d Pasal 26
PPh PASAL 21
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur oleh wajib pajak berupa gaji,
uang pensiun bulanan, upah, honorarium, termasuk honorarium anggota dewan komisaris
atau anggota dewan pengawas dari perusahaan, premi bulanan, uang lembur, komisi, gaji
istimewa, uang sokongan, uang ganti rugi, tunjangan istri dan/atau tunjangan anak,
tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transport,
tunjangan berupa pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, beasiswa,
premi asuransi yang dibayar pemberi kerja dan penghasilan teratur lainnya dengan nama
apapun;
2. Penghasilan yang diterima atau yang diperoleh secara tidak teratur berupa jasa produksi,
tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya termasuk tunjangan tahun baru,
bonus, premi tahunan dan penghasilan sejenisnya lainya yang sifatnya tidak tetap;
4. Uang tebusan pensiun, uang pesangon, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua
(JHT), dan pembayaran lain yang sejenis;
5. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri yang terdiri
dari:
Tenaga ahli yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaries,
penilai dan aktuaris;
Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, sutradara, crew film,
foto model, pemain drama, penari, pemahat, pelukis dan seniman lainnya;
Olahragawan;
Pemberi jasa dalam bidang teknik, computer dan system aplikasinya, telekomunikasi,
elektronika, fotografi dan pemasaran;
Kolportir ikan;
Pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, peserta
sidang atau rapat, dan tenaga lepas lainnya dalam segala bidang kegiatan;
Peserta perlombaan;
distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya
6. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait gaji yang diterima oleh
pejabat Negara, PNS serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya
terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan
atau anak-anaknya;
Penerimaan dalam bentuk natural dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang
diberikan oleh bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Norma
Penghitungan Khusus (deemed profit).
Penerimaan penghasilan atau subjek pajak yang dipotong Pajak Penghasilan pasal 21 menurut
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-545/PJ/2000 adalah:
Pejabat Negara yang meliputi: (1) Presiden dan Wakil Presiden, (2) Ketua, Wakil Ketua,
dan Anggota DPR/MPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, (3) Ketua dan
Wakil Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan, (4) Ketua dan Wakil Ketua, Ketua Muda,
dan Hakim Mahkamah Agung, (5) Menteri, Menteri Negara, dan Menteri Muda, (6) Jaksa
Agung, (7) Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Propinsi, (8) Bupati dan Wakil
Bupati Daerah Kabupaten, dan (9) Walikota dan Wakil Walikota;
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah PNS-Pusat, PNS-Daerah, dan PNS lainnya yang
ditetapkan dengan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam undang-
undang Nomor 8 Tahun 1974;
Pegawai adalah setiap orang pribadi, yang melakukan pekerjaan berdasarkan suatu
perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang
melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik negara dan badan
usaha milik daerah;
Pegawai tetap yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau
memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan
komisaris dan anggota pengawas yang secara teratur ikut serta melaksanakan kegiatan
perusahaan;
Pegawai lepas adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja dan hanya
menerima upah apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja;
Penerimaan pensiun yaitu orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau
memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan dimasa lalu, termasuk orang
pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua;
Penerima honorarium yaitu orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan
hubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukannya;
Penerima Upah yaitu orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah
borongan, atau upah satuan;
2. PPh PASAL 22
OBJEK PAJAK PPh PASAL 22 Penjualan Hasil Produksi atau Penyerahan Barang
Dividen;
Royalti;
Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) huruf e yakni perusahaan, badan, dan penyelenggara
kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
Perbedaanya adalah Hadiah dan penghargaan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21
adalah hadiah dan penghargaan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan lainnya. Sedangkan
Pajak Penghasilan pasal 23 dikenakan pada hadiah dan penghargaan dalam bentuk
apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri berkenaan dengan
suatu kegiatan yang diselenggarakan;
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan yang telah
dikenakan PPh menurut PP Nomor 29 Tahun 1996;
Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21;
Yang dimaksud dengan jasa teknik adalah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi
yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan
yang meliputi suatu proyek tertentu, membuat suatu jenis produk tertentu, dan dapat juga dalam
bentuk informasi yang berkenaan dengan pengalaman di bidang manajemen.
