Anda di halaman 1dari 23

1.1.

Sejarah Perkembangan Agama Hindu

Agama Hindu (Sanskerta: Santana Dharma "Kebenaran Abadi"), atau dalam


istilah lain Vaidika-Dharma ("Pengetahuan Kebenaran") adalah agama dengan ajaran Weda
,yang berasal dari wahyu Ida Shang Hyang Widhi yang diturunkan melalui Maha Rsi.
Pertamakali dibawa oleh suku Arya yang mendesak suku bangsa Dravida.Percampuran antara
kepercayaan dan agama yang dibawa bangsa Arya dengan kepercayaan bangsa Dravida atau
bangsa asli India. Sehingga masuknya agama Hindu ke India kira-kira pada tahun 1500 SM
melalui bangsa Arya yang masuk ke India pada tahun tersebut. Perlu diketahui, bangsa Dravida
memiliki tingkat kebudayaan yang tinggi sebelum kedatangan bangsa Arya. Ini dibuktikan
dengan adanya bukti sejarah di lembah sungai Indus yang cukup maju pada tahun 2500 SM.

Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan
kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM
sampai 1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama
ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah
umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa1.

Agama Hindu merupakan Dinamakan agama Hindu, karena di dalamnya mengandung


adat-istiadat, budi pekerti, dan gambaran kehidupan orang-orang Hindu. Agama ini juga
dinamakan Agama Brahma yang wujudnya sejak permulaan abad ke-8 SM, yaitu suatu
kekuasaan yang besar yang memiliki daya pengaruh yang tersembunyi yang memerlukan
amalan-amalan ibadat, seperti membaca doa-doa, menyanyikan lagu pemujaan, dan memberikan
korban-korban2. Selain agama Brahma, Hindu juga memiliki nama lain, seperti agama Weda,
agama Dharma, agama Upanishad, atau agama Sri Khrisna3.

1
Agama Hindu adalah suatu agama yang berevolusi sekaligus merupakan kumpulan adat-
istiadat dan kedudukan yang timbul dari hasil penyusunan bangsa Arya terhadap kehidupan
mereka yang terjadi dari generasi ke generasi. Setelah datang ke India, mereka dapat
menundukkan penduduk asli (bangsa Dravida), kemudian membentuk suatu masyarakat
tersendiri di luar penduduk asli4. Oleh karena bangsa Arya menang setelah mengalahkan bangsa
Dravida, maka kebudayaan bangsa Arya lebih unggul dan dominan terhadap kebudayaan bangsa
Dravida5. Mengenai sejarah perkembangan agama Hindu di India dapat di bagi menjadi beberapa
fase/zaman yaitu: Zaman Weda, Zaman Brahmana, Zaman Upanisad.

1. PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI INDIA PADA ZAMAN WEDA

Zaman Weda adalah zaman diturunkannya ajaran Weda (Wahyu) oleh Ida Sang Hyang
Widhi dan ditrima oleh para Maha Rsi. Penurunan Weda ini sesungguhnya dalam kurun waktu
yang sangat panjang. Kata Weda berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata vid yang berarti
mengetahui. Jadi kata Weda berarti Pengetahuan, yaitu pengetahuan suci dari Sang Hyang Widhi
Wasa.

Zaman Weda di India dimulai dengan datangnya bangsa arya ke India urang lebih 1500
SM, bertempat di lembah sungai Sindhu. Bangsa Arya adalah bangsa yang berasal dari Austria,
Hongaria, dan Babylonia. Mereka datang ke India melalui laut hitam menuju selat Bosporus. Di
selat Bosporus bangsa Arya berpisah menuju dua arah yaitu ke utara menuju India dengan
membawa kebudayaan Weda dan ke timur menuju iran dengan membawa kebudayaan Awesta.
Masa perpindahan bangsa arya menuju India dan iran diselat Bosporus di sebut fase indo-iran.

2. PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI INDIA PADA ZAMAN BRAHMANA

Zaman Brahmana ditandai dengan munculnya kitab suci Brahmana yaitu bagian Weda
yang berisi tentang peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban keagamaan. Kitab Brahmana
juga disebut Karma Kanda yang disusun dalam bentuk Prosa. Kata Brahmana berasal dari kata
Brahman yang berarti Doa yaitu ucapan-ucapan suci yang diucapkan oleh Brahmana pada
waktu melaksanakan korban suci.

2
Pada zaman Brahmana, kehidupan beragama yang lebih ditonjolkan adalah pelaksanaan
korban suci/yadnya. Dengan demikian segala sesuatunya diatur berdasarkan korban
suci/pelaksanaan upacara yadnya, akibat dari penonjolan pelaksanaan yadnya, maka fungsi dari
peranan para Brahmana semakin penting, dan masyarakat bergantung sepenuhnya pada para
brahmana.

Dalam pelaksanaan upacara yadnya pada zaman brahmana selalu disertai dengan upacara
mantra-mantra Weda yang dirapalkan oleh pendeta catur (sruti). Pendeta yang
merapalkan/mengucapkan reg Weda disebut Hotr, untuk sama Weda disebut Udgatr, untuk yajur
Weda disebut Adwaryu, dan untuk atarwa Weda disebut Brahman. Disamping semaraknya
pelaksanaan upacara di India, pada zaman itu juga terjadi pengklasifikasian masyarakat sesuai
dengan profesinya menjadi 4(empat) warna/golongan. Keempat warna/golongan tersebut disebut
catur warna, yang terdiri dari:

Warna/golongan Brahmana terdiri dari orang-orang suci


Warna/golongan Ksatrya yaitu meeka yang memegang pemerintahan
Warna/golongan Wesya yaitu yang memiliki keahlian berdagang
Warna/golongan Sudra yaitu yang menolong ketiga golongan diatas

Pada zaman Brahmana Agama Hindu berkembang sampai ke India tengah, yaitu di dataran tinggi
Dekan dan lembah Yamuna. Di tempat ini pula ditulis peraturan-peraturan mengenai tuntunan
tentang kehidupan (tata susila). Peraturan dan tuntunan ini ditulis berdasarkan kitab Weda sruti,
sehingga isinya tidak perlu di ragukan kebenarannya.

Selama kurun waktu zaman Brahmana, kegiatan keagamaan ditekankan pada pembuatan
persembahan sesaji, sehingga periode ini disebut dengan zaman Brahmana.

3. PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI INDIA PADA ZAMAN UPANISAD

Kehidupan beragama Hindu pada zaman Upanisad, bersumber pada ajaran-ajaran kitab
Upanisad yang tergolong sruti dijelaskan secara pilisofis. Konsep keyakinan terhadap panca
sradha dijadikan titik tolak pembahasan oleh para Rsi dan para arif bijaksana. Disamping itu,
tujuan hidup yang disebut catur purusa artha (dharma, artha, kama, dan moksa) di formulasikan
menjadi lebih jelas.

Zaman Upanisad berlangsung sejak tahun 800 SM. Agama Hindu yang berkembang di
dataran tinggi dekan dan lembah Sungai Yamuna, terus meluas ke lembah sungai Gangga adalah
daerah yang dihuni oleh penduduk dengan sumber kehidupan beraneka ragam, namun yang
utama adalah berdagang. Dengan pola pikir perekonomian penduduk lembah sungai gangga
tidak menginginkan praktek kehidupan beragama secara upacara yang berlebihan.

3
Kata upanisad berasal dari bahasa sanskerta dari akar kata upa yang berarti
dekat, niberarti guru/pemimpin dan sad artinya duduk. Upanisad berarti duduk dekat guru untuk
mendengarkan ajara-ajaran suci kerohanian. Upanisad mengajarkan tentang bagaimana caranya
mengatasi kegelapan jiwa untuk akhirnya menemukan sat cit ananda (kesadaran dan
kebahagiaan).

Penerapan ajaran tattwa/filsafat agama hindu dimulai sejak zaman Upanisad. Pandangan
yang menonjol pada zaman ini yaitu suatu ajaran yang bersifat monistis dan absoluteisme, yang
artinya ajara yang mengajarkan bahwa segala sesuatu yang bermacam-macan ini dari satu asal
yang disebut brahman.

