seminggu
e) Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh keluarga

7) Klien dapat menggunakan obat dengan benar dan tepat

Rasionalisasi : Dengan mengetahui prinsip yang benar dalam menggunakan obat, akan
meminimalkan terjadinya ketidakefektifan pengobatan atau keracunan. Hal ini juga dimaksudkan
untuk memotivasi klien agar bersedia minum obat (patuh dalam pengobatan) dengan kriteria
evaluasi :

Klien dapat minum obat dengan prinsip yang benar

Mengetahui efek obat dan mengkomunikasikan dengan perawat jika terjadi keluhan.

Tindakan :

a) Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek samping minum obat)

b) Bantu dalam mengguanakan obat dengan prinsip 5 benar (benar pasien, obat, dosis, cara,
waktu)

c) Anjurkan klien untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.

d) Beri reinforcement positif bila klien menggunakan obat dengan benar.

b. Isolasi social : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.

Tujuan umum : Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal

Tujuan khusus :

1) Klien dapat membina hubungan saling percaya

Rasional : Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan interaksi
selanjutnya

Tindakan :

a) Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapetutik

b) sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal


c) Perkenalkan diri dengan sopan

d) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien

e) Jelaskan tujuan pertemuan

f) Jujur dan menepati janji

g) Tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya

h) Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.

2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki

Rasional :

Diskusikan tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas, kontrol diri atau integritas
ego diperlakukan sebagai dasar asuhan keperawatannya.

Reinforcement positif akan meningkatkan harga diri klien

Pujian yang realistik tidak menyebabkan klien melakukan kegiatan hanya karena ingin
mendapatkan pujian

Tindakan :

a) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien

b) Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi penilaian negative

c) Utamakan memberikan pujian yang realistic

3) Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan

Rasional :

Keterbukaan dan pengertian tentang kemampuan yang dimiliki adalah prasyarat untuk
berubah

Pengertian tentang kemampuan yang dimiliki diri memotivasi untuk tetap mempertahankan
penggunaannya
Tindakan :

a) Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan selama sakit

b) Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya.

4) Klien dapat (menetapkan) merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki

Rasional :

Membentuk individu yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri

Klien perlu bertindak secara realistis dalam kehidupannya.

Contoh peran yang dilihat klien akan memotivasi klien untuk melaksanakan kegiatan

Tindakan :

a) Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan

Kegiatan mandiri

Kegiatan dengan bantuan sebagian

Kegiatan yang membutuhkan bantuan total

b) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien

c) Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan

5) Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya

Rasional :

Memberikan kesempatan kepada klien mandiri dapat meningkatkan motivasi dan harga diri
klien

Reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien

Memberikan kesempatan kepada klien ntk tetap melakukan kegiatan yang bisa dilakukan

Tindakan :
a) Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan

b) Beri pujian atas keberhasilan klien

c) Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah

6) Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada

Rasional :

Mendorong keluarga untuk mampu merawat klien mandiri di rumah

Support sistem keluarga akan sangat berpengaruh dalam mempercepat proses


penyembuhan klien.

Meningkatkan peran serta keluarga dalam merawat klien di rumah.

Tindakan :

a) Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga diri
rendah

b) Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat

c) Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah

DAFTAR PUSTAKA

1. Stuart GW, Sundeen SJ. Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC. 1998

2. Budi Anna Keliat. Asuhan Klien Gangguan Hubungan Sosial: Menarik Diri. Jakarta : FIK
UI. 1999

3. Townsed, Mary C. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan


Psikiatri:pedoman untuk pembuatan rencana keperawatan. Edisi ketiga. Alih Bahasa: Novi
Helera C.D. Jakarta. EGC. Jakarta1998.

4. Keliat BA. Proses kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC. 1999


Daftar Pustaka

Townsend M. C, (1998). Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri, Pedoman untuk


Pembuatan Rencana Keperawatan , Jakarta : EGC.

Anna Budi Keliat, SKp. (2000). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial Menarik Diri,
Jakarta ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia..

Rasmun, (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan


Keluarga. Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses Interaksi (API). Jakarta : fajar
Interpratama.

Stuart and Sundeen, Buku Saku Keperawatan Kesehatan Jiwa, alih bahasa Hapid AYS,
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

, (1998). Buku Standar Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Penerapan Asuhan


Keperawatan pada Kasus di Rumah Sakit Ketergantungan Obat. Direktorat Kesehatan Jiwa
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Dep-Kes RI, Jakarta.

Advertisements

Share this:

Twitter

Facebook

Related
LAPORAN PENDAHULUAN JIWA_ANSIETAS (Lengkap)

Sleep Paralysis

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DM TIPE 1 KONSEP DASAR DM


TIPE 1

May 30, 2013 by novieantasari

Post navigation

KEPRIBADIAN MELANKOLIS
nurse

Leave a Reply

Create a free website or blog at WordPress.com.

Follow

Anda mungkin juga menyukai