Anda di halaman 1dari 6

Jurnal Veritas Vol. 4 No.

2 Juli- Desember 2010 ISSN 2085-5443

Pertambangan Mangan
dalam Teori Kritis Jrgen Habermas
(Suatu Pembacaan Kritis)

oleh
Sintus Runesi

1. Sekadar Masuk Persoalan


Kurang lebih ada tiga hal yang terkait dengan persoalan pertambangan di wilayah Nusa
Tenggara Timur. Pertama, perubahan pola kerja rakyat kecil dengan ekonomi lemah. Bagi
rakyat kecil, dengan kenyataan bahwa tanah yang selama ini mereka jejaki mengandung
mangan, seolah menjadi solusi terbaik memperoleh segengam uang dengan cara yang sangat
gampang. Pencermatan kontekstual di beberapa tempat menunjukkan bahwa, para petani kita
pun beralih fungsi lahan. Lahan yang seharusnya menjadi tempat pertanian berubah menjadi
lahan eksplorasi bahkan eksploitasi mangan.
Kedua, belum adanya PERDA mengenai pertambangan dan mineral, paling kurang
sampai awal Oktober 2010 ini, seolah menjadi peluang terbaik para pemilik modal
menggolkan kepentingan mereka. Karena mekanisme pasar yang fluktuatif, harga mangan di
pasar local yang sangat kecil dibandingkan harganya di pasar internasional, seolah
mendorong para pemilik modal untuk semakin membungakan bunga uangnya dengan masuk
keluar kampung membeli mangan dengan harga yang sangat murah.
Ketiga, kurang cepatnya pemerintah menghasilkan PERDA tentang mangan seolah
menunjukkan bahwa pemerintah kita kurang pro masyarakat kecil. Pada saat pemerintah
berdebat soal salah tafsir berbagai regulasi seperti Perda Tambang no. 9 thn 2003 yang
merujuk pada UU no. 11 thn 1967, justru tengkulak mangan beroperasi mengumpulkan
mangan. Implementasi regulasi yang lebih berpihak pada pemilik modal seperti penerbitan
IUP, seolah membenarkan sikap pemerintah yang tidak pro orang pinggiran.
Ketiga persoalan ini paling kurang telah melahirkan perbenturan kepentingan
berbagai pihak. Bila dipetakan pihak-pihak yang bersoal, maka ada pihak yang mendukung
pertambangan mangan, ada pihak yang menolak pertambangan, ada pula pihak yang
mengambil keuntungan lewat hirup-pikuk persoalan mangan, dan rakyat biasanya terjebak
dalam pusaran, antara keinginan memperoleh uang dan atau kesalahan karena dituduh
mencuri mangan di tanah sendiri.

2. Mulai dari mana?


Realitas actual dewasa ini ditandai dengan meningkatnya mobilitas sosial, kesadaran cultural
yang lebih luas, dan globalisasi ekonomi. Ketiga gejala tersebut telah mengisolasi asumsi-
asumsi tradisional tentang masyarakat dalam kerangkeng kecurigaan. Artinya asumsi-asumsi
tradisional menjadi asumsi-asumsi yang patut dicurigai terkait dengan aplikasi praktisnya
dalam menjawab kepentingan masyarakat yang telah beranjak meninggalkan karakter
homogenitas menuju, dan berada dalam pusaran pluralitas. Pluralitas menjadi bagian dari
sosialitas masyarakat yang condition sine qua non mesti diterima dan dijadikan bagian dari
bangunan analisis dan konstruksi sosial.
Pada sisi lain meningkatnya komunikasi internasional telah membuat interaksi
antarbudaya dan tradisi menjadi sedemikian kuat menekan, walau masih dihantui kecemasan
akan status ontologis dari kesamaan identitas, keberbedaan identitas dan kepentingan. Sudah
bukan eranya lagi dialog mengenai hak-hak asasi manusia tanpa menyinggung jenis-jenis
manusia yang berbeda dengan akar tradisi yang berbeda pula. Aspek ontologis-epistemologis

