Anda di halaman 1dari 11

Pengertian pernikahan

Pernikahan menurut bahasa mempersatukan Allah SWT telah berfirman

(Diperintahkan kepada malaikat)kumpulkanlah orang-orang yang zalim

beserta teman sejawat mereka dan apa yang dahulu mereka sembah.

Dikatakan mengawinkan seseorang kepada ontanya apabila seseoranng

tersebut mempersatukan ontanya tersebut kepada onta yg lain.

Lafadz perkawinan disamakan dengan lafadz pernikahan,lafadz perkawinan

disini disesuaikan menurut definisi lafadz nikah menurut bahasa dan syara

Lafadz nikah dalam pandangan bahasa merupakan suatu akad, terkadang

pula arti nikah disamakan dengan wathI (bersetubuh)

Sebagian ulama berpendapat mengenai arti nikah hakikatnya didalam suatu

akad sedang arti wathi (bersetubuh) menurut majaj (kiasan) pandangan ini

menurut imam syafii dan hambali. Oleh karena dalam kitab al-Quran al-

karim tidak diterangkan lafadz nikah memiliki arti wathI (bersetubuh) kecuali

dalam firman Allah SWT Kemudian jika dia menceraikan(setelah talak yang

kedua),maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah

dengan suami yang lain.

Dan Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan tentang ayat diatas

bahwasanya yang diharapkan oleh Allah SWT dalam ayat disini yang

memiliki arti wathi (bersetubu) bukannya akad, dan pengesahan peniadaan

makna akad dari makna wathi sebagaimana diterangkan : yang ini


perbuatan zinah dan bukanlah masuk dalam pernikahan,sahnya peniadaan

makna akad menunjukan alasan bahwasanya pernikahan sebagai bentuk

kiasan dari arti wahti hakikatnya dalam suatu akad. dan dterangkan pula :

bahwasanya nikah hakikatnya wathi sedangkan kiasannya adalah akad

demikan pendapat imam hanafi, berlandaskan kepada sabda Nabi SAW (aku

terlahirkan dari pernikahan dan bukan dari hasil perzinahan) maksudnya dari

bersetubuh yang halal dan bukan dari bersetubuh yang haram.

Diterangakan bahwasanya konteks arab mempergunakan arti nikah

disamakan dengan arti suatu akad dan wathi (bersetubuh) nikah ini memiliki

kesamaan diantara kedua arti tersebut

1.perbedaan pendapat bisa diterangkan : bagi seseorang yang telah

melakukan zinah dengan seorang wanita maka sesungguhnya ia diharamkan

bagi orang tua lelaki tersebut dan anak laki lakinya menurut orang yang

berpendapat bahwasanya nikah menurut hakikatnya memiliki arti

wathi(bersetubuh) dan bentuk majaj (kiasan)didalam akad seperti ulama

hanafiyah dan tidak diharamkan atas keduanya orang tua laki laki dan anak

laki laki bagi yang berpandangan bahwasanya nikah hakikatnya adalah

suatu akad sedangkan kiasannya adalah bersetubuh seperti pendapatnya

ulama ulama syafii dan ulama ulama hambali

2.jelasnya faidah yang lain bagi seseorang yang menggantungkan

perceraian istrinya bagi pernikahan yang lainnya karena sesungguhnya

seseorang wanita terceraikan dengan kondisi sutau akad yang kedua kali
dalam pandangan ulama ulama syafii kecuali apabila seseorang telah

berniat mempergunakan suatu lafadz nikah kepada arti wathi (bersetubuh),

dan seorang wanita tidak terceraikan bagi suaminya dalam pandangan

ulama ulama hanafi terkecuali telah melakukan hubungan suami istri,dan

dari arti arti nikah dalam konteks bahasa adalah berkumpul dan saling

memasukan sesuatu hal sebagaimana diterangakan pohon pohon saling

bersatu apabila condong dan berkumpul sebagian pohon dengan yang

lainnya yang demikian pula, seperti hal contoh : aku telah mengumpulkan

gandum merah dari tanah maksudnya menanamnya dan menanam benih

didalamnya( tanah ) dan mengumpulkan ranting ranting dipundaknya unta

apabila unta telah melakukan dukhul, hujan telah mengumpulkan tanah

apabila telah bercampur dengan debu debunya, orang yang mengantuk

telah memasukan kedua matanya apabila seseorang telah datang rasa

ngantuknya

Adapun menurut syariat para ahli fiqih telah berbeda pendapat didalam

mendefinisikan arti suatu nikah dan kami akan menerangkan definsi-definisi

terpenting dalam hal ini sebgaimana dibawah ini

1 ulama ulama syafii mendefinisikan nikah sebagai berikut :bahwasanya

suatu nikah adalah akad yang mengumpulkan diperbolehkannya bersetubuh

dengan menggunakan konteks lafadz nikah atau perkawinan atau

penterjemahannya
2.ulama ulama hanafi mendefinisikan nikah sebagai berikut : bahwasanya

