Kasus Hidup 4 - Perbaikan Final
Kasus Hidup 4 - Perbaikan Final
Mekanisme patogenesis SLE merupakan interaksi dari gen tersangka dan faktor
lingkungan yang menyebabkan respon imun abnormal. Respon tersebut meliputi (1) Aktivasi
imunitas innate (sel dendritik) oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA pada
proteinself-antigen; (2) penurunan ambang aktivasi dari sel imun adaptif (limfosit spesifik
antigen T dan B); regulasi dan inhibisi inefektif dari CD4+ dan CD8+ sel T; pengurangan
bersihan sel apoptosis dan kompleks imun.Self-antigen dapat dikenali oleh sistem imun pada
permukaan sel apoptotik; sehingga antigen, autoantibodi dan komplek imun menetap pada
jangka waktu panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang.3
Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi maupun melekat pada jaringan disertai
dengan pelepasan tumor necrosis factor (TNF) proinflamator, interferon tipe 1 dan 2 (IFNs),
dan sitokin B stimulator limfosit (BLyS) dan interleukin (IL)-10. Lupus T dan sel natural
killer (NK) gagal memproduksi IL-2 dan transforming growth factor(TGF) yang
1
menginduksi regulasi CD4+ dan sel inhibisi CD8+. Akibat abnormalitas ini adalah produksi
dari antibodi patogenik dan kompleks imun. Aktivasi komplemen dan sel imun menyebabkan
pelepasan chemotaxin, sitokin, chemokin, peptida vasoaktif dan enzim perusak. Pada
inflamasi kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidasi kronis menyebabkan
kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, paru dan jaringan lainnya.3
SLE merupakan penyakit multigenik. Pada individu yang rentan, kombinasi dari
berbagai gen normal yang masing-masing berkontribusi terhadap sedikit respon imun yang
abnormal. Jika variasi tersebut terakumulasi maka akan timbul penyakit. Defisiensi
homozigot terhadap komponen komplemen C1q,C2,C4 merupakan predisposisi kuat
terjadinya SLE. Beberapa gen mempengaruhi manifestasi klinis penyakit (contohnya nefritis
dipengaruhi oleh FcR 2A/3A, MBL, PDCD1; artritis dan vaskulitis dipengaruhi MCP-1).3
Wanita lebih mudah terkena lupus karena memiliki respon antibodi yang lebih tinggi.
Wanita yang terekspos kontrasepsi yang mengandung esterogen resikonya meningkat 1,2-2
kali lipat. Beberapa stimulus lingkungan dapat mempengaruhi SLE. Paparan ultraviolet
menyebabkan flare SLE pada hampir 70% pasien, virus Epstein Barr mungkin merupakan
agen infeksius yang dapat memicu SLE.3
Epidemiologi
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara
prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio gender
wanita dan laki-laki antara 9-14:1.4 Belum terdapat dataepidemiologi SLE yang mencakup
semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 diRSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
didapatkan 1.4% kasus SLE dari totalkunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit
Dalam5, sementara di RS HasanSadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari
total pasien yang berobat kepoliklinik reumatologi selama tahun 20106.
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi,
darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Dilaporkan bahwa
pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak
berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%,
fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6% sedangkan
manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia
hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7%7.
2
Diagnosis SLE
Penegakan diagnosis SLE mengacu pada kriteria dari the American College of
Rheumbatology (ACR) revisi tahun 1997.8 Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda
SLE dan pada kondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus (NPSLE)
dimungkinkan kriteria tersebut tidak terpenuhi.
3
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas:
1) Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau
IgM,
2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standard,
atau
3) Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-
kurangnya selama 6 bulan dan dikonfi rmasi dengan test
imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi
antibodi treponema.
Antibodi antinuklear positif Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan
(ANA) imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitivitas 85%
dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka
sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis.1
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana
tercantum di bawah ini, yaitu:
4
a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,tamponade
jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru,
fibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3), trombositopenia <
20.000/mm3, purpura trombotik trombositopenia, trombosisvena atau arteri.
