Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status Sosial Ekonomi

Faktor sosial ekonomi yaitu meliputi data sosial yaitu, keadaan penduduk,

keadaan keluarga, pendidikan, perumahan, dapur penyimpanan makanan, sumber air,

kakus. Sementara data ekonomi meliputi pekerjaan, pendapatan keluarga, kekayaan,

pengeluaran dan harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim

(Supriasa, 2002).

Menurut Dalimunthe (1995), kehidupan sosial ekonomi adalah suatu

kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang menggunakan indikator pendidikan,

pekerjaan dan penghasilan sebagai tolak ukur.

Menurut pendapat Junaidi (1999), keluarga adalah individu dengan jati diri

yang khas yang memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik adalah sifat individu

yang relatif tidak berubah, atau yang dipengaruhi lingkungan seperti umur, jenis

kelamin, suku bangsa, kebangsaan, pendidikan dan lain-lain. Perkembangan

intelektual akan kesadaran lingkungan seorang individu seringkali dilepaskan dan

bahkan dipisahkan dengan masalah keluarga. Hal hal semacam inilah yang sering

menimbulkan masalah-masalah sosial, karena kehilangan pijakan. Oleh karena itu

adalah bijaksana kalau dilihat dan dikembalikan peranan keluarga dan proporsi yang

sebenarnya dengan skala prioritas yang pas. Fungsi ekonomi yaitu : 1). kebutuhan

makan dan minum, 2). kebutuhan pakaian untuk menutup tubuh, 3). kebutuhan

Universitas Sumatera Utara


tempat tinggal. Sehubungan dengan fungsi tersebut maka orang tua diwajibkan untuk

berusaha keras agar supaya setiap anggota keluarga dapat cukup makan dan minum,

cukup pakaian serta tempat tinggal.

Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang pada umumnya masih

didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), Masalah Anemia Besi,

masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), masalah Kurang Vitamin

A (KVA) (Nyoman S, dkk 2002).

Rawan pangan dan gizi masih menjadi salah satu masalah besar bangsa ini.

Masalah gizi berawal dari ketidakmampuan rumah tangga mengakses pangan, baik

karena masalah ketersediaan di tingkat lokal, kemiskinan, pendidikan dan

pengetahuan akan pangan dan gizi, serta perilaku masyarakat. Kekurangan gizi mikro

seperti vitamin A, zat besi dan yodium menambah besar permasalahan gizi di

Indonesia. Dengan demikian masalah pangan dan gizi merupakan permasalahan

berbagai sektor dan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat

(Suzeta, 2007).

Salah satu akibat kemiskinan adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk

memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik; lebih dari 10

persen penduduk di setiap provinsi mengalami rawan pangan, kecuali di Provinsi

Sumatera Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Hal ini berakibat pada kekurangan

gizi, baik zat gizi makro maupun mikro, yang dapat diindikasikan dari status gizi

anak balita dan wanita hamil (Suzeta, 2007)

Universitas Sumatera Utara


Salah satu akibat kemiskinan adalah ketidak mampuan rumah tangga untuk

memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik; lebih dari 10

persen penduduk di setiap provinsi mengalami rawan pangan, kecuali di Provinsi

Sumatera Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Hal ini berakibat pada kekurangan

gizi, baik zat gizi makro maupun mikro, yang dapat diindikasikan dari status gizi

anak balita dan wanita hamil (BPPN, 2006)

Menurut pendapat Mulyaningrum dan Alchadi (2009) pentingnya status gizi

ibu perlu dilihat dari berbagai aspek. Selain akses terhadap keamanan pangan dan

terhadap pelayanan kesehatan setinggi-tingginya merupakan hak azasi dasar setiap

orang, status gizi ibu juga mempunyai dampak secara sosial dan ekonomi.

Berbagai penelitian semakin menunjukkan bahwa status kesehatan dan resiko

kematian dirinya, tetapi juga terhadap kelangsungan hidup dan perkembangan janin

yang dikandungnya dan lebih jauh lagi terhadap pertumbuhan janin tersebut sampai

usia dewasa. Status sosial ekonomi ini meliputi : Pendidikan dan pendapatan

(Syafrudin & Mariam 2010)

2.1.1. Pendidikan

Pendidikan secara umum adalah upaya persuasi atau pembelajaran yang

direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau

masyarakat sehingga mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara

(mengatasi masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau

tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan

Universitas Sumatera Utara


kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadarannya melalui proses

pembelajaran (Notoatmodjo, 2005)

Pendidikan mempunyai pengaruh nyata terhadap kesehatan ibu. Hamil

melalui usia perkawinan dan pengetahuan akan gejala kehamilan dengan risiko tinggi.