nikah menentukan suatu tempat akad dalam melakuakan kesenangan

dengan seorang wanita yang disengaja dan yang dimaksud letak syariat

bukan tempat dua orang yang melakukan akad dalam pernikahan,

dikecualikan dengan ucapan nikah yang disengaja apabila seseorang telah

membeli seorang budak wanita yang walaupun bisa dilakukan dengan

mudah maka kepemilikan dalam melakukan kesenangan disini ada dalam

budak wanita tersebut menjadi halal bersetubuh tersebut dalam melakuakan

kumpul, berbeda dengan makna nikah karena sesungguhnya melakukan

kesenangan itu yang dimaksud dalam tujuan awal pernikahan.

3. ulama ulama maliki mendefinisikan nikah : bahwasanya nikah adalah

suatu akad penghalalan melakukan kebahagiaan terhadap seorang wanita

yang bukan muhrim dan bukan pula wanita wanita majusi dan budak budak

hamba sahaya ahli kitab dengan mempergunakan sighot (ucapan) bagi

orang yang mampu serta menghendaki atau mengharapkan keturunan

4,ulama ulama hambali mendefinisikan nikah : bahwasanya nikah

merupakan akad perkawinan, dan dalam penggunaan lafadz nikah

diarahkan pada perkawinan yang walaupun tidak mengarahkan hal demikian

5 dan sebagian para ulama mendefinisikan nikah : bahwasanya nikah adalah

suatu akad yang memberikan manfaat kehalalan dalam berkeluarga diantara

pria dan wanita dan memberikan faidah keduanya serta pula memberikan
batasan batasan diantara keduanya dari hak-hak dan kewajiban kewajiban

dalam suatu perkawinan

Sedang undang-undang hukum keluarga mendefinisikan nikah adalah

sebagaimana hal yang telah diterangkan dalam sub pembahasan

merupakan suatu akad yang menerangkan kehalalan bagi seorng pria dan

wanita dalam membentuk keluarga dan memperoleh keturunan diantara

keduanya sesuai syariat agama

Definisi ini lebih jelas dalam menjelaskan maksud dari perkawinan

dibandingkan dari definisi-definsi sebelumnnya oleh karena undang-undang

hukum keluarga menerangkan bahwa maksud tersebut dari perkawinan

ditinjau menurut syariat agama dan pandangan orang-orang yang berilmu

adalah pernikahan untuk melahirkan generasi keturunan dan demi

melestarikan generasi kemanusiaan ,dan orang yang melakukan pernikahan

akan memeproleh dalam kehidupannya rasa tentram rasa cinta yang

dipautkan diantara keduanya sebagaimnan firman allah Swt dan diantara

tanda-tanda (Kebesaran)Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan

untukmu dari jenismu sendiri,agar kamu cenderung dan merasa tentram

kepadanya dan Dia menjadikan di antaramu kasih saying.

Sebagaimana diterangkan sebagian dari tujuan tujuan pernikahan

dilakukannya kesenangan diantara pasangan suami istri dan memperoleh

generasi penerus
Dan sebagian definisi-definisi terdahulu telah mengantarkan maksud tujuan