5
Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg
mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan
pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5
mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan. Kortikosteroid
dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang-
kurangnya 15 (SPF 15)
6
Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik
Prognosis
Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Berturut-turut survival SLE untuk
1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-
64%. Survival 5 tahun pasien SLE di RSCM adalah 88% dari pengamatan terhadap 108
orang pasien SLE yang berobat dari tahun 1990-2002 Angka kematian pasien dengan SLE
hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas
SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus,
jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vascular
aterosklerosis. Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit SLE sangat beragam dan
risiko kematian yang tinggi maka diperlukan upaya pengenalan dini serta penatalaksanaan
yang tepat.
7
Ilustrasi Kasus
Telah dirawat seorang pasien perempuan, umur 20 tahun di bangsal penyakit dalam
sejak tanggal 2 Februari 2015 dengan:
8
Batuk sejak 3 hari yang lalu, berdahak, dahak berwarna putih kekuningan, tidak
berdarah.
Demam sejak 2 hari yang lalu, terus menerus, tidak tinggi, tidak menggigil, dan tidak
berkeringat.
Kulit tidak tampak berwarna kuning.
Pucat tidak ada.
Mual dan muntah tidak ada.
Buang air kecil dan buang air besar dalam batas normal.
Pasien sebelumnya dirawat di RSUD Payakumbuh selama 1 minggu karena terjatuh
dan mengalami benturan pada kepala. Di RSUD Payakumbuh, pasien dicek ANA
Profile karena adanya nyeri sendi, kemerahan pada kulit dan bercak pada wajah yang
semakin memerah jika terkena sinar matahari. Hasil ANA Profile positif dan dicurigai
menderita systemic lupus erythematosus. Pasien dikirim ke RSUP Dr. M. Djamil
Padang untuk diagnostik SLE. Pasien juga mendapatkan tranfusi darah 4 kantong.
Pasien memiliki riwayat kejang 4 kali dalam kurun waktu 1 tahun terakhir. Yang
terakhir 3 bulan yang lalu, lama kejang 5 detik, kejang seluruh tubuh, setelah kejang
pasien sadar. Pasien tidak pernah dibawa berobat.
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran : CMC
TD : 130/70 mmHg
9
Nadi : 96 kali / menit, regular, pengisian cukup
Pernafasan : 28 kali / menit,teratur
Suhu : 380 C
TB : 155 cm
BB : 45 kg
BMI : 18,73
BBI : 55 kg
Kesan : normoweight
Anemia : (-)
Edema : (+)
Ikterus : (-)
Sianosis : (-)
Visual Analog Scale (VAS) :5
Kulit :
Status Dermatologikus:
Lokasi : wajah, leher, dada, perut, kedua tangan dan kaki
Distribusi : bilateral, universal
Batas : tegas
Bentuk/ ukuran : tidak khas/ lentikuler hingga plakat
Efloresensi : plak hiperpigmentasi dengan skuama halus
10
Thorak
Paru depan
Inspeksi : simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor, batas pekak hepar RIC V
Auskultasi : suara nafas bronchovesikuler, rhonki (+/+) basah halus nyaring di kedua
basal paru, wheezing (-/-)
Paru belakang
Inspeksi : simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor, batas peranjakan paru 2 jari
Auskultasi : suara nafas bronchovesikuler, rhonki (+/+) basah halus nyaring di kedua
basal paru, wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V, luas 1 jari, tidak kuat angkat,
thrill (-)
Perkusi : batas jatung kanan LSD, batas Jantung Atas : RIC II, Kiri : 1 jari medial
LMCS RIC V, pinggang jantung (+)