Perlu dipertimbangkan bahwa faktor tingkat pendidikan turut pula menentukan

mudah tidaknya sesorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka

peroleh. Dalam kepentingan gizi keluarga pendidikan amat diperlukan agar seseorang

lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil

tindakan secepatnya (Sandra & Syafiq, 2007).

Pendidikan yang dimiliki oleh seorang ibu akan mempengaruhi pengetahuan

dalam pengambilan keputusan dan juga akan berpengaruh pada prilakunya. Ibu

dengan pengetahuan gizi yang baik kemungkinan akan memberikan gizi yang cukup

bagi dia dan bayinya. Hal ini terlebih lagi kalau seorang ibu tersebut memasuki masa

ngidam, di mana perut rasanya tidak mau diisi, mual dan rasa yang tidak karuan.

Walaupun dalam kondisi yang demikian jika seseorang memiliki pengetahuan yang

baik maka ia akan berupaya untuk memenuhi gizinya dan juga bayinya (Proverawati

& Asfuah, 2009)

Rendahnya pendidikan dan pengetahuan berpengaruh pada tingkat kesadaran

dan kesehatan, pencegahan penyakit (wanita dengan tingkat pendidikan yang tinggi

cenderung lebih memperhatikan kesehatan dalam dan keluarganya (Syafrudin &

Mariam 2010).

Universitas Sumatera Utara


Tingkat pendidikan itu sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan

informasi gizi. Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih baik

mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan, sehingga sulit

menerima informasi baru bidang gizi (Rahardjo 1996).

Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting

yang dapat memengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan lebih

tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi

lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi

tentang gizi yang memadai. Perlu dipertimbangkan bahwa faktor tingkat pendidikan

turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami

pengetahuan gizi yang mereka peroleh (Fikawati & Syafiq, 2012)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusumawati & Mutalazimah tahun 2004

di RSUD Dr. Moewardi Surakarta menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara

pendidikan ibu dengan BBLR.

Penelitian yang dilakukan oleh Djaja dkk, di kabupaten Cirebon tahun 2004

didapatkan hasil bahwa 57% ibu dari bayi yang BBLR berpendidikan SD SMP.

Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Sihombing & Riyandina, di Jakarta

nahwa ada hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dengan anemia pada ibu

hamil responden yang berpendidikan rendah (SD, SMP) beresiko anemia 3,3 kali

dibandingkan dengan responden yang berpendidikan tinggi (SMA, D3, PT) (95%).

Universitas Sumatera Utara


2.1.2. Pendapatan

Faktor yang berperan dalam menentukan status kesehatan seseorang adalah

tingkat sosial ekonomi, dalam hal ini adalah daya beli keluarga. Kemampuan

keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya

pendapatan keluarga, harga bahan makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaan

sumber daya lahan dan pekarangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas

kemungkinan besar kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk

memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (Fikawati & Shafiq, 2012).

Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas

hidangan. Semakin banyak mempunyai uang berarti semakin baik makanan yang

diperoleh. Dengan kata lain semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula

persentase dari penghasilan tersebut untuk membeli daging, buah, sayuran dan

beberapa jenis bahan makanan lainnya (Fikawati & Shafig, 2012)

Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada

kondisi umum di masyarakat. Masalah utama penduduk miskin pada umumnya

sangat tergantung pada pendapatan perhari yang pada umumnya tidak mencukupi

kebutuhan dasar secara normal. Penduduk miskin cenderung tidak mempunyai

cadangan panagan karena daya belinya rendah. Pada tahun 1998, ada 51,0% rumah

tangga didaerah perkotaan dan 47,5% rumah tangga didaerah, pedesaan mengalami

masalah kekurangan konsumsi pangan (Ernawati, 2006)

Pada umumnya, dengan meningkatnya pendapatan perorangan, terjadilah

perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang lebih

Universitas Sumatera Utara


banyak untuk pangan yang tidak terjamin lebih beragamnya konsumsi pangan

(Suhardjo, 1999)

Keterbatasan penghasilan keluarga turut menentukan mutu makanan yang

disajikan. Tidak dapat disangkal bahwa penghasilan keluarga akan turut menentukan

hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah

makanan (Proverawati & Asfuah, 2009)

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Utara Nomor

188.44/988/KPTS/2011 tanggal 17 Nopember 2011 tentang Upah Minimum Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2012 sebesar Rp. 1.200.000,- / bulan.

