Tujuan pembuatan blog ini untuk mempermudah bagi mahasiswa siswa/siswi dalam
mendapatkan tugas2 yg dibutuhkannya. SATU UNTUK SEMUA (T_T)
KEPERAWATAN S1,Ners
PEMILIK
KAMIS, 31 JANUARI 2013
LAPORAN PENDAHULUAN EPILEPSI
Epilepsi
A. Pengertian
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat reversibel (Tarwoto, 2007)
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang
datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan
listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi
(Arif, 2000)
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-
ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-
neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik
(anonim, 2008)
B. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (Idiopatik) Sering
terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah
(Tarwoto, 2007)
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah
epilepsi idopatik, remote symptomatic epilepsy (RSE), epilepsi simtomatik akut, dan
epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau
antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi
idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang
berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas
pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang
tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan
defisit neurologik yang jelas. Sementara itu, dipandang dari kemungkinan terjadinya
bangkitan ulang pasca-awitan, definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur
saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan
pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit neurologik
terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75%
pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan
pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai
resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya
bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak
konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan
pertama.
Epilepsi dapat dibagi dalam tiga golongan utama antara lain:
a. Epilepsi Grand Mal
Epilepsi grand mal ditandai dengan timbulnya lepas muatan listrik yang berlebihan
dari neuron diseluruh area otak-di korteks, di bagian dalam serebrum, dan bahkan
di batang otak dan talamus. Kejang grand mal berlangsung selama 3 atau 4 menit.
b. Epilepsi Petit Mal
Epilepsi ini biasanya ditandai dengan timbulnya keadaan tidak sadar atau
penurunan kesadaran selama 3 sampai 30 detik, di mana selama waktu serangan
ini penderita merasakan beberapa kontraksi otot seperti sentakan (twitch-
like),biasanya di daerah kepala, terutama pengedipan mata.
c. Epilepsi Fokal
Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik regio setempat
pada korteks serebri atau struktur-struktur yang lebih dalam pada serebrum dan
batang otak. Epilepsi fokal disebabkan oleh resi organik setempat atau adanya
kelainan fungsional.
C. PATOFISIOLOGI.
Menurut para penyelidik bahwa sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari
sekumpulan sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas muatan secara
berlebihan dan hypersinkron. Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang disebut
juga sebagai fokus epileptik mendasari semua jenis epilepsi, baik yang umum
maupun yang fokal (parsial). Lepas muatan listrik ini kemudian dapat menyebar
melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis dan melibatkan daerah disekitarnya atau
daerah yang lebih jauh letaknya di otak. Tidak semua sel neuron di susunan saraf
pusat dapat mencetuskan bangkitan epilepsi klinik, walaupun ia melepas muatan
listrik berlebihan. Sel neuron diserebellum di bagian bawah batang otak dan di
medulla spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan listrik berlebihan,
namun posisi mereka menyebabkan tidak mampu mencetuskan bangkitan epilepsi.
Sampai saat ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan
sel-sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan (mekanisme
terjadinya epilepsi).
Secara Patologi :
Fenomena biokimia sel saraf yang menandai epilepsi :
