Skenario
Wanita 27 tahun hamil 30 minggu datang ke UGD dengan keluhan keluar cairan dari vagina
sejak 2 hari yang lalu.Pada PF didapatkan TD 120/70 mmHg,nadi 115X/menit,temperatur
38,5oC,pada palpasi abdomen terdapat nyeri di fundus.Pada pemeriksaan DJJ didapati fetal
takikardia 170-175 beat per minute
Pendahuluan
Infeksi intrauteri (IIU) merupakan infeksi bakteri di dalam uterus terjadi antara jaringan
ibu dan membran janin (yaitu di dalam rongga koriodesidua), di dalam membrane bayi (amnion
dan korion), di dalam plasenta, di dalam cairan amnion, atau di tali pusat atau janin.1
Infeksi intrauteri atau yang sering dikenal dengan korioamnionitis yang disebabkan oleh
berbagai jenis mikroorganisme telah diketahui sebagai penyebab paling sering pada beberapa
kasus ketuban pecah, persalinan preterm atau keduanya. Kurang lebih 40% persalinan preterm
disebabkan oleh infeksi intrauteri. Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Cox, 1996
didapatkan bakteri pada amniosentesis dari 20% wanita yang mengalami persalinan preterm
tanpa gejala klinik infeksi atau selaput ketuban utuh. Penelitian yang dilakukan Hauth dkk
menunjukkan adanya hubungan signifikan antara korioamnionitis dan meningkatnya kejadian
persalinan preterm spontan. Persalinan preterm masih merupakan penyebab utama mortalitas dan
morbiditas pada neonatus dan menyebabkan 75% kematian neonatal tiap tahunnya tanpa disertai
anomaly kongenital.2
ISI DAN PEMBAHASAN
Gambar 1.1
Selaput amnion merupakan jaringan avaskular yang lentur tetapi kuat. Bagian dalam
selaput yang berhubungan dengan cairan merupakan jaringan sel kuboid yang berasal dari
ectoderm. Jaringan ini berhubungan dengan lapisan interstisial dan mengandung kolagen I, III,
dan IV. Bagian luar dari selaput ialah jaringan mesenkim yang berasal dari mesoderm. Lapisan
amnion ini berhubungan dengan korion Laeve.
Selaput amnion juga meliputi tali pusat. Sebagian cairan berasal dari difusi pada tali
pusat. Pada kehamilan kembar dikorionik-diamniotik terdapat selaput amnion dari masing-
masing yang kemudian bersatu. Namun, ada jaringan koroin leave di tengahnya (pada USG
tampak sebagai huruf Y, pada awal kehamilan); sedangkan pada kehamilan kembar dikorion
monoamniotik (kembar satu telur) tidak akan ada jaringan korion di antara kedua amnion (pada
USG tampak gambaran huruf T).
Pecahnya ketuban berkaitan dengan kekuatan selaput. Pada perokok dan infeksi terjadi
pelemahan pada pada ketahanan selaput sehingga pecah. Pada kehamilan normal kadang
ditemukan sedikit makrofag. Pada saat persalinan, leukosit akan masuk kedalam cairan amnion
sebagai reaksi terhadap peradangan. Pada kehamilan normal tidak ada IL-1B, tetapi pada
persalinan pretem IL-1B akan ditemukan. Dikarenakan terjadinya infeksi.
Amnion berkembang dari delaminasi sitotrofoblas sekitar hari ke-7 atau ke-8
perkembangan ovum normal atau pada dasarnya berkembang sebagai ekstensi dari ekstoderm
janin. Dimulai sebagai vesikel kecil, amnion berkembang menjadi sebuah kantong kecil yang
menutupi permukaan dorsal embrio. Ketika amnion membesar, perlahan-lahan kantong ini
meliputi embrio yang sedang berkembang yang akan prolaps kerongganya. Distensi kantong
amnion akhirnya mengakibatkan kantong tersebut menempel dengan bagian interior korion.