2.2. Budaya Ibu Hamil

Budaya adalah satu kesatuan yang kompleks, termasuk pengetahuan,

kepercayaan, seni, moral, hukum adat dan kesanggupan serta kebiasaan yang

diperoleh oleh manusia sebagai anggota sebuah masyarakat. Atau dengan kata lain

konsep dari suatu sistem serta peraturan dan makna, yang pernyataannya tergambar

melalui cara manusia menjalani kehidupan. Latar belakang budaya mempunyai

pengaruh yang penting terhadap bermacam aspek kehidupan manusia yaitu,

kepercayaan, tanggapan, emosi, bahasa, agama bentuk keluarga, diet, pakaian, bahasa

tubuh. Konsep tentang kehidupan dan sikap terhadap kehidupan, sakit dan bentuk

kemalangan lain, yang mempunyai implikasi yang penting terhadap kesehatan dan

pemeliharaan kesehatan (Syafrudin & Mariam 2010)

Universitas Sumatera Utara


Banyak sekali pengaruh atau faktor faktor yang menyebabkan berbagai

aspek kesehatan di negara kita, bukan hanya karena pelayanan medik yang tidak

memadai atau kurangnya perhatian dari instansi kesehatan. Tetapi banyak yang

mempengaruhi kesehatan di Indonesia, anatara lain masih adanya pengaruh sosial

budaya yang turun temurun masih dianut sampai dengan saat ini. Selain itu

ditemukan pula sejumlah pengetahuan dan prilaku budaya yang dinilai tidak sesuai

dengan prinsip prinsip kesehatan menurut ilmu kedokteran atau bahkan

memberikan dampak kesehatan yang kurang menguntungkan bagi ibu dan anaknya

(Syafrudin & Mariam 2010). Adapun budaya yang berpengaruh terhadap kejadian

BBLR adalah :

2.2.1. Pola Makan

Pola makan adalah cara seseorang atau kelompok orang dalam memilih

makanan dan memakannya sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologi, psikologi

budaya dan sosial (Waryana, 2010). Pola makan yang baik akan cukup menyediakan

gizi yang dibutuhkan untuk kesehatan kehamilan, dan mengurangi risiko lahirnya

bayi cacat. Pola makan yang salah pada ibu hamil membawa dampak terhadap

terjadinya gangguan gizi antara lain anemia, pertambahan berat badan kurang pada

ibu hamil dan gangguan pertumbuhan janin (Samhadi, 2011)

Gambaran pola makan dapat diperoleh dengan metode riwayat makan

(Diettary History Methode) adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi

konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti

Universitas Sumatera Utara


hari, minggu, bulan atau tahun. Dengan menggunakan metode riwayat makan angka

kecukupan gizi juga harus disesuaikan dengan kebutuhan selama kehamilan.

Tabel 2.1. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (Per Orang Perhari)
Menurut Ukuran Rumah Tangga

Ibu Hamil Bahan Makanan Ukuran Rumah Tangga


Makanan pokok (Nasi, Jagung, Ubi) 4-5 piring
Lauk hewani (Ikan, Telur, Daging, dan 3-4 potong
sebagainya)
Lauk nabati (Tempe, Tahu dan sebagainya) 2-3 potong
Sayur-sayuran 2-3 mangkuk
Buah-buahan 3 potong
Sumber : Penilaian status gizi

Pola makan merupakan hasil budaya masyarakat yang bersangkutan, dan

mengalami perubahan terus-menerus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan

tingkat kemajuan budaya masyarakat tersebut, Pola makan yang baik akan cukup

menyediakan gizi yang dibutuhkan untuk kesehatan kehamilan, dan mengurangi

resiko lahirnya bayi cacat. Selain itu makanan yang baik akan membantu sistem

pertahanan tubuh ibu hamil terhadap infeksi, makanan yang baik juga akan

melindungi ibu hamil dari akibat buruk zat zat yang mungkin ditemui seperti obat

obatan, toksin, polutan (Sediaoetama, 2009)