1. Ketidakstabilan membran sel saraf.
2. Neuron hypersensitif dengan ambang menurun.
3. Polarisasi abnormal.
4. Ketidakseimbangan ion.
D. Pathways
E. Manifestasi klinik
1. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau
gangguan penginderaan
2. Kelainan gambaran EEG :....
3. Tergantung lokasi dan sifat Fokus Epileptogen
4. Dapat mengalami Aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (Aura
dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, men cium bau-bauan tak enak,
mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
F. Klasifikasi kejang
1. Kejang Parsial
a. Parsial Sederhana
Gejala dasar, umumnya tanpa gangguan kesadaran. Misal: hanya satu jari atau
tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau
somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak
umum/tdk nyaman
b. Parsial Kompleks
Dengan gejala kompleks, umumnya dengan ganguan kesadaran. Dengan gejala
kognitif, afektif, psiko sensori, psikomotor. Misalnya: individu terdiam tidak bergerak
atau bergerak secara automatik, tetapi individu tidak ingat kejadian tersebut
setelah episode epileptikus tersebut lewat
2. Kejang Umum (grandmal)
Melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi
Terjadi kekauan intens pada seluruh tubuh (tonik) yang diikuti dengan kejang yang
bergantian dengan relaksasi dan kontraksi otot (Klonik) Disertai dengan penurunan
kesadaran, kejang umum terdiri dari:
a. Kejang Tonik-Klonik
b. Kejang Tonik : keadaan kontinyu
c. Kejang Klonik : Kontraksi otot mengejang
d. Kejang Atonik : Tidak adanya tegangan otot
e. Kejang Myoklonik : kejang otot yang klonik
f. Spasme kelumpuhan
g. Tidak ada kejang
h. Kejang Tidak Diklasifikasikan/ digolongkan karena datanya tidak lengkap.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak
dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini
dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.
a. Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
b. Mengalami complex partial seizure
c. Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam
sebelumnya)
d. Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
e. Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar
1 jam setelah kejang demam adalah normal.
f. Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda
peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi
sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi
antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus
seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
2. EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan
gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam
yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada
penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau
segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya
kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh
gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut
tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko
epilepsi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor,
magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama.
Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan
sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
4. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan
MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi
untuk pertama kalinya.
H. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk
pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan
obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan
salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi
keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya
dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera
kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar
belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus
di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera
akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan
persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan
program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti
konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari
rencana pencegahan ini.
I. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan
obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan.
Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah
dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang
mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan
tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah
cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan
selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering
dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika
terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau
bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi
yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.
J. KOMPLIKASI
1. Kerusakan otak akibat hipeksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang
yang berulang
2. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas ( Elizabeth, 2001 : 174 )
H. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian data dasar
Data dasar adalah dasar untuk mengindividualisasikan rencana asuhan
keperawatan, mengembangkan dan memperbaiki sepanjang waktu asuhan perawat
untuk klien. Pengumpulan data harus berhubungan dengan masalah kesehatan
tertentu dengan kata lain data pengkajian harus relevan ( Potter, 2005 : 144 )
Identitas atau biodata terdiri dari tinggi atau kesiapan psikis. Pendidikan untuk
mengetahui wawasan dan pengetahuan, agama untuk meningkatkan pertumbuhan
dan perkembangan otak, pekerjaan untuk mengetahui status sosial ekonomi dan
alamat untuk mengetahui komunitasnya
Riwayat keperawatan sekarang didapatkan dengan pengkajian dari penyakit saat
ini, riwayat kesehatan keluarga. Pada pengkajian riwayat penyakit saat ini diperoleh
dengan pengumpulan data yang penting dan berkaitan tentang awitan gejala.
Perawat menentukan kepan gejala timbul, apakah gejala selalu timbul atau hilang
dan timbul. Perawat juga menanyakan tentang durasi gejala. Pada bagian tentang
riwayat penyakit sat ini perawat mencatatkan informasi spesifik seperti letak,
intentitas dan kualitas gejala
Riwayat kesehatan masa lalu diperoleh dengan pengkajian tentang riwayat masa
lalu sehingga memberikan data tentang pengalaman perawatan kesehatan klien.