Amnion dan korion, walaupun menempel tidak pernah berhubungan erat dan biasanya dapat
dipisahkan dengan mudah bahkan pada waktu aterm. Amnion normal mempunyai tebal 0,02-0,5
mm. Volume rata-rata yaitu 1 liter, banyaknya dapat berbeda-beda, pada minggu ke-36
banyaknya 1030 cc, minggu ke-40 banyaknya 790 cc dan pada minggu ke-43 sudah berkurang
menjadi 240 cc. Jika banyaknya lebih dari 2 liter dinamakan Polyhidramnion atau Hidramnion
kalau terlalu sedikit kurang dari 500 cc disebut Oligohidramnion. Cairan amnion merupakan
bantalan bagi fetus akibat trauma dengan memperhalus dan menghilangkan kekuatan benturan
dan memungkinkan pergerakan yang bebas bagi perkembangan sistem muskuloskeletal. Cairan
amnion yang normalnya berwarna putih, akan menjadi agak keruh lalu berkumpul di dalam
rongga amnion kemudian jumlahnya bertambah banyak selama kehamilan lanjut sampai
mendekati aterm dan normalnya akan berkurang pada saat aterm. Cairan amnion reaksinya
alkalis dengan BJ 1.008, komposisinya terdiri dari 99 % air, sisanya albumin, urea, asam urea,
kreatinin, sel-sel epitel, rambut lanugo, verniks kaseosa dan garam organik. Secara makroskopis
berbau amis, adanya lanugo, rambut, dan verniks kaseosa, bercampur mekonium. Secara
mikroskopis terdapat lanugo dan rambut, melalui pemeriksaan laboratorium dapat dilihat kadar
urea (ureum) lebih rendah dibanding dengan air kencing.4
Pembentukan korion dan amnion
Ketika morula masuk ke dalam ruang uterus, cairan mulai penetrasi melewati zona
pelusida ke dalam ruang interselular, cairan menjadi confluent dan membuat satu ruang di dalam
yang disebut blastocele. Saat ini embrio dikenal sebagai blastocyst. Sel yang berada di dalam
blastocyst disebut embryoblast yang terletak pada satu kutub, dan sel yang ada di luar disebut
trofoblast.
Gambar 1.2
Mencapai umur embrio hari ke 8, blastocyst telah menempel sebagian pada stroma
endometrium. Trofoblast kemudian berdiferensiasi menjadi 2 lapis: (1) lapisan dalam adalah sel
mononukleus yang disebut cytotrofoblast dan (2) lapisan luar dengan sel multinukleus yang
disebut sinsitiotrofoblast.5
Embrioblast juga berdiferensiasi menjadi 2 lapis: (1) lapisan dengan sel kuboid yang
masuk ke dalam kavitas blastocyst, yang dikenal sebagai lapisan hypoblast, dan (2) lapisan
dengan sel silindris yang berada pada kavitas amnion yang disebut lapisan epiblast. Sel epiblas
yang masuk ke dalam cytotrofoblast disebut amnioblast, bersama dengan epiblast, mereka
membentuk ruang amnion.
Gambar 1.3
Pada hari 11 dan 12, populasi sel baru mulai terbentuk diantara permukaan dalam
cytotrofoblast dan lapisan luar kavitas eksokoelomik. Sel-sel ini berasal dari sel yolk sac,
membentuk jaringan konektif yang disebut ekstraembrionik mesoderm, yang kemudian akan
mengisi ruang antara bagian luar trofoblas dan amnion serta bagian dalam membrane
eksokoelomik. Sesaat kemudian, akan terbentuk ruang yang besar pada ekstraembrionik
mesoderm, dan ketika confluent, mereka membentuk ruang baru yang disebut ruang
ekstraembrionik atau ruang korion.6
Gambar 1.4
Pada hari ke 13, hipoblast memproduksi sel yang bermigrasi di membrane eksokoelomik.
Kemudian sel ini berproliferasi dan bertahap membentuk ruang baru yang disebut secondary
yolk sac atau definitive yolk sac. Ketika masa pembentukannya, sebagian besar ruang
eksokoelomik terpisahkan dan biasanya ditemukan di dalam ruang korion. Pada waktu yang
sama, ekstraembrionik coelom meluas, dan membentuk ruang, yaitu ruang korion. Mesoderm
ekstraembrionik yang berada di dalam cytotrofoblast kemudian disebut korion plate. Satu-
satunya daerah dimana mesoderm ekstraembrionik dapat berhubungan dengan ruang korion
adalah melewati stalk penghubung (connecting stalk). Yang kemudian berkembang menjadi
pembuluh darah, dan stalk akan menjadi tali pusat.
