Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pharmaceutical care menggeser paradigma praktik kefarmasian dari drug


oriented menjadi patient oriented (Hepler dan Strand, 1990). Perubahan
paradigma tersebut mempengaruhi bentuk pelayanan kefarmasian di komunitas,
rumah sakit, puskesmas, maupun fasilitas pelayanan kesehatan yang lain.
Apoteker dituntut memiliki peran lebih dalam praktik kefarmasian untuk dapat
mengikuti perubahan paradigma tersebut.

Apoteker yang semula hanya berperan sebatas distribusi dan penyediaan obat,
sekarang memiliki tanggung jawab lebih besar terhadap kesehatan pasien.
Apoteker diharapkan mampu melaksanakan kegiatan menyeluruh dari
mengidentifikasi, mencegah, sampai menyelesaikan berbagai masalah terkait
pengobatan pasien. Bentuk nyata dari kegiatan tersebut adalah konseling pasien,
pemberian informasi obat, dan monitoring kadar obat dalam darah pasien.

Implementasi pharmaceutical care tergolong lebih lambat dari yang


diharapkan meskipun banyak apoteker yang menyetujui konsep tersebut.
Hambatan dari penerapan pharmaceutical care dapat berasal dari dalam apoteker
seperti kurangnya kemampuan komunikasi, rasa percaya diri, dan kemampuan
klinik. Selain itu, hambatan juga berasal dari luar apoteker seperti keengganan
tenaga kesehatan lain berkolaborasi dengan apoteker.

1.2. Rumusan masalah


1. Apa itu persepsi ?
2. Bagaimana pelayanan kefarmasian ?
3. Apa saja kejadian-kejadian kesalahan pengobatan ?
4. Bagaimana dampak terhadap kualitas hidup pasien ?
5. Bagaimana pendapat anda terhadap situasi tersebut ?

BAB II

1 | FA R M A S I K L I N I K
PEMBAHASAN

2.1. Teori tentang pesepsi

Persepsi merupakan salah satu aspek psikologis yang penting bagi manusia
dalam merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala di sekitarnya. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung
dari sesuatu. Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya.

Sugihartono, dkk (2007: 8) mengemukakan bahwa persepsi adalah


kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk
menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Persepsi
manusia terdapat perbedaan sudut pandang dalam penginderaan. Ada yang
mempersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi yang positif maupun persepsi
negatif yang akan mempengaruhi tindakan manusia yang tampak atau nyata.

Bimo Walgito (2004: 70) mengungkapkan bahwa persepsi merupakan suatu


proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh
organisme atau individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti, dan merupakan
aktivitas yang integrated dalam diri individu. Respon sebagai akibat dari persepsi
dapat diambil oleh individu dengan berbagai macam bentuk. Stimulus mana yang
akan mendapatkan respon dari individu tergantung pada perhatian individu yang
bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, perasaan, kemampuan berfikir,
pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu tidak sama, maka dalam
mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar
individu satu dengan individu lain.

Jalaludin Rakhmat (2007: 51) menyatakan persepsi adalah pengamatan


tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Sedangkan, Suharman (2005:
23) menyatakan: persepsi merupakan suatu proses menginterpretasikan atau
menafsir informasi yang diperoleh melalui sistem alat indera manusia.
Menurutnya ada tiga aspek di dalam persepsi yang dianggap relevan dengan
kognisi manusia, yaitu pencatatan indera, pengenalan pola, dan perhatian.

2 | FA R M A S I K L I N I K
Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesamaan pendapat bahwa persepsi
merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk
tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala
sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya.

2.2. Pelayanan kefarmasian

Pelayanan kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung


profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien (Menkes RI, 2004). Menurut PP 51 tahun 2009 pelayanan kefarmasian
adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Pelayanan kefarmasian dalam hal memberikan perlindungan terhadap pasien


berfungsi sebagai (Bahfen, 2006):