Melalui Upanisad yaitu duduk dekat dengan guru untuk menerima wejangan-wejangan
suci yang bersifat rahasia. Ajaran-ajaran tersebut diberikan kepada murid-muridnya yang setia
dan patuh secara terbatas di hutan. Ajaran Upanisad juga disebut Rhasiopadesa atau Aranyaka
yang berarti ajaran rahasia yang ditulis di hutan. Mengenai isi pokok Upanisad adalah
hakekat Panca Sradha Tattwa. Jumlah semua Upanisad ada 108 buah dan setiap weda samhita
memiliki upanisad tersendiri yaitu:

Rg Weda
memiliki : Aiteria Upanisad, Kausitaki Upanisad
Sama Weda
memiliki : Candogya Upanisad, Kena Upanisad, Matreyi Upnisad
Yajur Weda
memiliki : Taittiriya Upanisad, Suetaspatara Upanisad, Ksurika
Upanisad, Brhadakanyaka Upanisad, Jabala Upanisad
Atharwa Weda
memiliki: Prasna Upanisad, Mandukya Upanisad, Atharwasira Upanisad

Tuntunan keagamaan pada jaman Upanisad diarahkan untuk melepaskan diri dari ikatan-
ikatan duniawi dan kembali keasal untuk bersatu dengan sang pencipta.

4. PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI INDIA PADA ZAMAN BUDHA

Zaman Agama Buddha ini diperkirakan berlangsung antara 500 SM 300 SM. Zaman
Budha dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama Sidharta, menafsirkan Weda dari
sudut logika dan mengembangkan sistem Yoga dan Semadhi sebagai jalan untuk
menghubungkan diri dengan Tuhan. Agama Hindu dari India Selatan menyebar sampai keluar
India dengan berbagai cara. Terutama melalui perdagangan bebas internasional.

Perlu diketahui bahwa peradaban pada masa ini telah dapat disejajarkan dengan peradaban-
peradaban seperti Yunani, Mesir, dan Eropa yang telah maju. Pengetahuan tentang Sejarah

4
kerajaan ini dapat menambah pengetahuan kita tentang sejarah dunia, selain itu dapat
dikomparasikan dengan kerajaan-kerajaan nasional yang juga berpengaruh pada dunia kala itu.

1.2. Asas, Kepercayaan, dan Pendiri Agama Hindu

Asas agama Hindu menurut Louis Renou adalah kepercayaan bangsa Arya yang telah
mengalami perubahan sebagai hasil dari percampuran mereka dengan bangsa lain, terutama
bangsa Persi yang sewaktu dalam perjalanan menuju India. Kemudian kepercayaan-kepercayaan
ini berkesan di India setelah berbenturan dengan pemikiran-pemikiran dan falsafah-falsafah
penduduk asli (bangsa Dravida)6. Sehingga dalam perkembangannya, agama Hindu terbentuk
dari unsur-unsur pemikiran kedua bangsa tersebut. Unsur Hindu dari bangsa Arya ialah kitab-
kitab Weda, sedangkan unsur dari bangsa Dravida ialah ajaran memuliakan penjelmaan roh,
dewa, dan hantu-hantu7.

Sedangkan menurut Abdul Munim Namir, agama Hindu lebih merupakan suatu cara
hidup daripada kumpulan kepercayaan. Sejarah menerangkan mengenai isi kandungannya yang
meliputi berbagai kepercayaan dan hal-hal yang harus dilakukan. Agama ini tidak mempunyai
kepercayaan yang membawanya turun hingga kepada penyembahan batu dan pohon-pohon, dan
membawanya naik pula pada masalah-masalah falsafah yang abstrak dan halus8.

1.3. Sistem Ketuhanan

Agama Hindu memiliki banyak sekali Tuhan/Dewa. Namun dari sekian banyak Tuhan,
hanya tiga yang terkenal. Ketiga Tuhan tersebut antara lain Brahmana (Dewa pencipta), Wisnu
(Dewa pemelihara), dan Syiwa (Dewa pembinasa). Tuhan-tuhan atau Dewa-dewa tersebut lebih
dikenal dengan sebutan Trimurti9.

5
Hindu seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja
banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa bukanlah
Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya, dan hanya ada satu
kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya
kepada manusia dalam beragam bentuk10. Meski begitu, tidak ada agama lain yang mempercayai
banyak Tuhan/Dewa selain agama Hindu. Agama Hindu tetap saja tidak bisa disebut agama
monotheisme tulen, tapi lebih tepat disebut agama polytheisme11.

Orang-orang Hindu meyakini bahwa bilangan Tuhan sangatlah banyak dan masing-
masing memiliki kekuatan mutlak, ada yang memberi faedah dan ada yang membahayakan.
Lebih lanjut Mohamed Abdul Salam (1953) yang dikutip Prof. Dr Ahmad Shalaby menuturkan,

Bentuk-bentuk alam yang indah dan pemandangannya yang agung menimbulkan


kesadaran beragama mereka. Mereka sangat kagum dan terus menikmatinya.
Mereka bersyukur, merasa senang dengannya, memuji-mujinya, dan bahkan mereka
menyangka bahwa bentuk-bentuk alam ini memiliki ruh dan jiwa sebagaimana
mereka juga. Mereka menganggap ruh-ruh ini memiliki daya kekuatan yang
tersembunyi dibalik bentuknya yang nampak. Dan daya-daya kekuatan inilah yang
berkuasa menampakkan bentuk-bentuk yang mengagumkan dan menawan. Lalu
mereka pun mendekatinya melalui bentuk-bentuk ibadat serta menghadiahkan
sesajian atau korban-korban, dan menganggapnya sebagai Tuhan-tuhan yang
mereka seru ketika ada keinginan12.
Dengan sebab inilah, bilangan Tuhan-tuhan bertambah banyak seiring bertambah
kekaguman mereka terhadap suatu benda-benda alam.

1.4. Kitab Suci Agama Hindu

Kitab suci agama Hindu ialah kitab Weda. Kitab suci ini mengandung keper-cayaan-
kepercayaan, adat-istiadat, dan hukum-hukum juga tidak memiliki pencipta yang pasti. Penganut
agama Hindu mempercayai kitab Weda adalah suatu kitab yang ada sejak dahulu yang tidak

10

11

12

6
mempunyai tanggal permulaannya. Sebagaimana halnya agama Hindu yang tidak memiliki
pendiri, kitab Weda tidak mempunyai pencipta 13.

Kitab suci agama Hindu ini terdiri dari empat macam, yaitu14:

a. Rig Weda

Kitab ini merupakan kitab yang termasyhur, terpenting, dan paling lengkap di
antara keempat kitab-kitab Weda yang lain. Kitab ini disusun pada sekitar 3000 tahun
Sebelum Masehi, yang mengandung 1.017 buah nyanyian agama. Kitab ini umumnya
memuat puji-pujian bagi Dewa-dewa (hymne) yang oleh para pemeluknya
dinyanyikan untuk dewa-dewa mereka, yakni Agni (dewa api), Varuna, dan Surya
(dewa matahari).

b. Sana Weda

Sana Weda ini isinya hampir sama dengan Rig Weda, hanya saja ada sedikit
tambahan. Kitab ini berisi bunga rampai penjelasan dari Rig Weda yang dilengkapi
dengan nyanyian-nyanyian, yang diiringi dengan musik pengiring pada saat sedang
menjalankan ritual upacara dan pembacaan doa.

c. Yajur Weda

Kitab ini mengandung ayat-ayat prosa dan mantra-mantra yang dibaca oleh
para pendeta ketika akan menyerahkan persembahan dalam ritual upacara keagamaan
yang lebih kecil.

d. Atharva Weda

Kitab ini juga disebut atharwan karena merupakan kitab suci khusus bagi para
pendeta golongan atharwan (suatu bagian dari kasta Brahmana). Kitab ini mengandung
beberapa uraian tentang sihir, kekuatan-kekuatan gaib, dan kepercayaan-kepercayaan
semu yang menyatu dengan saduran purbakala. Kehidupan Hindu yang tertulis dalam
kitab Atharva Weda ini penuh dengan dosa dan keadaan alam yang menakutkan dan
dipenuhi setan-setan. Tuhan-tuhan tidak lagi berbuat baik dan tidak menolak
13

14

7
kejahatan. Kitab ini juga menceritakan bagaimana manusia menuju kepada perkara-
perkara yang salah, kekuatan-kekuatan gaib serta sihir dengan tujuan untuk
melindungi diri.

Selain itu, di dalamnya juga terdapat hymne yang harus dipakai dalam
persembahan Soma, penyembuhan penyakit, menyambung cinta kasih, keuntungan
dagang, dan sampai maksud dan tujuan cita-cita.

Sedangkan isi kitab Weda terdiri beberapa bagian, yaitu15:

a. Mantra/Samhita

Sebagian besar isi Weda adalah mantra yang terdiri dari doa-doa dan
nyanyian-nyanyian suci, yang dilakukan oleh para pendeta ketika menghi-
dangkan sesajen bagi para Dewa. Di samping itu, juga terdapat semacam mantra
yang digunakan untuk tenung, guna-guna, dan juga sebagai penghalau makhluk
halus.

Disebut juga samhita karena terdapat banyak kumpulan ayat-ayat puisi


seperti gubahan yang terdapat dalam Rig Weda dan Sama Weda. Sementara
gubahan di dalam Atharva Weda adalah berupa doa-doa yang diberikan oleh
penduduk India purba kepada Tuhan mereka sebelum kedatangan bangsa Arya,
sehingga mempunyai nilai sejarah yang tinggi.

b. Brahmana

Brahmana adalah petunjuk yang diberikan oleh golongan Brahmana


kepada para penduduk negeri mereka dan di tengah-tengah keluarga mereka.
Brahmana berisi uraian atau penjelasan mengenai upacara korban, agar supaya
korban itu diterima oleh para Dewa, dan dosa-dosa orang yang berkorban dapat
diampuni.

c. Aranyaka

Aranyaka adalah petunjuk-petunjuk dan panduan-panduan yang


diberikan kepada orang-orang tua yang meninggalkan keluarganya untuk tinggal

15

8
di gua-gua dan hutan-hutan. Aranyaka mengajarkan beberapa amalan yang
mudah dilaksanakan sebagai pengganti korban-korban yang di luar penguasaan
mereka.

d. Upanisyad

Upanisyad terdiri dari dua kata, Upani yang berarti dekat, dan syad
artinya duduk, sehingga artinya ialah duduk dekat dengan seorang guru.
Upanisyad merupakan rahasia-rahasia dan penglihatan jiwa yang dilakukan oleh
golongan tasawwuf, yang disusun sebagai petunjuk kepada golongan-golongan
pendeta dan ahli ibadat yang konsisten kepada kehidupan batin dan
meninggalkan segala bentuk kehidupan luar.

Upanisyad ini adalah sebuah bentuk mazhab rohani yang memiliki


kedudukan tertinggi dalam tingkatan agama. Di dalam Upanisyad ini, segala
bentuk dan upaya menuju Brahma atau ketuhanan kurang mendapat perhatian.
Mereka berlepas diri dari bayang-bayang Brahma menuju kepada kebebasan
beragama. Doa-doa yang dilakukan lebih tenang dan upaya pengorbanan juga
semkin jarang, perenungan ketuhanan menurun dan digantikan dengan ilmu
pengetahuan. Maka dari itu, Upanisyad hanyalah berupa pandangan falsafah
kehidupan saja.

Isi Upanisyad antara lain mengenai ketuhanan jiwa manusia, penjelmaan


jiwa yang berganti-ganti, dan sebagainya.

Kesimpulannya, kitab Weda dapat dikategorikan menjadi dua golongan.


Pertama, menurut jumlah bukunya ada empat macam, yaitu Rig Weda, Sama Weda,
Yajur Weda, dan Atharva Weda. Kedua, menurut isinya terbagi menjadi empat, yaitu
Mantra atau Samhita (teks doa), Brahmana (tafsir para pendeta), Aranyaka, dan
Upanisyad (tafsir secara filsafat umum).

1.5. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Agama Hindu di Indonesia pada Masa
Kerajaan

9
1. Kerajaan Kutai

Kerajaan tertua bercorak Hindu di Indonesia adalah kerajaan Kutai. Kerajaan ini
terletak di Kalimantan, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diambil dari nama
tempat ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Tujuh buah yupa
merupakan sumber utama bagi para ahli untuk menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai.
Dari salah satu yupa tersebut, diketahui bahwa raja yang memerintah Kerajaan Kutai saat itu
adalah Mulawarman.

Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga, Nama Mulawarman dan
Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sansekerta. Putra Kudungga,
Aswawarman, kemungkinan adalah raja pertama kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia
juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta,
yang artinya pembentuk Keluarga.

Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa, diketahui bahwa pada masa
pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah
kekuasaannya meliputi hamper seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup
sejahtera dan makmur.

2. Kerajaan Tarumanegara

Sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara diperoleh dari prasasti-prasasti yang berhasil


ditemukan. Namun, tulisan pada beberapa prasati, seperti pada Prasati Muara Cianten dan
Prasasti Pasir Awi sampai saat ini belum dapat diartikan. Banyak informasi berhasil diperoleh
dari tulisan pada kelima prasasti lainnya, terutama Prasasti Tugu yang merupakan prasasti
terpanjang, Tujuh prasasti dari kerajaan Tarumanegara adalah: Prasasti Ciaruteun, Prasasti
Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Tugu, Prasasti Pasir Awi, dan
Prasasti Munjul.

Sumber sejarah penting lain yang dapat menjadi bukti keberadaan kerajaan
Tarumanegara adalah catatan sejarah pengelana Cina. Catatan sejarah pengelana Cina yang
menyebutkan keberadaan Kerajaan Tarumanegara adalah catatan perjalanan pendeta Cina Fa-
Hsein, pada tahun414 dan catatan kerajaan Dinasti Sui dan Dinasti Tang. Dari salah satu
prasasti, yakniPrasati Ciaruteun yang ditemukan di Desa Ciampea, Bogor, diketahui bahwa
Purnawarman dikenal sebagai raja yang gagah berani. Data sejarah yang lebih jelas, terdapat
pada Prasasti Tugu. Pada prasasti yang panjang ini, dikatakan bahwa pada tahun
pemerintahannya yang ke-22, Purnawarman telah menggali Sungai Gomati. Dari prasati
tersebut, dapat disimpulkan bahwa Purnawarman memerintah dalam waktu yang cukup lama.

3. Kerajaan Melayu

10
Kerajaan-kerajaan Buddha di Sumatra muncul pada sekitar abad ke-6 dan ke-7.
Sejarah mencatat ada dua kerajaan bercorak Buddha di Sumatra, yaitu Kerajaan Melayu dan
Kerajaan Sriwijaya. Nama kerajaan Sriwijaya selanjutnya mendominasi hamper seluruh
informasi tentang kerajaan dari Sumatra pada abad ke -7 hingga ke-11. Kerajaan Melayu
merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia. Berdasarkan bukti-bukti sejarah yang bias
ditemukan, Kerajaan Melayu diperkirakan berpusat di daerah Jambi, tepatnya di tepi alur
Sungai Batanghari. Di sepanjang alur Sungai Batanghari ditemukan banyak peninggalan
berupa candi dan arca.

Sumber sejarah lain yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk keberadaan Kerajaan
Melayu adalah catatan dari seorang pengelana dari Cina yang bernama I-Tsing (671-695). Ia
menyebutkan bahwa pada abad ke-7 terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Melayu
yang secara politik dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Dari cerita
I-Tsing, diketahui bahwa Kerajaan Melayu terletak ke dalam Selat Malaka yang merupakan
jalur perdagangan terdekat antara India dan Cina. Menurut Kitab Negarakertagama, pada
tahun 1275, Raja Kertanegara dari kerajaan di Jawa mengadakan ekspedisi penaklukan ke
Sumatra. Ekspedisi tersebut disebut ekspedisi Pamalayu.

Setelah cukup lama di bawah kekuasaan Sriwijaya, Kerajaan Melayu muncul kembali
sebagai pusat kekuasaan di Sumatra. Pada abad 17, adityawarman, putra Adwayawarman
memerintah Kerajaan Melayu. Adityawarman memerintah hingga tahun 1375. Kemudian,
digantikan oleh anaknya Anangwarman.

4. Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya yang muncul pada abad ke-6, pada mulanya berpusat di sekitar
Sungai Batanghari, pantai timur Sumatra. Pada perkembangannya, wilayah kerajaan
Sriwijaya meluas hingga meliputi wilayah Kerajaan Melayu, Semenanjung Malaya, dan
Sunda (kini wilayah Jawa Barat). Catatan mengenai kerajaan-kerajaan di Sumatra didapat
dari seorang pendeta Buddha bernama I-Tsing yang pernah tinggal di Sriwijaya antara tahun
685-689 M. Pada tahun 692, ketika I-Tsing, bias disimpilkan bahwa Sriwijaya telah
menaklukan dan menguasai kerajaan-kerajaan disekitarnya.

Dari Prasasti Kedukan Bukit (683), dapat diketahui bahwa Raja Dapunta Hyang
berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukan daerah Minangatamwan,
Jambi. Daerah Jambi sebelumnya adalah wilayah kerajaan Melayu. Daerah itu merupakan
wilayah taklukan pertama Kerajaan Sriwijaya. Dengan dikuasainya wilayah Jambi, Kerajaan
Sriwijaya memulai peranannya sebagai kerajaan maritim dan perdagangan yang kuat dan
berpengaruh di Selat Malaka. Ekspansi wilayah Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 menuju
ke arah selatan dan meliputi daerah perdagangan Jawa di Selat Sunda.

Kerajaan Sriwijaya mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Raja


Balaputradewa. Pada masa itu, kegiatan perdagangan luar negeri ditunjang juga dengan

11
penaklukan wilayah-wilayah sekitar. Sepanjang abad ke-8, wilayah Kerajaan Sriwijaya
meluas kea rah utara dengan menguasai Semenanjung Malaya dan daerah perdagangan di
Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Sejarah tentang Raja Balaputradewa dimuat dalam dua
prasasti, yaitu Prasasti Nalanda dan Prasasti Ligor.

Raja kerajaan Sriwijaya yang terakhir adalah Sri Sanggrama Wijayatunggawarman.


Pada masa pemerintahan Sri Sanggrama Wijayatunggawarman, hubungan Kerajaan
Sriwijaya dan kerajaan Chola dari India yang semula sangat erat mulai renggang. Hal itu
disebabkan oleh seranggan yang dilancarkan Kerajaan Chola di bawah pimpinan
Rajendracoladewa atas wilayah Sriwijaya di semenanjung Malaya. Serangan-serangan
tersebut menyebabkan kemunduran kerajaan Sriwijaya.

5. Kerajaan Mataram Kuno

Di wilayah Jawa Tenggah, pada sekitar abad ke-8, perkembangan sebuah Kerajaan
Mataram Kuno. Pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno disebut Bhumi Mataram yang
terletak di pedalaman Jawa Tenggah. Daerah tersebut memiliki banyak pegununggan dan
sungai seperti Sungai Bogowanto, Sungai Progo, dan Bengawan Solo. Pusat pemerintahan
Kerajaan Mataram Kuno juga sempat berpindah ke Jawa Timur. Perpindahan Kerajaan
Mataram Kuno dari Jawa Tenggah ke Jawa Timur disebabkan oleh dua hal.

Selama abad ke-7 sampai ke-9, terjadi serangan-serangan dari Sriwijawa ke Kerajaan
Mataram Kuno. Besarnya pengaruh Kerajaan Sriwijaya itu menyebabkan Kerajaan
Mataram Kuno semakin terdesak ke wilayah timur.
Terjadinya Letusan Gunung Merapi yang dianggap sebagai tanda pralaya atau
kehancuran dunia. Kemudian, letak kerajaan di Jawa Tenggah dianggap tidak layak lagi
untuk ditempati.

Dinasti Sanjaya

Prasasti Canggal yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir memberikan


gambaran yang cukup jelas tentang kehidupan politik Kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini
bertuliskan tahun654 Saka atau 732, ditulis dengan huruf Palawa yang menggunakan bahasa
Sansekerta. Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Raja Sanna. Raja Sanna kemudian
digantikan oleh keponakannya Sanjaya. Masa pemerintahan Sanna dan Sanjaya dapat kita
ketahui dari deskripsi kitab Carita Parahyangan. Dalam prasasti lain, yaitu Prasasti Balitung,
Raja Sanjaya dianggap sebagai pendiri Dinasti Sanjaya, penguasa Mataram Kuno.

Sanjaya dinobatkan sebagai raja pada tahun 717 dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu
Sanjaya. Kedududkan Sanjaya sangat kuat dan berhasil menyejahterakan rakyat Kerajaan
Mataram Kuno. Sanjaya menyebarkan pengaruh Hindu di pulau Jawa. Hal ini ditempuh dengan
cara mengundang pendeta-pendeta Hindu untuk mengajar di Kerajaan Mataram Kuno. Raja

12
Sanjaya juga mulai pembangunan kuil-kuil pemujaan berbentuk candi. Stelah Raja Sanjaya
meninggal, Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh putranya yang bernama Rakai Panangkaran.

Raja Rakai Panangkaran banyak mendirikan candi, seperti Candi Sewu, Candi Plaosan
dan Candi Kalasan. Dari bukti-bukti tersebut, diketahui bahwa Raja Rakai Panangkaran
beragama Buddha. Raja Mataram Kuno setelah Rakai Panangkaran berturut-turut adalah Rakai
Warak dan Rakai Garung. Raja Mataram Kuno selanjutnya adalah Rakai Pikatan. Persaingan
dengan Dinasti Syilendra yang waktu itu diperintahkan oleh Raja Samaratungga dianggap
menghalangi cita-citanya untuk menjadi Penguasa tunggal di Pulau Jawa.

Pada abad ke-9 terjadi penggabungan kedua dinasti tersebut melalui pernikahan politik
antara Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya dengan Pramodawardhani (Putri Raja Samaratungga),
dari keluarga Syailendra. Namun, perkawinan antara Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani
tidak berjalan lancer. Setelah Samaratungga wafat, Kekuasaan beralih kepada Balaputradewa
yang merupakan adik tiri dari Pramodawardhani. Menurut beberapa Prasasti, seperti Prasasti
Ratu Boko (856), menunjukkan telah terjadinya perang saudara antara Rakai Pikatan dengan
Balaputradewa.

Balaputradewa mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Swarnadwipa(Sumatra). Ia


kemudian berkuasa sebagai raja, mengantikan kakeknya di kerajaan Sriwijaya. Hal ini dapat
dapat diketahu dari Prasasti Nalanda (India), yang menyatakan bahwa Raja Deewapaladewa dari
Bengala menghadiahkan sebidang tanah kepada Raja Balaputradewa dari Swarnadwipa untuk
membagun sebuah biara.

Setelah Balaputradewa dikalahkan, wilayah Kerajaan Mataram Kuno menjadi semakin


luas kearah selatan (sekarang yogyakarta). Daerah ini dahulunya adalah wilayah Dinasti
Syailendra. Rakai Pikatan mengusahakan agar rakyat dinasti Sanjaya dan Syailndra dapat hidup
rukun. Pada masa ini, dibangun kuil pemujaan berbentuk candi, Seperti Candi Prambanan.
Menurut Prasasti Siwagraha, Rakai Pikatan dan raja-raja Mataram Kuno berikutnya masih tetap
menganut agama Hindu Siwa.

Berdasarkan Prasasti Balitung, setelah Rakai Pikatan wafat, kerajaan Mataram Kuno
diperintah oleh Rakai Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan penasehat yang juga jd pelaksana
pemerintahan. Dewan yang terdiri atas lima patih yang dipimpin oleh seorang mahapatih ini
sangat penting perananya. Raja Mataram selanjutnya adalah Rakai Watuhumalang. Raja
Mataram Kuno yang diketahui kemudian adalah Dyah Balitung yang bergelar Sri Maharaja
Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Maha Dambhu adalah Raja Mataram Kuno yang
sngat terkenal. Raja Balitung berhasil menyatukan kembali Kerajaan Mataram Kuno dari
ancaman perpecahan.

Dimasa pemerintahannya, Raja Balitung menyempurnakan struktur pemerintahan dengan


menambah susunan hierarki. Bawahan Raja Mataram terdiri atas tiga pejabat penting, yaitu
Rakryan I Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh dua pejabat lainnya. Rakryan I

13
Halu,dan Rakryan I Sirikan Struktur tiga pejabat itu menjadi warisan yang terus digunakan oleh
kerajaan-kerajaan Hindu berikutnya, seperti Kerajaan Singasari dan Majapahit.

Selain struktur pemerintahan baru, Raja Balitung juga menulis Prasasti Balitung. Prasasti
yang juga dikenal sebagai Prasasti Mantyasih ini adalah prasasti pertama di Kerajaan Mataram
Kuno yang memuat silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno. Setelah
Raja Balitung wafat pada tahun 910, Kerajaan Mataram Kuno masih mengalami pemerintahan
tiga raja sebelum akhirnya pusat kerajaan pindah ke Jawa Timur. Sri Maharaja Daksa, yang pada
masa pemerintahan Raja Balitung menjabat Rakryan i Hino, tidak lama memerintah Kerajaan
Mataram Kuno. Penggantinya, Sri Maharaja Tulodhong juga mengalami nasib serupa.

Dibawah pimpinan Sri Maharaja Rakai Wawa. Kerajaan Mataram Kuno dilanda
kekacauan dari dalam, yang membuat kacau ibu kota. Sementara itu, kekuatan ekonomi dan
politik Kerajaan Sriwijaya makin mendesak kedudukan Mataram di Jawa. Pada masa itu,
wilayah kerajaan mataram kuno juga dilanda oleh bencana letusan Gunung Merapi yang sangat
membahayakan ibu kota kerajaan. Seluruh masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh Rakai
Wawa. Ia wafat secara mendadak. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Mpu Sindok yang
waktu itu menjadi Rakryan i Hino.

Dinasti Syailendra

Dinasti Syailendra berkuasa didaerah Begelan dan Yogyakarta pada pertengahan abad ke-
8. Beberapa sumber sejarah tentang Dinasti Syailendra yang berhasil ditemukan, antara lain
prasasti Kalasan, Kelurak, Ratu Boko, dan Nalanda. Prasasti Kalasan (778), menyebutkan nama
Rakai Panangkaran yang diperintahkan oleh Raja Wisnu, penguasa Dinasti Syailendra, untuk
mendirikan sebuah bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah vihara bagi para pendeta. Rakai
Panangkaran kemudian memberikan Desa Kalasan kepada Sanggha Buddha. Prasasti Ratu Boko
(856), menyebutkan Raja Balaputradewa kalah dalam perang saudara melawan kakaknya, yaitu
Pramodhawardani. Kemudian, ia melarikan diri ke Kerajaan Sriwijaya. Prasasti Nalanda (860),
menyebutkan asal usul Raja Balaputradewa. Disebutkan bahwa Raja Balaputradewa adalah putra
dari Raja Samaratungga dan cucu dari Raja Indra.

Pada abad ke-8, Dinasti Sanjaya yang memerintah KerajaanMataram Kuno mulai
terdesak oleh dinasti Syailendra. Hal itu kita ketahui dari prasasti Kalasan yang menyebutkan
bahwa Rakai Panangkaran dari keluarga Sanjaya diperintah oleh Raja Wisnu untuk mendirikan
Candi Kalasan, sebuah candi Buddha. Dinasti Syailendra muncul dalam sejarah Kerajaan
Mataram Kuno tidak lebih dari satu abad. Pengaruh Dinasti Syailendra terhadap kerajaan
Sriwijaya juga semakin kuat karena Raja Indra menjalankan strategi perkawinan politik. Raja
Indra mengawinkan putranya yang bernama Samaratungga dengan salah seorang putri Raja
Sriwijaya.

14
Pengganti Raja Indra adalah Raja Samaratungga. Pada masa kekuasaannya, dibangun
Candi Borobudur. Namun, sebelum Candi tersebut selesai dibangun, Raja Samaratungga
meninggal dunia, dalam sebuah perang saudara. Balaputradewa kemudian melarikan diri ke
Kerajaan Sriwijaya dan menjadi raja disana.

6. Kerajaan Medang Kemulan

Kerajaan Medang kemulan diperkirakan terletak di Jawa Timur, tepatnya di muara


Sungai Brantas. Ibu kota Medang Kemulan adalah Watan Mas. Kerajaan ini didirikan oleh Mpu
Sindok, setelah ia memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah
ke Jawa Timur. Pada awalnya, wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kemulan mencakup daerah
Nganjuk, Pasuruan, Surabaya, dan Malang.

Prasasti yang menyebutkan keberadaan Kerajaan Medang Kemulan, antara lain adalah
Prasasti Mpu Sindok dan Prasasti Kalkuta. Prasasti Mpu Sindok ditemukan di Tangeran, Bangil,
dan Nganjuk. Prasasti bertahun 933 yang ditemukan di Tangeran, Jombang, menyebutkan bahwa
Raja Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang Kemulan bersama permaisurinya Sri Wardhani
Mpu Kebi. Selain Prasasti Mpu Sindok, sumber sejarah yang lain adalah Prasasti Kalkuta.

Prasasti bertahun 951 M ini berasal dari Raja Airlangga yang menyebutkan silsilah
keturunan raja-raja dari Raja Mpu Sindok. Dari beberapa sumber yang ditemukan, diketahui
bahwa sebelum menjadi raja, Mpu Sindok pernah memangku jabatan sebagai Rakai Halu dan
Rakai Mapatih i Hino pada kerajaan Mataram. Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang
Kemulan dari tahun 929 hingga 948. Mpu Sindok memerintah bersama permaisuri yang bernama
Mpu Kebi, yang bergelar Sri Prameswari Wardhani Mpu Kebi. Nama permaisuri Mpu Kebi atau
Dyah kebi ini dapat ditemukan dalam Prasasti Cunggrang dan Prasasti Geweg.

Dari Prasasti Pucangan, kita memperoleh keterangan tentang para pengganti Mpu Sindok.
Pengganti Mpu Sindok yang terkenal adalah Sri Dharmawangsa dengan gelar Teguh
Anantawikramattanggadewa. Dari prasasti ini di ketahui bahwa pada tahun 1016 Kerajaan
Medang Kemulan diserang oleh Kerajaan Wurawari dan Waram. Pulau Jawa digambarkan
mengalami sebuah pralaya (tragedy) yang menyebabkan banyak orang yang meninggal,
termasuk Sri Maharaja Dharmawangsa. Dalam peristiwa itu, Airlangga (menantu
Dharmawangsa) berhasil melarikan diri ke hutan Wonogiri bersama pengawalnya, Narottama.
Mereka hidup bersama dengan para pertapa selama hamper dua tahun sampai akhirnya Airlangga
berhasil menguasasi Kerajaan Medang Kemulan kembali pada tahun 1019.

Pada tahun 1029, Airlangga berhasil mengalahkan Raja Wishnupraba dari Waratan.
Setahun Kemudian, Raja Wengker berhasil ditaklukannya. Akhirnya, pada tahun 1032, Raja
Wurawari yang dulu menghancurkan Dharmawangsa berhasil dikalahkan. Setelah musuh-
musuhnys dikalahkan, Airlangga mulai menata negaranya. Ia dibantu oleh Narottama yang diberi
gelar Rakryan Kanuruhan. Airlangga kemudian mengangkat putrinya yang bernama Sanggraman

15
Wijayatunggadewi menjadi Rakryan Mahamantri i Hino untuk menjadi raja. Namun, rupanya
sang putrid tidak berambisi menjadi raja dan memilih menjadi pertapa.

Dengan mundurnya putri mahkota, pada tahun 1044, Airlangga memutuskan untuk
membagi kerajaan menjadi dua. Kedua kerajaan ini masing-masing dipimpin oleh dua putranya.
Hal itu dilakukan Raja Airlangga untuk mencegah terjadinya perang saudara. Dengan bantuan
seorang Brahmana bernama Mpu Bharada, Kerajaan Medang Kemulan dibagi dua. Kerajan
Jenggala (yang berarti hutan)dan Kerajaan Panjalu (kediri). Jenggala beribu kota di Kahuripan
dan Panjalu beribukota di Daha.

7. Kerajaan Kediri

Raja Sri Jayawarsha merupakan raja pertama Kerajaan Kediri. Raja yang bergelar Sri
Jayawarsha Digjaya Shastra Prabhu ini mengaku dirinya sebagai titisan Dewa Wisnu seperti
Airlangga. Raja kerajaan kediri selanjutnya adalah Bameswara. Bameswara bergelar Sri
Maharaja Rakai Sirikan Sri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya
Parakrama Digjayatunggadewa. Dalam kitab Kakawin Smaradahana, karangan Mpu Dharmaja,
diceritakan bahwa Raja Bameswara adalah keturunan pendiri Dinasti Isyana yang menikah
dengan Chandra Kirana, putrid Jayabhaya.

Jayabhaya bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudanawataranindita


Suhrtsingha Parkrama Digjayotunggadewa Jayabhayalanchana. Pada masa pemerintahan
Jayabhaya, terjadi perang saudara ini diabadikan dalam bentuk Kakawin Bharatayuddha yang
ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Punuluh. Jayabhaya berhasil memenangkan perang saudara
tersebut sehingga wilayah Kediri berhasil disatukan lagi dengan wilayah Jenggala. Peristiwa
kemenangan ini diabadikan dalam Prasasti Ngantang. Pengganti Jayabhaya yaitu Sarweswara
dari Aryyeswara, tidak banyak diketahui. Raja berikutnya adalah Gandra. Pada masa
pemerintahannya, Gandra menyempurnakan struktur pemerintahan yang diwariskan Kerajaan
Medang Kemulan.

Para pejabat diberi gelar tertentu dengan nama-nama hewan, seperti Gajah atau Kebo.
Penggunaan nama-nama tersebut menjadi tanda pengenal kepangkatan tertentu di Kerajaan
Kediri. Setelah Gandra, pemerintahan Kerajaan Kediri dipimpin oleh Raja Kameshwara.
Pemerintahan Kameshwara ditandai dengan pesatnya hasil karya sastra Jawa. Pada masa
pemerintahannya, cerita-cerita panji atau kepehlawanan banyak dihasilkan seperti juga bentu
cerita kakawin.

Raja kerajaan Kediri berikutnya adalah Kertajaya atau Srengga. Pada masa
pemerintahannya, Kediri mulai mengalami masalah dan ketidakstabilan. Hal ini karena Kertajaya
berusaha membatasi dan mengurangi hak istimewa para kaum Brahmana saat itu, di daerah
Tumapel (sekarang Malang) muncul kekuatan baru di bawah pimpinan Ken Arok. Perlahan-
lahan, terjadi arus pelarian para Brahmana dari wilayah Kediri menuju Tumampel. Kertajaya

16
menyikapi arus pelarian ini dengan mengerahkan tentara Kerajaan Kediri untuk menyerbu
Tumapel.

Perang antara pasukan Kertajaya dan Ken Arok terjadi di Ganter (1222). Pasukan Ken
Arok berhasil menghancurkan kekuasaan pasukan Kertajaya dan dengan sendirinya mengakhiri
kekuasaan Kerajaan Kediri.

8. Kerajaan Singasari

Sumber sejarah tentang Kerajaan Singasari di Jawa Timur adalah kitab-kitab kuno,
seperti Pararaton (Kitab Raja-Raja) dan Negarakertagama. Kedua kitab itu berisis sejarah raja-
raja. Kerajaan Singasari dan majapahit yang saling berhubungan erat. Ketika Ken Arok berkuasa
di Tumapel, di Kerajaan Kediri berlangsung perselisihan antara Raja Kertajaya dengan para
Brahmana. Para Brahmana tersebut melarikan diri ke Tumapel. Namun, dalam pertempuran di
Ganter, ia mengalami kekalahan dan meninggal. Kemudian, Ken Arok menyatukan Kerajaan
Kediri dan Tumapel, serta mendirikan Kerajaan Singasari. Ia bergelar Sri Rangga Rajasa
(Rajasawangsa) atau Girindrawangsa di Jawa Timur.

Dari istri yang pertamanya yang bernama Ken Umang, Ken Arok mempunyai empat
orang anak, yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Dari
perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Mahisa Wong
ateleng, Panji Sabrang, Agni Bhaya, dan Dewi Rimbu. Ken Arok juga memiliki seorang anak tiri,
yaitu Anusapati yang merupakan anak Tunggal Tunggul ametung dan Ken Dedes. Tunggul
Ametung adalah Bupati Tumapel yang dibunuh Ken Arok.

Pada tahun1227, masa pemerintahan Ken Arok berakhir ketika ia dibunuh oleh anak
tirinya Anusapati, sebagai balas dendam terhadap kematian Ayahnya. Diceritakan bahwa Ken
Arok dibunuh dengan menggunakan keris Mpu Gandring yang di pakai untuk membunuh
Tunggul Ametung. Kemudian Ken Arok dimakamkan di Kagenengan (sebelah selatan Singasari).
Setelah Ken Arok wafat, Anusapati yang bergelar Amusanatha, naik tahta sebagai raja kedua
Kerajaan Singasari. Anusapati memerintah sampai tahun 1248. Tohjaya yang mengetahui bahwa
ayahnya dibunuh oleh Anusapati, merencanakan pembalasan dendam. Tohjaya membunuh
Anusapati juga dengan mengunakan keris Mpu Gandring.

Setelah Wafat, jenazahanusapati diperabukan di Candi Kidal. Tohjaya kemudian


mengantikan Anusapati menjadi Raja di Kerajaan singasari pada tahun 1248. Ia tidak lama
memerintah karena terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Sinelir dan Rajasa
yang digerakkan oleh Ranggawuni, anak Anusapati. Ranggawuni dibantu oleh Mahisa Cempaka,
anak Mahisa Wong Ateleng, saudara tiri Anusapati dari ibu yang sama.

Pemberontakan Ranggawuni berhasil menyerbu masuk ke istana dan melukai Tohjaya


dengan tombak. Tohjaya berhasil dilarikan oleh para pengawalnya ke luar Istana, tetapi akhirnya

17
meninggal di Katalang Lumbang. Dengan wafatnya Tohjoyo. Tahta kerajaan Singasari kembali
kosong.

Setelah tohjaya wafat, Ranggawuni naik tahta pada tahun 1248 M dengan gelar Sri Jaya
Wishnuwardhana. Mahisa Cempaka yang telah membantunya merebut tahta, memperoleh
anugrah kedudukan sebagai Ratu Angabhaya, pejabat terpenting kedua di Kerajaan Singgasari
dengan gelar Narasinghamurti. Pada tahun 1254. Wishnuwardhana menobatkan anaknya yang
bernama Kertanegara sebagai Yuwaraja atau Kumararaja (Raja Muda). Kertanegara
mendampingi ayahnya memerintah sampai tahun 1268. Ketika Wishnuwardhana meninggal di
Mandaragiri, ia dimuliakan di dua tempat yang berbeda. Di Candi Jago (Jajaghu) sebagai
Buddha Amoghapasha dan di Candi Weleri sebagai Siwa.

Setelah ayahnya wafat, Kertanegara sebagai raja muda langsung dinobatkan sebagai Raja
Singasari. Dalam menjalankan pemerintahan, Kertanegara dibantu oleh tiga orang pejabat
bawahan, yaitu Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan dan Rakryan i Halu. Dibawah ketiga
Mahamantri, masih terdapat pula tiga orang pejabat bawahan, yaitu Rakryan Apatih, Rakryan
Demung, dan Rakryan Kanuruhan. Untuk mengatur soal keagamaan, diangkat pejabat yang
disebut Dharmadhyaksa ri Kasogatan.

Raja Kertanegara adalah raja yang terkenal dan terbesar dari kerajaan Singasari. Ia
mempunyai semangat Ekspansionis. Kertanegara bercita-cita memperluas Kerajaan Singasari
hingga keluar Pulau Jawa yang disebut dengan istilah Cakrawala Mandala. Pada tahun 1275, ia
mengirim pasukan ke Sumatra untuk menguasai Kerajaan Melayu yang disebut sebagai ekspedisi
Pamalayu. Dalam ekspedisi tersebut, Kerajaan Melayu berhasil di taklukan tahun1260. Peristiwa
ini diabadikan pada alas patung Amoghapasha di Padangroco (Sungai Langsat) yang berangka
tahun 1286.

Raja Melayu saat itu, Tribhuwana atau Raja Mulawarmandewa, beserta rayatnya
menyambut hadiah itu dengan suka cita. Hal ini menunjukkan bahwa Kerajaan Melayu secara
resmi berada dibawah kekuasaan Raja Kertanegara. Kertanegara juga membawa putrid Melayu
kembali ke Singasari untuk dinikahkan dengan salah seorang bangsawan Singasari. Tujuh
pengiriman arca dan penaklukan Kejaan Melayu adalah untuk menghadang rencana perluasan
kekuasaan Kaisar Kubilai Khan dari Cina.

Diceritakan bahwa sudah beberapa kali utusan dari Cina dating ke Kerajaan Melayu
menurut pengakuan untuk tunduk kepada Cina. Raja Kertanegara menolak mengirim upeti atau
utusan sebagai pernyataan tunduk kepada Cina. Raja Kertanegara menolak mengirim upeti atau
utusan sebagai pernyataan tunduk.

Pada tahun 1289, utusan Cina bernama Meng Ki dikirim pulang ke Cina sehingga Kaisar
Kubilai Khan marah dan mengirim pasukan untuk menyerang Kerajaan Singasari. Sebagian
besar pasukan Kerajaan Singasari sedang dikirim ke Sumatra untuk menghadapi serangan
pasukan Cina. Sementara itu, Raja Jayakatwang di Kerajaan Kediri yang menjadi bawahan

18
Kerajaan Singasari melihat kesempatan yang baik untuk merebut kekuasaan. Pada tahun 1292,
Raja Jayakatwang dengan pasukan Kerajaan Kediri menyerang Ibu kota Kerajaan Singasari.

Menurut cerita, pada saat serangan musuh dating, Raja Kertanegara beserta para pejabat dan
pendeta sedang melakukan upacara Tantrayana sehingga dapat dengan mudah mereka semua
dibunuh oleh musuh. Kerajaan Singasari akhirnya berhasil direbut oleh Jayakatwang, Raja
Kediri.

9. Kerajaan Bali

Informasi tentang raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Bali diperileh terutama
dari prasasti Sanur yang berasal dari 835 Saka atau 913. Prasasti Sanur dibuat oleh Raja Sri
Kesariwarmadewa. Sri Kesariwarmadewa adalah raja pertama di Bali dari Dinasti Warmadewa.
Setelah berhasil mengalahkan suku-suku pedalaman Bali, ia memerintah Kerajaan Bali yang
berpusat di Singhamandawa. Pengganti Sri Keariwarmadewa adalah Ugrasena. Selama masa
pemerintahannya, Ugrasena membuat beberapa kebijakan, yaitu pembebasan beberapa desa dari
pajak sekitar tahun 837 Saka atau 915. Desa-desa tersebut kemudian dijadikan sumber
penghasilan kayu kerajaan dibawah pengawasan hulu kayu (kepala kehutanan). Pada sekitar
tahun 855 Saka atau 933, dibangun juga tempat-tempat suci dan pesanggrahan bagi peziarah dan
perantau yang kemalaman.

Pengganti Ugrasena adalah Tabanendra Warmadewa yang memerintah bersama


permaisurinya, ia berhasil membagun pemandian suci Tirta Empul di Manukraya atau
Manukaya, dekat Tampak Siring. Pengganti Tabanendra Warmadewa adalah raja Jayasingha
Warmadewa. Kemudian Jayasadhu Earmadewa. Masa pemerintahan kedua raja ini tidak diketahu
secara pasti. Pemerintahan kerajaan Bali selanjutnya dipimpin oleh seorang ratu. Ratu ini
bergelar Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Ia memerintah pada tahun 905 Saka atau 938.
Beberapa ahli memperkirakan ratu ini adalah putrid Mpu Sindok dari kerajaan Mataram Kuno.

Pengganti ratu ini adalah Dharma Udayana Warmadewa. Pada masa pemerintahan
Udayana, hubungan Kerajaan Bali dan Mataram Kuno berjalan sangat baik. Hal ini disebabkan
oleh adanya pernikahan antara Udayana dengan Gunapriya Dharmapatni, cicit Mpu Sendok yang
kemudian dikenal sebagai Mahendradata. Pada masa itu banyak dihasilkan prasasti-prasasti yang
menggunakan huruf Nagari dan Kawi serta bahasa Bali Kuno dan Sangsekerta.

Setelah Udayana wafat, Marakatapangkaja naik tahta sebagai raja Kerajaan Bali. Putra
kedua Udayana ini menjadi raja Bali berikutnya karena putra mahkota Airlangga menjadi raja
Medang Kemulan. Airlangga menikah dengan putrid Darmawngasa dari kerajaan Medang
Kemulan. Dari prasasti-prasasti yang ditemukan terlihat bahwa Marakatapangkaja sangat
menaruh perhatian pada kesejahteraan rakyatnya. Wilayah kekuasaannya meliputi daerah yang
luas termasak Gianjar, Buleleng. Tampaksiring dan Bwahan (Danau Batur). Ia juga mengusahakn
pembangunan candi di Gunung Kawi.

19
Pengganti raja Marakatapangkaja adalah adiknya sendiri yang bernama Anak Wungsu. Ia
mengeluarkan 28 buah prasasti yang menunjukkan kegiatan pemerintahannya. Anak Wungsu
adalah raja dari Wangsa Warmadewa terakhir yang berkuasa di kerajaan Bali karena ia tidak
mempunyai keturunan. Ia meninggal pada tahun 1080 dan dimakamkan di Gunung Kawi
(Tampak Siring).

Setelah anak Wungsu, kerajaan Bali dipimpin oleh Sri Sakalendukirana. Raja ini
digantikan Sri Suradhipa yang memerintah dari tahun1037 Saka hingga 1041 Saka. Raja
Suradhipa kemudian digantikanJayasakti. Setelah Raja Jayasakti, yang memerintah adalah
Ragajaya selitar tahun 1155. Ia digantikan oleh Raja Jayapangus (1177-1181). Raja terakhir Bali
adalah Paduka Batara Sri Artasura yang bergelar Ratna Bumi banten (Manikan Pulau Bali). Raja
ini berusaha mempertahahankan kemerdekaan Bali dari seranggan Majapahit yang di pimpin
oleh Gajah Mada. Sayangnya upaya ini mengalami kegagalan. Pada tahun 1265 Saka tau 1343,
Bali dikuasai Majapahit. Pusat kekuasaan mula-mula di Samprang, kemudian dipindah ke Gelgel
dan Klungkung.

10. Kerajaan Pajajaran

Pusat Kerajaan Pajajaran awalnya terletak di daerah Galuh, jawa Barat. Raja pertama Kerajaan
Pajajaran bernama Sena. Namun, tahta Kerajaan Pajajaran kemudian direbut oleh saudara Raja
Sena yang bernama Purbasora. Raja Sena dan keluarganya terpaksa meninggalkan keratin. Tidak
lama kemudian, Raja Sena berhasil merebut kembali tahta Kerajaan Pajajaran.

Raja Pajajaran selanjutnya adalah Jayabhupati. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan


Pajajaran mengembangkan ajaran Hindu Waisnawa. Setelah Jayabhupati, Kerajaan diperintah
oleh Rahyang Niskala Wastu Kencana. Pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan dipindahkan
ke Kawali. Raha Wastu kemudian digantikan oleh Hayam Wuruk. Peristiwa ini terjadi pada
tahun 1357 dan disebut dalam kitab Pararaton sebagai Perang Bubat.

Ketika perang Bubat terjadi, Sri Baduga Maharaja bersama seluruh pengiringnya tewas.
Kerajaan Pajajaran diambil alih oleh Hyang Bunisora (1357-1371), pengasuh putra mahkota
Wastu Kencana yang masih kecil. Hyang Bunisora berkuasa selama 14 tahun. Pada Prasasti Batu
Tulis, raja ini disebut juga Prabu Guru Dewataprani.

Kerajaan Pajajaran selanjutnya diperintah secara berurutan oleh Wastu Kencana. Tohaan,
lalu Sang Ratu Jayadewata. Pada masa pemerintahan Sang Ratu Jayadewata, diperkirakan bahwa
di Kerajaan Pajajaran telah terdapat penduduk yang beragama islam. Hal ini tergambar dari
tulisan seorang ahli sejarah Portugis yang bernama Tome Pires (1513) yang mengatakan bahwa
di wilayah timur kerajaan ini terdapat banyak penganut Islam. Tampaknya pengaruh Islam belum
masuk ke pusat kerajaan. Namun, pengaruh Islam dari Kerajaan Demak di Jawa Tegah mulai
mengancam Kerajaan Pajajaran.

20
Oleh karena itu Jayadewata bermaksud meminta bantuan Portugis di Malaka untuk
menghadapi kerajaan Demak. Usaha itu terlambat karena pada tahun1527, pasukan yang
dipimpin oleh Falatehan dari Demak berhasil menguasai pelabuhan Sunda Kelapa, pelabuhan
terbesar Kerajaan Pajajaran. Ketika itu, yang berkuasa di Pajajaran adalah Ratu Samiam, putra
Jayadewata.

Setelah pelabuhan Sunda Kelapa direbut oleh Kerajaan Demak, Kerajaan Pajajaran harus
menghadapi serangan Kerajaan Banten dari arah barat. Pengganti Samiam, yaitu Prabu Ratu
Dewata, berusaha mempertahankan ibu kota Pajajaran dari pasukan Maulana Hasanuddin dan
putranya, Maulana Yusuf. Pada tahun1579, Kerajaan Pajajaran akhirnya runtuh setelah Kerajaan
Banten yang bercorak Islam berhasil menguasai Ibu kota kerajaan. Orang-orang Hindu Pajajaran
yang tidak mau tunduk pada penguasa Islam akhirnya melarikan diri kedaerah pedalaman dan
kemudian hidup sebagai suku Badui.

11. kerajaan Majapahit

Kerajaan bercorak Hindu yang terakhir dan terbesar di pulau Jawa adalah Majapahit.
Nama kerajaan ini berasal dari buah maja yang pahit rasanya. Ketika orang-orang Madura
bernama Raden Wijaya membuka hutan di Desa Tarik, mereka menenukan sebuah pohon maja
yang berubah pahit. Padahal rasa buah itu biasanya manis. Oleh karena itu mereka menamakna
permukiman mereka itu sebagai Majapahit. Daerah ini merupakan daerah yang diberikan Raja
Jayakateang dari Kerajaan Kediri kepada Raden Wijaya. Raja Wijaya adalah menantu Raja
Kertanegara dari kerajaan Singasari. Pada saat Kerajaan Singasari diserbu dan dikalahkan oleh
Jayakatwang, Raden Wijaya berhasil melarikan diri. Ia mencari perlindungan kepada Bupati
Madura yang bernama Arya Wiraraja. Dengan bantuan orang-orang Madura, ia membangun
pemuliman di Desa Tarik yang kemudian diberi nama Majapahit tersebut.

Pada tahun 1292, armada Cina yang terdiri dari 1.000 buah kapal dengan 20.000 orang
prajurit tiba di Tuban, Jawa Timur. Tujuan mereka adalah menghukum Raja Kertanegara yang
menyatakan tidak mau tunduk kepada Kaisar Kubilai Khan dari Cina. Mereka tidak mengetahui
bahwa Raja Kertanegara dari Singasari itu telah meninggal dikalahkan oleh Raja Jayakatwang
dari Kediri.

Melihat peluang ini, Raden Wijaya mengambil kesempatan untuk merebut kembali
Kerajaan Singasari. Ia menggabungkan diri dengan pasukan cina dan menyerang Raja
Jayakatwang di Kediri. Kerajaan Kediri tidak mampu menghadapi serangan itu. Raja
Jayakatwang berhasil dikalahkan. Kemenangan itu membuat pasukan Cina bergembira dan
berpesta pora. Mereka tidak menyaka kalau kesempatan itu dipakai oleh Raden Wijaya untuk
balik menyerang mereka. Pasukan Raden Wijaya berhasil mengusir armada Cina kembali
ketanah airnya. Sejak saat itu Kerajaan Majapahit dianggap sudah berdiri.

Raden Wijaya naik tahta sebagai Raja Majapahit pada tahun 1293 dengan gelar Sri
Kertarajasa Jayawardhana. Pada tahun 1295., berturut-turut pecah pembrontakan yang dipimpin

21
oleh Rangga lawe dan disusul oleh Saro serta Nambi. Pembrontakan-pembrontakan itu bisa
dipadamkan. Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 dan mendapat penghormatan di dua tempat,
yaitu Candi Simping (Sumberjati) dan Candi Artahpura.

Setelah Raden Wijaya wafat, putera permaisuri Tribuwaneswari yang bernama


Jayanegara menggantikannya sebagai Raja Majapahit. Pada awal pemerintahannya Jayanegara
harus menghadapi sisa pemberontakan yang meletus dimasa ayahnya masih hidup. Selain
pembrontakan Kuti dan Sumi, Raja Jayanegara diselamatkan oleh pasukan pengawal
(Bhayangkari) yang dipimpin oleh Gajah Mada ia kemudian diungsikan ke Desa Bedager.

Raja Jayanegara wafat tahun1328 karena dibunuh oleh salah seorang anggota
dharmaoutra yang bernama Tanca. Oleh karena ia tidak mempunyai putra ia kemudian
digantikan oleh adik perempuannya Bhre Kahuripan yang bergelar Tribuanatunggadewi
Jayawishnuwardhani. Suaminya bernama Cakradhara yang berkuasa di Singasari dengan gelar
Kertawerdhana.

Dari kitab Negarakertagama, digambarkan adanya beberapa pemberontakan di masa


pemerintahan Ratu Tribuanatunggadewi. Pembrontakan yang paling berbahaya adalah
pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Namun pemberontakan itu pemberontakan
itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Setelah itu Gajah Mada bersumpah di hadapan Raja dan
para pembesar kerajaan bahwa ia tidak akan amukti palapa (memakan buah palapa), sebelum ia
dapat menundukan Nusantara.

Pada tahun 1334, lahirlah putra mahkota Kerajaan Majapahit yang diberi nama Hayam
Wuruk. Pada tahun 1350, Ratu Tribuanatunggadewi mengundurkan diri setelah berkuasa 22
tahun. Ia wafat pada tahun 1372. Pada tahun 1350, Hayam Muruk dinobatkan sebagai raja
Majapahit dan bergelar Sri Rajasanagara. Gajah Mada diangkat sebagai Patih Hamangkubumi.
Dibawah pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Kerajaan Majapahit mencapai puncak
kejayaannya. Kerajaan Majapahit menguasai wilayah yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah
Nusantara tunduk pada Majapahit.

Gajah Mada meninggal tahun 1364. Meninggalnya Gajah Mada menjadi titik tolak
kemunduran Majapahit. Setelah Gajah Mada tidak ada negarawan yang kuat dan bijaksana.
Keadaan semakin memburuk setelah Hayam Wuruk juga meninggal pada tahun 1389. Hayam
Wuruk tidak memiliki putra mahkota. Tahta kerajaan Majapahit diberikan pada menantunya yang
bernama Wikramawardhana (suami dari putri mahkota Kusumawardhani). Hayam Wuruk
sebenarnya memiliki putra yang bernama Bhre Wirabhumi. Namun, dia bukan anak dari
permaisuri sehingga tidak berhak mewarisi tahta Kerajaan Majapahit.

Meskipun demikian, Wirabhumi tetap diberi kekuasaan di wilayah kekuasaan di wilayah


Kerajaan sebelah Timur, yaitu Blambangan. Dengan cara tersebut, kemungkinan perpecahan
antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana berhasil diredam. Masalah kembali timbul ketika
tahta Kerajaan Majapahit kembali kosong setelah Kusumawardhani meninggal dunia pada tahun

22
1400. Wikramawardhana berniat untuk menjadi pendeta dan menunjuk putrinya, Suhita, menjadi
ratu Kerajaan Majapahit.

Pada tahun 1401, pecah perang antara keluarga Wikramawardhana dan Wirabhumi yang
dikenal sebagai Perang Paregreg. Perang Paregreg baru berakhir pada tahun 1406 dengan
terbunuhnya Bhre Wirabhumi. Parang saudara ini semakin melemahkan Kerajaan Majapahit.
Satu demi satu daerah kekuasaannya melepaskan diri. Tidak ada lagi raja yang kuat dan mampu
memerintah kerajaan yang demikian luas. Menurut catatan. Kerajaan Majapahit runtuh sekitar
tahun 1500-qn yang didasarkan pada tahun bersimbol Sirna Ilang Kertaning Bhumi.

23

Anda mungkin juga menyukai