Sedangkan yang dimaksud dengan jasa manajemen adalah pemberian jasa dengan ikut serta
secara langsung dalam pelaksanaan manajemen dengan mendapatkan balas jasa berupa imbalan
manajemen (management fee). Jika tidak ikut secara langsung, maka kriterianya apabila masih
dalam ruang lingkup perdagangan termasuk jasa teknik, dan jasa biasa.
Jenis-jenis jasa lain seperti tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c UU Nomor 17 Tahun 2000,
Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor Kep-305/PJ/2001 tentang Perkiraan Penghasilan Neto
yang digunakan sebagai dasar pemotongan pajak penghasilan dan jenis jasa lain yang atas
imbalannya dipotong pajak penghasilan berdasarkan pasal 23 adalah sebagai berikut:
Jasa pengeboran di bidang penambangan migas kecuali yang dilakukan oleh bentuk
usaha tetap;
Jasa perantara;
Jasa aktuaris;
Jasa penilai;
Jasa selain yang disebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, kecuali
jasa konstruksi dan jasa konsultan yang telah dikenakan pajak bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam PP Nomor 73 Tahun 1996, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
1. Badan pemerintahan, Wajib Pajak BAdan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk
Usaha Tetap (BUT), dan perwakilan perusahaan luar negeri di Indonesia.
2. Wajib Pajak orang pribadi; Akuntan, arsitek, dokter, notaries, PPAT (kecuali camat
PPAT), pengacara dan konsultan yang melakukan pekerja bebas.
4. PPh PASAL 26
Dividen
Selain berbagai jenis penghasilan di atas, yang juga termasuk objek pajak PPh Pasal 26 adalah
sebagai berikut:
Premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar
negeri;
Penghasilan Kena Pajak suatu BUT yang sudah dikurangi dengan pajak, kecuali
ditanamkan kembali di Indonesia, maka tidak dipotong PPh Pasal 26.
1. Pemerintahan, wajib pajak dalam negeri atau bentuk badan usaha tetap.
2. Wajib Pajak luara negeri, pemberi jasa teknik, manajemen dan konsultasi yang dilakukan
di Indonesia.
5. PPh FINAL
2. hadiah undian
2. akuntan, arsitek, dokter, PPAT (keculi camat PPAT), pengacara dan konsultan yang
melakukan pekerjaan bebas
4. wajib pajak luar negeri, badan usaha tetap, wajib pajak pelayaran dan / atau penerbangan
luar negeri
Ketentuan
[sunting] Subyek pajak
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, subyek pajak penghasilan adalah sebagai
berikut:
2. Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang
yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan,
maka pendapatan itu dikenakan pajak.
4. Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang
tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di
Indonesia.
2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari
negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan
warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik.
3. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan
dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi
tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO,
UNICEF.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk
mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu Tahun Pajak suatu
usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri.
Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat
final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan
dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.
Pajak Penghasilan Pasal 23
Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal,
penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal
21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Subjek Pajak atau penerima penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah Wajib Pajak
dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap.
Pemotong Pajak
1. badan pemerintah;
2. subjek pajak badan dalam negeri;
3. penyelenggara kegiatan;
4. Bentuk Usaha Tetap;
5. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
6. orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23, yaitu :
a. akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali Pejabat Pembuat
Akta Tanah tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas;
atau
b. orang pribadi yagn menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran
beruapa sewa.
Jenis Jasa Lain Dan Perkiraan Penghasilan Neto Atas Jasa Teknik,
Jasa Manajemen, Dan Jasa Lain
1. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran
atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan;
Yang dimaksud dengan saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan adalah saat
pembebanan sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan metode pembukuan yang
dianutnya.