dari perkwinan dalam pemenuhan syahwat biologis semata karenanya para

ulama berpandangan dalam melakukan kesenangan tersebut menjadi suatu

alasan dari suatu perkawinan sebgaimana halnya definisi nikah. persoalan

yang jelas dari definisi ulma ulama hanafi, dan tidak menjadikan

pensyariatan suatu akad terpisah daripada kehidupan biologis kebinatangan

Asal perkara pensyariatan nikah

Pernikahan disyariatkan menurut Al-Quran asunnah dan ijma (kesepakatan

para ulama) kumpulan kumpulan dari ayat-ayat dan hadis-hadis yang

mengarah kepada pensyariatan nikah telah disebutkan diawal sebagaimana

hal kesepakatan ummat yang mengesahkan nikah merujuk kepada ketiga

sumber tersebut sebagaiaman hal pula kesesuaian syariat yang mengarah

kepada pernikahan sebagaimana halnya akal serta tabiat yang menunjukan

bagi kebutuhan dalam pelaksanaan nikah

Menurut akal sesungguhnya setiap orang yang berakal mewajibkan

pelestarian namanya dan penetapan kedudukannya bisa terjadi dengan

kelestariannya suatu keturunan sedang menurut tabiat : yang berlaku bagi

seorang laki-laki dan wanita mengarah terhadap ketentuan dalam

penyaluran suatu keinginan yang demikian adanya diselaraskan sesuai

dengan perintah agama yang walaupun suatu tabiat serupa dengan perintah

agama

Hikmah disyariatkannya perkwainan


Hikmah aturan Allah SWT telah nampak dalam pensyariatan perkawinan oleh

karena pernikahan atau perkawinan selaras dengan unsur kebutuhan biologis

yang bukan hanya untuk suatu pengaturan atau pensyariatan sebgaimana

halnya binatang yang memiliki kecenderungan dalam suatu perkawinan,

bagi manusia disyariatkannya perkawinan yang ditaur dalam syariat agama

dari arah demikian Allah SWT telah mengaturnya dalam sabda-Nya terkait

tentang pernikahan yang menjadikan suatu pernikahan aturan aturan yang

membatasi keterkaitan setiap pasangan suami istri dan menjadikan

keduanya bekerjasama dalam menanggung tanggung jawab kehidupan ,

Allah SWT memberikan keduanya rasa cinta dan kasih sayang pernikahan

yang demikan merupakan penerapan suatu aturan dalam berumah tangga

dalam wilayah kelestarian unsur kemanusiaan yang mengantarkan kepada

usnur rohaniyah yang mengganti dari kehidupan yang buruk pada kehidupan

yang diliputi rasa tentram dan kebahagiaan setiap manusia yang jauh dari

keburukan dan menuruti hawa nafsu yang buruk .

Yang demikian disandarakan dalam pelestarian kemanusiaan yang jauh dari

sifat yang mengarah terhadap keburukan yang bisa merusak nilai suatu

pernikahan dengan sebab perkawinan bagi pasangan suami istri bisa

melakukan kebahagiaan dengan halal kecenderungannya bisa terpenuhi

dengan suatu cara yang diatur yang menjaga setiap orang yang

melakukannya dan menjaga dari nilai-nilai tujuan-tujuan yang baik

sebgaimana Allah SWT berfirman dan diantara tanda-tanda (Kebesaran)Nya

ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu


sendiri,agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan Dia

menjadikan di antaramu kasih saying.sungguh, pada yang demikian itu

benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)bagi kaum yang berpikir.

Dan dikatakan pula dalam firman Allah SWT Mereka adalah pakaian

bagimu,dan kamu adalah pakaian bagi mereka.

