TINJAUAN PUSTAKA
Faktor sosial ekonomi yaitu meliputi data sosial yaitu, keadaan penduduk,
pengeluaran dan harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim
(Supriasa, 2002).
Menurut pendapat Junaidi (1999), keluarga adalah individu dengan jati diri
yang khas yang memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik adalah sifat individu
yang relatif tidak berubah, atau yang dipengaruhi lingkungan seperti umur, jenis
bahkan dipisahkan dengan masalah keluarga. Hal hal semacam inilah yang sering
adalah bijaksana kalau dilihat dan dikembalikan peranan keluarga dan proporsi yang
sebenarnya dengan skala prioritas yang pas. Fungsi ekonomi yaitu : 1). kebutuhan
makan dan minum, 2). kebutuhan pakaian untuk menutup tubuh, 3). kebutuhan
berusaha keras agar supaya setiap anggota keluarga dapat cukup makan dan minum,
didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), Masalah Anemia Besi,
Rawan pangan dan gizi masih menjadi salah satu masalah besar bangsa ini.
Masalah gizi berawal dari ketidakmampuan rumah tangga mengakses pangan, baik
pengetahuan akan pangan dan gizi, serta perilaku masyarakat. Kekurangan gizi mikro
seperti vitamin A, zat besi dan yodium menambah besar permasalahan gizi di
berbagai sektor dan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat
(Suzeta, 2007).
memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik; lebih dari 10
Sumatera Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Hal ini berakibat pada kekurangan
gizi, baik zat gizi makro maupun mikro, yang dapat diindikasikan dari status gizi
memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik; lebih dari 10
Sumatera Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Hal ini berakibat pada kekurangan
gizi, baik zat gizi makro maupun mikro, yang dapat diindikasikan dari status gizi
ibu perlu dilihat dari berbagai aspek. Selain akses terhadap keamanan pangan dan
orang, status gizi ibu juga mempunyai dampak secara sosial dan ekonomi.
kematian dirinya, tetapi juga terhadap kelangsungan hidup dan perkembangan janin
yang dikandungnya dan lebih jauh lagi terhadap pertumbuhan janin tersebut sampai
usia dewasa. Status sosial ekonomi ini meliputi : Pendidikan dan pendapatan
2.1.1. Pendidikan
melalui usia perkawinan dan pengetahuan akan gejala kehamilan dengan risiko tinggi.
mudah tidaknya sesorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka
peroleh. Dalam kepentingan gizi keluarga pendidikan amat diperlukan agar seseorang
lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil
dalam pengambilan keputusan dan juga akan berpengaruh pada prilakunya. Ibu
dengan pengetahuan gizi yang baik kemungkinan akan memberikan gizi yang cukup
bagi dia dan bayinya. Hal ini terlebih lagi kalau seorang ibu tersebut memasuki masa
ngidam, di mana perut rasanya tidak mau diisi, mual dan rasa yang tidak karuan.
Walaupun dalam kondisi yang demikian jika seseorang memiliki pengetahuan yang
baik maka ia akan berupaya untuk memenuhi gizinya dan juga bayinya (Proverawati
dan kesehatan, pencegahan penyakit (wanita dengan tingkat pendidikan yang tinggi
Mariam 2010).
informasi gizi. Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih baik
yang dapat memengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan lebih
tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi
lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi
tentang gizi yang memadai. Perlu dipertimbangkan bahwa faktor tingkat pendidikan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusumawati & Mutalazimah tahun 2004
Penelitian yang dilakukan oleh Djaja dkk, di kabupaten Cirebon tahun 2004
didapatkan hasil bahwa 57% ibu dari bayi yang BBLR berpendidikan SD SMP.
Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Sihombing & Riyandina, di Jakarta
nahwa ada hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dengan anemia pada ibu
hamil responden yang berpendidikan rendah (SD, SMP) beresiko anemia 3,3 kali
dibandingkan dengan responden yang berpendidikan tinggi (SMA, D3, PT) (95%).
tingkat sosial ekonomi, dalam hal ini adalah daya beli keluarga. Kemampuan
keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya
pendapatan keluarga, harga bahan makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaan
memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (Fikawati & Shafiq, 2012).
hidangan. Semakin banyak mempunyai uang berarti semakin baik makanan yang
diperoleh. Dengan kata lain semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula
persentase dari penghasilan tersebut untuk membeli daging, buah, sayuran dan
sangat tergantung pada pendapatan perhari yang pada umumnya tidak mencukupi
cadangan panagan karena daya belinya rendah. Pada tahun 1998, ada 51,0% rumah
tangga didaerah perkotaan dan 47,5% rumah tangga didaerah, pedesaan mengalami
(Suhardjo, 1999)
disajikan. Tidak dapat disangkal bahwa penghasilan keluarga akan turut menentukan
hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah
kepercayaan, seni, moral, hukum adat dan kesanggupan serta kebiasaan yang
diperoleh oleh manusia sebagai anggota sebuah masyarakat. Atau dengan kata lain
konsep dari suatu sistem serta peraturan dan makna, yang pernyataannya tergambar
kepercayaan, tanggapan, emosi, bahasa, agama bentuk keluarga, diet, pakaian, bahasa
tubuh. Konsep tentang kehidupan dan sikap terhadap kehidupan, sakit dan bentuk
kemalangan lain, yang mempunyai implikasi yang penting terhadap kesehatan dan
aspek kesehatan di negara kita, bukan hanya karena pelayanan medik yang tidak
memadai atau kurangnya perhatian dari instansi kesehatan. Tetapi banyak yang
budaya yang turun temurun masih dianut sampai dengan saat ini. Selain itu
ditemukan pula sejumlah pengetahuan dan prilaku budaya yang dinilai tidak sesuai
memberikan dampak kesehatan yang kurang menguntungkan bagi ibu dan anaknya
(Syafrudin & Mariam 2010). Adapun budaya yang berpengaruh terhadap kejadian
BBLR adalah :
Pola makan adalah cara seseorang atau kelompok orang dalam memilih
budaya dan sosial (Waryana, 2010). Pola makan yang baik akan cukup menyediakan
gizi yang dibutuhkan untuk kesehatan kehamilan, dan mengurangi risiko lahirnya
bayi cacat. Pola makan yang salah pada ibu hamil membawa dampak terhadap
terjadinya gangguan gizi antara lain anemia, pertambahan berat badan kurang pada
konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti
Tabel 2.1. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (Per Orang Perhari)
Menurut Ukuran Rumah Tangga
tingkat kemajuan budaya masyarakat tersebut, Pola makan yang baik akan cukup
resiko lahirnya bayi cacat. Selain itu makanan yang baik akan membantu sistem
pertahanan tubuh ibu hamil terhadap infeksi, makanan yang baik juga akan
melindungi ibu hamil dari akibat buruk zat zat yang mungkin ditemui seperti obat
meningkatkan kualitas maupun kuantitas makanan ibu sehari hari, bisa juga dengan
memberikan tambahan formula khusus untuk ibu hamil. Pada kehamilan, adanya
kenaikan volume darah akan meningkatkan kebutuhan zat besi (terbanyak) dan asam
pada ibu hamil hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh St. Fatimah dkk,
di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan tahun 2011 menyatakan bahwa pola makan ibu
hamil memiliki hubungan yang signifikan terhadap rendahnya kadar haemoglobin ibu
2004, pada ibu hamil di Kecamatan Karangawen Kabupaten Demak yang menderita
defisiensi besi sebesar 59,3% begitu pula hasil penelitian Wahyuni di Kabupaten
Bantul Jogjakarta menyatakan bahwa rerata konsumsi besi pada ibu hamil 15,54
Pola makan yang tidak baik akan meyebabkan asupan gizi ibu hamil tidak
tercukupi sehingga berkontribusi terhadap bayi yang dilahirkan yaitu BBLR hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati dan Nur jaya di RSUD
tertentu yang sebenarnya makanan tersebut justru bergizi dan dibutuhkan oleh
kelompok umur tersebut. Seperti ibu hamil yang tabu mengonsumsi ikan ( Hartriyanti
terkait ketersediaan pangan dan kerawanan konsumsi pangan yang dipengaruhi oleh
makanan tabu makanan adalah suatu kebudayaan yang menentukan kapan seseorang
Pada dasarnya larangan atau tabu yang mengenai makanan dapat dibagi 2
berdasarkan agama atau kepercayaan, dan (b) pantangan atau larangan pangan yang
bukan berdasar agama, tetapi ditunkan dari nenek moyang sejak jaman dahulu, yang
tidak diketahui lagi kapan dimulainya. Ada makanan pantangan yang sesuai dengan
pendapat para ilmuwan tetapi ada juga yang merugikan kesehatan dan kondisi gizi
(Sediaoetama, 2009)
Biasanya pangan pantangan ini ditujukan untuk anak kecil, ibu hamil dan ibu
menyusui. Misal anak kecil dilarang makan ikan karena takut cacingan, sakit mata
atau sakit kulit. Seperti di Kalimantan Tengah terdapat 27 jenis ikan yang menjadi
merusak badan, sulit melahirkan, dan peranakan bisa keluar (Hartati, 2006).