Tambahan makanan untuk ibu hamil dapat diberikan dengan cara

meningkatkan kualitas maupun kuantitas makanan ibu sehari hari, bisa juga dengan

memberikan tambahan formula khusus untuk ibu hamil. Pada kehamilan, adanya

kenaikan volume darah akan meningkatkan kebutuhan zat besi (terbanyak) dan asam

folat (lebih sedikit) (Soetjiningsih, 1995)

Universitas Sumatera Utara


Pola makan telah diketahui sebagai salah satu faktor risiko dari masalah gizi

pada ibu hamil hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh St. Fatimah dkk,

di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan tahun 2011 menyatakan bahwa pola makan ibu

hamil memiliki hubungan yang signifikan terhadap rendahnya kadar haemoglobin ibu

hamil (St. Fatimah dkk, 2011).

Rendahnya tingkat konsumsi besi sesuai dengan hasil penelitian Subagio,

2004, pada ibu hamil di Kecamatan Karangawen Kabupaten Demak yang menderita

defisiensi besi sebesar 59,3% begitu pula hasil penelitian Wahyuni di Kabupaten

Bantul Jogjakarta menyatakan bahwa rerata konsumsi besi pada ibu hamil 15,54

setara dengan 33,78% dari AKG yang dianjurkan (Harnany, 2006)

Pola makan yang tidak baik akan meyebabkan asupan gizi ibu hamil tidak

tercukupi sehingga berkontribusi terhadap bayi yang dilahirkan yaitu BBLR hal ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati dan Nur jaya di RSUD

Ajjatpannge Watan Soppeng tahun 2010 menunjukkan bahwa adanya hubungan

antara status gizi ibu dengan kejadian BBLR.

2.2.2. Makanan Pantangan

Budaya berperan dalam status gizi masyarakat karena ada beberapa

kepercayaan, seperti tabu mengonsumsi makanan tertentu oleh kelompok umur

tertentu yang sebenarnya makanan tersebut justru bergizi dan dibutuhkan oleh

kelompok umur tersebut. Seperti ibu hamil yang tabu mengonsumsi ikan ( Hartriyanti

& Triyanti, 2012)

Universitas Sumatera Utara


Tidak tercukupinya zat gizi sebagai penyebab anemia karena masalah pangan,

terkait ketersediaan pangan dan kerawanan konsumsi pangan yang dipengaruhi oleh

kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan adat/kepercayaan yang terkait dengan tabu

makanan ( Harnany, 2006).

Pantangan atau tabu adalah suatu larangan untuk mengkonsumsi jenis

makanan tabu makanan adalah suatu kebudayaan yang menentukan kapan seseorang

boleh atau tidak boleh memakan suatu makanan (Suhardjo, 2003).

Pada dasarnya larangan atau tabu yang mengenai makanan dapat dibagi 2

kategori: (a) pantangan atau larangan mengkonsumsi suatu jenis makanan

berdasarkan agama atau kepercayaan, dan (b) pantangan atau larangan pangan yang

bukan berdasar agama, tetapi ditunkan dari nenek moyang sejak jaman dahulu, yang

tidak diketahui lagi kapan dimulainya. Ada makanan pantangan yang sesuai dengan

pendapat para ilmuwan tetapi ada juga yang merugikan kesehatan dan kondisi gizi

(Sediaoetama, 2009)

Biasanya pangan pantangan ini ditujukan untuk anak kecil, ibu hamil dan ibu

menyusui. Misal anak kecil dilarang makan ikan karena takut cacingan, sakit mata

atau sakit kulit. Seperti di Kalimantan Tengah terdapat 27 jenis ikan yang menjadi

pantangan ibu hamil karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan, mabuk,

merusak badan, sulit melahirkan, dan peranakan bisa keluar (Hartati, 2006).

