Anda di halaman 1dari 5

REVIEW VIDEO SUKSES BERSAMA P2MKP RAJA LELE

BANYUWANGI

Video ini menceritakan tentang budidaya lele (Clarias sp.) dengan sistem
supra-intensive dengan menggunakan bak beton sebagai media pemeliharaannya
yang dibina dalam kelompok di bawah Balai Pendidikan Pelatihan dan Perikanan
Banyuwangi. Kelompok ini bernama Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan dan
Perikanan, yang selanjutnya disebut P2MKP dan merupakan lembaga pelatihan
kelautan dan perikanan mandiri yang ditetapkan oleh Kepala Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan untuk
melaksanakan pelatihan kelautan dan perikanan (PERMEN-KP, 2011). Budidaya
dengan sistem ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas serta target
budidaya karena padat tebarnya yang tinggi. Menurut Kordi (2005), ikan lele juga
dapat dipelihara diberbagai wadah dan lingkungan perairan mengalir, bak, kolam
terpal, kolam tanah, di sawah, di bawah kandang ayam (mina-ayam), keramba,
dan keramba jaring apung. Ikan lele termasuk ikan yang tahan terhadap kualitas
air yang minim atau kualitas air yang kurang baik bahkan ikan lele dapat hidup
pada kondisi oksigen yang sangat rendah, hal ini disebabkan karena ikan lele
mempunyai alat bantu pernafasan berupa arborescant yang dapat mengambil
oksigen langsung dari udara (Djoko, 2006).

Menurut Kordi (2004), Oksigen (O2) merupakan salah satu faktor


pembatas sehingga apabila ketersediaannya dalam perairan tidak mencukupi
kebutuhan organisme yang ada, maka segala aktivitas organisme tersebut akan
terhambat. Oksigen yang rendah umumnya diikuti dengan meningkatnya amoniak
dan karbondioksida di air yang menyebabkan proses nitrifikasi menjadi terhambat
sehingga menganggu kelangsungan hidup ikan. Menurut penelitian Waker dkk
(2015), peningkatan kepadatan berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup.
Menurut Boyd (1990), besarnya oksigen yang diperlukan oleh suatu organisme
perairan tergantung spesies, ukuran, jumlah pakan yang dimakan, aktivitas, suhu,
dan sebagainya. Konsentrasi oksigen (O2) yang rendah dapat menyebabkan stress
dan kematian pada ikan.

Oksigen (O2) dalam suatu perairan tidak lepas dari pengaruh parameter
lain seperti karbondioksida, alkalinitas, suhu, pH, dan sebagainya. Di mana
semakin tinggi kadar oksigen yang dibutuhkan, maka karbondioksida yang
dilepaskan sedikit. Hubungan antara kadar oksigen terlarut dengan suhu
ditunjukkan bahwa semakin tinggi suhu, kelarutan oksigen semakin berkurang
(Efendi, 2003). Kadar oksigen (O2) dalam perairan tawar akan bertambah dengan
semakin rendahnya suhu dan berkurangnya kadar alkalinitas. Pada lapisan
permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi karena adanya proses difusi antara air
dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya
kedalaman akan mengakibatkan terjadinya penurunan kadar oksigen terlarut
dalam perairan.

Budidaya ini dilakukan dari mulai proses pembibitan terutama proses


pembesaran, tetapi tidak diperlihatkan bagaimana mereka mengolah dan
memanajemen limbah dari budidaya tersebut. Menurut Oktavia (2012), teknologi
pengolahan air limbah adalah kunci dalam memelihara kelestarian lingkungan.
Limbah cair dari proses budidaya perikanan mempunyai kandungan BOD, lemak,
dan nitrogen.
Sumber: BPPP Belawan, 2017.

Menurut BPPP Belawan (2017), dapat diketahui bahwa sebelum


mengelola ikan yang dibudidayakan, tindakan paling mendasar adalah mengelola
bahan organik, dimana pengolahan ini intinya adalah meminimalkan jumlah
bahan organik dalam lingkungan budidaya terutama pada lahan yang minim serta
padat tebar yang tinggi. Kegiatan ini dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian
yaitu: Pengurangan input organic; Pengeluaran limbah internal; dan Menjaga
limbah internal dalam keadaan tersuspensi.