Perawat mengkaji apakah klien dirawat dirumah sakit atau pernah menjalani
operasi juga penting dalam merencanakan asuhan keperawatan adalah deskripsi
tentang alergi termasuk alergi terhadap makanan, obat obatan atau polutan. Juga
terdapat pada format pengkajian. Perawat juga mengidentifikasi kebiasaan dan pola
gaya hidup. Penggunaan tembakau, alkohol, kafein, obat obatan atau medikasi
yang secara rutin digunakan dapat membuat klien berisiko terhadap penyakit yang
menyerang napas, paru paru, jantung, sistem saraf, atau berfikir dengan
membuat catatan tentang tipe kebiasaan juga frekuensi dan durasi penggunaan
akan memberikan data yang penting
Pengkajian pada riwayat keluarga adalah untuk mendapatkan data
tentanghubungan kekeluargaan langsung dan hubungan darah. Sasarannya adalah
untuk menentukan apakah klien beresiko terhadap penyakit yang bersifat genetik
atau familial dan untuk mengidentifikasi area tentang promosi kesehatan dan
pencegahan penyakit. Riwayat keluarga juga memberikan informasi tentang
struktur keluarga, interaksi dan fungsi yang mungkin berguna dalam merencanakan
asuhan, keperawatan ( Potter, 2005 : 158 )
Pada pola pengkajian fungsional, penulis menggunakan pola pengkajian menurut
Virginia Handerson karena teory keperawatan tersebut (Handerson, 1955 )
mencakup seluruh kebutuhan dasar manusia. Handerson ( 1964 )
mengidentifikasikan keperawatan sebagai membantu individu yang sakit dan yang
sehat dalam melaksanakan aktivitas yang memiliki kontribusi terhadap kesehatan
dan penyembuhannya dimana individu tersebut akan mampu mengerjakannya
tanpa bantuan. Bila ia memiliki kekuatan, kemampuan dan kebutuhan. Dalam hal ini
dilakukan agar dapat mengembalikan kembali kemandiriannya secepat mungkin
( Potter, 2005 : 159 )
Pengkajian fisik pada kasus ini difokuskan pada sistem persyarafan dan sistem
neurologis bertanggung jawab terhadap banyak fungsi, termasuk stimulus sensori,
organisasi proses berfikir, kontrol bicara dan penyimpanan memori. Kebutuhan
dasar menurut Virgina Handerson memberikan kerangka kerja dalam melakukan
asuhan keperawatan diantaranya :
1. Bernafas secara normal
Bantuan yang dapat diberikan kepada klien oleh perawat adalah membantu
memilih tempat tidur, kursi yang cocok, serta menggunakan bantal, alas dan
sejenisnya sebagai alat pembantu klien agar dapat bernafas dengan kontrol dan
kemampuan mendemonstrasikan serta menjelaskan pengaruhnya kepada klien.
Perawat harus waspada terhadap tanda tanda obstruksi jalan nafas dan siap
memberikan bantuan dalam keadaan tertentu
2. Kebutuhan akan Nutrisi
Perawat harus mampu memberikan penjelasan mengenai tinggi dan berat badan
yang normal, kebutuhan nutrisi yang diperlukan, pemilihan dan penyediaan
makanan, pendidikan, kesehatan akan berhasil apabila diperhatikan latar belakang
kultural dan sosial klien. Untuk itu perawat harus mengerti kebiasaan, kepercayaan
klien tentang nutrisi disamping nutrisi dan tumbuh kembang
3. Kebutuhan Eliminasi
Perawatan dasarnya meliputi semua pengeluaran tubuh, perawat harus mengetahui
semua saluran pengeluaran dan keadaan normalnya. Jarak waktu pengeluaran dan
frekuensi pengeluaran yang meliputi keringat. Udara yang keluar saat bernafas,
menstruasi, muntah, buang air besar atau kecil
4. Gerak dan Keseimbangan Tubuh
Perawat harus mengetahui tentang prinsip prinsip keseimbangan tubuh miring
dan besar artinya perawat harus bisa memberikan rasa nyaman dalam semua posisi
dan tidak membiarkan terbaring terlalu lama pada satu sisi. Perawat harus dapat
melindungi pasiennya selama sakit dengan berhati hati saat memindahkan dan
mengangkat
6. Neorosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang yang berulang, pingsan,pusing,
riwayat trauma kepala.
Tanda : Karakteristik kejang :
a. Fase prodoumal : adanya perubahan pola pada rekreasi emosi atau respon afectif
yang tak menentu.
b. Keadaan umum : tonik klonik, kekakuan,penurunak kesadaran.
c. Kejang parsial : pasien tetap sadar dengan aksi mimpi, melamun, jalan jalan.
d. Status epiletilikus : aktivitas kejang yang terjadi terus menerus dengan spontan
gejala putus anti konvulsan tiba tiba dan fenomena metabolik lain.
7. Nyeri atau Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot,nyeri abnormal.
Tanda : Sikap dan tingkah laku perubahan tonus otot.