Di beberapa negara berkembang umumnya ditemukan larangan, pantangan

atau tabu tertentu bagi makanan ibu hamil. Latar belakang pantangan atau tabu

tersebut didasarkan pada kepercayaan agar tidak mengalami kesulitan pada waktu

Universitas Sumatera Utara


melahirkan dan bayinya tidak terlalu besar. Ada pula penduduk di negara- negara

Asia yang mempunyai kepercayaan bahwa makanan yang mengandung protein

hewani menyebabkan air susuibu beracun bagi anak bayinya (Suhardjo, 2003).

Di dalam wilayah Indonesia ada keyakinan bahwa wanita yang masih hamil

tidak boleh makan lele, ikan sembilan, udang, telur, dan nanas. Sayuran tertentu tak

boleh dikonsumsi, seperti daun lembayung, pare, dan makanan yang digoreng dengan

minyak. Setelah melahirkan atau operasi hanya boleh makan tahu dan tempe tanpa

garam/nganyep, dilarang banyak makan dan minum, makanan harus

disangan/dibakar, bahkan setelah maghrib samasekali ibu tidak diperbolehkan makan

(Dinkes Pemalang, 2000). Hasil penelitian yang dilakukan Harnany di kota

Pekalongan tahun 2006 dibuktikan responden yang memiliki pantangan makan

sebagian besar (85%) masuk kelompok anemia.

2.2.3. Pembagian Makanan dalam Keluarga

Pembagian makanan berkenaan dengan pembagian pangan yang dikonsumsi

oleh perorangan, anggota suatu keluarga. Di sini pun sering pembagian pangan

tersebut tidak merata. Yang dimaksud merata disini bukanlah bahwa setiap anggota

keluarga tersebut mendapat jatah bagian makanan yang sama banyak, tetapi bahwa

setiap anggota keluarga itu mendapat jumlah makanan yang sesuai dengan tingkat

kebutuhannya, menurut umur dan keadaan fisik serta jenis kelaminnya (Sediaoetama,

2008).

Struktur kekuasaan di dalam keluarga dan berbagai makanan pantangan,

berpengaruh pula atas pola pembagian makanan dalam keluaraga. Ayah biasanya

Universitas Sumatera Utara


dianggap paling berkuasa dan paling penting di dalam keluarga, sehingga kepadanya

diberikan hak-hak khusus dalam banyak hal, termasuk hak khusus untuk mendapat

bagian makanan yang paling baik dan paling banyak. Bahkan ada beberapa suku

bangsa di Asia dan Afrika di mana ayah makan sendirian terdahu lu dan setelah ayah

selesai, barulah sisanya dibagikan di antara para anggota keluarga lainnya

(Sediaoetama, 2008)

Secara tradisional, ayah mempunyai prioritas utama atas jumlah dan jenis

makanan tertentu dalam keluarga. Jika kebiasaan budaya tersebut diterapkan, maka

setelah kepala keluarga anak pria dilayani, biasanya dimulai dari yang tertua. Wanita,

anak wanita dan anak yang masih kecil boleh makan bersama anggota keluarga pria,

tetapi dibeberapa lingkunan budaya, mereka makan terpisah pada meja lain bahkan

setelah anggota pria selesai makan. Pada beberapa kasus wanita dan anak kecil hanya

memperoleh makanan yang disisakan setelah anggota keluarga pria makan. Untuk

bayi, anak anak yang masih muda dan wanita selama tahun tahun penyapihan,

pengaruh tambahan dari pembagian pangan yang tidak merata dalam unit keluarga,

dapat merupakan bencana, baik bagi kesehatan maupun kehidupan (Suhardjo, 2003).

Wanita yang sedang hamil dan telah berkeluarga biasanya lebih

memperhatikan kecukupan gizi dari anggota keluarga yang lain. Padahal sebenarnya

dirinyalah yang memerlukan perhatian serius mengenai penambahan gizi. Ibu harus

teratur dalam mengkonsumsi makanan yang bergizi demi pertumbuhan dan

perkembangan (Proverowati & Asfuah, 2009)

Universitas Sumatera Utara


Banyak penemuan yang menyatakan bahwa budaya sangat berperan dalam

proses terjadinya masalah gizi diberbagai masyarakat dan negara. Dalam hal pangan,

ada budaya yang memprioritaskan keluarga tertentu untuk mengkonsumsi hidangan

keluarga yang telah disiapkan yaitu kepala keluarga. Anggota keluarga lain

menempati prioritas berikutnya dan yang paling umum mendapatkan prioritas

terakhir adalah ibu rumah tangga. Apabila hal demikian masih dianut oleh suatu

budaya, maka dapat saja terjadi distribusi pangan yang tidak baik antara anggota

keluarga. Apabila hal demikian masih dianut oleh suatu budaya, maka dapat saja

terjadi distribusi pangan yang tidak baik di antara anggota keluarga. Apabila keadaan

tersebut berlangsung dalam waktu yang lama dapat berakibat timbul masalah gizi

kurang didalam keluarga yang bersangkutan (Suhardjo, 2003).