1
Jurnal Veritas Vol. 4 No. 2 Juli- Desember 2010 ISSN 2085-5443

yang terkait kategori-kategori dasariah manusia menjadi pertanyaan seiring terpinggirkannya


aspek normatif transcendental manusia dan masyarakat. Pertanyaannya adalah adakah
kerangka normatif yang menghargai pluralitas budaya, pluralitas kepentingan tanpa terjebak
dalam pluralisme? Adakah kerangka normatif bersama yang mampu merangkum semua
perbedaan tanpa kehilangan tujuan ultim kebersamaan yakni bonum commune semua pihak
terutama orang-orang pinggiran.
Dalam konteks masyarakat Nusa Tenggara Timur, kita mengalami bahwa akhir-akhir
ini disibukkan dengan persoalan pertambangan mangan. Pertambangan mangan dibicarakan
di mana-mana, mulai dalam lingkup masyarakat biasa sampai pada lingkup pemerintah.
Terjadi pembicaraan pada ranah tak ilmiah, quasi ilmiah maupun yang sangat ilmiah. Di
media masa khususnya Pos Kupang turut merekam persoalan-persoalan seputar
pertambangan mangan. Terhitung sejak 31 Agustus 2010 3 Oktober 2010, Pos Kupang
sendiri menurunkan 17 berita terkait dengan mangan.
Persoalan mengenai mangan paling kurang melibatkan tiga poros utama penyangga
masyarakat, yakni poros pasar, poros masyarakat umum, dan poros negara dalam hal ini
pemerintah. Di antara ke tiga poros ini ada Kepolisian yang katanya mempunyai tugas
pengamanan. Persoalan-persoalan ini mengakibatkan perbenturan berbagai pihak, yang
berakibat tersisihnya orang-orang pinggiran dari dunia-hidup yang sering mengecewakan
mereka. Maka pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah kerangka normatif manakah yang
dapat memerikan validitas dan legitimasi demi kebaikan bersama masyarakat dengan
kepentingan yang berbeda-beda terkait penambangan mangan? Bagaimanakah dunia-hidup
yang sering mengecewakan, yang secara internal terpilah-pilah, dan yang terpluralisasi oleh
berbagai kepentingan dapat secara sosial diintegrasikan, jika pada saat yang sama resiko
pertikaian bertumbuh, khususnya dalam ruang komunikasi yang terputus dengan nilai-nilai
tradisional?

3. Habermas tentang Kepentingan


Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini baiklah sejenak kita berpaling pada Jurgen Habermas
yang mencoba membangun proyek normatifnya dengan basis Kantianisme dalam aliran
Mashab Kritis Frankfrut. Dengan berdiri di atas realitas masyarakat modern Habermas
menyajikan sebuah bangunan analisis yang diharapkan mampu menghantar masyarakat
modern keluar dari penindasan sosial karena pengaruh tradisi pencerahan, terutama atas nama
rasionalitas modern. Habermas memandang bahwa rasionalitas modern yang diperanakkan
oleh pendekatan idealistic transcendental Kantian, melahirkan penindasan rangkap, pada
ranah teori dan ranah praksis.
Habermas dalam bangunan teori kritisnya bertolak dari apa yang merupakan motor
bagi manusia dalam usaha penentuan diri, pengkreasian diri demi melestarikan
keberadaannya yang disebutnya sebagai kalimat basis dan merupakan persoalan basis. Bagi
Habermas, persoalan basis itu adalah interesse (kepentingan), yang dalam pandangannya
bersifat quasi-transendental. Disebut quasi karena dalam teorinya ada juga unsur-unsur
aposteriorinya, yakni tergantung dari segi realitas. Sedangkan transendental karena terdapat
dalam setiap manusia sebagai pribadi.
Habermas mengungkapkan bahwa kepentingan (interesse) merupakan orientasi dasar
yang berakar pada kemampuan manusia dan menjadi sarana manusia mengembangkan
dirinya. Untuk itu, Habermas mengungkapkan bahwa kepentingan selalu terkait erat dengan
pengetahuan, media sosial, dan ilmu-ilmu. Ilmu-ilmu yang di dalamnya terkandung
pengetahuan tentang suatu realitas harus bisa direalisasikan via media tertentu demi mencapai
tujuan yang merupakan kepentingan pihak yang menggunakan ilmu terkait.
Habermas dalam usaha memahami kaitan antara ketiga aspek tersebut, selalu
menekankan pentingnya memerhatikan dua hal utama dalam ilmu-ilmu, yakni perkembangan