8. Pernafasan
Gejala : Gigi mengatup,siasonis pernapasan dan turun cepat, peningkatan sekresi
mukus.
9. Keamanan
Gejala : Riwayat jatuh, fraktur
Tanda : Tauma pada jaringan lunak, penurunan kekuatan otot
10. Interaksi Sosial
Gejala : Masalah dalam hubungan inter personal dalam keluarga dan lingkungan
sosialnya.
( Doenges, 2000; 259 )
b. Fokus Intervensi
1. Resiko tinnggi terhadap trauma, pengeentian pernapsan b/d kelemahan,
kesulitan kesimbangan, keterbatasan kognitif, kehilangan koordinasi otot besar atau
kecil, kesulitan emosional
- Hasil yang diharapkan :
a. Mampu mengungkapkan pemaham faktor yang menunjang kemunginan trauma
b. Mendemonstrasikan perilaku perubahan gaya hidup untuk mengurangi faktor
resiko
c. Mampu mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan
d. Mampu mempertahankan antara pengobatan sesuai indikasi
e. Mampu mengidentifikasi tindakan yang diambil bila terjadi kejang
- Intervensi
1. Gali bersaka pasien berbagai stimulasi yang dapat menjadi pencetus kejang
Rasionalisasi : alkohol, berbagai obat dan stimulasi lain dapat meningkatkan resiko
terjadinya kejang
2. Pertahankanlah bantalan lunak pada penghalang temapt tidur
Rasionalisasi : mengurangi trauma saat kejang selama pasien berada ditempat tidur
3. Catat tipe dari aktivitas kejang dan beberapa kali terjadi
Rasionalisasi : membantu untuk melokalisasi daerah otot yang terkena
4. Lakukan penilaian neurologis atau tanda tanda vital setelah kejang
Rasionalisasi : mencatat keadaan pewintal dan waktu penyembuhan pada keadaan
normal
5. Observasi munculnya tanda tanda status epileptikus
Rasionalisasi : untuk keadaan darurat yang mengamcamhidup yang dapat
menyebabkan henti nafas, hipolsia, kerusakan pada otak atau sel saraf
2. Pola nafas tidak efectif b/d merusakan neuromuskuler, obstruksi trakea bronkial
kerusakan persepsi
- Hasil yang diharapkan :
Mampu mempertahankan pola nafas yang efectif dengan jalan nafas paten aspirasi
dicegah
- Intervensi :
a. Anjurkan pasien mengosongkan mulut dari makanan
Rasionalisasi : menurunkan resiko aspirasi atau masuknya suatu benda asing ke
faring
b. Letakan pasien pada posisi miring, permukaan datar, meiringkan kepala secara
serangan kejang
Rasionalisasi : meningkatkan aliran sekret mencegah lidah jatuh dan menyumbat
jalan nafas
c. Masukan spatel lidah sesuai indikasi
Rasionalisasi : mencegah tergigitnya lidah dan menfasilitasi saat melakukan
penghiasapan lendir.