Gambar 1.5
Amnion jelas lebih dari sekedar membrane avaskular yang berfungsi menampung cairan
amnion. Membran ini aktif secara metabolis, terlibat dalam transport air dan zat terlarut untuk
mempertahankan homeostasis cairan aminion, dan menghasilkan berbagai senyawa bioaktif
menarik, termasuk peptide vasoaktif, factor pertumbuhan, dan sitokin. Lapisan dalam amnion
merupakan mikrovili yang berfungsi mentransfer cairan dan metabolic. Lapisan ini
menghasilkan zat penghambat metalloproteinase-1.7
Sel mesenkim itu, jaringan tersebut menghasilkan sitokin IL-6, IL-8, MCP-1 (monosit
chemoattraciant protein-1); zat ini bermanfaat untuk melawan bakteri. Disamping itu, selaput
amnion menghasilkan zat vasoaktif: endotelin-1 (vasokonstriktot), dan PHRP (parathyroid
hormone related protein), suatu vasorelaksan. Dengan demikian selaput amnion mengatur
peredaran darah dan tonus pembuluh lokal.
Sejak awal kehamilan cairan amnion telah dibetuk. Cairan amnion merupakan pelindung
dan bantalan untuk proteksi sekaligus menunjang pertumbuhan. Osmolalitas, kadar natrium,
ureum, kreatinin tidak berbeda dengan kadar pada serum ibu, artinya kadar di cairan amnion
merupakan hasil difusi dari ibunya. Cairan amnion mengandung banyak sel janin (lanugo,
verniks kaseosa). Fungsi cairan amnion yang juga penting ialah menghambat bakteri karena
mengandung zat seperti fosfat dan seng.
Fungsi cairan amnion antara lain memungkinkan anak bergerak dengan bebas dan
tumbuh dengan optimal kesegala jurusan karena tekanan pada anak sama pada semua bagiannya.
Hal ini sangat penting karena seandainya anak tertekan oleh organ sekitarnya maka pertumbuhan
akan terganggu. Selain itu juga untuk melindungi anak terhadap pukulan-pukulan dari luar dan
ibu terhadap gerakan-gerakan anak. Jika cairan berkurang pergerakan anak dirasakan nyeri oleh
ibu. Kemudian mempertahankan suhu yang tetap bagi anak. Mencegah terjadinya perlengketan.
Waktu persalinan cairan amnion dapat membuka servik dengan mendorong selaput janin
kedalam ostium uteri. Bagian selaput anak yang diatas ostium uteri yang menonjol waktu his
disebut ketuban dan membuka servik pada saat persalinan.
DEFINISI KORIOAMNIONITIS
Gambar 2.1
ETIOLOGI
Infeksi pada membran dan cairan amnion dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang
bervariasi. Bakteri dapat ditemukan melalui amniosintersis transabdominal sebanyak 20% pada
wanita dengan persalinan preterm tanpa manifestasi klinis infeksi dan dengan membrane fetalis
yang intak (Cox dan rekan kerja, 1996; Watts dan kolega, 1992). Produk viral juga ditemukan
(Reddy and colleagues, 2001). Infeksi tidak terbatas pada cairan amnion.
Penyebab korioamnionitis adalah infeksi bakteri yang terutama berasal dari traktus
urogenitalis ibu. Secara spesifik permulaan infeksi berasal dari vagina, anus, atau rektum dan
menjalar ke uterus. Angka kejadian korioamnionitis 1-2 % Faktor resiko terjadinya
korioamninitis adalah kelahiran prematur atau ketuban pecah dini. Mycoplasma genital, seperti
ureaplasma urealyticum dan mycoplasma hominis (genital mycoplasma), organisme ini memicu
efek reaksi inflamasi mempengaruhi ibu dan fetus khususnya pada mur kehamilan preterm.
Biasanya organisme ini terisolasi dalam cairan amnion pada persalinan preterm atau pada
ketuban pecah dini tanpa tanda-tanda korioamnionitis. Genital mycoplasma ditemukan pada
traktus genital bawah (vagina atau servik) sedangkan keberadaannya di traktus genital atas
( uterus dan atau tuba falopi) dan korioamnion sangat jarang terjadi (<5%) pada saat tidak saat
bersalin atau ketuban pecah.
PATOGENESIS
Mekanisme pertahanan tubuh tidak bisa secara adekuat mencegah infeksi intramnion,
namun mekanisme pertahanan local memerankan peran penting dalam pencegahan infeksi.
Mucous plug yang terdapat di cervical serta mucous yang terdapat di placenta dan membrannya
memberikan perlindungan barier untuk mencegah infeksi dari carian amnion dan fetus.
Lactobacillus yang memproduksi peroxide dan berkoloni di jalan lahir yang merupakan flora
normal juga dapat menahan virulensi mikroorganisme pathogen.
Bagan 4.1
Gambar 4.1
MANIFESTASI KLINIS
Koriomnionitis tidak selalu menimbulkan gejala. Bila timbul gejala antara lain demam,
nadi cepat, berkeringat, uterus pada perabaan lembek, dan cairan berbau keluar dari vagina.
Diagnosis korioamninitis ditegakkan dengan pemeriksaan fisik, gejala-gejala tersebut di atas,
kultur darah, dan cairan amnion. Kesejahteraan janin dapat diperiksa dengan ultrasound dan
kardiotokografi.
Korioamnionitis secara klinis bermanifestasi sebagai demam pada ibu dengan suhu 38
celcius atau lebih, biasanya berkaitan dengan pecah ketuban. Demam pada ibu selama persalinan
atau setelah ketuban pecah biasanya disebabkan oleh korioamnionitis kecuali dibuktikan lain.
Demam sering disertai oleh takikardi ibu dan janin, lokia berbau busuk, dan nyeri tekan fundus.
Leukositosis material semata-mata tidak dapat diandalkan untuk mendiagnosis korioamnionitis.
Tabel 5.1
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji laboratorium untuk diagnosis seperti pemeriksaan hapusan Gram atau kultur pada
cairan amnion biasanya tidak dilakukan. Pemeriksaan amniosentesis biasanya dilakukan pada
persalinan preterm yang refrakter (supaya dapat diputuskan apabila tokolisis tetap dilanjutkan
atau tidak) dan pada pasien yang PROM (apakah induksi perlu dilakukan). Indikasi lain dari
amniosentesis adalah untuk mencari differential diagnosis dari Infeksi intramnion, prenatal
genetic studies, dan memperediksi kematangan paru.
Tabel 6.1
PENATALAKSANAAN
KOMPLIKASI
Komplikasi Maternal
Chorioamnionitis dapat meningkatkan 2-3 kali lipat persalinan secara perabdominan dan
2-4 kali lipat terjadinya endomyometritis, infeksi perlukaan, abses pelvik, bakteremia, dan post
partum hemorragic. Peningkatan terjadinya post partum hemorrage kelihatannya disebabkan oleh
kontraksi uterus yang disfungsional karena adanya inflamasi. 10% ibu dengan korioamnionitis
memiliki hasil kultur darah yang positif (bakteremia) sebagian besar oleh bakteri GBS dan
E.coli. Namun komplikasi lainnya seperti DIC, ARDS, septic shock, kematian maternal jarang
terjadi.
Komplikasi Fetus
Paparan infeksi pada fetus dapat menimbulkan kematian fetus, sepsis neonatus, dan
beberapa komplikasi postnatal lainnya. Respon fetus terhadap infeksi yang disebut Fetal
Inflammatory Response Syndrome (FIRS) dapat menyebabkan komplikasi berikut ini. FIRS
merupakan kebalikan proses dari Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Karena
parameternya hampir sama dengan SIRS, maka agak sulit membedakannya dengan yang terjadi
pada fetus, FIRS sebenarnya dapat dideteksi bila terjadi peningkatan IL-6 pada darah umbilical
(tali pusat) yang biasanya didapatkan pada persalinan preterm dan PPROM namun kadang dapat
muncul pada umur kehamilan aterm. Penunjuk histopatologik dari FIRS adalah funisitis dan
korionik vaskulitis. FIRS sekarang dikenal sebagai representasi respon pertahanan fetus terhadap
infeksi atau mediasi perlukaan yang dapat melepas sitokin dan chemokines seperti interleukins,
TNF-alpha, C-reactive protein, dan matriks melloproteinases. FIRS juga dihubungkan dengan
persalinan preterm yang dapat menimbulkan kematian dan berhubungan pada neonatus preterm
dengan kegagalan multi organ, termasuk penyakit paru kronis, leukomalasia periventrikular dan
cerebral palsy. Meski FIRS dapat ditimbulkan oleh inflamasi non infeksis, namun manifestasinya
biasanya lebih terlihat pada proses infeksi. Meski kontoversial, paparan fetus pada mycoplasma
genital ( U. Urealyticum dan M. Hominis) memiliki hubungan dengan sindrom respon sistem
inflamasi, pneumonia.