Auskultasi : bunyi jantung murni, irama jantung reguler , M1>M2, P2<A2, bising (-)
Abdomen :
Inspeksi : tampak membuncit, vena kolateral (-)
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : shifting dullness (+)
Aukultasi : bising usus (+) normal
11
Anggota gerak :
Reflek fisiologis +/+ Reflek patologis -/-
Edema +/+ Palmar eritem -/-
Status lokalisata:
Sendi Inspeksi Palpasi ROM
MCP Tampak bengkak, Teraba Terbatas karena nyeri
deformitas (-) pembengkakan,
lunak, nyeri tekan (-)
PIP Tampak bengkak, Teraba Terbatas karena nyeri
deformitas (-) pembengkakan,
lunak, nyeri tekan (-)
MTP II-V Tampak bengkak, Teraba Terbatas karena nyeri
deformitas (-) pembengkakan,
lunak, nyeri tekan (-)
IP ibu jari Tampak bengkak, Teraba Terbatas karena nyeri
deformitas (-) pembengkakan,
lunak, nyeri tekan (-)
Pergelangan tangan Tampak bengkak, Teraba Terbatas karena nyeri
deformitas (-) pembengkakan,
lunak, nyeri tekan (-)
Laboratorium
Darah
Hb : 11,1 gr/dl
Ht : 34%
Leukosit : 7.900 /mm3
Trombosit : 166.000/mm3
LED : 55 mm/jam
DC : 0/0/4/76/17/3
12
Kesan: peningkatan LED, netrofilia shift to the right
Urinalisa
Warna : kuning Silinder : 2-3/LPK
Protein : (+++) Epitel : gepeng (+)
Leukosit : 4-6/LPB Bilirubin : (-)
Eritrosit : 2-3/LPB Urobilinogen : (+)
Kesan : proteinuria, leukosituria
Feces rutin
Warna : cokelat Telur cacing : (-)
Konsistensi : lembek Darah : (-)
Leukosit : 0-1 /LPB Lendir : (-)
Eritrosit : 0-1 /LPB
Kesan : dalam batas normal
EKG
Irama : sinus QRS Komplek: 0,06-0,08 dtk
HR : 98 x /menit ST Segmen : isoelektrik
Axis : normal T inverted :-
Gel P : normal SV1+RV5<35
PR interval : 0,12-0,16 detik R/S V1<1
Kesan : sinus rhythm
Daftar Masalah :
Artritis
Fotosensitivitas
Ruam malar
Ruam diskoid
Bronchopneumonia
Proteinuria
Diagnosis Kerja :
Diagnosis primer :
Systemic Lupus Erythematosus dengan nefritis lupus
Diagnosis sekunder :
13
Bronchopneumonia duplex (HAP)
Diagnosis Banding :
Rheumatoid arthritis
Pneumonitis lupus
Terapi :
Istirahat / RG I 1900 kkal (karbohidrat 1280 kkal protein 48 gram,lemak 45 gram) /
O2 2 L/min
Na diclofenac 2x50mg (PO)
Inj Ceftazidime 2x1gr (IV)
Inf Levofloxacine 1x500mg (IV)
Inj Lasix 1x20mg
Captopril 2x12,5mg (PO)
Anjuran :
Analisis gas darah
Faal ginjal (ureum, kreatinin)
Faal hati (albumin, globulin, SGOT, SGPT)
Elektrolit (Na,K,Cl,Ca)
GDS
Profil lipid
Asam urat
Anti-dsDNA
Esbach urine
Kultur sputum
Ro Thorak PA
USG Ginjal
Follow Up
Tanggal 3 Februari 2015 jam 07.00
14
S/ Nyeri sendi (+) menurun, sesak nafas (+) berkurang, demam (+)
Sens TD HR RR T
CMC 130/70 80x/min 26x/min 37,8 0C
VAS : 2
- SGOT : 64 u/l
- SGPT : 55 u/l
- Na : 150 mmol/l
- K : 2,7 mmol/l
- Cl : 124 mmol/l
- Ca : 6,9 mg/dl
- LDL : 57 mg/dl
- HDL : 16 mg/dl
- pH : 7,46
15
- pCO2 : 27 mmHg
- pO2 : 83 mmHg
- SO2 : 97%
Ro Thorax PA :
Infiltrat di kedua paru
Diafragma baik
Kesan:
o Bronchopneumonia
Kesan:
Gangguan faal hepar, hipoalbuminemia, hipernatremia, hipokalemia, hipokalsemia,
hiperurisemia, alkalosis respiratorik, hipoksia ringan
Sikap:
Lanjutkan pemberian oksigen 2 liter/menit
Lanjutkan diet rendah garam
Transfusi albumin 20% 100cc
Koreksi KCl 40 meq dalam 200cc NaCl 0,45% habis dalam 4 jam, cek ulang kalium
setelah koreksi
Inj Ca gluconas 1x1amp
USG Abdomen
16
Advis terapi:
Diet rendah purin
Metilprednisolon 0,8 mg/kgBB/hari (12 12 8 mg)
Kloroquin 1x250mg
Allopurinol 2x100mg
Transfusi albumin
Anjuran :
Anti-dsDNA
Konsul mata untuk pemakaian kloroquin jangka panjang
17
Anjuran :
Kultur sputum, sesuaikan antibiotik sesuai hasil kultur.