Hukum hukum perkawinan

Hukum hukum perkawinan terkait atas pembebanan sebagi berikut

disesuaikan terhadap perbedaan hukummnya dibedakan bagi setiap

kepribadian dan perbuatannya

1. Suatu perkawinan menjadi hukum wajib bagi seseorang apabila

diyakini ia akan terperosok dalam perjinahan apabila ia tidak

melakukan perkawinan sedangkan kondisi seorang tersebut dalam

keadaan mampu menunaikan mahar dan nafkah dan tidak merasa

khawatir berlaku dzolim terhadap istrinya apabila menikah karena

meninggalkan perjinahan mesti adanya dengan cara melakukan

pernikahan, suatu hal yang bisa terwujud dalam penentuan suatu

kwajiban maka suatu hal tersebut dihukumi wajib adanya


2. Hukumnya wajib pula apabila dugaannya menguatkan jikalau ia

akan terperosok kedalam perjinahan apabila tidak melakujan

pernikahan sedang kondisinya mampu dalam menunaikan mahar dan

nafkah serta tidak takut melakukan kedzoliaman terhadap istri, kondisi

ini bebreda dengan kondisi yang pertama tadi yang tidak terlalu

dikhawatirkan tereperosok kedalam perjinahan apabila tidak menikah,


akan tetepi hanya dugaannya saja, kuatan tekad dalam penentuan

kefarduan atau suatu kewajiban bisa diambil dari ukuran rasa takut

terperosok kdalam perjinahan


3. Adakalanya nikah dihukumi haram apabila diyakini berlaku

dzolim terhadap istri jikalau menikah, dibuktikan tidak bisa berlaku

adil atau tidak mampu memberikan nafkah, oleh karena pernikahan

yang menjadi sarana dilakukannya suatu keharaman maka pernikahan

tersebut menjadi haram adanya


4. Adakalanya nikah dihukumi makruh jikalau dalam dugaannya

dikuatkan bisa melakuakan suatu kedzoliman apabila ia menikah,

kondisi seprti ini dibawah situasi hal diatas oleh karena tidak menjadi

kuat keterperosokannya dalam melakukan perbuatan dzolim apabila ia

melakukan pernikahan
Hukum-hukum terdahulu menguatkan bagi suatu kaidah yang

disepakati bagi hukum hukum tersebut menurut para ahli fiqih ialah

bilamana suatu kondisi mengarah kepada hal yang wajib, maka kondisi

tersebut bisa mewajibkan dan suatu kondisi yang mengarah bisa

terjadinya sesuatu yang haram maka menjadi haram adanya dan suatu

kondisi yang bisa mengarah kepada yang sunnah maka menjadi

sunnah adanya dan suatu kondisi yang bisa mengarah kepada hal

yang makruh maka dimakruhkan adanya


Atas pertimbangan perihal diatas hokum taklifi (kewajiban yang mesti

dilakukan oleh setiap individu) menjadi satu kesepakatan dalam

pandangan seluruh ulama terkecuali persoalan hokum yang ditentukan


oleh ulama-ulama hanafiyah dalam qoidah ushulnya yang dibedakan

diantara suatu hukum yang bersifat fardhu dan wajib.


Dan jika seseorang secara individual melakukan perbuatan zinah

niscaya diberlakukan hukum jika tidak melaksanakan perkawinan, dan

dikatakan melakukan perbuatan dholim bilamana tidak melangsungkan

perkawinan, sedang dalam pandangan sebagian ulama, bahwasannya

tidak diperbolehkan bagi pelaku tersebut menikah dan tidak

diperbolehkan pula melakukan perjinahan, oleh karena sesuatu yang

diharamkan tidak diperbolehkan bagi sesuatu yang diharamkan pula,

dan perbuatan dholim tidak dibolehkan berjinah, baginya tidak

diperkenankan berlaku jinah dan tidak diperkenankan melaksanakan

perkawinan, dan sejatinya baginda Nabi besar Muhammad Saw telah

memberikan arahan kepada suatu jalan yang mesti di ikuti,

sebagaimana sabdanya : (bagi seseorang yang belum mampu

melaksanakan perkawinan/pernikahan di arahkan untuk melaksanakan

ibadah puasa, berpuasa sebagai bentuk perisai/benteng

baginya,jikalau hawa nafsu bisa diselesaikan melalui proses puasa

maka tidak diperbolehkan merusak kebutuhan biologisnya dengan

suatu alat seperti kapur dan yang lainnya.


Sebagian ulama berpandangan lain terhadap persoalan perbuatan

zinah yang mana menurut kelompok mayoritas perbuatan zinah ini

bisa merusak selamanya dan bila mana segala hal tidak bisa diatasi

maka baginya tidak ada jalan kecuali melakukan pernikahan sedang

perbuatan dzolim terhadap seorang wanita merusak dalam waktu yang


singkat terkadang pula telah menikah bagi sesesorang akan lebih baik

perangannya
Pendapat ulama yang lain terkait dalam bentuk pernikahan yang

memiliki unsure perbuatan dzolim sejatinya diharamkan dan tetap

penolakan dalam melakukan zinah diharamkan yang menjadi

ketentuan Allah swt.sedang mencegah dari berbuat dzolim kepada istri

hak bagi seorang hamba terkait hak bagi seorang hamba didahulukan

hak terhadap Allah SWT oleh karena kebutuhan bagin seorang hamba

tersebut dan maha cukupnya Allah SWT dalam segala hal.


Apabila dalam dugaan seseorang akan terperosok terhadap perbuatan

zinah apabila tidak menikah dan kehawatirannya berlaku kedurhakaan

apabila ia menikah maka dalam hal ini perkawinan menjadi makruh

baginya, oleh karena perbuatan dzolim merupakan kemaksiatan yang

berkaitan terhadap hak-hak setiap insan, dan ,mencegah dari

perbuatan zinnah merupakan ketentuan hak bagi Allah SWT,sedang

pemenuhan atas hak seorang hamba didahulukan bagi seorang hamba

atas mendahulukan hak hak Allah SWT maha kaya dalam bentuk dua

hal ini tidak dibolehkan baginya berlaku zinah serta berlaku pula

hukum had yang menjadi ketetapan baginya.

Anda mungkin juga menyukai