a. Menyediakan informasi tentang obat-obatan kepada tenaga kesehatan


lainnya, tujuan yang ingin dicapai mencakup mengidentifikasikan hasil
pengobatan dan tujuan akhir pengobatan, agar pengobatan dapat diterima
untuk terapi, agar diterapkan penggunaan secara rasional, memantau efek
samping obat dan menentukan metode penggunaan obat.
b. Mendapatkan rekam medis untuk digunakan pemilihan obat yang tepat.
c. Memantau penggunaan obat apakah efektif, tidak efektif, reaksi yang
berlawanan, keracunan dan jika perlu memberikan saran untuk
memodifikasi pengobatan.
d. Menyediakan bimbingan dan konseling dalam rangka pendidikan kepada
pasien.
e. Menyediakan dan memelihara serta memfasilitasi pengujian pengobatan
bagi pasien penyakit kronis.
f. Berpartisipasi dalam pengelolaan obat-obatan untuk pelayanan gawat
darurat.
g. Pembinaan pelayanan informasi dan pendidikan bagi masyarakat.
h. Partisipasi dalam penilaian penggunaan obat dan audit kesehatan.
i. Menyediakan pendidikan mengenai obat-obatan untuk tenaga kesehatan.

3 | FA R M A S I K L I N I K
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke
pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan
kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi
menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Penggunaan pelayanan
kefarmasian tidak hanya digunakan untuk pelayanan resep tapi juga
untuk pengobatan sendiri (swamedikasi) (Gupta,dkk.,2011).

Sebagai salah satu penyedia layanan kesehatan, apoteker memiliki


peran dan tanggung jawab yang besar pada swamedikasi. Peran dan
tanggung jawab apoteker ini didasarkan pada filosofi Pharmaceutical Care,
yaitu tanggung jawab apoteker dalam hal farmakoterapi dengan tujuan untuk
mencapai keluaran yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
Didasarkan pada filosofi ini, maka tanggung jawab apoteker adalah
mengidentifikasi, memecahkan, dan mencegah terjadinya masalah yang
berhubungan dengan obat (drugrelated problems), sehingga dapat
tercapai keluaran terapi yang optimal (ISFI, 2005)

Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu


sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau
penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan,


kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan pasien atau
masyarakat yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi yang memenuhi standar dan
persyaratan keamanan, mutu dan kemanfaatan (PP 51, 2009).

Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian


berupa:

a. Apotek
b. Instalasi farmasi rumah sakit
c. Puskesmas
d. Klinik

4 | FA R M A S I K L I N I K
e. Toko obat atau
f. Praktek bersama

Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek, rumah sakit dan


Puskesmas bertujuan untuk:

a. meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian;


b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak
rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).

2.2.1. Apotek
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.

Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis


Pakai meliputi:
a. perencanaan;
b. pengadaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan;
e. pemusnahan;
f. pengendalian; dan
g. pencatatan dan pelaporan.

Pelayanan farmasi klinik meliputi :


a. pengkajian Resep;
b. dispensing;
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
d. konseling;
e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);

2.2.2. Rumah sakit


Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.

5 | FA R M A S I K L I N I K
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai meliputi:
a. pemilihan;
b. perencanaan kebutuhan;
c. pengadaan;
d. penerimaan;
e. penyimpanan;
f. pendistribusian;
g. pemusnahan dan penarikan;
h. pengendalian; dan
i. administrasi.

Pelayanan farmasi klinik meliputi:


a. pengkajian dan pelayanan Resep;
b. penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. rekonsiliasi Obat;
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
e. konseling;
f. visite;
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
j. dispensing sediaan steril; dan
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);

2.2.3. Puskesmas
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi standar:
a. pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik

Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi:


a. perencanaan kebutuhan;
b. permintaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan:
e. pendistribusian;
f. pengendalian;
g. pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan; dan
h. pemantauan dan evaluasi pengelolaan.

Pelayanan farmasi klinik meliputi:


a. pengkajian resep, penyerahan Obat, dan pemberian informasi Obat;
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
c. konseling;
d. ronde/visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap);
e. pemantauan dan pelaporan efek samping Obat;

6 | FA R M A S I K L I N I K
f. pemantauan terapi Obat; dan
g. evaluasi penggunaan Obat.

2.3. Kejadian-kejadian kesalahan pengobatan

Kesalahan pengobatan (medication error) didefinisikan secara luas sebagai


kesalahan dalam meresepkan, pembuatan, dan memberikan obat, tanpa
tergantung dengan di mana kesalahan ini menyebabkan konsekuensi yang
merugikan atau tidak. Definisi yang terbaru dari kesalahan pengobatan adalah
kegagalan dalam proses pengobatan yang menyebabkan atau berpotensi
membahayaan pasien, kesalahan pengobatan dapat terjadi pada setiap langkah
pengobatan yang menggunakan proses, dan mungkin atau tidak dapat
menyebabkan ADE atau Adverse Drug Event (William,2007).

