Oleh :
Kelompok 2
Ahmad Syaifullah 1414051005
Cendy Damayanti 1414051014
Desti Silviana 1414051024
Indah Putri Asih 1414051047
Indrajati 1414051048
Proses pengawetan bahan pangan merupakan proses yang sangat penting dalam
kehidupan manusia sejak zaman dahulu hingga sekarang ini. Manusia menciptkan
proses - proses untuk lebih meningkatkan daya simpan suatu bahan pangan
tersebut. Proses-proses tersebut membuat makanan menjadi lebih lunak, lebih
enak, dan bahkan lebih awet. Pemberian suhu tinggi pada pengolahan dan
pengawetan pangan didasarkan kepada kenyataan bahwa pemberian panas yang
cukup dapat membunuh sebagian besar mikroba dan menginaktifkan enzim,
menghilangkan kotoran. Salah satu proses pengolahan dan pengawetan bahan
pangan adalah blansing (Tjahjadi, 2011).
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui karakteristik bahan hasil
pertanian (kontrol dan blansing) dan dibuat ke dalam kurva hasil pengamatan.
II. METODELOGI PERCOBAAN
Praktikum ini dilaksanakan pada hari selasa, 11 April 2017 pukul 10.00-12.00
WIB di Laboratorium Pati Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung.
Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah waterbath, pisau, pompa
vakum dan oven. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah buah salak,
buah apel, buah nanas, kacang panjang, bayam dan daun singkong.
2.3 Diagram Alir
Prosedur percobaan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu sebagai berikut :
Proses pembuangan
Blansing sampel pada udara dalam kemasan
suhu 800C selama 3 plastik menggunakan
menit pompa vacum
Proses pembuangan
udara dalam kemasan
plastik menggunakan
pompa vakum
Pengamatan sampel
selama 3 hari dan dibuat
kurva hasil pengamatan
3.2 Pembahasan
Kekurangan blansing adalah hilangnya zat gizi yang sensitif terhadap pemanasan
(zat gizi yang sensitif terhadap pemanasan akan larut pada proses blansing yang
dilakukan dengan metode perebusan). Proses blansing dibutuhkan jika terdapat
waktu tunggu sebelum perlakuan panas pada proses pengeringan atau
pengalengan dilakukan. Proses blansing juga diperlukan jika tidak terdapat
perlakuan panas pada produk selama pengolahan seperti pada pembekuan. Tetapi
blanching juga memiliki beberapa kerugian diantaranya adalah:
1. Kehilangan zat-zat gizi yang bersifat larut di dalam air maupun peka terhadap
panas,
2. Pada bahan kandungan pati yang akan dikeringkan akan mengalami gelatinisasi
pati sehingga proses pengeringan akan terhambat.
Untuk mengurangi kerugian yang diakibatkan dalam proses blanching adalah
dengan keseragaman perlakuan panas pada bahan dan penekanan kehilangan
komponen-komponen bahan. Blanching dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu
blanching dengan air panas (Hot Water Blanching), blanching dengan uap air
(Steam Blanching) dan blanching dengan mikrowave. Tetapi dalam praktikum kali
ini hanya menggunakan satu cara, yaitu blanching dengan air panas (Hot Water
Blanching). Cara ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Tetapi pada umumnya
yang lebih sering digunakan adalah blanching dengan uap panas (Steam
Blanching) karena dengan cara ini lebih sedikit kehilangan air untuk bahan yang
mudah larut dalam air (Desroiser, 1988).
1. Blansing dengan menggunakan air panas (Hot Water Blanching). Pada
cara ini bahan kontak langsung dengan air panas sehingga bahan akan
banyak kehilangan komponen-komponen yang bersifat larut dalam air dan
mengalami tingkat kerusakan yang paling tinggi.
2. Blansing dengan menggunakan uap (Steam Blanching). Merupakan
blanhing dengan uap air yang menggunakan uap air jenuh pada tekanan
rendah (150 kN/m2). Kelebihannya kehilangan komponen yang bersifat
larut dalam air lebih sedikit tetapi efek pembersihanya juga rendah serta
tingkat kerusakanya relatif rendah.
3. Blansing dengan mikrowave. Cara ini dilakukan dengan menaruh bahan
dan didiamkan dalam mikrowave. Dengan keadaan bahan yang dikemas
dalam wadah tipis (film bag). Kelebihan dari cara ini adalah dapat
menurunkan kandungan mikroba dan sedikit kehilangan nutrisi, tetapi cara
ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Dari hasil percobaan yang dilakukan dengan cara Hot Water Blanching
hasilnya secara keseluruhan bahan menjadi lunak. Hal ini bisa terjadi
karena seperti penjelasan sebelumnya, sebagaian besar air masuk kedalam
bahan yang akan menyebabkan ikatan antar partikel akan lemah. Ikatan
antar partikel yang lemah inilah yang dapat membuat tekstur bahan (apel,
kacang panjang, nanas, salak, daun singkong, dan bayam) menjadi lebih
lunak dari sebelum dilakukan blansing.