d. Lakukan penghisapan sesuai indiaksi
Rasionalisasi : menurunkan resiko aspirasi serebal sebagai akibat di sirkulasi yang
menurun
e. Berikan tambahan oksigen
Rasionalisasi : dapat menurunkan hipeksia serebal sebagai akibat di sirkulasi yang
menurun
3. Gangguan harga diri, identitas pribadi b/d stigma berkenaan dengan
kondisi,persepsi tentang tidak kekontrol
- Hasil yang diharapkan :
a. Mampu mengidentifikasi perasaan dan metode untuk koping dengan persepsi
negatif pada diri sendiri
b. Mampu meningkatkan masa harga diri dalam hubungan diagnosis
c. Mampu mengungkapkan persepsi realitis dan penerimaan diri dalam
perubahanperan atau gaya hidup
- Intervensi :
a. Diskusikan perasaan pasien mengenai diagnostik persepsi diri terhadap
penanganan yang dilakukan
Rasionalisasi : reaksi yang ada bervariasi diantaranya individu dan pengetahuan
atau pengalaman awal dengan keadaan penyakitnya akan mempengaruhi
pengobatan
b. Identifikasi kemungkinan reaksi orang lain pada keadaan penyakitnya
Rasionalisasi : memberikan kesempatan untuk bevespen pada proses pemecahan
masalah dan memberikan kesadaran kontrol terhadap situasi yang dihadapi
c. Gali bersama pasien mengenai keberhasilan yang telah diperoleh
Rasionalisasi : memfokuskan pada aspek yang positif dapat membantu untuk
menghilangkan perasaan dari kegagalan atau untuk kesadaran terhdap diri sendiri
d. Hindari pemberian perlindungan yang amat berlebihan pada pasien
Rasionalisasi : Partisipasi dalam sebanyak mungkin pengalaman dapat mengurangi
depresi tentang keterbatasan
e. Tekankan pentingnya orang terdekat untuk tetap dalam keadaan terang selama
kejang
Rasionalisasi : ansietas dari pemberian asuhan dalam menjalankan dan bila sampai
pada pasien dapat meningkatkan persepsi kognitif terhadap keadaan lingkungan
4. Kurang pengetahuan b/d kurang pemanjaan kesalahan interprestasi informasi,
keterbatasan kognitif kegagalan untuk berubah
- Hasil yang diharapkan
a. Mampu mengungkapkan pemahaman tentang gangguan dan berbagai
rangsangan yang dapat meningkatkan aktivitas kejang
b. mampu memulai perubahan perilaku gaya hidup sesuai indikasi
c. menaati aturan obat yang diresepkan
- Intervensi :
a Jelaskan kembali tentang patofisiologi penyakitnya
Rasionalisasi : memberikan kesempatan untuk mengklasifikasikan kesalahan
persepsi dan keadaan penyakit
b. Beri petunjuk yang jelas pada pasien untuk minum obat bersamaan dengan
waktu makan
Rasionalisasi : dapat menurunkan iritasi lambung, mual dan muntah
c. Diskusikan manfaat dari kesehatan umum yang baik
Rasionalisasi : aktivitas yang sedang dan teratur dapat membantu menurunkan
faktor predisposisi yang meningkatkan perasaan sehat
d. Tinjau kembali kebersihan mulut dan perawatan gigi
Rasionalisasi : menurunkan resiko infeksi mulut dan hiperplsia digusi
( Donges, 2000;262 )
Diposkan oleh ABDUL MUFTI UBAIDILLAH di 06.17
Reaks
i:
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Link ke posting ini
Buat sebuah Link
Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
MENGENAI SAYA
Intervensi Rasional
Observasi:
Jauhkan benda- benda yang dapat Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat
mengakibatkan terjadinya cedera pada aktivitas kejang yang tidak terkontrol
pasien saat terjadi kejang
Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk
mencegah cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendah dan Area yang rendah dan datar dapat
datar mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu Memberi penjagaan untuk keamanan pasien
beberapa lama setelah kejang untuk kemungkinan terjadi kejang kembali
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah Lidah berpotensi tergigit saat kejang karena
terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi menjulur keluar
kejang
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal
tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum terjadinya kejang pada pasien
sebelum kejang
Kolaborasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai advice Mengurangi aktivitas kejang yang
dokter berkepanjangan, yang dapat mengurangi
suplai oksigen ke otak
Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika Sebagai informasi pada perawat untuk
merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, segera melakukan tindakan sebelum
atau mengalami sesuatu yang tidak biasa terjadinya kejang berkelanjutan
sebagai permulaan terjadinya kejang.
Berikan informasi pada keluarga tentang Melibatkan keluarga untuk mengurangi
tindakan yang harus dilakukan selama resiko cedera
pasien kejang
Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah
datar lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada
Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan
abdomen Mengeluarkan mukus yang berlebih, menurunkan
resiko aspirasi atau asfiksia.
Melakukan suction sesuai indikasi
Membantu memenuhi kebutuhan oksigen agar tetap
adekuat, dapat menurunkan hipoksia serebral
sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun atau
Kolaborasi oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama
Berikan oksigen sesuai program terapi serangan kejang.