Kejadian medication error dibagi dalam 4 fase, yaitu fase prescribing,


fase transcribing, fase dispensing, dan fase administrasion oleh pasien
(Cohen,1991).

1. Prescribing Errors

Medication error pada fase prescribing adalah error yang terjadi pada
fase penulisan resep. Fase ini meliputi:

a. Kesalahan resep
Seleksi obat (didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, alergi yang
diketahui, terapi obat yang ada, dan faktor lain), dosis, bentuk sediaan,
mutu, rute, konsentrasi, kecepatan pemberian, atau instruksi untuk
menggunakan suatu obat yang diorder atau diotorisasi oleh dokter (atau
penulis lain yang sah) yang tidak benar. Seleksi obat yang tidak
benar misalnya seorang pasien dengan infeksi bakteri yang resisten
terhadap obat yang ditulis untuk pasien tersebut.
Resep atau order obat yang tidak terbaca yang menyebabkan kesalahan
yang sampai pada pasien.

b. Kesalahan karena yang tidak diotorisasi

7 | FA R M A S I K L I N I K
Pemberian kepada pasien, obat yang tidak diotorisasi oleh seorang
penulis resep yang sah untuk pasien. Mencakup suatu obat yang keliru, suatu
dosis diberikan kepada pasien yang keliru, obat yang tidak diorder, duplikasi
dosis, dosis diberikan di luar pedoman atau protokol klinik yang telah
ditetapkan, misalnya obat diberikan hanya bila tekanan darah pasien turun di
bawah suatu tingkat tekanan yang ditetapkan sebelumnya.

c. Kesalahan karena dosis tidak benar

Pemberian kepada pasien suatu dosis yang lebih besar atau lebih kecil
dari jumlah yang diorder oleh dokter penulis resep atau pemberian dosis
duplikat kepada pasien, yaitu satu atau lebih unit dosis sebagai tambahan
pada dosis obat yang diorder.

d. Kesalahan karena indikasi tidak diobati

Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat tetapi tidak menerima


suatu obat untuk indikasi tersebut. Misalnya seorang pasien hipertensi
atau glukoma tetapi tidak menggunakan obat untuk masalah ini.

e. Kesalahan karena penggunaan obat yang tidak diperlukan

Pasien menerima suatu obat untuk suatu kondisi medis yang tidak
memerlukan terapi obat

2. Transcription Errors

Pada fase transcribing, kesalahan terjadi pada saat pembacaan resep


untuk proses dispensing, antara lain salah membaca resep karena tulisan yang
tidak jelas. Salah dalam menterjemahkan order pembuatan resep dan
signature juga dapat terjadi pada fase ini.

Jenis kesalahan obat yang termasuk transcription errors, yaitu:

a. Kesalahan karena pemantauan yang keliru

8 | FA R M A S I K L I N I K
Gagal mengkaji suatu regimen tertulis untuk ketepatan dan
pendeteksian masalah, atau gagal menggunakan data klinik atau data
laboratorium untuk pengkajian respon pasien yang memadai terhadap terapi
yang ditulis.

b. Kesalahan karena ROM (Reaksi Obat Merugikan)


Pasien mengalami suatu masalah medis sebagai akibat dari ROM atau efek
samping.
Reaksi diharapkan atau tidak diharapkan, seperti ruam dengan suatu
antibiotik, pasien memerlukan perhatian pelayanan medis.

c. Kesalahan karena interaksi obat

Pasien mengalami masalah medis, sebagai akibat dari interaksi obat-obat,


obat-makanan, atau obat-prosedur laboratorium.

3. Administration Error

Kesalahan pada fase administration adalah kesalahan yang terjadi pada


proses penggunaan obat. Fase ini dapat melibatkan petugas apotek dan
pasien atau keluarganya. Kesalahan yang terjadi misalnya pasien salah
menggunakan supositoria yang seharusnya melalui dubur tapi dimakan
dengan bubur, salah waktu minum obatnya seharusnya 1 jam sebelum
makan tetapi diminum bersama makan.