atau tabu tertentu bagi makanan ibu hamil. Latar belakang pantangan atau tabu
tersebut didasarkan pada kepercayaan agar tidak mengalami kesulitan pada waktu
hewani menyebabkan air susuibu beracun bagi anak bayinya (Suhardjo, 2003).
Di dalam wilayah Indonesia ada keyakinan bahwa wanita yang masih hamil
tidak boleh makan lele, ikan sembilan, udang, telur, dan nanas. Sayuran tertentu tak
boleh dikonsumsi, seperti daun lembayung, pare, dan makanan yang digoreng dengan
minyak. Setelah melahirkan atau operasi hanya boleh makan tahu dan tempe tanpa
oleh perorangan, anggota suatu keluarga. Di sini pun sering pembagian pangan
tersebut tidak merata. Yang dimaksud merata disini bukanlah bahwa setiap anggota
keluarga tersebut mendapat jatah bagian makanan yang sama banyak, tetapi bahwa
setiap anggota keluarga itu mendapat jumlah makanan yang sesuai dengan tingkat
kebutuhannya, menurut umur dan keadaan fisik serta jenis kelaminnya (Sediaoetama,
2008).
berpengaruh pula atas pola pembagian makanan dalam keluaraga. Ayah biasanya
diberikan hak-hak khusus dalam banyak hal, termasuk hak khusus untuk mendapat
bagian makanan yang paling baik dan paling banyak. Bahkan ada beberapa suku
bangsa di Asia dan Afrika di mana ayah makan sendirian terdahu lu dan setelah ayah
(Sediaoetama, 2008)
Secara tradisional, ayah mempunyai prioritas utama atas jumlah dan jenis
makanan tertentu dalam keluarga. Jika kebiasaan budaya tersebut diterapkan, maka
setelah kepala keluarga anak pria dilayani, biasanya dimulai dari yang tertua. Wanita,
anak wanita dan anak yang masih kecil boleh makan bersama anggota keluarga pria,
tetapi dibeberapa lingkunan budaya, mereka makan terpisah pada meja lain bahkan
setelah anggota pria selesai makan. Pada beberapa kasus wanita dan anak kecil hanya
memperoleh makanan yang disisakan setelah anggota keluarga pria makan. Untuk
bayi, anak anak yang masih muda dan wanita selama tahun tahun penyapihan,
pengaruh tambahan dari pembagian pangan yang tidak merata dalam unit keluarga,
dapat merupakan bencana, baik bagi kesehatan maupun kehidupan (Suhardjo, 2003).