3. Pengaruh Blanching terhadap Rasio Pengkerutan
Untuk tingkat pengkerutan yang terjadi pada bahan diakibatkan karena
kadar air dalam bahan berkurang akibat adanya pemanasan. Semakin
banyak kadar air yang hilang dalam bahan maka tingkat pengkerutan akan
semakin besar. Menurut teori semakin lama rasio pengkerutan akan
semakin rendah, hal ini dikarenakan bahan menyerap air dari lingkungan
sehingga volume dari bahan meningkat dan rasio pengkerutan akan
menurun. Pada hasil percobaan praktikum terhadap beberapa buah dan
sayur rasio pengkerutan meningkat. Apabila dibandingkan dengan yang
segar maka akan terlihat bahwa buah dan sayur yang dilakukan blansing
sudah tidak tegar lagi atau mengalami pengkerutan. Ukuran dari buah dan
sayur yang diblansing juga semakin kecil karena adanya pengurangan
kadar air dari bahan.
4. Pengaruh Blanching terhadap Warna
Proses blansing juga dapat memperbaiki warna maupun mempertahankan
warna. Bahan menjadi terlihat seperti lebih menarik dan segar, tetapi jika
waktu yang digunakan berlebihan warna pada bahan akan pudar.
Perubahan warna akan semakin pudar karena pigmen yang terkandung
dalam bahan akan rusak. Terutama untuk Hot Water Blanching bahan
dapat kehilangan komponen yang bersifat larut dalam air dan peka
terhadap panas termasuk pigmen yang terkandung dalam bahan. Pada
percobaan yang dilakukan dengan cara Hot Water Blanching, hasil yang
didapatkan yaitu pada buah-buahan mengalami browning atau kecoklatan
pada permukaan bahan. Hal ini terjadi karena enzim yang terdapat
didalamnya belum sepenuhnya terinaktifasi secara sempurna sehingga
ketika dikeluarkan dari proses blansing tersebut buah-buahan menjadi
browning tidak seperti yang segar masih berwarna pada umumnya. Pada
proses blansing pada sayuran, hasilnya sayuran berwarna hijau kecoklatan,
hal ini terjadi karena klorofil yang terkandung pada bahan larut dalam air
dan sensitif terhadap panas.
Beberapa perubahan yang terjadi pada saat sesudah proses Blanching, yaitu:
Banyaknya kandungan gizi yang hilang khususnya yang mudah larut
dalam air, seperti gula, vitamin dan lain-lain.
Hilangnya komponen bahan yang tidak tahan panas dan mudah
teroksidasi, seperti vitamin A dan C.
Adanya perubahan pada warna dan hilangnya pigmen klorofil.
Bahan menjadi rusak (lunak) dan volume bahan mengecil.
Cara melakukan blansing ialah dengan merendam dalam air panas (merebus) atau
dengan uap air (mengukus atau dinamakan juga steam blanching). Merebus
yaitu memasukkan bahan ke dalam panci yang berisi air mendidih.Sayur-sayuran
atau buah-buahan yang akan diblansing dimasukkan ke dalam keranjang kawat,
kemudian dimasukkan ke dalam panci dengan suhu blansing biasanya mncapai
8283C selama 35 menit. Setelah blansing cukup waktunya, kemudian
keranjang kawat diangkat dari panci dan cepat-cepat didinginkan dengan
air.Pengukusan tidak dianjurkan untuk sayur-sayuran hijau, karena warna bahan
akan menjadi kusam. Caranya ialah dengan mengisikan bahan ke dalam keranjang
kawat, kemudian dimasukkan ke dalam dandang yang berisi air mendidih.
Dandang ditutup dan langkah selanjutnya sama dengan cara perebusan
(Pratiningsih, Y. 1999).
Pada hasil percobaan dan terlihat pada tabel, hasil dari dilakukannya blansing
tidak sesuai dengan teori ataupun referensi. Pada buah dan sayur yang dilakukan
blansing kemudian di bungkus vakum, semuanya mengalami kerusakan. Tidak
seperti pada buah dan sayur segar yang tidak dilakukan blansing yang kemudian
dibungkus vakum. Buah dan sayur yang tidak dilakukan blansing cenderung lebih
tahan lama dibandingkan dengan sayur dan buah yang dilakukan blansing. Buah
dan sayur yang dilakukan blansing cenderung tidak mempertahankan
kesegarannya dan mempercepat kerusakan. Hal ini mungkin saja terjadi karena
adanya kesalahan yang dilakukan oleh praktikan. Kesalahan-kesalahan tersebut
seperti melakukan blansing dengan waktu yang cukup lama, melakukan penirisan
pada bahan yang dapat menyebabkan bahan kontak langsung dengan udara
sehingga terjadi proses browning pada permukaan, proses blansing yang tidak
sempurna, air yang digunakan tidak bersih, dan penyebab-penyebab lainnya yang
dapat berpengaruh pada kerusakan pada buah dan sayur.
IV. KESIMPULAN
2. Secara keseluruhan aroma yang timbul pada buah dan sayur yang dilakukan
blansing cenderung lebih busuk dari buah dan sayur yang tidak dilakukan
blansing.
3. Pada parameter warna yang dihasilkan pada buah dan sayur yang dilakukan
blansing cenderung berwarna atau ke arah kecoklatan dari pada buah dan sayur
yang tidak dilakukan blansing.
4. Tingkat kecoklatan atau browning pada buah menunjukkan bahwa pada buah
yang dilakukan blansing lebih mudah bereaksi browning yang terlihat pada
data buah yang mudah mengalami browning. Tetapi tidak pada nanas yang
semakin cerah setelah di blansing.
DAFTAR PUSTAKA
Desroiser. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.