Jenis kesalahan obat yang termasuk administration errors yaitu :

a. Kesalahan karena lalai memberikan obat

Gagal memberikan satu dosis yang diorder untuk seorang pasien, sebelum
dosis terjadwal berikutnya.

b. Kesalahan karena waktu pemberian yang keliru

Pemberian obat di luar suatu jarak waktu yang ditentukan sebelumnya dari
waktu pemberian obat terjadwal.

9 | FA R M A S I K L I N I K
c. Kesalahan karena teknik pemberian yang keliru
Prosedur yang tidak tepat atau teknik yang tidak benar dalam pemberian
suatu obat.
Kesalahan rute pemberian yang keliru berbeda dengan yang ditulis;
melalui rute yang benar, tetapi tempat yang keliru (misalnya mata kiri
sebagai ganti mata kanan), kesalahan karena kecepatan pemberian yang
keliru.

d. Kesalahan karena tidak patuh

Perilaku pasien yang tidak tepat berkenaan dengan ketaatan pada


suatu regimen obat yang ditulis. Misalnya paling umum tidak patuh
menggunakan terapi obat antihipertensi.

e. Kesalahan karena rute pemberian tidak benar

Pemberian suatu obat melalui rute yang lain dari yang diorder oleh dokter,
juga termasuk dosis yang diberikan melalui rute yang benar, tetapi pada
tempat yang keliru (misalnya mata kiri, seharusnya mata kanan).

f. Kesalahan karena gagal menerima obat

Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat, tetapi untuk alasan


farmasetik, psikologis, sosiologis, atau ekonomis, pasien tidak menerima
atau tidak menggunakan obat.

4. Dispensing Error

Kesalahan pada fase dispensing terjadi pada saat penyiapan hingga


penyerahan resep oleh petugas apotek. Salah satu kemungkinan
terjadinya error adalah salah dalam mengambil obat dari rak
penyimpanan karena ke letaknya. Selain itu, salah dalam menghitung jumlah
tablet yang akan diracik, ataupun salah dalam pemberian informasi.

Jenis kesalahan obat yang termasuk Dispensing errors yaitu :

a. Kesalahan karena bentuk sediaan

10 | F A R M A S I K L I N I K
Pemberian kepada pasien suatu sediaan obat dalam bentuk berbeda
dari yang diorder oleh dokter penulis.
Penggerusan tablet lepas lambat, termasuk kesalahan.

b. Kesalahan karena pembuatan/penyiapan obat yang keliru


Sediaan obat diformulasi atau disiapkan tidak benar sebelum
pemberian. Misalnya, pengenceran yang tidak benar, atau rekonstitusi
suatu sediaan yang tidak benar. Tidak mengocok suspensi.
Mencampur obat-obat yang secara fisik atau kimia inkompatibel.
Penggunaan obat kadaluarsa, tidak melindungi obat terhadap
pemaparan cahaya.

c. Kesalahan karena pemberian obat yang rusak

Pemberian suatu obat yang telah kadaluarsa atau keutuhan fisik atau kimia
bentuk sediaan telah membahayakan. Termasuk obat-obat yang disimpan
secara tidak tepat. masan atau nama obat yang mirip atau dapat pula terjadi
karena berdekatan

Kasus Medication Error

a. Kasus Prescribing error

Tuan Hasan merupakan pasien yang terdaftar sebagai pasien Askes, dia
melakukan kunjungan rutin ke sebuah rumah sakit , pada kunjungan kali ini tn.
Hasan menerima resep dengan diagnosis dislipidemia, osteoartritis, hipertensi,
gerd, cpod dan neuropati. Tn. Hasan menerima obat-obatan sebagai berikut :

R/ Glucosamin 500 3x1 90

Nifedipine 2x1 60

Meloxicam 15 mg 1x1 30

Lansoprazole 30 mg 1x1 7

Neurodex 3x1 90

11 | F A R M A S I K L I N I K
OBH Syrup 2x1 1

Dexanta 3x1 21

Dalam resep tersebut pasien menerima pengobatan yang tidak sesuai


dengan diagnosa yaitu OBH syrup yang seharusnya tidak perlu diberikan.
Terdapat pula pengobatan ganda untuk diagnosis gerd, yaitu lansoprazole
(PPI) dan dexanta (antasida). Terapi untuk gerd diberikan berdasarkan fase
perkembangan gerd, yang dikategorikan dalam beberapa fase, yaitu :