Distribusi makanan akan berpengaruh terhadap anemia pada ibu hamil, hal ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Juraida Roito Harahap di Kabupaten

Kampar dengan hasil yang didapatkan bahwa anemia lebih banyak ditemukan pada

ibu hamil yang pembagian makanannnya kurang baik dik arenakan pembagian

makanan ini tidak sesuai dengan kebutuhan ibu selama hamil.

Tradisi pembagian makanan yang mengutamakan kaum pria dibanding

dengan wanita terjadi juga di papua yang dibuktikan dengan hasil penelitian Alwi

dkk, bahwa 81,37% ibu hamil anemia yang dikarenakan seorang wanita lebih

mengutamakan bagian terbaik dari makanan untuk kaum pria walaupun dia sendiri

yang mengolah makanan dan dalam keadaan hamil.

Universitas Sumatera Utara


2.3. Pemeriksaan Kehamilan (Ante Natal Care)

Kehamilan merupakan sebuah proses alami yang akan dialami oleh wanita

yang telah dewasa dan tidak tergantikan oleh laki-laki. Proses alamiah ini terkadang

berjalan tidak semestinya, Sehingga muncul adanya kelainan. Untuk mengantisipasi

hal-hal tersebut seorang ibu hamil harus secara rutin memeriksakan kehamilannya

kepada dokter, bidan atau petugas kesehatan yang berkompeten. Selain dapat

berkonsultasi bermacam hal yang terkait kehamilan, seorang ibu hamil juga dapat

mengetahui kondisi kesehatan dirinya maupun janin yang dikandungnya. (Nurhaeni,

2008)

Pelayanan antenatal selengkapnya mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik

(umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium atas indikasi, serta intervensi dasar

dan khusus (sesuai risiko yang ada termasuk penyuluhan dan konseling) Akan tetapi

dalam penerapan sehari-hari pelayanan antenatal secara minimal terstandar sehingga

dapat diakui sebagai pelayanan antenatal. Dalam penerapan operasionalnya dikenal

dengan 7T yang terdiri dari, Timbang berat badan dan ukur tinggi badan, (ukur)

Tekanan darah, (ukur) Tinggi fundus uteri (pemeberian imunisasi) Tetanus Toksoid

(TT), (pemberian) Tablet Besi, Tes laboratorium, Temu wicara (konseling) (Meilani

dkk, 2009)

Pemeriksaan kehamilan dianjurkan untuk dilakukan oleh ibu hamil minimal 4

kali selama kehamilan. Pemeriksaan pertama atau kunjungan pertama dilakukan

sebelum usia kehamilan mencapai 4 bulan atau antara 0-3 bulan (trimester I),

kunjungan keuda pada usia kehamilan natara 4-6 bulan (trimester II), sedangkan

Universitas Sumatera Utara


untuk kunjungan ketiga dan keempat dilakukan pada usia kehamilan 7-9 bulan

(trimester III). Pemeriksaan kehamilan dapat dilakukan di Polindes, Posyandu,

Puskesmas, Rumah sakit, Praktek dokter atau bidan swasta. (Kusmiyati, 2008).

Penelitian yang dilakukan Marissa, dkk di kelurahan kramat jati dan ragunan

ternyata menunjukkan hasil bahwa 60,0% ibu hamil tidak memeriksakan

kehamilannya sesuai anjuran minimal 4 kali selama kehamilan dan 89,0% responden

tidak mendapatkan pelayanan 7T (Jurnal Gizi & Pangan, 2008)

Penelitian Joeharno (2006), yang menunjukkan bahwa pemanfaatan pelayanan

ante natal care merupakan faktor resiko terhadap kejadian BBLR dimana ibu yang

tidak melaksanakan pemeriksaan kehamilan secara lengkap beresiko 5 kali untuk

melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.