2
Jurnal Veritas Vol. 4 No. 2 Juli- Desember 2010 ISSN 2085-5443

ilmu terkait dan penggunaannya dalam praksis. Yang pertama adalah lingkungan atau
keperluan dasar yang mendorong manusia mengembangkan ilmu yang bersangkutan. Yang
kedua menyangkut manfaat yang mau dicapai lewat ilmu tersebut. Habermas
mengungkapkan bahwa kegunaan suatu ilmu secara hakiki berhubungan dengan
lingkungannya. Lingkungan menentukan lingkup penggunaan ilmu yang bersangkutan.
Habermas membedakan tiga macam ilmu pengetahuan yaitu:
1. Ilmu pengetahuan yang terkait dengan kepentingan empiris-analitis. Ilmu-ilmu yang lahir
dari dorongan untuk menguasai alam fisis yang bersifat nomologis deterministis. Media
yang digunakan dalam ilmu-ilmu ini adalah pekerjaan. Kelompok ilmu ini
mengorganisasikan pengalaman kita dalam rangka kebutuhan akan penguasaan alam.
2. Ilmu pengetahuan yang terkait dengan kepentingan historis-hermeneutis. Kelompok ilmu
ini berakar dalam dorongan manusia untuk memahami keunikan aktus manusia. Dan untuk
mencapai makna tentang manusia, media yang pantas untuk digunakan ialah bahasa atau
interaksi sosial. Yang mau dicapai lewat ilmu-ilmu ini adalah perluasan intersubjektivitas
saling pengertian, atau komunikasi, menuju tindakan bersama.
3. Ilmu pengetahuan yang terkait dengan kepentingan kritis-refleksi. Kelompok ilmu ini
berakar dari dorongan manusia membebaskan diri dari ideologi yang menindas, mencapai
pembebasan atau emansipasi. Media yang digunakan adalah kekuasaan dalam hal ini
hubungan asimetris antara paksaan dan ketergantungan. Melalui refleksi-refleksi kristis
atas kondisi-kondisi historis manusia, diharapkan mampu membebaskan manusia dari
penindasan-penindasan yang tak disadari.
Hal terpenting dari pembedaan atas ilmu-ilmu di atas menghantarnya pada refleksi
yang lebih mendalam mengenai bahasa dan komunikasi sebagai prasyarat perwujudan pola
kehidupan masyarakat yang emansipatoris.
Bahasa dan komunikasi yang menjadi prasyarat tersebut mampu teraktualisasi hanya
dalam dunia-hidup. Dunia-hidup oleh Habermas dipahami sebagai wilayah hubungan
manusia yang terbangun lewat komunikasi dengan bahasa tertentu. Dengan komunikasi yang
bebas memungkinkan suatu rasionalisasi atas hidup manusia dalam dunia-hidup. Komunikasi
yang bebas dan terbuka akan membawa partisipan dalam suatu consensus bersama yang
diterima dan dipahami lewat pergulatan argumentasi partisipan.
Lewat proses argumentasi, di mana partisipan dalam suatu alur komunikasi yang imun
terhadap tekanan dapat secara kritis mengkaji suatu klaim hipotetis atas validitas. Pengkajian
itu melewati tiga tahap yaitu tahap logika, tahap proses dialektis dan tahap proses retoris.
Proses pada logika menuntut seorang partisipan menyingkirkan kontradiksi-kontradiksi
dalam dirinya dengan pengungkapan makna yang konsisten. Pada tahap proses dialektis,
seorang partisipan dituntut untuk memandang persoalan dari sudut pandang tertentu yang
memungkinkan penilaian objektif terhadap masalah yang terjadi. Akhirnya dalam tahap yang
ketiga, partisipan diandaikan bebas dari tekanan dan ketidaksetaraan. Melalui ketiga tahap ini
partisipan yang terlibat dalam komunikasi tersebut mampu membaca persoalan kebenaran,
keadilan dan rasa secara objektif, sosial dan subjektif. Dengan itu diharapkan seorang
individu dalam konteks yang bersangkutan mencapai suatu perspektif yang bebas dari
kepentingan subjektif tertentu.