Fase I : Terapi yang dianjurkan adalah dengan merubah gaya hidup


plus antasida, dan atau dosis rendah untuk antagonis reseptor H2
(cimetidin, famotidin, nizatidin, ranitidin).
Fase II : Terapi yang dianjurkan adalah dengan modifikasi pola hidup plus
dosis standar dari antagonis reseptor H2 untuk 6-12 minggu (simetidin 400
mg, famotidin 20 mg, nizatidin 150 mg, ranitidine 150 mg) atau
penghambatpompa proton untuk 4-8 minggu (esomeprazol 20 mg/hari,
lansoprazol 15-30 mg/hari, omeprazole 20 mg/hari, pantoprazol 40
mg/hari, rabeprazol 20 mg/hari). Perubahan gaya hidup plus penghambat
pompa proton untuk 8-16 minggu (esomeprazol 20-40 mg/hari, lansoprazol
30 mg/hari, omeprazole 20 mg/hari, pantoprazol 40 mg/hari, rabeprazol 20
mg/hari) atau antagonis reseptor H2 alam dosis tinggi selama 8-12 minggu (
simetidin 400 mg atau 800 mg, famotidin 40 mg, nizatidin 150 mg, ranitidine
150 mg).
Fase III : Terapi interventional (perasi antirefluks atau terapi endoluminal).

jenis-jenis penggunaan obat yang tidak rasional :

1. Over Prescribing

2. Under Prescribing

3. Incorrect Prescribing

4. Use of ineffective or Harmful drugs

12 | F A R M A S I K L I N I K
5. Polypharmacy

Dalam resep ini terdapat penggunaan obat yang tidak rasional yang
tergolong kedalam Over Prescribing (pengobatan ganda untuk GERD) dan
Incorrect Prescribing (pemberian OBH yang idak sesuai dengan diagnose). Over
Prescribing yaitu menggunakan obat yang tidak diperlukan, dosis terlalu tinggi,
pengobatan terlalu lama, atau jumlah yang diberikan lebih dari yang diperlukan.

Over prescribing juga didefinisikan sebagai pemberian obat baru dan


mahal padahal tersedia obat lama yang lebih murah yang sama efektif dan
sama amannya, pengobatan simptomatik untuk keluhan ringan sehingga dana
untuk penyakit yang berat tersedot, atau penggunaan obat dengan nama
dagang walaupun tersedia obat generik yang sama baiknya.

Incorrect Prescribing yaitu obat yang diberikan untuk diagnosis yang


keliru, obat untuk suatu indikasi tertentu tidak tepat, penyediaan ( di apotek,
rumah sakit) salah, atau tidak disesuaikan dengan kondisi medis, genetic,
lingkungan, faktor lain yang ada pada saat itu.

b. Kasus transcription error

Contoh Kasus Transcription Error:

a. Seorang pasien 70 tahun laki-laki, diketahui hipertensi, diabetes mellitus


tipe2, dan penyakit arteri koroner, dirawat di rumah sakit mengeluh
tidak mampu berjalan selama 3 minggu. Pasien mengonsumsi obat
antidiabetik oral sebelum masuk rumah sakit dan diresepkan obat
antidiabetes lain setelah masuk. Pada review resep oleh apoteker di unit
farmakologi klinis, apoteker menemukan bahwa kedua obat sebelum dan
sesudah masuk rumah sakit mengandung gliklazid, dan bahwa dosis
gabungan dari dua obat yang bisa menempatkan pasien pada peningkatan
risiko hipoglikemia.
b. Mr Smith masuk rumah sakit sehari sebelum operasi. Perintah
pengobatan preoperatif terbaca: Xanax (alprazolam) 10 mg PO hs. Pukul 10

13 | F A R M A S I K L I N I K
malam, perawat yang mencoba untuk memberikan Xanax menemukan bahwa
dia hanya memiliki sepuluh kemasan blister 0,25 mg dosis tunggal tersisa dan
menghubungi farmasi, meminta 7,5 mg Xanax lagi sehingga dia bisa
mematuhi perintah dokter. Farmasi mengirimkan tiga puluh 0,25 mg.
Perawat meminta dua asisten perawat untuk membantunya membuka 40
kemasan blister. Karena mereka membuka kemasan blister dan menempatkan
tablet dalam sebuah wadah, dokter pasien masuk dan bertanya, "Apa yang
kalian lakukan?" "Membuka dosis tunggal unit sehingga kita bisa
memberikan 10 mg dosis Xanax seperti yang Anda perintahkan , "jawab
perawat itu. "Apakah Anda gila?" Tanya dokter, "perintahku 1 mg,
bukan 10 mg."