Penelitian yang dilakukan oleh Roudbari di Zahedan Iran tahun 2009, yang

manyatakan bahwa ternyata 59% yang mempengaruhi terjadinya BBLR adalah

kualitas pemeriksaan kehamilan saat ibu melakukan kunjungan ANC.

2.4. BBLR

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) masih merupakan masalah di bidang

kesehatan terutama kesehatan perinatal. BBLR terdiri atas BBLR kurang bulan dan

BBLR cukup bulan/lebih bulan. BBLR kurang bulan/prematur, biasanya mengalami

penyulit, dan memerlu perawatan yang memadai . BBLR yang cukup/lebih bulan

umumnya organ tubuhnya sudah matur sehingga tidak terlalu bermasalah dalam

perawata nnya.

Universitas Sumatera Utara


BBLR adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram, berat badan

lahir merupakan prediktor yang baik untuk pertumbuhan bayi dan kelangsungan

hidupnya. Seorang bayi yang cukup bulan pada umumnya lahir dengan berat badan

2500 gran atau lebih, Bayi dengan berat badan lahir rendah merupakan salah satu

faktor resiko yang mempunyai kontribusi terhadap kematian bayi khususnya pada

masa perinatal, Angka kejadian dan kematian BBLR akibat komplikasi seperti

asfiksia, infeksi, hipotermia, hiperbilirubinemia masih tinggi (Sulani, 2011).

BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas dan

disabilitas neonatus, bayi, dan anak serta memberikan dampak jangka panjang

terhadap kehidupannya di masa depan. Bayi dengan berat lahir rendah umumnya

mengalami proses hidup masa depan kurang baik, memiliki resiko tinggi untuk

meninggal dalam usia balita jika dibandingkan dengan bayi non BBLR. Bila tidak

meninggal pada awal kelahiran, bayi BBLR akan tumbuh dan berkembang lebih

lambat, apalagi jika kekurangan ASI eksklusif dan makanan pendamping ASI yang

tidak cukup. Maka bayi BBLR cenderung besar menjadi balita dengan status gizi

rendah. Bayi BBLR yang dapat bertahan hidup, dalam lima tahun pertama akan

mempunyai resiko lebih tinggi dalam tumbuh kembang secara jangka panjang

kehidupannya jika dibandingkan dengan bayi non BBLR (Aisyah, dkk 2010).

BBLR tergolong kelompok bayi yang mempunyai risiko tinggi untuk

mengalami sakit bahkan meninggal karena faktor faktor yang berpengaruh perlu

diperhatikan. Pertumbuhan dan pematangan (maturasi) organ dan alat alat tubuh

bayi yang BBLR belum sempurna akibatnya bayi yang BBLR sering mengalami

Universitas Sumatera Utara


komplikasi yang berahir dengan kematian Bayi dengan BBLR mempunyai daya tahan

tubuh yang rendah sehingga mudah terinfeksi. Risiko meninggal sebelum usia 1

tahun adalah 17 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi normal. Bayi dengan

BBLR cendrung mempunyai pertumbuhan fisik yang terhambat (Nurhaeni Arif,

2008)

Beberapa penelitian menunujukkan bahwa risiko untuk menjadi gizi kurang 8-

10 kali lebih besar dari anak normal. Tingkat kecerdasan rendah karena adanya

gangguan pada tumbuh kembang otak sejak dalam kandungan. Selain itu bayi BBLR

dapat mengalami gangguan mental dan fisik pada usia tumbuh kembang selanjutnya

sehingga membutuhkan biaya perawatan yang tinggi. Bayi BBLR adalah bayi yang

lahir dengan berat badan kurang 2.500 gram tanpa memandang masa kehamilan.