4. Bahasa dan Komunikasi


Dalam elaborasi lebih lanjut, Habermas membedakan antara pekerjaan dan komunikasi
yang menghantarnya pada pembedaan antara kerangka institusionalisasi sebuah sistem sosial
dan subsistem-subsistem tindakan rasional-sasaran yang termuat di dalamnya. Keduanya
dibangun melalui tindakan sosial yang dapat bersifat komunikatif atau instrumental.
Bertolak dari pembedaan antara tindakan komunikatif dan tindakan instrumental,
Habermas lebih lanjut membedakan secara rinci antara tindakan rasional-sasaran dan

3
Jurnal Veritas Vol. 4 No. 2 Juli- Desember 2010 ISSN 2085-5443

tindakan komunikatif. Yang pertama mengenai penguasaan atas dunia objek atau alam
dengan sasarannya adalah hasil yang diinginkan. Tindakan rasional-sasaran ini masih dibagi
lagi dalam dua yaitu tindakan instrumental yang terarah pada perbuatan terhadap alam dalam
hal ini menyangkut pekerjaan dan tindakan strategic yang bertujuan memanipulasi manusia.
Tindakan komunikatif dibagi dalam dua bagian yakni komunikasi dan diskursus.
Komunikasi dianggap sekadar pembicaraan spontan tanpa tujuan yang mau dicapai, atau
dengan kata lain hanya sekadar berbicara mengisi waktu luang. Sedangkan diskursus
merupakan pembicaraan yang bertujuan menemukan suatu jalan keluar secara benar atau
betul dan pasti dari suatu persoalan yang dibicarakan dalam komunikasi. Diskursus secara
refleksif mau memastikan kebenaran dari suatu pembicaraan yang spontan.
Tindakan kunci dari suatu usaha membangun masyarakat adalah komunikasi. Diskursus
mengandaikan adanya komunikasi. Tindakan strategis pun mengandaikan komunikasi. Begitu
pun pekerjaan mengandaikan komunikasi, karena dari hakikatnya manusia selalu bekerja
sama. Agar mampu bekerja sama, manusia memerlukan koordinasi, dan komunikasi itu dapat
terjadi hanya mungkin lewat komunikasi verbal yang menghasilkan kesalingpengertianan.
Suatu komunikasi verbal akan berhasil bila tindakan komunikasi dalam bahasa itu
memenuhi empat norma dasar. Komunikasi verbal itu : (1) harus jelas, artinya orang harus
dapat mengungkapkan secara jelas apa yang dimaksudkannya, (2) harus benar, artinya
mengungkapkan apa yang memang mau diungkapkan, (3) harus jujur, artinya dalam
pembicaraan itu harus jauh dari kebohongan, dan (4) harus betul, artinya sesuai dengan
norma-norma yang yang diandaikan bersama secara objektif, sosial dan subjektif.
Dengan bertolak dari perhatian Habermas atas implikasi bahasa dalam suatu tindakan,
kita dapat bertolak kepada pertanyaan bagaimana perubahan sosial masyarakat Nusa
Tenggara Timur terkait dengan pertambangan mangan? Untuk menjawab pertanyaan ini kita
perlu pertama-tama memahami menurut Habermas bagaimana perubahan sosial dapat terjadi.