c. Kasus Administration error

Administration error merupakan salah satu jenis medication error yang


sering terjadi. Sebuah studi retrospektif dilakukan selama 3.5 tahun pada suatu
rumah sakit psikiatrik di UK. Studi yang dilakukan dari 1 oktober 2000 sampai 31
maret 2004 membatasi medication administration error meliputi
penyimpangan resep atau kebijakan yang berkaitan dengan pemberian obat
pada rumah sakit tersebut, termasuk kegagalan dalam pencatatan pemberian
obat. Setiap laporan kejadian dinilai oleh tiga peneliti (konsultan psikiater,
apoteker kepala, dan perawat senior). Dari 123 laporan kesalahan administrasi
yang diterima, 108 (88 %) memenuhi kriteria kesalahan administrasi, 4 yang
lainnya (3 %) dikategorikan mendekati salah. Dengan total 112 kesalahan
(11 laporan tidak dipertimbangkan untuk menggambarkan kesalahan
administrasi). Kesalahan administrasi yang terjadi meliputi

14 | F A R M A S I K L I N I K
Jenis kesalahan administrasi yang paling sering dilaporkan adalah
obat yang tidak tepat, dosis yang tidak tepat dan kelalaian dosis.

Contoh Kasus:

Resep obat larutan KCl oral dipersiapkan dalam jarum suntik untuk
diberikan kepada pasien melalui selang nasogastrik. Pengobatan intavena juga
dipersiapkan dalam bentuk jarum suntik dan dibawa ke sisi tempat tidur pasien
dalam piringan (nampan) yang sama. Dua orang perawat mempersiapkan dan
memeriksa obat untuk pasien ini.

Perawat kedua dipanggil. Perawat mendatangi pasien mulai


memberikan KCl oral yang seharusnya diberikan melalui selang nasogastrik
malah melalui intravena.Akibatnya pasien memerlukan perawatan intensif dan
menghabiskan lima hari di unit perawatn intensif.

d. Kasus Dispensing error

15 | F A R M A S I K L I N I K
Seorang wanita umur 63 tahun datang ke dokter dengan keluhan
bengkak pada lutut bagian kanan, tanpa disertai demam menggigil atau nyeri
hebat pada lututnya. wanita itu memiliki riwayat sebagai penderita penyakit
sendi degeneratif dan paroxysmal atrial fibrillation, dan dia menggunakan
warfarin 7,5 mg/hari. Analisis cairan sendi mengungkapkan jumlah sel darah
putih 7.23 x 103/mm3 dan jumlah eritrosit dari 320/mm3. Tidak ada kristal
terlihat dengan mikroskop birefringent, dan tidak ada organisme yang terlihat
dari hasil test.

Pasien diberi beberapa sampel tablet rofecoxib 25 mg (Vioxx, Merc &


Co., whitehouse Station, NJ) dan dianjurkan untuk menggunakan satu tablet sehati
untuk eksaserbasi akut dari penyakit sendi degeneratif. dia juga diberi resep
untuk vioxx sehingga dia bisa terus menebus obat tersebut. gejala mulai membaik
ketika dia mulai menggunakan obat Vioxx. Tiga hari kemudia dia menebus
resep dari dokter di apotek. dia melihat botol yang diberikan apotek berlabel
rofecoxib, tapi tablet yang diberikan berbeda dari sebelumnya. obat yang
diberikan berwarna biru dan ada tulisan VGR 25 di setiap sisi. kemudian karena
takut salah obat, akhirnya pasien kembali ke apotik untuk mengembalikan obat.
ternyata obat yang diberikan yaitu obat sildenafil sitrat 25 mg (Viagra, Pfizer
Inc, New York, NY). kesalahan pemberian obat telah diperbaiki.

2.4. Dampak terhadap kualitas hidup pasien

Medication errors terjadi sebagai akibat dari kesalahan manusia atau lemahnya
sistem yang ada. Medication error dapat terjadi dalam setiap langkah penyiapan
obat mulai dari proses pemilihan obat, permintaan melalui resep, pembacaan
resep, formulasi obat, penyerahan obat kepada pasien hingga penggunaannya oleh
pasien atau petugas kesehatan.

Menurut laporan dari The Institute of Medicine setiap tahun medical error
menyebabkan kematian pada 44,000-98,000 pasien di Amerika Serikat. Angka
kematian ini jauh lebih besar dari angka kematian yang disebabkan oleh 8
penyebab utama kematian di Amerika. Diperkirakan biaya total yang harus

16 | F A R M A S I K L I N I K
dikeluarkan untuk mengatasi medical error mencapai US$17-29 milyar. Meskipun
prosentase medical error yang disebabkan oleh obat (medication error) pada
pasien rawat jalan tidak diketahui, namun obat merupakan salah satu penyebab
yang umum untuk terjadinya medical error, yaitu sekitar 3.7% dari seluruh
pasien.6,7 Dengan demikian jelaslah bahwa medication error menjadi komponen
yang signifikan untuk terjadinya medical error di rumahsakit-rumahsakit di
Amerika Serikat.

Kejadian medication error di rumah sakit cukup bervariasi, berkisar antara 3-


6.9% untuk pasien rawat inap.6,8-11 Peneliti lain melaporkan angka kejadian
medication error yang lebih besar yaitu 4-17% dari seluruh pasien yang dirawat di
rumahsakit.12-13 Masih dari studi yang sama ditemukan bahwa antibiotika,
analgetika, dan obat-obat kardiovaskuler adalah yang paling sering berkaitan
dengan kejadian medication error. Error yang terjadi akibat kekeliruan instruksi
peresepan mencapai 16.9%.9,14 Satu studi di rumahsakit melaporkan bahwa 11%
medication error terjadi dalam bentuk pharmacy dispensing errors berupa
pemberian obat atau dosis yang keliru. Laporan yang dikompilasi oleh the United
States Pharmacopeia pada tahun 1999 menunjukkan hanya 3% dari 6224
medication errors berakhir dengan kegawatan pada pasien.

Suatu studi yang melibatkan 1116 rumahsakit menemukan kejadian


medication error sebanyak 5,07% yang 0,25% diantaranya berakhir fatal. Dalam
studi tersebut juga dilaporkan bahwa kejadian medication error di rumahsakit
yang tidak memiliki afiliasi ataupun kerjasama dengan sekolah
pendidikan/fakultas farmasi ternyata 72% lebih tinggi dibandingkan dengan
rumahsakit yang memiliki afiliasi dengan fakultas farmasi.

Dari berbagai hasil penelitian terlihat bahwa angka kejadian medication error
cenderung underestimate atau jauh lebih kecil dari sebenarnya terjadi. Hal ini
dapat dipahami mengingat dalam keseharian masalah tersebut sering luput dari
pengamatan karena tidak dikenal, tidak dianggap sebagai suatu kesalahan atau
karena tidak memberikan risiko yang berarti bagi pasien.

17 | F A R M A S I K L I N I K
Dampak dari medication error sangat beragam mulai dari keluhan ringan yang
dialami pasien hingga kejadian serius yang memerlukan perawatan rumahsakit
lebih lama atau bahkan kematian. Di Amerika Serikat medication errors
meningkatkan biaya pelayanan kesehatan sekitar US$1900 per pasien. Laporan
yang ada juga menyebutkan bahwa di antara 90.000 kasus klaim asuransi di AS,
medication error termasuk masalah kedua yang paling sering dan paling mahal
biaya klaimnya. Bidang pediatrik termasuk 6 terbesar di antara 16 spesialisasi lain
yang acap kali menuai klaim atas medication error, yang jumlahnya mencapai
rata-rata $292 136 per kasus.

2.5. Pendapat anda terhadap situasi tersebut

Medication errors adalah kejadian yang dapat merugikan penderita karena


kesalahan oleh petugas kesehatan dalam menangani pasien yang seharusya dapat
dihindari. Kejadian Medication errors ini bisa terjadi pada tahap prescribing,
dispensing dan administration of a drug, namun dalam beberapa sumber
Medication errors bisa terjadi pada tahap drug ordering, transcribing, dispensing,
administering, dan monitoring.

Banyak hal yang menyebabkan masih tingginya angka kejadian Medication


errors, antara lain tidak konsistennya dokter dalam penulisan resep, terdapat
ketidaksamaan penulisan instruksi di catatan medik dan di resep, baik dalam hal
nama obat, bentuk sediaan obat, maupun aturan pakai.