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi
dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
- adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
- menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi Rasional
Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang Memberi informasi pada perawat tentang factor
berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien yang menyebabkan isolasi sosial pasien
Mandiri
Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat
pasien pasien lebih percaya diri
Kolaborasi:
Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat
pasien mempunyai pengaruh besar dalam keadaan
psikologis pasien
Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita
pasien bahwa penyakit epilepsi tidak menular epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat menular).
3.4. Evaluasi
1) Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2) Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3) Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak menarik diri (minder)
4) Pola napas normal, TTV dalam batas normal
5) Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari- hari secara normal
6) Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan normal
7) Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
8) Status kesadaran pasien membaik
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan
listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007). Epilepsi juga merupakan
gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan,
berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat
reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir.
Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk akan
menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi (1%) penduduk
terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan pada lima tahun
terakhir. Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia
mengidap epilepsi.
Pengklasifikasian epilepsi atau kejang ada dua macam, yaitu epilepsi parsial dan epilepsi grandmal.
Epilepsi parsial dibedakan menjadi dua, yaitu epilepsi parsial sederhana dan epilepsi parsial kompleks.
Epilepsi grandmal meliputi epilepsi tonik, klonik, atonik, dan myoklonik. Epilepsi tonik adalah epilepsi
dimana keadaannya berlangsung secara terus-menerus atau kontinyu. Epilepsi klonik adalah epilepsi
dimana terjadi kontraksi otot yang mengejang. Epilepsi atonik merupakan epilepsi yang tidak terjadi
tegangan otot. Sedangkan epilepsi myoklonik adalah kejang otot yang klonik dan bisa terjadi spasme
kelumpuhan.
4.2. Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada umumnya dan mahasiswa
keperawatan pada khususnya mengetahui pengertian, tindakan penanganan awal, serta mengetahui
asuhan keperawatan pada klien dengan epilepsi. Oleh karena penyandang epilepsi sering dihadapkan
pada berbagai masalah psikososial yang menghambat kehidupan normal, maka seyogyanya kita
memaklumi pasien dengan gangguan epilepsi dengan cara menghargai dan menjaga privasi klien
tersebut. Hal itu dilaksanakan agar pasien tetap dapat bersosialisasi dengan masyarakat dan tidak
akan menimbulkan masalah pasien yang menarik diri.
a) Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan
penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat
memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
b) Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya
ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran
secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh
anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga
mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak
bicara.
c) Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
d) Riwayat penyakit dahulu:
- Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
- Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
- Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
- Tumor Otak
- Kelainan pembuluh darah
- demam,
- stroke
- gangguan tidur
- penggunaan obat
- hiperventilasi
- stress emosional
e) Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan
merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat
dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
f) Riwayat psikososial
- Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.
- Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang
berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau ayan yang lebih umum di
masyarakat).
g) Pemeriksaan fisik (ROS)
1) B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea,
aspirasi
2) B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
3) B3 (brain): penurunan kesadaran
4) B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
5) B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi
6) B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan
anggota tubuh, mengeluh meriang
h) Analisis Data
Data
Etiologi
Masalah Keperawatan
DS:
DO: pasien kejang (kaki menendang- nendang, ekstrimitas atas fleksi), gigi geligi
terkunci, lidah menjulur
perubahan aktivitas listrik di otak
Keseimbangan terganggu
gerakan tidak terkontrol
Resiko cedera
DS: sesak,
DO:apnea, cianosis
gangguan nervus V, IX, X
lidah melemah
menutup saluran trakea
Adanya obstruksi
Bersihan jalan napas tidak efektif
DS: terjadi aura (mendengar bunyi yang melengking di telinga, bau- bauan, melihat
sesuatu), halusinasi, perasaan bingung, melayang2.
DO: penurunan respon terhadap stimulus, terjadi salah persepsi
Terjadi depolarisasi berlebih
Bangkitan listrik di bagian otak serebrum
Menyebar ke nervus- nervus
Mempengaruhi aktivitas organ sensori persepsi
Gangguan persepsi sensori
DS: klien terlihat rendah diri saat berinteraksi dengan orang lain
DO:menarik diri
Stigma masyarakat yang buruk tentang penyakit epilepsi atau ayan
Klien merasa rendah diri
Menarik diri
Isolasi sosial
DS: klien terlihat cemas, gelisah.