Intensifikasi budidaya khususnya peningkatan padat penebaran membawa


dampak kurang baik terhadap kelestarian dan kesehatan lingkungan yang berupa
penurunan kualitas lingkungan budidaya. Penurunan kualitas lingkungan
disebabkan limbah organik dari sisa pakan dan kotoran, limbah tersebut umumnya
didominasi oleh senyawa nitrogen anorganik yang beracun. Menurut
Asaduzzaman et al. (2008) dan De Schryver et al. (2008) dalam Hermawan
(2014), bahwa tingginya penggunaan pakan buatan berprotein tinggi pada
budidaya intensif menyebabkan pencemaran lingkungan budidaya dan memberi
peluang terjadinya penyakit.

Ikan lele diberi pakan secara manual dengan cara disebarkan oleh feeder
secara merata, jenis pakan yang digunakan untuk ikan lele yaitu pellet. Pemberian
pakan pada ikan lele di lakukan 3 kali sehari dengan frekuensi pakan pada setiap
pagi, sore dan malam dengan sesuai waktu pada pukul 07.00, 14.00 dan 21.00
WIB. Waktu pemberian pakan seperti ini sesuai menurut pendapat Mahyuddin
(2008), yang menyatakan bahwa waktu pemberian pakan pada ikan lele dilakukan
3 kali sehari yakni pagi, sore dan malam hari.
Proses pemanenan dilakukan dengan cara panen total, yaitu memanen
seluruh lele yang ada dalam bak pemeliharaan. Ikan lele dipanen menggunakan
seser ukuran besar yang dihubungkan dengan waring agar mempermudah untuk
pengeluaran ikan lele ke wadah pengangkutan untuk selanjutnya dilakukan
penimbangan dengan menggunakan timbangan. Proses pengangkutan ada dua
menurut Junianto (2003), yakni transportasi sistem basah dan transportasi sistem
kering. Pengangkutan pada video dilakukan dengan sistem basah, yaitu dengan
menggunakan bak terbuka yang berisi air dan diangkut menggunakan mobil pick-
up. Faktor-faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan pengangkutan adalah
kualitas ikan, oksigen, suhu, pH, CO2, amoniak, kepadatan dan aktivitas ikan
(Berka, 1986).

DAFTAR PUSTAKA

[BPPP] Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan Belawan. 2017. Pengelolaan


Limbah Budidaya Melalui Teknik Budidaya Secara Heterotrof pada Budidaya
Perkotaan.
http://www.bpppbelawan.bpsdmkp.kkp.go.id/index.php/artikel/218-
pengelolaan-limbah-budidaya-melalui-teknik-budidaya-secara-heterotrof-
pada-budidaya-diperkotaan
Berka, R. (1986). The transport of live fish: a review (No. 48). Rome: Food and
Agriculture Organization of the United Nations.

Boyd, C. E. (1990). Water quality in ponds for aquaculture. Alabama Agricultural


Experiment Station, Auburn university. Alabama P462.

Djoko. 2006. Lele Sangkuriang Alternatif Kualitas di Tanah Priangan. Trobos.


Jakarta. Agustus : 80 81.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. KANISIUS. Yogyakarta.

Hermawan, T. E. S. A., Sudaryono, A., & Prayitmo, S. B. (2014). Pengaruh padat


tebar berbeda terhadap pertumbuhan dan Kelulushidupan benih lele (clarias
gariepinus) dalam media bioflok. Jurnal.

Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Kordi, K. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. PT Rineka Cipta dan
PT Bina Aksara. Jakarta.

Kordi, M. G. H. 2005. Budidaya Ikan Patin : Biologi, Pembenihan dan


Pembesaran. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.

Mahyuddin, Kholish. 2008. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar Swadaya.


Jakarta. 176Hal.

Oktavia Devi Ambarwaty, Djumali Mangunwidjaja, Singgih Wibowo, Titi Candra


Sunarti, dan Mulyorini Rahayuningsih. 2012. Pengolahan Libar Cair
Perikanan menggunakan konsorsium mikroba indigenous proteolitik dan
lipolitik. Agrointek Volume 6, No.2 Agustus.

[PERMEN-KP] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia


Nomor PER.01/MEN/2011 Tentang Pembentukan dan Pengembangan Pusat
Pelatihan Mandiri Kelautan dan Perikanan.

Anda mungkin juga menyukai