Neonatus yang terpapar oleh infeksi intrauterin dan inflamasi dapat menampakkan efek
advers saat atau segera setelah lahir. Efek advers yang muncul termasuk kematian perinatal,
asfiksi, sepsis neonatus dini, septic shock, pneumonia, intraventrikular hemorrhagic (IVH),
kerusakan serebral di white matter, dan kelumpuhan jangka panjang termasuk cerebral palsy.
PROGNOSIS
Usahakan diagnosis dini untuk korioamnionitis. Hal ini berhubungan dengan prognosis,
segera lahirkan janin. Bila kelahiran prematur, keadaan ini akan memperburuk prognosa janin.(2)
Hasil penelitian Alexander JM, Gilstrap LC, Cox SM, McIntire DM, dan Leveno KJ
menunjukkan adanya hubungan antara indeks korioamnionitis dan beberapa klinis morbiditas
neonatal pada bayi berat badan lahir sangat rendah. (4) Korioamnionitis tampaknya membuat bayi
berat lahir sangat rendah sangat rentan terhadap kerusakan neurologis. Komplikasi jangka
pendek bagi neonatus yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis adalah resiko infeksi tinggi.
Morbiditas kelainan neurologi pada neonatus lebih dikarenakan komplikasi pada saat persalinan,
bukan karena komplikasi karena korioamnionitis.
Segera berikan antibiotika profilaksis pada neonatus yang lahir dari ibu dengan
korioamnionitis. Sehingga dapat memberikan prognosa yang baik bagi neonatus. Ibu dengan
korioamnionitis yang tidak segera melahirkan anaknya dapat meningkatkan morbiditas
terjadinya sepsis bagi ibu. Sehingga prognosa buruk dapat didapatkan oleh ibu yang tidak dapat
melahirkan segera bayinya.
PENCEGAHAN
Percobaan lain besar yang dilakukan oleh Institut Kesehatan Nasional dan Pembangunan
Manusia Maternal-Fetal Medicine Unit (NICHD MFMU) jaringan di akhir 1990-an
menyarankan untuk memberi eritromisin dalam mengurangi hasil perinatal yang merugikan
termasuk kematian perinatal dan morbiditas serta infeksi maternal. Tidak ada tindak lanjut
jangka panjang dari studi ini. Standar yang biasa di AS tetap memberikan antibiotik spektrum
luas biasanya melibatkan makrolida (eritromisin atau azitromisin) dan ampisilin selama 7-10 hari
melalui intravena (2 hari) diikuti oleh rute oral. Induksi persalinan dan kelahiran dini untuk
PPROM setelah usia kehamilan 34 minggu dianjurkan, karena dibandingkan dengan manajemen
infeksi saat masih hamil, melahirkan dengan cepat dapat mengurangi infeksi ibu dan
mengurangi perawatan intensif pada neonatal tanpa meningkatkan morbiditas dan mortalitas
perinatal. 8
Namun kini sedang berlangsung uji coba untuk mengetahui manfaat dari induksi
persalinan sebelum 37 minggu dalam kasus PPROM. Pada ketuban pecah dini (> 18 jam),
antibiotik profilaksis tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan pada ibu yang tidak terinfeksi
GBS, namun CDC merekomendasikan terapi profilaksis untuk GBS jika status GBS tidak
diketahui. Dalam salah satu uji coba secara acak penggunaan antibiotik profilaksis intrapartum
(ampisilin / sulbaktam) pada ibu hamil dengan air ketuban bercampur mekonium, dapat
menurunkan risiko korioamnionitis.
KESIMPULAN
Chorioamnionitis merupakan suatu infeksi pada cairan amnion yang disebabkan oleh
kuman kuman ini melakukan infeksi ascending sampai masuk ke cairan amnion dan
menyebabkan sepsis dan untuk penatalaksanaannya diberikan antibiotik sesuai kuman penyebab
dan juga dilakukan persalinan secepatnya sesuai indikasi
DAFTAR PUSTAKA
2. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan, 2010. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
3. Tita, Alan T.N. Diagnosis and Management of Chorioamnionitis. (homepage on the
internet) Diunduh tanggal 15 Januari 2013. Pada website
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3008318/
4. JM, Alexander. Chorioamnionitis and the prognosis for term infants. (home page on the
internet) Diunduh tanggal 20 Januari 2013. Pada website
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10432142