Selain itu kurangnya komunikasi dan kerja sama antara praktisi yang terlibat
dalam pelayanan kesehatan, seperti dokter, perawat dan farmasi atau pasien itu
sendiri salah satu penyebab medication errors. Jika setiap komponen tidak dapat
bekerja sama, tidak berkomunikasi dengan baik, pembagian tugas tidak seimbang,
maka akan menciptakan peluang terjadinya kesalahan, dan kesalahan ini dapat
terjadi dalam pengobatan.

Farmasis memiliki tanggung jawab besar dalam mencegah terjadinya


medication error khususnya dalam hal transcription, prescribing, dispensing,
dan administrasi. Tidak hanya farmasis, pencegahan medication error seharusnya

18 | F A R M A S I K L I N I K
menjadi tanggung jawab bersama baik dokter, perawat maupun petugas
kesehatan lainnya.

Kebijakan dan prosedur pengelolaan, pengendalian, pelayanan yang


memadai serta peningkatan kualitas dan kuantitas SDM menjadi aspek
penting dalam mencegah terjadinya medication errors

BAB III

PENUTUP

19 | F A R M A S I K L I N I K
3.1. Kesimpulan

Persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga


terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan
segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya.

Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung


jawab kepada pasien yang berkitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Kesalahan pengobatan adalah kegagalan dalam proses pengobatan yang


menyebabkan atau berpotensi membahayaan pasien, kesalahan pengobatan
dapat terjadi pada setiap langkah pengobatan yang menggunakan proses, dan
mungkin atau tidak dapat menyebabkan ADE atau Adverse Drug Event.
Kejadian medication error dibagi dalam 4 fase, yaitu fase prescribing, fase
transcribing, fase dispensing, dan fase administrasion oleh pasien.

Dampak dari medication error sangat beragam mulai dari keluhan ringan yang
dialami pasien hingga kejadian serius yang memerlukan perawatan rumah sakit
lebih lama atau bahkan kematian.

Farmasis memiliki tanggung jawab besar dalam mencegah terjadinya


medication error khususnya dalam hal transcription, prescribing, dispensing,
dan administrasi. Tidak hanya farmasis, pencegahan medication error seharusnya
menjadi tanggung jawab bersama baik dokter, perawat maupun petugas
kesehatan lainnya.

Kepustakaan

20 | F A R M A S I K L I N I K
Bahfen, F. (2006). Aspek Legal Layanan Farmasi Komunitas
Konsep Pharmaceutical Care. Majalah Medisina.

Bimo Walgito. (1994). Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta:


Fakultas Psikologi UGM.

Cohen, M.R. (1991). Causes of Medication Error, in: Cohen. M.R., (Ed),
Medication Error, Washington, DC: American Pharmaceutical Association.

Depkes RI, 2009, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang


Pekerjaan Kefarmasian, Departemen Kesehatan RI: Jakarta

ISFI (2004). Standar Kompetensi Farmasis Indonesia. Jakarta: PT. ISFI


Penerbitan.

Jalaludin Rakhmat (2007). Persepsi Dalam Proses Belajar Mengajar.


Jakarta: Rajawali Pers.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 Tentang


Standar Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas, Jakarta, 2014.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tentang


Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek, Jakarta, 2014.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tentang


Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit, Jakarta, 2014.

Sugihartono, dkk (2007), Psikologi Pendidikan, Yogyakarta : UNY Press

Suharman. (2005).Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi.

Williams. (2007). Medication Error. R Coll Physicians Edinb. Vol 37

Aksi kratif mahasiswa


farmasi
21 | F A R M A S I K L I N I K
Mahasiswa farmasi dapat mengadakan
suatu seminar, workshop, atau pelatihan
tentang medication errors atau kesalahan
dalam pengobatan dengan pesertanya
mahasiswa kesehatan seperti dokter,
perawat, dan lainnya agar dalam dunia
kerjanya besok para tenaga kesehatan
tersebut dapat mengatasi kesalahan
kesalahan yang terjadi dalam pengobatan
dan dapat bekerja sama antar tenaga
kesehatan. Pada pelatihannya, di buat
beberapa tim yang mana anggota dari tim
tersebut kumpulan dari mahasiswa
kesehatan yang berbeda beda dan akan
diberikan satu kasus untuk di pecahkan
dan di selesaikan.

22 | F A R M A S I K L I N I K

Anda mungkin juga menyukai