- K : 3,1 mmol/l
- Cl : 121 mmol/l
USG Ginjal :
Ginjal kanan :
o bentuk dan ukuran normal, tepi reguler, echo normal, cortex dan medulla
dapat didiferensiasi, ukuran cortex 9,2 mm, piramida prominent, tidak ada
batu.
Ginjal kiri :
o bentuk dan ukuran normal, tepi reguler, echo normal, cortex dan medulla
dapat didiferensiasi, ukuran cortex 9,2 mm, piramida prominent, tidak ada
batu.
Vesica Urinaria :
18
o bentuk normal, mukosa reguler, batu tidak ada.
Kesimpulan : sonogram kedua ginjal sesuai dengan proses akut pada ginjal
19
- Albumin : 1,2 gr/dl
Kesan : hipoalbuminemia
Sikap:
Lanjutkan pulse steroid hari ke II
Tranfusi albumin 20% 100cc
Sikap:
Lanjutkan pulse steroid hari ke III
- Anti-HCV : 0,17
20
Kultur sputum:
Klebsiella pneumoniae
Pseudomonas aeruginosa
USG Abdomen :
Hati : membesar, permukaan rata, parenkim homogen dan halus, pinggir tajam, vena
tidak melebar, duktus biliaris tidak melebar, vena porta normal
Pankreas : normal
Kesan:
o Fatty liver
o Ascites
Advis terapi:
Antibiotik sebelumnya dilanjutkan
21
Tanggal 10 Februari 2015 jam 07.00
S/ Kejang (-), nyeri sendi (-), sesak nafas (+) bertambah, kecenderungan tidur miring ke
kanan, demam (-)
Sens TD HR RR T
CMC 140/80 84x/min 26x/min 37 0C
VAS : 1
Paru depan
Inspeksi :
statis : asimetris, hemithorax kanan tampak lebih menonjol
dinamis : gerakan hemithorax kanan tertinggal dari hemithorax kiri
Palpasi :
hemithorak kanan : fremitus menurun setinggi RIC III ke bawah
hemithorak kiri : normal
Perkusi :
hemithorak kanan : pekak setinggi RIC III ke bawah
hemithorak kiri : sonor
Auskultasi :
hemithorak kanan : suara nafas menurun setinggi RIC III ke bawah
hemithorak kiri : bronchovesikuler, rhonki (+) basah halus nyaring, wheezing (-)
Paru belakang
Inspeksi :
statis : asimetris, hemithorax kanan tampak lebih menonjol
dinamis : gerakan hemithorax kanan tertinggal dari hemithorax kiri
Palpasi :
hemithorak kanan : fremitus menurun setinggi thorakal V ke bawah
hemithorak kiri : normal
Perkusi :
hemithorak kanan : pekak setinggi thorakal V ke bawah
hemithorak kiri : sonor
22
Auskultasi :
hemithorak kanan : suara nafas menurun setinggi thorakal V ke bawah
hemithorak kiri : bronchovesikuler, rhonki (+) basah halus nyaring, wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V, luas 1 jari, tidak kuat angkat,
thrill (-)
Perkusi : batas jatung kanan LSD, batas Jantung Atas : RIC II, Kiri : 1 jari medial
LMCS RIC V, pinggang jantung (+)
Auskultasi : bunyi jantung murni, irama jantung reguler , M1>M2, P2<A2, bising (-)
EKG
Irama : sinus QRS Komplek: 0,06-0,08 dtk
HR : 110 x /menit ST Segmen : isoelektrik
Axis : normal T inverted :-
Gel P : normal SV1+RV5<35
PR interval : 0,12-0,16 detik R/S V1<1
Kesan : sinus takikardia, low voltage
Jam 16.00
Telah dilakukan pleurocentesis pada pleura dextra. Dikeluarkan cairan jernih sebanyak 300cc.