DO: takikardi, frekuensi napas cepat atau tidak teratur
Terjadi kejang epilepsi
Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit
Bingung
Ansietas
DS: pasien mengeluh sesak
DO: RR meningkat dan tidak teratur,
Terjadi bangkitan listrik di otak
Menyebar ke daerah medula oblongata
Mengganggu pusat respiratori
Mempengaruhi pola napas
Ketidakefektifan pola napas
DS: klien merasa lemas, klien mengeluh cepat lelah saat melakukan aktivitas
DO:takikardi, takipnea,
terjadi bangkitan listrik di otak
menyebar ke MO
mengganggu pusat kardiovaskular
takikardia
CO menurun
Suplai darah (O2) ke jaringan menurun
metabolisme aerob menjadi anaerob
ATP dari 38 menjadi 2
kelelahan
intoleransi aktifitas
Intoleransi aktivitas
DS: pasien menunjukkan kelelahan, diam, tidak banyak bergerak
DO: penurunan kesadaran, penurunan kemampuan persepsi sensori, tidak ada
reflek
CO menurun
Suplai darah ke otak berkurang
Iskemia jaringan serebral (O2 tidak adekuat)
Resiko penurunan perfusi serebral
Intervensi
Rasional
Observasi:
Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien
saat terjadi kejang
Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak terkontrol
Pasang penghalang tempat tidur pasien
Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar
Area yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang
Memberi penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan terjadi kejang
kembali
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi
kejang
Lidah berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa saat
sebelum kejang
Untuk mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya kejang pada pasien
Kolaborasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman,
atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang.
Kolaborasi
Berikan oksigen sesuai program terapi
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
- adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
- menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi
Rasional
Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi
sosial pasien
Memberi informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial
pasien
Mandiri
Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri
Kolaborasi:
Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam
keadaan psikologis pasien
Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi
tidak menular
Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi
dapat menular).
3.4. Evaluasi
1) Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2) Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3) Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak
menarik diri (minder)
4) Pola napas normal, TTV dalam batas normal
5) Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari-
hari secara normal
6) Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan
normal
7) Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
8) Status kesadaran pasien membaik
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto,
2007). Epilepsi juga merupakan gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-
gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan
lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan
berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi
yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada
wanita, yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika
Serikat, satu di antara 100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang
lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir.
Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia
mengidap epilepsi.
Pengklasifikasian epilepsi atau kejang ada dua macam, yaitu epilepsi parsial dan
epilepsi grandmal. Epilepsi parsial dibedakan menjadi dua, yaitu epilepsi parsial
sederhana dan epilepsi parsial kompleks. Epilepsi grandmal meliputi epilepsi tonik,
klonik, atonik, dan myoklonik. Epilepsi tonik adalah epilepsi dimana keadaannya
berlangsung secara terus-menerus atau kontinyu. Epilepsi klonik adalah epilepsi
dimana terjadi kontraksi otot yang mengejang. Epilepsi atonik merupakan epilepsi
yang tidak terjadi tegangan otot. Sedangkan epilepsi myoklonik adalah kejang otot
yang klonik dan bisa terjadi spasme kelumpuhan.
4.2. Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada umumnya
dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui pengertian, tindakan
penanganan awal, serta mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan
epilepsi. Oleh karena penyandang epilepsi sering dihadapkan pada berbagai
masalah psikososial yang menghambat kehidupan normal, maka seyogyanya kita
memaklumi pasien dengan gangguan epilepsi dengan cara menghargai dan
menjaga privasi klien tersebut. Hal itu dilaksanakan agar pasien tetap dapat
bersosialisasi dengan masyarakat dan tidak akan menimbulkan masalah pasien
yang menarik diri.
0 Comment
Komplikasi yang dimaksud disini yaitu terjadinya situasi atau kondisi yang dapat membahayakan
nyawa penderitanya, seperti misalnya: terjatuh, tenggelam atau mengalami kecelakaan saat
berkendara akibat kejang.