2. Pajak Penghasilan Pasal 23 harus disetor oleh Pemotong Pajak selambat-lambatnya tanggal 10
takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
3. Pemotong PPh Pasal 23 diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-
lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
4. Pemotong PPh Pasal 23 harus memberikan tanda bukti pemotongan kepada orang pribadi atau
badan yang dibebani membayar Pajak Penghasilan yang dipotong.
Pajak Penghasilan Pasal 22
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
4. Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, industri rokok, industri
kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
5. Pertamina dan badan usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar
minyak jenis premix dan gas, atas penjualan hasil produksinya;
6. Badan Urusan Logistik (Bulog), atas penyerahan gula pasir dan tepung terigu.
Atas impor :
1. yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), sebesar 2,5 % dari nilai
impor;
Catatan :
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk yaitu Cost
Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan bea masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pabean di bidang impor.
Berapakah besarnya pungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang yang dilakukan
oleh DJA dan Bendaharawan Pemerintah serta BUMN/ BUMD ?
Atas pembelian barang yang dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara /
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) sebesar 1,5 % dari harga pembelian;
Berapakah besarnya pungutan PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi yang
dilakukan badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, rokok kretek/
putih, kertas, baja otomotif ?
Atas penjualan hasil produksi yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di bidang :
1. industri semen sebesar 0,25 % dari dasar pengenaan pajak (DPP) Pajak
Pertambahan Nilai (PPN);
2. industri rokok kretek/putih sebesar 0,1 % dari harga bandrol. dan bersifat final;
yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam
negeri;
[ Kembali ke Pertanyaan ] [ Ke Menu Info Pajak ]
2. solar untuk SPBU Swastanisasi sebesar 0,3 % dari penjualan atau Rp 1.140,00/KL
dan untuk SPBU Pertamina sebesar 0,25 % dari penjualan atau Rp 950,00/KL;
3. premix untuk SPBU Swastanisasi sebesar 0,3 % dari penjualan dan untuk SPBU
Pertamina sebesar 0,25 % dari penjualan;
Catatan :
PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi Pertamina dan badan lain yang bergerak dibidang
bahan bakar minyak jenis premix dan gas, bersifat final.
Catatan :
PPh Pasal 22 atas penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Bulog bersifat final.
4. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM,
benda-benda pos, dan telepon.
1. PPh Pasal 22 atas impor terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran
Bea Masuk.
Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22
terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor
Untuk Dipakai (PIUD).
3. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi di dalam negeri oleh badan usaha yang
bergerak di bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja
dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak,
dipungut pada saat penjualan.
4. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi oleh Pertamina dan badan usaha selain
Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas
harus dilunasi sendiri oleh penyalur, agen, atau pembeli lainnya sebelum Surat
Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order) ditebus;
5. PPh Pasal 22 atas penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Bulog harus
dilunasi sendiri oleh penyalur, grosir,sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang
(Delivery Order) ditebus.
Bagaimana tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 22?
1. Atas Impor
a. Impor dilengkapi dengan LKP PPh Pasal 22 disetor oleh importir ke Bank
Devisa dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku
sebagai bukti pungutan pajak;
b. Impor tidak dilengkapi dengan LKP PPh Pasal 22 dipungut dan disetor
oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib menerbitkan Bukti Pemungutan PPh
Pasal 22 dalam rangkap 3 yaitu :
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus menyetorkan pemungutan PPh Pasal 22
atas impor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan ke
Kantor Pos dan Giro atau bank-bank persepsi, dan harus melaporkan hasil
pemungutannya tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak secara mingguan selambat-
lambatnya tujuh hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
o Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, rokok, kertas, baja dan
otomotif yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memungut PPh
Pasal 22 atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri dan wajib menerbitkan
Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dalam rangkap tiga, yaitu :
Badan usaha tersebut harus menyetorkan secara kolektif pemungutan PPh Pasal
22 selambat-lambatnya tanggal lima belas bulan takwim berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir. Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa
selambat-lambatnya dua puluh hari setelah Masa Pajak berakhir.
o PPh Pasal 22 dari penyerahan oleh Pertamina atas hasil produksinya, dari
penyerahan bahan bakar minyak dan gas oleh badan usaha selain Pertamina, dan
dari penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Bulog, dipungut dengan cara
dilunasi sendiri oleh Wajib Pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro
sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order) ditebus, dengan
menggunakan SSP yang juga merupakan bukti pungutan pajak.
PPH PASAL 25
PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
1. Wajib Pajak Orang Pribadi Tertentu (WP OPPT) adalah Wajib Pajak (WP) yang
melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan grosir dan atau eceran barang-barang
konsumsi melalui tempat usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa lokasi, tidak
termasuk perdagangan kendaraan bermotor dan restoran.
2. WP yang memiliki beberapa tempat usaha dalam satu wilayah kerja KPP, harus
mendaftarkan masing-masing tempat usahanya di KPP yang bersangkutan.
3. WP yang memiliki beberapa tempat usaha di lebih dari 1 wilayah kerja KPP, harus
mendaftarkan setiap tempat usahanya di KPP Lokasi masing-masing tempat usaha WP
berada.
4. Terhadap WP OPPT tersebut di atas wajib membayar angsuran PPh dalam tahun berjalan
(PPh Pasal 25) sebesar 2 % dari jumlah peredaran bruto berdasarkan pembukuan atau
pencatatan setiap bulan dari masing-masing tempat usaha/gerai (outlet) WP.
6. PPh Pasal 25 tersebut harus dilunasi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dan harus
dilaporkan ke KPP terkait paling lambat tanggal 20 bulan tersebut dengan menggunakan
SPT Masa PPh Pasal 25 seperti contoh pada lampiran II KEP - 171/PJ./2002.
7. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut hanya disampaikan di KPP tempat
domisili Wajib Pajak terdaftar dengan melampirkan formulir daftar jumlah penghasilan
dan pembayaran PPh Pasal 25 dari masing-masing tempat usaha/gerai (outlet). Formulir
yng digunakan seperti contoh pada lampiran I KEP - 171/PJ./2002.
8. Hal-hal penting sehubungan dengan pembayaran dan pelaporan PPh pasal 25 untuk WP
Orang Pribadi tertentu :
a. KPP lokasi adalah KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat usaha/gerai (outlet).
b. KPP Domisili adalah KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal WP Orang
Pribadi yang bersangkutan.
c. Jika WP Orang Pribadi tertentu menerima atau memperoleh penghasilan lain yang
dikenakan PPh yang bersifat tidak final maka :
- PPh Pasal 25 yang dibayar oleh masing-masing tempat usaha/gerai (outlet) dapat
dikreditkan dalam penghitungan PPh terutang untuk tahunn pajak yang bersangkutan
- Jika ada kompensasi kerugian tahun pajak sebelumnya, kompensasi kerugian dapat
diperhitungkan dengan penghasilan WP Orang Pribadi tertentu sepanjang belum habis
masa kompensasinya
- Besarnya angsuran PPh pasal 25 atas penghasilan lain yang diterima atau diperoleh
WP untuk bulan-bulan setelah batas waktu penyampaian SPT tahunan PPh, sama
dengan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
- Besarnya angsuran PPh pasal 25 atas penghasilan lain yang diterima atau diperoleh
WP untuk bulan-bulan setelah batas waktu penyampaian SPT tahunan PPh adalah sbb
=
- Contoh penghitungan PPh Pasal 25 untuk WP Orang Pribadi tertentu menerima atau
memperoleh penghasilan lain yang dikenakan PPh yang bersifat tidak final :
PKP - - 172.800.000
d. Jika WP Orang Pribadi tertentu tidak memperoleh penghasilan lain yang dikenakan PPh
yang bersifat final maka :
- Jika ada kompensasi kerugian tahun pajak sebelumnya, kompensasi kerugian tidak
dapat diperhitungkan.