23
Analisis gas darah
- pH : 7,42
- pCO2 : 27 mmHg
- pO2 : 90 mmHg
- SO2 : 98%
Echocardiografi :
Dimensi ruang jantung dalam batas normal
LVH konsentrik
24
Global normokinetik
TR mild
PR mild
Variasi mitral inflow >15%, variasi trikuspid inflow >25%, swinging heart (-)
25
- Hematokrit : 30%
- Ureum : 13 mg/dl
- SGOT : 21 u/l
- SGPT : 18 u/l
- Na : 141 mmol/l
- K : 3,0 mmol/l
- Cl : 113 mmol/l
- Ca : 7,5 mg/dl
Sikap:
Cek darah perifer lengkap
Transfusi albumin 20% 100cc
Inj Ca gluconas dilanjutkan
- MCH : 27 pg
- MCHC : 32%
- Retikulosit : 3,1 %
26
Kesan : anemia ringan normositik normokrom dengan retikulosis
Jam 19.00
Coombs test : ICT (-), DCT (+)
27
Diskusi
Telah dirawat seorang perempuan usia 20 tahun sejak tanggal 2 Februari 2015 di
bangsal penyakit dalam RSUP M Djamil Padang dengan diagnosis :
Systemic Lupus Erythematosus dengan
o Nefritis lupus
o Neuropsikiatri lupus
o Efusi pleura dextra
o Efusi perikard moderat
o Anemia hemolitik autoimun
Bronchopneumonia duplex (HAP)
Hepatitis autoimun
Hiperurisemia
28
Namun karena belum bisa dilakukan biopsi ginjal, klasifikasi dilakukan dengan
penilaian berdasarkan panduan dari WHO. Dari panduan tersebut, dengan adanya proteinura
2,5 gr/hari namun kreatinin dan tekanan darah masih dalam batas normal, klasifikasi lupus
nefritis pasien ini adalah kelas II. Namun, pada kelas II, anti ds-DNA dinyatakan negatif,
29
padahal pada pasien ini memiliki anti-dsDNA yang positif, yang berarti bisa berada pada
kelas III.
Neuropsikiatri lupus pada pasien ini juga ditegakkan berdasarkan rekomendasi
EULAR dan jurnal oleh Monov S dan Monova D di Bulgaria. Dari sumber tersebut
dinyatakan bahwa karena tidak adanya gold standard diagnostik untuk kelainan ini, maka
beberapa pemeriksaan bisa dilakukan untuk mendukung penegakan diagnosis seperti
pemeriksaan cairan serebrospinal dan pencitraan seperti MRI. Menurut kriteria ACR, adanya
gangguan neurologis dan psikiatrik pada pasien lupus ditegakkan jika adanya kejang atau
psikosis yang tidak disebabkan oleh obat-obatan dan gangguan metabolik. Oleh karena itu,
walaupun belum dilakukannya pemeriksaan yang dianjurkan EULAR, pasien ini bisa
dicurigai adanya neuropsikiatri lupus.
Pada pasien ini juga dicurigai adanya hepatitis autoimun yang diagnosisnya
ditegakkan berdasarkan sistem skoring International Autoimmune Hepatitis Group yang
disetujui oleh AASLD. Walaupun tidak semua kriteria sudah bisa ditentukan nilainya, namun
nilainya sudah mencapai nilai probable diagnosis dengan poin-poin seperti jenis kelamin,
tidak adanya marker virus, tidak ada penggunaan obat-obatan dan alkohol dalam jangka
waktu yang lama, adanya kelainan imun yang lain, serta respon sempurna dari pengobatan
berupa steroid.
30
gangguan metabolik yang selanjutnya dicurigai sebagai neuropsikiatri lupus, diikuti oleh
adanya efusi pleura dextra dan efusi perikardium moderat yang ditemukan dari sesak yang
muncul pada pasien dan pemeriksaan fisik serta penunjang seperti Ro thorax dan
echocardiografi. Setelah itu, pada follow up laboratorium didapatkan penurunan kadar Hb
dan didapatkan hasil anemia ringan normositik normokrom ec hemolitik ec autoimun.
31
Pengelolaan kasus ini dilakukan berdasarkan 3 pilar pengobatan rekomendasi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, yaitu edukasi dan konseling, program rehabilitasi, dan
pengobatan medikamentosa seperti OAINS, antimalaria, steroid, imunosupresan, dan terapi
lain. Pasien diedukasi untuk cukup istirahat, menghindari kelelahan, menggunaakan tabir
surya SPF 30%, baju yang lebih tertutup, memakai topi atau payung jika bepergian atau
berada di tempat terbuka. Terapi farmakologis yaitu steroid (metilprednisolon) 0,8 mg / kg
BB/ hari dan juga diberikan klorokuin 250 mg sekali sehari. Pengobatan SLE bertujuan untuk
mendapatkan masa remisi yang panjang, menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin,
mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap
baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal. Pengobatan yang tepat dapat menekan
gejala klinis dan komplikasi yang mungkin terjadi mengatasi fase akut dan dengan demikian
dapat memperpanjang remisi dan survival rate.