BBLR dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan, bayi dengan berat berat badan lahir

sangat rendah (BBLSR) yaitu dengan yaitu dengan berat lahir 1000 1500 gram dan

berat badan lahir amat sangat rendah (BBLASR) yaitu dengan berat lahir kurang

1000 gram. Secara umum bayi BBLR ini berhubungan dengan usia kehamilan yang

belum cukup bulan (prematur) disamping itu juga disebabkan dismaturitas artinya

bayi lahir cukup bulan (usia kehamilan 38 minggu) tapi Berat Badan (BB) lahirnya

lebih kecil ketimbang masa kehamilannya, yaitu tidak mencapai 2500 gram

(Proverowati & Sulistyorini, 2010)

BBLR secara tidak langsung dapat disebabkan karena status sosial ekonomi

yang rendah hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Hidayat dkk di

RSU Dr. Hasan Sadikin Bandung tahun 2001 dimana ada terjadi peningkatan BBLR

Universitas Sumatera Utara


pada masa krisis ekonomi, tetapi berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

Yuliva dkk, di RSUP Dr. M. Djamil Padang bahwa tidak terdapat perbedaan yang

bermakna BBLR antara ibu dengan status sosial ekonomi rendah dengan ibu yang

memiliki status sosial ekonomi tinggi hal ini dikarenakan bahwa ibu dengan status

sosial ekonomi rendah pada umumnya lebih suka mengkonsumsi makanan dari hasil

olahan sendiri berupa makanan yang segar dan alami tanpa adanya bahan pengawet

seperti makanan yang siap saji yang tersedia ditoko-toko dan supermarket.

2.5. Landasan Teori

WHO merumuskan determinan perilaku sangat sederhana. Bahwa seseorang

berperilaku karena adanya 4 alasan pokok yaitu: 1) hasil pemikiran dan perasaan. 2)

adanya acuan atau refrensi dari seseorang atau pribadi. 3) sumber daya yang tersedia

merupakan untuk terjadinya prilaku seseorang. 4) sosio budaya setempat biasanya

sangat berpengaruh terhadap terbentuknya prilaku seseorang (Notoatmodjo, 2005).

M.S. Kramer mengemukakan faktor penyebab terjadinya BBLR adalah faktor

genetik, demografi dan psikologi, faktor obstetri, faktor makanan, faktor penyakit ibu,

faktor terpapar racun, faktor pemeriksaan kehamilan (Ante Natal Care)

Universitas Sumatera Utara


2.6. Kerangka Teori

Genetik Pemeriksaan
Kehamilan

Demografi & BBLR Terpapar Racun


Psikologi

Obstetrik Penyakit Ibu


Makanan

Gambar 2.1. Kerangka Teori Penyebab Terjadinya BBLR

2.7. Kerangka Konsep

Pengaruh status sosial ekonomi, budaya dan pemeriksaan kehamilan ibu

terhadap kejadian BBLR di wilayah kerja Puskesmas Pancur Batu Kabupaten Deli

Serdang digambarkan dalam kerangka konsep sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen


Status Sosial Ekonomi
- Tingkat Pendidikan
- Tingkat Pendapatan

Budaya
- Pola Makan
- Makanan Pantangan (BBLR)
- Pembagian makanan
dalam keluarga

Pemeriksaan Kehamilan
- Jumlah Kunjungan
- Komponen Pemeriksaan
(7T)

Gambar 2.2 : Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara


Variabel independen dalam penelitian ini adalah status sosial ekonomi yang

terdiri dari pendidikan, pendapatan, budaya yaitu pola makan, makanan pantangan

dan pembagian makanan dalam keluarga dan pemeriksaan kehamilan yaitu jumlah

kunjungan, komponen pemeriksaan 7T. Variabel dependen adalah BBLR.

Status sosial ekonomi dilihat dari keadaan masyarakat bahwa ibu memiliki

pendidikan yang rendah sehingga pengetahuannya kurang tentang kesehatan terutama

kehamilannya dan dengan pendapatan yang rendah daya beli terhadap makanan

bergizi juga rendah sehingga kontribusi pada bayi yang dikandungnya beresiko

BBLR.

Budaya tampak dari tradisi pola makan sehari-hari, makanan pantangan dan

pembagian makanan dalam keluarga. Akibatnya asupan zat gizi untuk ibu hamil

tidak memadai sehingga ibu hamil mengalami anemia dengan kontribusi BBLR pada

bayi yang dilahirkan.

Pemeriksaan kehamilan dilihat dari jumlah kunjungan ibu melakukan

pemeriksaan kehamilan selama hamil dan komponen pemeriksaan kehamilan yang

didapatkan ibu pada saat melakukan kunjungan pemeriksaan kehamilan.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai