KEL 8 - PPD Pekembangan Moral Piaget
KEL 8 - PPD Pekembangan Moral Piaget
Dosen pengampu:
Oleh:
PROGRAM PASCASARJANA
2017
KATA PENGANTAR
1
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rakhmatNya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Perkembangan Moral Piaget dengan tepat waktu.
Proposal ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah
Perkembangan Peserta Didik dengan dosen pengampu Dr. Awalya, M. Pd.,
Kons. Makalah ini jauh dari sempurna, kami sebagai penulis menyadari itu.
Terlepas dari hal itu, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan bagi penulis sendiri.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
1
membentuk dan mengembangkan nilai, sikap dan moral dari generasi
sebelumnya kepada
2
generasi berikutnya. Adapun moral sama dengan etika, atau kesusilaan yang diciptakan oleh
akal, adat dan agama, yang memberikan norma tentang bagaimana kita harus hidup.
Nilai moral pada dasarnya adalah mengupayakan anak mempunyai kesadaran dan
berprilaku taat moral yang secara otonom berasal dari dalam diri sendiri. Dasar otonomi
nilai moral adalah identifikasi dan orientasi diri. Pola hidup keluarga (ayah dan Ibu )
merupakan model Ideal bagi peniruan dan pengindentifikasian perilaku dirinya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan
dapat dirumusakan sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep dasar perkembangan moral ?
2. Bagaimana pola perkembangan moral ?
3. Bagaimana teori perkembangan moral menurut Piaget ?
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tentang konsep dasar perkembangan moral.
2. Untuk mengetahui tentang pola perkembangan moral.
3. Untuk mengetahui tentang teori perkembangan moral menurut Piaget.
BAB II
3
KAJIAN PUSTAKA
4
1. Bagaimana seseorang mempertimbangkan dan berpikir mengenai
keputusan moral?
2. Bagaiman sesungguhnya seseorang berperilaku dalam situasi moral?
3. Bagaimana seseorang merasakan hal-hal yang berhubungan dengan moral?
4. Apa yang menjadi karakteristik moral individu?
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Anak
memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama orang tua. Dia belajar untuk
mengenal nilai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam
mengembangkan moral anak, peran orang tua sangat penting terutama ketika anak masih
kecil. Beberapa sikap orang tua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan
moral anak sebagai berikut :
1. Konsisten dalam mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau
memperbolehkan tingkah laku tertentu kepada anak.
2. Sikap orang tua dalam keluarga
Secara tidak langsung sikap orang tua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau
sebaliknya dapat mempengaruhi perkembangan moral anak yaitu melalui proses peniruan
(imitasi). Sikap orang tua yang otoriter cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada
anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orang tua adalah sikap kasih sayang,
keterbukaan, musyawarah, dan konsisten.
3. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orang tua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk disini panutan dalam
mengamalkan ajaran agama. Orang tua yang menciptakan iklim yang religious dengan
member bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak maka anak akan mengalami
perkembangan moral yang baik.
4. Sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma
Orang tua yang tidak menghendaki anaknya berbohong maka mereka harus menjauhkan
dirinya dari perilaku berbohong. Apabila orang tua mengajarkan kepada anak agar
berperilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggung jawab atau taat beragama tetapi
orang tua sendiri menampilkan perilaku sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik
pada dirinya, bahkan mungkin dia akan berperilaku seperti orang tuanya.
5
1. bayi yang baru lahir tidak membawa aspek moral sehingga dianggap amoral atau non
moral
2. aspek moral merupakan sesuatu yang berkembang dan dikembangkan ( teori psikoanalisa
dan teori belajar )
Menurut teori psikoanalisa perkembangan moral adalah proses
internalisasi norma- norma masyarakat dan kematangan organik biologik.
Seseorang telah mengembangkan aspek moral bila telah
menginternalisasikan aturan aturan atau kaidah kaidah kehidupan di
dalam masyarakat dan dapat mengaktualisasikan dalam perilaku yang
terus menerus atau dengan kata lain telah menetap. Sedangkan menurut
teori psikologi belajar, perkembangan moral dipandang sebagai hasil
rangkaian stimulus respons yang dipelajari oleh anak, antara lain berupa
hukuman dan hadiah yang sering dialami oleh anak. Konsep dari kedua
teori ini adalah bahwa seseorang telah mengalami perkembangan moral
apabila ia memperlihatkan adanya perilaku yang sesuai dengan aturan
aturan yang ada didalam masyarakatnya. dengan kata lain
perkembangan moral berkorelasi dengan kemampuan penyesuaian diri
individu
Pada usia Taman Kanak-kanak, anak telah memiliki pola moral yang harus dilihat
dan dipelajari dalam rangka pengembangan moralitasnya. Orientasi moral diidentifikasikan
dengan moral position atau ketetapan hati, yaitu sesuatu yang dimiliki seseorang terhadap
suatu nilai moral yang didasari oleh aspek motivasi kognitif dan aspek motivasi afektif.
Moralitas anak Taman Kanak-kanak dan perkembangannya dalam tatanan kehidupan dunia
mereka dapat dilihat dari sikap dan cara berhubungan dengan orang lain (sosialisasi), cara
berpakaian dan berpenampilan, serta sikap dan kebiasaan makan. Demikian pula, sikap dan
perilaku anak dapat memperlancar hubungannya dengan orang lain. Perkembangan moral
dan etika pada diri anak Taman Kanak-kanak dapat diarahkan pada pengenalan kehidupan
pribadi anak dalam kaitannya dengan orang lain. Misalnya, mengenalkan dan menghargai
perbedaan di lingkungan tempat anak hidup, mengenalkan peran gender dengan orang lain,
serta mengembangkan kesadaran anak akan hak dan tanggung jawabnya, serta
mengembangkan keterampilan afektif anak itu sendiri, yaitu keterampilan utama untuk
6
merespon orang lain dan pengalaman-pengalaman barunya, serta memunculkan perbedaan-
perbedaan dalam kehidupan teman disekitarnya. Ruang lingkup tahapan/pola perkembangan
moral anak di antaranya adalah tahapan kejiwaan manusia dalam menginternalisasikan nilai
moral kepada dirinya sendiri, mempersonalisasikan dan mengembangkannya dalam
pembentukan pribadi yang mempunyai prinsip, serta dalam mematuhi,
melaksanakan/menentukan pilihan, menyikapi/menilai, atau melakukan tindakan nilai moral.
Pola perkembangan moral secara umum dari anak-anak hingga remaja, adalah :
Tahap dasar
Anak-anak dari lahir hingga usia 2-3 tahun mulai belajar mengenai benar dan salah dari
orang tua mereka, terutama dari modelling (mengambil seseorang sebagai contoh atau
model untuk ditiru perilakunya ). Orangtua yang sering berdialog dengan anak-anak
mereka, memberikan contohatau model perilaku moral yang baik, mendorong perilaku
anak-anak yang positif, dan menggunakan hukuman-hukuman ringan jika diperlukan,
biasanya memberikan anak-anak arahan awal yang baik bagi perkembangan moralnya.
Tahap kanak-kanak awal
Fase berikutnya (3-6 tahun ) menggambarkan kematangan pertumbuhan kognitif anak
dan kemampuan yang semakin berkembang untuk memutuskan antara yang benar dan
yang salah. Mereka mulai berinteraksi dengan berbagai figur otoritas selain orangtua
mereka, misalnya guru.
Tahap kanak-kanak madya
Anak-anak pada fase ini (6-11 tahun ) mulai banyak berinteraksi dengan teman sebaya
mereka, di sekolah, maupun di lingkungan tempat mereka tinggal. Di sini mereka belajar
peraturan-peraturan lain yang tidak di buat oleh orang tua mereka, dan akibatnya mereka
belajar bagaimana membuat dan mengikuti aturan.
Tahap remaja
Anak-anak pada usia 12-13 tahun ( sebenarnya sulit untuk benar-benar memastikan
waktu yang tepat dimulainya masa remaja), anak-anak belajar untuk mengendalikan
perilaku-perilaku impulsif yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada di masyarakat.
Dalam pergaulannya dengan teman-teman sebaya, anak-anak mulai belajar untuk
membuat keputusan sendiri dan mengevaluasi nilai-nilai yang perilaku teman-teman
mereka dan menentukan apakah hal itu benar atau salah. Keputusan-keputusan tersebut di
pengaruhi antara lain oleh pengalaman mereka di rumah, hubunganmereka dengan
mereka dan guru ( orang dewasa lain ), dan dibarengi dengan kemampuan kognitif
mereka yang terus berkembang. Tapi ada yang harus di ingat, bahwa pada usia ini,
7
tekanan dari teman-teman sebaya sangat kuat, yang tidak selalu sesuai dengan apa yang
di pelajari remaja di rumah.
8
Sebelumnya telah dibahas bahwa Piaget mencoba mempelajari
tingkah laku anak melalui permainan kelereng. Hal itu dilakukan Piaget
untuk memahami bagaimana anak-anak berpikir dan menyesuaikan
konsepsinya mengenai aturan-aturan yang berlaku. Jean Piaget
memilih permainan kelereng, selain untuk memperoleh jawaban atas
penelitiannya, juga untuk memberikan kebebasan anak-anak untuk
menjelaskan dan membuat aturan sendiri. Dari hasil wawancaranya
dengan anak-anak pada tingkat usia yang berbeda, diperolehlah
jawaban yang berbeda-beda pula.
Berikut ini hasil pengamatan Piaget (dalam Cahyono dan
Suparyo, 1985:28), diketahui bahwa:
a. Anak-anak disekitar usia 3 tahun, belum mengembangkan
permainannya sendiri dan cenderung bermain individual tanpa
kerjasama. Anak-anak pada usia ini cenderung menerima aturan
tanpa proses pertimbangan terlebih dahulu.
b. Anak-anak usia 3-5 tahun, mulai bermain secara berkelompok,
meskipun masing-masing anak masih menganggap pendapatnya
yang paling benar. Anak-anak ini belum memiliki empati dan belum
mampu menempatkan diri dalam pergaulan. Anak-anak pada usia ini
cenderung memperhatikan aturan yang berasal dari orang dewasa,
meskipun pada usia ini mereka sering melanggar aturan tersebut.
c. Anak usia 7-8 tahun, mulai muncul perhatian untuk menyeragamkan
aturan permainan meskipun aturan permainannya umumnya masih
belum jelas (kabur).
d. Anak usia 11-12 tahun, mulai dapat menentukan dan membuat
kesepakatan bersama tentang aturan permainan. Anak sudah dapat
melihat bahwa aturan sebagai suatu yang bisa diubah dan dibuat
berdasarkan kesepakatan.
2. Intensi dan konsekuensi
Konsepsi anak tentang aturan dapat berubah-ubah sesuai
dengan tahap perkembangan moralnya. Untuk memahami perubahan
konsepsi yang terjadi, Piaget menghadapkan anak pada masalah-
masalah moral seperti berbohong. Dari hasil penelitiannya, Piaget
9
(dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:31) menyatakan, bahwa anak-
anak dengan usia lebih muda cenderung menilai suatu perbuatan
berdasarkan konsekuensi yang hanya bersifat material. Anak-anak
dengan usia yang lebih tua berpikir sebaliknya, mereka sudah mampu
memperhatikan intensi kesalahan yang muncul dari suatu perbuatan.
Intensi dan komsekuensi merupakan gambaran perubahan
perkembangan moral dari tahap heteronomous ke tahap autonomous.
Dalam mengetahui pendapat anak tentang makna berbohong, Piaget
(dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:32) melakukan tanya jawab
dengan anak-anak. Pada tanya jawab itu, diperolehlah hasil bahwa
anak-anak yang lebih muda usianya memberi makna bahwa bohong
sesuatu yang jelek dan tidak seorangpun sanggup mengatakannya.
Anak-anak yang usianya lebih tua memberi makna bohong adalah
sesuatu yang tidak dapat dipercaya dan tidak baik untuk diucapkan.
3. Hukuman-hukuman ekspiatoris dan resiprokal
Melalui cerita-cerita sederhana yang berhubungan dengan
pelanggaran dalam keluarga, yaitu antara orang tua dan anak, Piaget
mencoba untuk mengidentifikasi konsepsi anak-anak mengenai
keadilan. Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:33)
mengklasifikasikan hukuman ke dalam dua bentuk, yaitu hukuman-
hukuman yang bersifat ekspiatoris (expiatory punishment) dan
hukuman-hukuman yang bersifat resiprositas (reciprocity punishment).
Hukuman yang bersifat ekspiatoris, Sherwood (dalam Cahyono
dan Suparyo, 1985:33) mengemukakan, bahwa hukuman harus atas
pertimbangan yang wajar antara bobot kesalahan dan juga bobot
penderitaan si pelanggar atas hukuman yang ditimpakan. Contoh
hukuman ekspiatoris dalam keluarga antara lain memukul, menampar,
tidak memberi uang jajan, dilarang bermain untuk sementara waktu,
dan sebagainya. Hukuman yang bersifat resiprositas (dalam Cahyono
dan Suparyo, 1985:34) senantiasa membuat keterkaitan antara
hukuman dengan tindakan kesalahan yang dibuat. Melalui hal tersebut,
10
diharapkan si pelanggar sadar akan akibat-akibat perbuatannya.
Bentuk hukuman resiprositas dapat berupa ganti rugi dan pengucilan.
Berdasarkan hasil pengamatan Piaget (dalam Cahyono dan
Suparyo, 1985:34), diketahui bahwa hukuman resiprositas
dikembangkan oleh anak-anak yang tingkat perkembangan moralnya
pada tahap Autonomous. Dari 100 anak yang diwawancarai, Piaget
mencatat bahwa anak pada usia 6-7 tahun 30% memilih hukuman ini,
anak pada usia 8-10 tahun mencapai 50% memilih hukuman ini, dan
anak pada usia 11-12 tahun mencapai 80% memilih hukuman ini.
Sebaliknya, hukuman ekspiatoris dipilih anak-anak yang
perkembangan moralnya pada tahap heteronomous. Anak-anak pada
tingkat usia ini, percaya bahwa keadilan selalu berhubungan dengan
kesalahan-kesalahan yang dilakukan seseorang, dan orang tersebut
akan memperoleh hukuman atas kesalahannya tersebut secara
alamiah.
4. Antara Equality dan Equity
Membahas mengenai keadilan, Piaget menekankan pada dua
bentuk keadilan distributif yaitu equality dan equatity. Menurut
pandangan Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:35), equality
yaitu pemikiran bahwa tiap manusia harus diperlakukan secara sama,
sedangkan equity yaitu pemikiran yang lebih mempertimbangkan tiap-
tiap individu.
Untuk mengamati perbedaan kedua bentuk keadilan distributif
tersebut, Piaget mengangkat masalah-masalah ke dalam sebuah cerita
untuk mengetahui respon anak-anak berdasarkan tingkat usianya. Dari
respon-respon yang muncul, Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo,
1985:36) membedakan respon tersebut ke dalam tiga tahap yaitu:
1) Tahap Just, di mana anak berpikir bahwa apa yang dikatakan orang
dewasa adalah ibarat hukum yang harus dijalankan.
2) Tahap Equality Orientation, di mana anak berpikir bahwa tidak peduli
saat menghadapi hukuman ataupun sedang menolak perintah,
mereka akan lebih melihat kekuasaan tertinggi.
11
3) Tahap Equity Dominates, di mana anak berpikir bahwa equalitas
(perlakuan sama) tidak akan pernah dikembangkan tanpa
memperhatikan situasi yang dihadapi tiap individu.
Berdasarkan pembahasan dan penjabaran di atas, Piaget (dalam
Slavin, 2006:52), menyimpulkan bahwa terdapat dua tahap
perkembangan moral dengan ciri-cirinya masing-masing,yaitu sebagai
berikut:
12
sebagai konsekuensi sebagai sesuatu hal
otomatis dari yang tidak serta
pelanggaran merta, namun
dipengaruhi oleh niat
pelakunya
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari uraian yang telah disampaikan diatas, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1) Konsep dasar perkembangan moral adalah peraturan perilaku yang
telah menjadi kebiasaan bagi anggota kelompok atau anggota suatu
budaya. Konsep moral inilah yang menentukan pada perilaku yang
diharapkan dari masing-masing anggota kelompok. Perkembangan
moral berkaitan dengan aturan-aturan dan ketentuan tentang apa
yang seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam berinteraksi
dengan orang lain
2) Pola perkembangan moral Pola perkembangan moral antara lain :
bayi yang baru lahir tidak membawa aspek moral sehingga
13
dianggap amoral atau non moral. Aspek moral merupakan sesuatu
yang berkembang dan dikembangkan.
3) Teori perkembangan moral menurut Piaget terdiri dari tahap realism
moral dan tahap operasional moral.
B. Saran
Dari simpulan diatas penulis memberikan saran kepada pendidik
karena perkembangan moral seorang anak dimulai sejak anak kecil dan
lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhinya maka
sebagai pendidik yang merupakan orang tua kedua bagi anak haruslah
benar-benar memberikan perhatian kepada anak didiknya disamping
memberikan contoh yang baik sebagai teladan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
14