memperhatikan kecukupan gizi dari anggota keluarga yang lain. Padahal sebenarnya
dirinyalah yang memerlukan perhatian serius mengenai penambahan gizi. Ibu harus
proses terjadinya masalah gizi diberbagai masyarakat dan negara. Dalam hal pangan,
keluarga yang telah disiapkan yaitu kepala keluarga. Anggota keluarga lain
terakhir adalah ibu rumah tangga. Apabila hal demikian masih dianut oleh suatu
budaya, maka dapat saja terjadi distribusi pangan yang tidak baik antara anggota
keluarga. Apabila hal demikian masih dianut oleh suatu budaya, maka dapat saja
terjadi distribusi pangan yang tidak baik di antara anggota keluarga. Apabila keadaan
tersebut berlangsung dalam waktu yang lama dapat berakibat timbul masalah gizi
Distribusi makanan akan berpengaruh terhadap anemia pada ibu hamil, hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Juraida Roito Harahap di Kabupaten
Kampar dengan hasil yang didapatkan bahwa anemia lebih banyak ditemukan pada
ibu hamil yang pembagian makanannnya kurang baik dik arenakan pembagian
dengan wanita terjadi juga di papua yang dibuktikan dengan hasil penelitian Alwi
dkk, bahwa 81,37% ibu hamil anemia yang dikarenakan seorang wanita lebih
mengutamakan bagian terbaik dari makanan untuk kaum pria walaupun dia sendiri
Kehamilan merupakan sebuah proses alami yang akan dialami oleh wanita
yang telah dewasa dan tidak tergantikan oleh laki-laki. Proses alamiah ini terkadang
hal-hal tersebut seorang ibu hamil harus secara rutin memeriksakan kehamilannya
kepada dokter, bidan atau petugas kesehatan yang berkompeten. Selain dapat
berkonsultasi bermacam hal yang terkait kehamilan, seorang ibu hamil juga dapat
2008)
(umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium atas indikasi, serta intervensi dasar
dan khusus (sesuai risiko yang ada termasuk penyuluhan dan konseling) Akan tetapi
dengan 7T yang terdiri dari, Timbang berat badan dan ukur tinggi badan, (ukur)
Tekanan darah, (ukur) Tinggi fundus uteri (pemeberian imunisasi) Tetanus Toksoid
(TT), (pemberian) Tablet Besi, Tes laboratorium, Temu wicara (konseling) (Meilani
dkk, 2009)
sebelum usia kehamilan mencapai 4 bulan atau antara 0-3 bulan (trimester I),
kunjungan keuda pada usia kehamilan natara 4-6 bulan (trimester II), sedangkan
Puskesmas, Rumah sakit, Praktek dokter atau bidan swasta. (Kusmiyati, 2008).
Penelitian yang dilakukan Marissa, dkk di kelurahan kramat jati dan ragunan
kehamilannya sesuai anjuran minimal 4 kali selama kehamilan dan 89,0% responden
ante natal care merupakan faktor resiko terhadap kejadian BBLR dimana ibu yang
Penelitian yang dilakukan oleh Roudbari di Zahedan Iran tahun 2009, yang
2.4. BBLR
kesehatan terutama kesehatan perinatal. BBLR terdiri atas BBLR kurang bulan dan
penyulit, dan memerlu perawatan yang memadai . BBLR yang cukup/lebih bulan
umumnya organ tubuhnya sudah matur sehingga tidak terlalu bermasalah dalam
perawata nnya.
lahir merupakan prediktor yang baik untuk pertumbuhan bayi dan kelangsungan
hidupnya. Seorang bayi yang cukup bulan pada umumnya lahir dengan berat badan
2500 gran atau lebih, Bayi dengan berat badan lahir rendah merupakan salah satu
faktor resiko yang mempunyai kontribusi terhadap kematian bayi khususnya pada
masa perinatal, Angka kejadian dan kematian BBLR akibat komplikasi seperti
disabilitas neonatus, bayi, dan anak serta memberikan dampak jangka panjang
terhadap kehidupannya di masa depan. Bayi dengan berat lahir rendah umumnya
mengalami proses hidup masa depan kurang baik, memiliki resiko tinggi untuk
meninggal dalam usia balita jika dibandingkan dengan bayi non BBLR. Bila tidak
meninggal pada awal kelahiran, bayi BBLR akan tumbuh dan berkembang lebih
lambat, apalagi jika kekurangan ASI eksklusif dan makanan pendamping ASI yang
tidak cukup. Maka bayi BBLR cenderung besar menjadi balita dengan status gizi
rendah. Bayi BBLR yang dapat bertahan hidup, dalam lima tahun pertama akan
mempunyai resiko lebih tinggi dalam tumbuh kembang secara jangka panjang
kehidupannya jika dibandingkan dengan bayi non BBLR (Aisyah, dkk 2010).
mengalami sakit bahkan meninggal karena faktor faktor yang berpengaruh perlu
diperhatikan. Pertumbuhan dan pematangan (maturasi) organ dan alat alat tubuh
bayi yang BBLR belum sempurna akibatnya bayi yang BBLR sering mengalami
tubuh yang rendah sehingga mudah terinfeksi. Risiko meninggal sebelum usia 1
tahun adalah 17 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi normal. Bayi dengan
2008)
10 kali lebih besar dari anak normal. Tingkat kecerdasan rendah karena adanya
gangguan pada tumbuh kembang otak sejak dalam kandungan. Selain itu bayi BBLR
dapat mengalami gangguan mental dan fisik pada usia tumbuh kembang selanjutnya
sehingga membutuhkan biaya perawatan yang tinggi. Bayi BBLR adalah bayi yang
lahir dengan berat badan kurang 2.500 gram tanpa memandang masa kehamilan.
BBLR dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan, bayi dengan berat berat badan lahir
sangat rendah (BBLSR) yaitu dengan yaitu dengan berat lahir 1000 1500 gram dan
berat badan lahir amat sangat rendah (BBLASR) yaitu dengan berat lahir kurang
1000 gram. Secara umum bayi BBLR ini berhubungan dengan usia kehamilan yang
belum cukup bulan (prematur) disamping itu juga disebabkan dismaturitas artinya
bayi lahir cukup bulan (usia kehamilan 38 minggu) tapi Berat Badan (BB) lahirnya
lebih kecil ketimbang masa kehamilannya, yaitu tidak mencapai 2500 gram
BBLR secara tidak langsung dapat disebabkan karena status sosial ekonomi
yang rendah hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Hidayat dkk di
RSU Dr. Hasan Sadikin Bandung tahun 2001 dimana ada terjadi peningkatan BBLR
Yuliva dkk, di RSUP Dr. M. Djamil Padang bahwa tidak terdapat perbedaan yang
bermakna BBLR antara ibu dengan status sosial ekonomi rendah dengan ibu yang
memiliki status sosial ekonomi tinggi hal ini dikarenakan bahwa ibu dengan status
sosial ekonomi rendah pada umumnya lebih suka mengkonsumsi makanan dari hasil
olahan sendiri berupa makanan yang segar dan alami tanpa adanya bahan pengawet
seperti makanan yang siap saji yang tersedia ditoko-toko dan supermarket.
berperilaku karena adanya 4 alasan pokok yaitu: 1) hasil pemikiran dan perasaan. 2)
adanya acuan atau refrensi dari seseorang atau pribadi. 3) sumber daya yang tersedia
genetik, demografi dan psikologi, faktor obstetri, faktor makanan, faktor penyakit ibu,
Genetik Pemeriksaan
Kehamilan
terhadap kejadian BBLR di wilayah kerja Puskesmas Pancur Batu Kabupaten Deli
Budaya
- Pola Makan
- Makanan Pantangan (BBLR)
- Pembagian makanan
dalam keluarga
Pemeriksaan Kehamilan
- Jumlah Kunjungan
- Komponen Pemeriksaan
(7T)
terdiri dari pendidikan, pendapatan, budaya yaitu pola makan, makanan pantangan
dan pembagian makanan dalam keluarga dan pemeriksaan kehamilan yaitu jumlah
Status sosial ekonomi dilihat dari keadaan masyarakat bahwa ibu memiliki
kehamilannya dan dengan pendapatan yang rendah daya beli terhadap makanan
bergizi juga rendah sehingga kontribusi pada bayi yang dikandungnya beresiko
BBLR.
Budaya tampak dari tradisi pola makan sehari-hari, makanan pantangan dan
pembagian makanan dalam keluarga. Akibatnya asupan zat gizi untuk ibu hamil
tidak memadai sehingga ibu hamil mengalami anemia dengan kontribusi BBLR pada