5. Tambang Mangan dan Perubahan Sosial


Menurut Habermas perkembangan masyarakat selalu berada dalam hubungan dialektis antara
proses kognitif-teknis dan moral-komunikatif. Bagi Habermas, masyarakat yang berkembang
hanya dengan mendasarkan diri pada dimensi kognitif-teknis tidak akan mengubah sistem
yang melingkupi dunia-hidup manusia. Sebab, dimensi kognitif-teknis hanya akan
memperkuat kerangka institusional yang telah ada. Dimensi kognitif-teknis hanya akan
memperkuat kedudukan orang kuat dan semakin melemahkan posisi orang-orang pinggiran.
Baru apabila masyarakat berusaha mengembangkan dimensi komunikasi secara jelas, benar,
jujur dan tepat dalam bingkai cakupan pandangan moral, misalnya hubungan kerja disadari
sebagai diskriminatif, jadi secara moral tidak benar, tatanan institusional akan diubah; dan
dengan demikian potensi baru yang tercakup dalam berbagai ketrampilan teknologi baru yang
sudah dipelajari dapat menjadi efektif dan menghasilkan perubahan dalam cara suatu
masyarakat berproduksi.
Membaca persoalan tambang mangan dalam perspektif Habermas, kita mengikuti
pembedaannya terhadap logika perkembangan dan dinamika perkembangan. Logika
perkembangan menentukan kemajuan-kemajuan mana yang mungkin tercapai dalam dimensi
rasionalitas. Sedangkan dinamika perkembangan menyangkut pertanyaan: apakah suatu
perubahan memang akan terjadi? Atau dengan kata lain apakah masyarakat mengalami
perubahan secara mendalam ke arah yang lebih baik tidak bisa dipastikan. Kalau terjadi
perubahan, maka pertanyaan lanjut adalah pada level masyarakat macam manakah perubahan
ini terjadi? Pada level rakyat besar ataukah level rakyat kecil?
Membaca tambang mangan dalam bingkai logika perkembangan, kita menemukan
bahwa dalam konteks Nusa Tenggara Timur, saat ini, pemerintah kita menangani masalah
masyarakat dengan pendekatan nomologis terhadap bidang sosial masyarakat. Kemiskinan

4
Jurnal Veritas Vol. 4 No. 2 Juli- Desember 2010 ISSN 2085-5443

sebagai situasi dasariah sebagian besar masyarakat mau diselesaikan dengan pendekatan
rasionalitas sasaran yang didukung oleh ilmu-ilmu empiris-analitis. Misalnya pendirian
pabrik pencucian mangan dengan alasan akan terjadi perubahan hidup masyarakat.
Pemecahan itu sendiri menjadi ideologis karena menangani proses komunikasi yang
menyertai kebijakan tersebut menurut pola kekuasaan. Ketika sebagian masyarakat mencoba
mempertanyakan kebijakan yang diambil, pemerintah justru semakin berani mengambil
keputusan dengan alasan yang sangat utilitaristis.
Kebijakan yang ideologis itu lahir karena faktor rasionalitas masyarakat dalam hal ini
rakyat kecil yang sangat rendah. Hal ini terutama dipicu oleh kenyataan bahwa pengetahuan
rakyat kecil sangat minim. Karena itu, penindasan ideologis ini menimpa mereka dari dua
arah sekaligus. Pada level praksis dan level teori. Dari satu sisi, pada level praksis yang
nampak melalui system, dalam hal ini kerangka institusional yang dengan watak
rasionalitasnya telah memeroleh pengaruh yang menguasai dunia-hidup. Pada sisi lain,
penindasan itu terjadi lewat pengetahuan. Pengetahuan adalah kekuasaan. Rakyat kecil
dengan pengetahuan yang minim, dapat dengan mudah diperdayai dengan bahasa yang
kelihatannya jelas, benar, jujur dan betul.
Pada titik ini, pemilik modal dengan tindakan strategis melalui instrumental
knowledge dapat dengan mudah memobilisasi masyarakat untuk menambang mangan.
Dengan itu para pemilik modal dapat meraup keuntungan yang sebesar-besarnya, dan
masyarakat tidak menyadari kerugian yang mereka ciptakan bagi diri mereka.
Dengan penindasan yang terjadi seperti ini, dinamika perkembangan masyarakat yang
tergantung secara mutlak dari pengalaman-pengalaman kontingen tidak dapat dipastikan baik
secara apriori maupun secara aposteriori. Sebab semua yang mendukung kemajuan rakyat
kecil tidak terpenuhi di sini, terutama menyangkut rasionalitas komunikatif tidak berjalan
secara efektif.

6. Catatan akhir
Klaim pemerintah bahwa pertambangan memungkinkan perubahan hidup masyarakat ke arah
yang lebih baik tidak dapat sepenuhnya diterima. Pemeritah mengungkapkan bahwa rakyat
akan semakin sejahtera, dan pendapatan asli daerah (PAD) akan meningkat dengan adanya
penambangan. Bila dikritisi menurut pandangan Habermas, kebijakan pemerintah ini tidak
memenuhi kriterium bagi perkembangan suatu kelompok masyarakat. Sebab kebijakan
pemerintah tersebut kontradiktif dengan situasi sosial masyarakat kita. Kontradiksi itu
nampak dari formasi dasar masyarakat kita yang kapitalistik-feodal yang terbangun dari
individu dan kelompok-kelompok yang saling bertentangan menyangkut kepentingan
masing-masing.
Menurut Habermas, perubahan sosial masyarakat hanya akan terjadi bila tindakan
komunikatif dalam hal ini diskursus menjadi jembatan yang menghubungkan kepentingan
rakyat kecil dengan sistem yang sering menindas. Namun, hal itu menjadi aporia. Menjadi
jalan buntu bagi kita. Konteks masyarakat Nusa Tenggara Timur yang kapitalistik-feodal,
tidak memungkinkan tindakan komunikatif yang efektif sebagaimana diharapkan Habermas.
Tindakan komunikatif itu sendiri menjadi bumerang bagi rakyat kecil. Bagi kebanyakan
masyarakat kita, terutama rakyat kecil, pernyataan dan perkataan pemimpin adalah kebenaran.
Masyarakat tidak lagi akan berpikir kritis ketika pemerintah dengan memboncengi adat dan
atau pendekatan kekeluargaan meminta mereka untuk bekerja sama.
Di sini, kita boleh mengungkapkan bahwa belum adanya suatu kerangka normatif
yang mampu merangkum pluralitas kepentingan masyarakat seharusnya menjadi alarm bagi
kita untuk sementara menghentikan semua kegiatan penambangan. Sebab kerangka normatif
sebuah masyarakat demokratis diukur dari universalitas acuan legitimasinya. Acauan
legitimasi itu hanya dianggap legitim apabila disepakati dalam diskursus di mana semua yang

5
Jurnal Veritas Vol. 4 No. 2 Juli- Desember 2010 ISSN 2085-5443

bersangkutan ikut serta dengan bebas. Diskursus bersama mengenai tambang mangan yang
terlaksana selama ini hanya melibatkan pemerintah dan mereka yang mendukung dengan
pihak yang merasa perlu berjuang bagi masyarakat dan lingkungan hidup.
Pandangan Habermas membawa implikasi bahwa proses penambangan mangan yang
didasarkan pada prinsip legitimasi yang tidak diakui semua warga tidak memiliki legitimasi
etis. Dalam masyakarat yang secara prinsip pluralis, kerangka normatif terkait penambangan
mangan yang mengikat kehidupan bersama harus berdasarkan pada kesepakatan bersama
yang dicapai dalam komunikasi yang tidak didistorsikan oleh pelbagai tekanan pihak-pihak
yang lebih kuasa (mekanisme pasar di mana pemerintah pun tunduk di bawahnya). Dalam
bahasa Habermas: prosedur-prosedur dan prasyarat-prasyarat pencapaian kesepakatan
rasional sendiri menjadi prinsip.

Daftar Bacaan:
Frans Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta, Kanisius, 199214
----------, Pijar-pijar Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 2005
Sindung Tjahyadi, Teori-teori Jrgen Habermas: Asumsi-asumsi Dasar Menuju Metodologi
Kritik Sosial, artikel pdf, yang diunduh dari
http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/view/25/21
Uwe Steinhof, The Philosophy of Jrgen Habermas, A Critical Introduction, Oxford, Oxford
University Press 2009 yang diunduh dari
http://www.ebook3000.com/The-Philosophy-of-Jrgen-Habermas-A-Critical-
Introduction-47267.html

Anda mungkin juga menyukai