Daftar Tarif PPh Pasal 4 Ayat (2)_PPh Final
No Penghasilan Tarif Ketentuan Berlaku
Urut
%
3a. bunga dari Obligasi dengan kupon bagi Wajib Pajak 15 s.d.a
dalam negeri dan BUT
3b. bunga dari Obligasi dengan kupon bagi Wajib Pajak LN 20 s.d.a
Non BUT seusai P3B
3c. diskonto dari Obligasi dengan kupon bagi Wajib Pajak 15 s.d.a
dalam negeri dan BUT*
3d. Diskonto dari Obligasi dengan kupon bagi Wajib Pajak 20 s.d.a
LN Non BUT sesuai P3B*
3e. diskonto dari Obligasi tanpa bunga bagi Wajib Pajak 15 s.d.a
dalam negeri dan BUT**
3f. diskonto dari Obligasi tanpa bunga bagi Wajib Pajak 20 s.d.a
LN Non BUT sesuai P3B**
10a. Wajib Pajak yang Melakukan Pengalihan Hak atas 5 Pasal 4 (2) d UU
Tanah dan/atau bangunan (termasuk usaha real PPh Jo PP No. 71
estate)^* Thn 2008
* dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak
* * dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi
****Kecuali yang diterima bank, dana pensiun, tabungan pemilikan rumah RSS, tabungan atau
deposito dibawah rp 7.500.000,-
^* kecuali pengalihan oleh Wajib Pajak OP yang berpenghasilan dibawah PTKP dengan nilai
pengalihan kurang dari Rp 60.000.000,- , penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan
hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
yang memerlukan persyaratan khusus; hibah, warisan.
^^ dengan sarat perusahaan pasangannya tidak terdaftar dibursa efek, dalam hal transaksi
penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal tersebut dilakukan melalui bursa efek, maka
pengenaan Pajak Penghasilannya dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi
penjualan saham di bursa efek
^^^ Kecuali bunga dan/atau diskonto yang diterima oleh dana pensiun dan bank, baik bank DN
atau perwakilan bank LN di DN PPh-nya tidak final
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :
2. Untuk penghasilan berupa dividen, dilakukan dalam tahun pajak pada saat
perolehan dividen tersebut (650/KMK.04/1994 Jo SE - 22/PJ.4/1995 Jo SE -
35/PJ.4/1995)
Pengkreditan PPh yang dibayar di Luar Negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam
tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan
penghasilan di Indonesia.
Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang
lebih rendah di antara PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan
jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar
negeri dan seluruh Penghasilan Kena Pajak, atau maksimum sebesar PPh
yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak dalam hal di dalam negeri
mengalami kerugian (Penghasilan dari LN lebih besar dari jumlah Penghasilan
Kena Pajak).
Apabila penghasilan dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka
penghitungan PPh Pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara.
Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) dan/atau penghasilan yang
dikenakan pajak tersendiri (Pasal 8 ayat (1 dan 4) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2000 ) tidak dapat digabungkan dengan penghasilan lainnya, baik
yang diperoleh dari Dalam Negeri maupun dari Luar Negeri.
Dalam hal jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi PPh
Pasal 24 yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat
diperhitungkan di tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya,
dan tidak dapat direstitusi.
Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar
negeri, wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT Tahunan yang
bersangkutan dengan melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan
dengan perubahan tersebut.
1. Contoh 1 :
Rugi neto yang berasal dari Malaysia tidak boleh digabung (tidak diakui).
Jumlah Rp 4.782.500.000,00
Jumlah Rp 2.400.000.000,00
Rp 1.200.000.000,00
PPh Terutang :
Jumlah Rp 702.500.000,00
Karena jumlah Penghasilan Kena Pajaknya lebih kecil dari pada Penghasilan Neto
dari Luar Negeri (di Dalam Negeri mengalami kerugian), maka maksimum Kredit
Pajak Luar Negeri adalah sama dengan jumlah PPh yang terutang, yaitu Rp
702.500.000,00. PPh yang telah dibayar di Philipina adalah sebesar Rp
1.200.000.000,00, sehingga terdapat sisa sebesar Rp 497.500.000,00, yang tidak
dapat dikompensasi ke tahun berikutnya, direstitusi, maupun diakui sebagai biaya.