Penderita epilepsi juga bisa terganggu mentalnya, sehingga bisa saja melakukan percobaan bunuh
diri lantaran depresi dengan kondisinya. Sehingga peran keluarga, sahabat, diperlukan disini untuk
mensupport penderita epilepsi.
Meski tidak banyak, beberapa anak saat demam dapat mengalami kejang. Angka kejadian
kejang demam terjadi pada 2-5 persen anak antara usia 6 bulan sampai 5 tahun. Kejang
merupakan hal paling dicemaskan oleh orangtua meski tidak membahayakan dan pada
umumnya tidak berdampak buruk pada tumbuh dan berkembangnya anak nantinya.
Kejang demam merupakan kejang yang cukup sering dijumpai pada anak anak yang berusia
dibawah 5 tahun, gejala gejala yang timbul dapat bermacam macam tergantung dibagian
otak mana yang terpengaruh, tetapi kejang demam yang terjadi pada anak adalah kejang umum
. Insidensi kejang demam di berbagai negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa barat
mencapai 2 4 % sedangkan di negara negara asia jumlah penderitanya lebih tinggi lagi.
Sekitar 20% diantara jumlah penderita mengalamikejang kompleks yang harus ditangani lebih
teliti.
Di Indonesia, terdapat 5 (6,5%) diantara 83 pasien kejang demam menjadi Epilepsi.
Penanganan kejang demam harus tepat, sekitar 16% anak akan mengalami kekambuhan
(rekurensi) dalam 24 jam pertama walaupun adakalanya belum bisa dipastikan, bila anak
mengalami demam yang terpenting adalah usaha menurunkan suhu badannya. Berdasarkan
hasil prasurvey di Indonesia terdapat 15 kasus kejang demam, 80% (11 Kasus) disebabkan oleh
infeksi saluran pernapasan, 2 pasien kejang demam meninggal dengan
observasi Meningitis dan Enchepalitis. Kronologis terjadinya kejang demam.
Kejang demam adalah penyakit yang sering dijumpai pada anak. Rekurensi kejang demam
sering terjadi pada anak dan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor
ini dapat membantu untuk meramalkan terjadinya rekurensi kejang demam pada pasien.
Data dari RSUZA Banda Aceh dari tahun 2011 sampai 2012 ditemukan terdapat 86 pasien
dengan kejang demam, 41 (47,7%) pasien di antaranya mengalami kejang demam berulang.
Hasil penelitian mendapatkan rekurensi kejang demam terjadi 2,7 kali pada pasien yang
menderita kejang pertama kali pada usia kurang dari 12 bulan, 3,2 kali pada pasien yang
mempunyai riwayat keluarga dengan kejang demam, 4,4 kali pada pasien yang demam dengan
suhu kurang dari 39OC, dan 1,4 kali pada pasien dengan kejang demam kompleks.
Dalam menyikapi masalah kejang demam ini, biasanya bukan hanya orangtua yang cemas.
Terkadang, sebagian dokter yang menangani juga terbawa arus emosi orangtua dengan
melakukan intervensi yang berlebihan khususnya dalam penanganan dan pemeriksaan.
Prosedur penanganan yang seharusnya diminimalkan, tetapi seringkali terlalu kaku dalam
menerapkan teori dan protap sehingga menimbulkan penanganan dan pemeriksaan
laboratorium yang berlebihan seperti pemeriksaan gula darah, elektrolit, pemeriksaan EEG dan
MRI.
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
di atas 38 derajat celcius) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium atau di luar sistem
susunan saraf pusat atau otak. Kejang demam biasanya terjadi pada 24 jam awal demam atau
hari pertama demam. Anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian kaku, kelojotan
dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu, napas akan terganggu, dan
kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal kembali.
Kejang biasanya berakhir kurang dari 1 menit, tetapi walaupun jarang dapat terjadi selama lebih
dari 15 menit. Kejang demam jarang terjadi lebih dari 1 kali dalam 24 jam. Kejang karena sebab
lain atau kejang yang tidak disebabkan oleh demam akan berlangsung lebih lama, dapat terjadi
pada salah satu bagian tubuh saja dan dapat terjadi berulang.