Berdasarkan algoritma penatalaksanaan SLE yang diterbitkan oleh Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, sebelum menentukan alur terapi, harus ditentukan derajat beratnya
terlebih dahulu. Nefritis lupus yang dialami oleh pasien merupakan nefritis sedang yang
ditegakkan tanpa adanya biopsi ginjal. Neuropsikiatri lupus pada pasien ini juga masih
dicurigai, namun bukti adanya serebritis dan mielitis pada pasien ini tidak ada. Adanya
serositis pada pasien ini, juga mengklasifikasikan pasien ini ke derajat SLE yang sedang.
Oleh karena itu, terapi yang diberikan untuk pasien ini adalah alur terapi SLE sedang.
32
Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik
Perlu dilakukan pemantauan berkala fungsi ginjal pada pasien ini melalui
pemeriksaan urine rutin terutama sedimen, kadar kreatinin darah, albumin serum, proteinuria
dan klirens kreatinin. Pemberian kortikosteroid lebih dari 7,5 mg/hari dalam jangka panjang
(lebih dari 3 bulan) memerlukan suplementasi kalsium. Perlu dilakukan pemantauan fungsi
mata pada pasien lewat pemeriksaan funduskopi dan perimetri setiap 3-6 bulan mengingat
efek samping dari klorokuin yang diberikan pada pasien.
Pasien adalah seorang wanita yang berusia 20 tahun yang merupakan usia produktif,
namun pada saat menikah tidak perlu khawatir untuk hamil dan punya anak, hanya yang
perlu diwaspadai adalah bahwa kehamilan dapat meningkatkan risiko penyakit lupus menjadi
aktif diantara 40-60% dan sangat susah menentukan kapan akan aktifnya dari penyakit ini.
Walaupun penderita lupus sudah mendapat kortikosteroid dosis tinggi, tidak menjamin bahwa
penyakit ini tidak akan aktif ketika terjadi kehamilan. Sebaiknya kehamilan ditangguhkan
selama 6 bulan setelah penyakit ini dinyatakan tidak aktif. Sebaiknya penderita lupus harus
mempersiapkan kehamilan secara matang dengan berkonsultasi ke dokter kapan saat yang
tepat untuk merencanakan kehamilannya. Saat penderita lupus dengan kehamilan yang sudah
terencana, dianjurkan pemeriksaan rutin kehamilan (ANC/ante natal care) secara ketat.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan Pengelolaan
Lupus Eritematosus Sistemik, 2011
2. Tutuncu ZN, Kalunian KC. The Deinition and clasiication of systemic lupus
erythematosus.In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Dubois lupus erythematosus. 7th ed.
Philadelphia. Lippincott William & Wilkins; 2007:16-19
3. Hahn BH. Disorders of Immune-Mediated Cell Injury. In: Fauci AS, Braunwald E,
editors. Harrison's Rheumatology. 2nd Edition. Philadelphia. McGraw-Hill; 2010 : 66-69
4. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS. Epidemiology of systemic lupus erythematosus:
acomparison of worldwide disease burden. Lupus. 2006;15(5):308-18
5. Data dari poli penyakit dalam RS Ciptomangunkusumo Jakarta, 2010
6. Data dari poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin Bandung, 2010
7. Cervera R, Khamashta MA, Font J, Sebastiani GD, Gil A, Lavilla P, et al . Morbidity
andmortality in systemic lupus erythematosus during a 10-year period, a comparison of
earlyand late manifestation in a cohort of 1000 patients. Medicine 2003;82:299
8. Bertsias GK, Ioannidis JPA, Boletis J, Bombardieri S, Cervera R, Dostal C, et al.
EULAR recommendations for the management of systemic lupus erythematosus (SLE).
Report of aTask Force of the European Standing Committee for International Clinical
Studies IncludingTherapeutics (ESCISIT). Ann Rheum Dis 2008;67:195205
34